Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia
Draf Buku Perspektif
Ajith Fernando
- Ajith Fernando telah menjadi Director for Youth for Christ di Sri Lanka sejak tahun 1976. Beliau juga mengawasi pekerjaan rehabilitasi narkoba YFC di Sri Lanka. Beliau telah menulis sembilan buku, termasuk The Christian Attitude Toward World Religions.
- Tulisan ini diadaptasi dari The Supremacy of Christ, 1995. Digunakan dengan izin dari Crossway Books, divisi dari Good News Publishers, Wheaton, IL.
Di masa kini, pluralisme telah menjadi filsafat yang dominan, agama-agama Timur telah mengadopsi sebuah pemikiran yang kuat mengenai misi, pemikiran Zaman Baru sedang membuat kerusakan besar di dalam lingkup masyarakat barat yang berbeda. Gerakan pengInjilan, terutama di Barat, kelihatannya telah kehilangan komitmennya terhadap kebenaran radikal dari Injil. Kekristenan pada masa kini terdapat skeptisisme yang besar tentang kemungkinan untuk mengenal kebenaran. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh George Barna pada tahun 1991 memunculkan angka 67 persen orang Amerika percaya ada hal yang disebut kebenaran absolut. Hal yang lebih mengejutkan adalah 53 persen orang yang menyatakan diri orang Kristen konservatif tidak percaya ada hal yang disebut kebenaran absolut. Dengan pergeseran besar yang terjadi pada pemikiran banyak orang Kristen, sekarang terdapat sejumlah kelompok dalam lingkaran kekristenan di mana pluralisme dan relativisme dianggap perlu untuk mengerti kebenaran agama
Filsafat pluralisme merupakan inti pemikiran gerakan Zaman Baru dan juga beberapa teologi “Kristen”. Filsafat ini juga melekat dalam pikiran penganut Buddha dan Hindu. Kita tidak berbicara mengenai pluralisme politik, etnik, dan perbedaan budaya dalam sebuah masyarakat atau gereja. Tetapi kita sedang merujuk kepada suatu keyakinan filsafat yang mengakui lebih dari satu prinsip tertinggi, dan menuntut bahwa kita tidak bisa memegang satu sistem pemikiran sebagai kebenaran absolut.
Pluralisme agama mendukung ide baru terhadap pewahyuan. Selama ini orang Kristen mengerti wahyu sebagai pernyataan Allah kepada manusia tentang kebenaran. Dia melakukan ini secara umum dan bisa diketahui semua orang, contohnya melalui alam dan hati nurani, serta secara khusus dalam Alkitab dan yang terutama dalam Yesus Kristus. Menurut pAndangan baru ini, kebenaran tidak dinyatakan kepada kita tapi ditemukan oleh kita melalui pengalaman. Tulisan-tulisan dari agama yang berbeda, apakah Hindu, Zaman Baru, M, atau Kristen, dianggap sebagai penemuan yang berbeda (melalui pengalaman) terhadap satu Allah. Perbedaan agama adalah perbedaan ekspresi tentang yang Absolut. Masing-masing berisi lapisan kebenaran.
Namun orang-orang yang mempelajari agama secara cermat mengakui bahwa masing-masing agama memiliki poros yang berbeda. Sebenarnya, kesamaan yang ada di antara Kekristenan dan agama-agama lain hanya pada bagian luarnya saja, bukan pada inti dari iman. Maka mengatakan bahwa agama pada intinya mengajarkan hal yang sama merupakan suatu kesalahan. Mereka yang mendukung pluralisme pada hari ini harus menghadapi fakta bahwa sikap mereka ini sangat berlawanan dengan Gereja Perjanjian Baru. Para penulis dan pengkhotbah Perjanjian Baru menjawab pluralisme di masa mereka dengan penegasan yang kuat akan ekslusifitas dan supremasi Kristus. Pelayanan Paulus di Atena (Kis. 17:16-34) dan Surat Paulus kepada jemaat di Kolose dan Efesus merupakan contoh yang baik dari perlawanan tersebut. Meskipun pAndangan yang menolak supremasi Kristus mungkin mendapat pendukung di seluruh dunia, kehidupan dan pekerjaan Yesus sendiri menunjukkan dasar yang dapat diterima untuk percaya bahwa Yesus memang memiliki supremasi.
Yesus sebagai Kebenaran Absolut
Ke dalam lingkungan yang tidak memiliki kepastian akan kebenaran inilah orang Kristen masuk dengan penegasan bahwa kita bisa mengenal Kebenaran Absolut tersebut. Kita mengklaim bahwa semua itu ditemukan dalam Yesus; bahwa Yesus adalah kebenaran Dia berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Ketika Yesus berkata bahwa Dia adalah kebenaran ini berarti Dialah personifikasi atau perwujudan kebenaran. Yesus tidak hanya mengatakan, “Apa yang Aku katakan adalah benar;” yang berarti, “Aku benar.” Dia berkata, “Akulah kebenaran itu,” realitas tertinggi. Wahyu ini bukan sesuatu yang ditemukan melalui pengalaman. Pendukung pluralisme berkata bahwa apa yang kita sebut wahyu sebenarnya catatan pengalaman keagamaan yang dialami oleh manusia. Kita mengatakan hal itu dinyatakan oleh Allah bukan ditemukan oleh manusia.
Yesus menegaskan klaim-Nya sebagai kebenaran dalam ayat-ayat selanjutnya dari Yohanes 14:6. Awalnya dia menyatakan hal ini dengan menjelaskan apa arti klaim Dia adalah kebenaran. Ayat 7 menyatakan, “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” Mengenal Yesus sama dengan mengenal Bapa. Leon Morris menunjukkan ketika Yesus berkata kita bisa mengenal Allah, dia “melampaui segala hal yang biasanya dinyatakan orang kudus di masa lalu … Yesus menyatakan sesuatu yang baru dan luar biasa bagi mereka yang percaya dalam pengalaman keagamaan, pengetahuan yang nyata akan Allah.”2
Yesus kemudian membuat pernyataan yang kuat dalam Yohanes 14:7. Dia berkata, “Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” Yesus sedang mengatakan bahwa para murid telah melihat Allah Bapa. William Barclay berkata, “Bagi dunia di zaman itu, perkataan Yesus ini mungkin merupakan hal yang paling menggentarkan. Bagi orang Yunani, Allah secara sifat adalah Yang Tak Dapat Dilihat. Orang Yahudi memasukkannya dalam pengakuan iman bahwa manusia kapan pun tidak akan pernah dapat melihat Allah.” Namun Yesus menyatakan diri sama dengan Allah dan mengatakan bahwa ketika kita melihat Yesus, kita melihat Allah Bapa.
Dari pengajaran Yesus dalam Yohanes 14:6-7, kita menyimpulkan bahwa kebenaran absolut bisa dikenal karena yang Absolut telah menjadi nyata dalam sejarah dalam pribadi Yesus (lihat juga Yoh. 1:14-18). Inilah pembelaan kita terhadap pernyataan bahwa kita percaya akan kebenaran yang absolut. Kita menyatakan Yesus adalah Allah. Oleh karena itu, mengenal Yesus sama dengan mengenal yang Absolut. Kepercayaan kita akan keabsolutan Injil Kristen merupakan perluasan dari kepercayaan kita bahwa Yesus adalah Allah yang berinkarnasi. Menarik sekali kalau John Hick, yang merupakan pendukung pluralisme paling ternama di generasi ini, menolak ajaran Kristen tentang inkarnasi.4
Respons Pribadi kepada Kebenaran
Sekarang kita sampai pada pertanyaan bagaimana dan dalam pengertian apa kita mengenal kebenaran absolut. Jika kebenaran adalah seorang pribadi, maka kita akan mengenal kebenaran seperti kita mengenal seseorang; dan melalui fakta tentang mereka serta hubungan dengan mereka. Sehingga kita mengenal yang Absolut melalui sebuah hubungan, karena itulah cara yang dipilih-Nya untuk menyatakan kebenaran. Dia melakukannya secara pribadi. Oleh karena itu, agar bisa mendapat pengetahuan tentang yang Absolut kita perlu mengenal Allah melalui “ suatu respons pribadi dan komitmen kepada pribadi Kristus.” Hal itu membuka jalan menuju kepada pengenalan akan kebenaran yang absolut.
E. Stanley Jones pernah bercerita tentang seorang dokter yang terbaring sekarat. Seorang dokter Kristen duduk di sampingnya dan mendorongnya untuk berserah dan beriman pada Kristus. Dokter yang sekarat itu mendengarkan dengan takjub. Terang terbit. Dia dengan sukacita berkata, “Sepanjang hidup saya sering memikirkan tentang apa yang harus dipercaya, sekarang saya sadar siapa yang harus dipercaya.” Percaya artinya mempercayakan diri kita kepada Yesus. Kita mengasihi Dia sebagai teman dan mengikuti Dia sebagai Tuhan. Inilah alasan mengapa panggilan utama Kristus bukanlah “ikutlah ajaranKu” tapi “ikutlah Aku.”
Karena kita mengenal yang Absolut secara pribadi, maka kita bisa berkata bahwa kita mengenal kebenaran yang absolut. Pengetahuan ini tidak hanya sesuatu yang pribadi dan subjektif. Pada inti dari Injil Kristen ada beberapa fakta objektif. Injil Yesus adalah hal pasti yang terjadi dalam sejarah, termasuk pernyataan-pernyataan tertentu yang Yesus buat. Ada pernyataan-pernyataan dalam pewahyuan yang tidak bisa dikompromikan, dan kebenaran tentang hubungan Yesus dengan Allah adalah salah satunya. Sebagai contoh, di dalam Yohanes 14:11 Dia memerintahkan para murid-Nya, “Percayalah ketika Aku mengatakan bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku.”
Perkataan Yesus Menegaskan Kemutlakan-Nya
Di dalam Yohanes 14:10b, Yesus menjelaskan bagaimana kita dapat mempercayai pernyataan-Nya bahwa Dia sama dengan Allah dan karena itu percaya kalau Dia adalah kebenaran absolut: “Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya.” Kita mungkin mengira Yesus berkata, “Bapa berbicara melalui aku.” Sebaliknya Dia berkata, “Bapa yang tinggal di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaanNya.” Ini dikarenakan, seperti kata Archbishop William Temple, “perkataan Yesus adalah pekerjaan Allah.”7
Apa yang dikatakan Yesus di sini adalah kita harus menganggap serius perkataanNya karena saat Dia berbicara, Tuhan berbicara. PerkataanNya menegaskan keilahianNya. Nilai keaslian perkataan Yesus terletak dalam dua wilayah. Pertama, relevansi dan pengertiannya yang mendalam menunjukkan ini bukan manusia biasa yang berbicara. Di dalam perkataan-Nya ada jawaban Allah bagi masalah hidup. Kedua, pernyataanNya mengenai diri-Nya membuat kita harus berkesimpulan kalau Dia melihat Dirinya sebagai Allah.
Dua puluh abad dari masa Yesus hidup, banyak orang dapat menyimpulkan kalau pernyataan Yesus mengenai diri-Nya adalah benar hanya dengan membaca kitab-kitab Injil. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang pemuda non-Kristen yang sedang belajar bahasa Inggris dengan menggunakan salah satu kitab Injil sebagai bahan bacaan. Dia tiba-tiba berdiri di tengah-tengah pelajaran dan berjalan bolak balik dalam ruangan dan berkata, “Ini bukan perkataan manusia, ini perkataan Allah!” Yesus berkata bahwa perkataan-Nya sendiri dapat meyakinkan orang.
Pekerjaan Yesus Menegaskan Perkataan-Nya
Namun Yesus tahu kalau beberapa orang tidak menerima pernyataan luar biasa yang dibuat-Nya mengenai diri-Nya sendiri. Jadi Yesus berkata dalam Yohanes 14:11, “Percayalah kepada-Ku bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.” Maksud Yesus, jika kita melihat pekerjaan-Nya, kita akan tertantang untuk memperhatikan perkataan-Nya secara serius.
Cara pertama untuk melihat pekerjaan-Nya adalah dalam konteks kehidupan-Nya yang tidak berdosa. Bahkan mereka yang tidak menerima sebagian dari pernyataan-Nya umumnya setuju kalau Yesus memiliki hidup yang patut diteladani. Jika Dia adalah orang yang baik, maka bukankah kita sudah seharusnya memperhatikan secara serius apa yang terus dikatakan-Nya mengenai diri-Nya?
Cara kedua melihat pekerjaan Yesus adalah dalam konteks mujizat-mujizat yang dilakukanNya. Di dalam kitab-kitab Injil, mujizat sering kali digunakan sebagai bukti untuk mendukung pernyataan Kristus. Ketika orang banyak membicarakan pernyataan Yesus kepada orang lumpu bahwa dosanya sudah diampuni, Dia menyembuhkan orang lumpuh tersebut “supaya kamu tahu bahwa Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa di bumi ini” (Mrk. 2:8-11). Saat orang Yahudi menuduh Dia menghujat Allah dengan berkata, “sekalipun hanya seorang manusia saja, menjadikan diri-Mu Allah” (Yoh. 10:33), Yesus menjawab, “Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (Yohanes 10:37-38).
Jika seseorang benar-benar memperhatikan pekerjaan-pekerjaan Yesus, dia harus menghadapi pernyataan-Nya sebagai pribadi yang memiliki supremasi yang absolut karena pekerjaan-Nya menegaskan perkataan-Nya. Saya memiliki teman di Sri Lanka yang merupakan seorang penganut Buddha yang taat dan sangat senang membaca. Suatu hari dia mengunjungi perpustakaan umum di kotanya dan mencari buku tentang kehidupan Kristus. Setelah membacanya dia sadar kalau kehidupan Yesus tidak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Dia tahu harus mencari tahu lebih banyak tentang pernyataan Yesus. Dia mencari seseorang yang bisa menceritakan Kristus kepadanya. Hubungannya dengan orang Kristen membawa dia menjadi seorang pengikut Kristus yang sungguh-sungguh.
Jika kita percaya bahwa Injil memberikan catatan objektif mengenai kehidupan Kristus, maka kita tidak bisa menerima pAndangan kaum pluralis masa kini. Ketuhanan Yesus yang absolut tidak berasal dari beberapa teks bukti dalam beberapa perikop tersendiri dalam kitab-kitab Injil. Tetapi terdapat di seluruh kitab-kitab Injil. Jika kita mengeluarkan perikop-perikop yang berisi pengajaran tentang Ketuhanan Kristus yang absolut, kita tidak memiliki catatan mengenai kehidupan Kristus. Materi yang sama yang membuktikan bahwa Dia adalah manusia yang baik juga membuktikan Dia adalah Allah yang absolut. Sulit untuk mengatakan bahwa Dia itu baik tetapi tidak absolut. PAndangan kaum pluralis mengenai hal ini tidak bisa dipertahankan.
Tentu saja, kaum pluralis menolak historisitas dari tulisan-tulisan dalam kitab-kitab Injil dan dengan dasar itu menolak pernyataan yang ada dalam kitab-kitab Injil tersebut mengenai Yesus. Banyak orang dari kaum pluralis berkata bahwa pernyataan-pernyataan ini tidak dibuat oleh Yesus sendiri tetapi dikarang oleh para penulis Injil, berdasarkan pengalaman subjektif mereka dan pikiran mereka tentang Kristus. Pembahasan mengenai hal ini berada di luar ruang lingkup dari tulisan ini. Namun, saya ingin mengatakan di sini bahwa ada pembelaan yang kuat bagi kehAndalan historis dari tulisan-tulisan Injil, suatu klaim yang dengan baik ditunjukkan dalam beberapa buku baru-baru ini.8
Suatu Pembelaan Komprehensif bagi Absolutisitas
Masing-masing orang tertarik terhadap aspek-aspek yang berbeda dari pembelaan terhadap absolutisitas Kristus. Pembelaan ini bersifat menyeluruh. Ketika mereka membuka hati mereka bagi satu aspek, maka aspek lainnya akan mengikuti. Daya tarik utama dari Injil adalah dampak kumulatif dari seluruh aspek. Sebagian orang telah mengajarkan hal-hal yang Yesus ajarkan. Baru-baru ini seorang pengacara terkemuka di Sri Lanka menyajikan pembahasan yang dianggap sebagai pembelaan terbaik terhadap keunikan agama Kristen dengan menunjukkan bahwa ajaran etika Yesus juga ditemukan dalam agama lain. Hal ini, sampai batas tertentu memang benar. Namun ajaran Yesus bukan hanya terdapat dalam kitab-kitab Injil. Ajaran-ajaran etika tersebut memang memiliki hubungan dengan pernyataan Yesus tentang absolutisitas-Nya.
Hal yang membuat Injil istimewa adalah kelengkapannya. Yesus merupakan contoh sempurna manusia yang kudus dan kasih. Dia mengajarkan kebenaran mulia, menyatakan diri setara dengan Allah, dan melakukan mujizat untuk menegaskan pernyataan-Nya. Hal yang terpenting, Dia mengorbankan hidup-Nya, menyatakan Diri mati untuk menyelamatkan dunia. Tuhan membuktikan kebenaran rencana keselamatan ini dengan membangkitkan-Nya dari kematian. Hal terakhir ini merupakan alasan yang menentukan, dan kita belum sampai di sana. Hal yang terunik mengenai Injil Yesus adalah kematian dan kebangkitanNya untuk menyelamatkan dunia. Hal ini yang membedakan Injil dari agama lain di dunia.
Sukacita atas Kebenaran
Sukacita atas kebenaran ini lebih kuat di zaman Perjanjian Baru. Saat kita datang kepada Yesus, saat kita berhubungan dengan kebenaran, kita menyadari telah bersentuhan dengan yang Absolut. Inilah dasar yang teguh. Inilah yang diinginkan manusia dalam zaman yang membingungkan ini. Betapa sukacitanya menemukan kebenaran itu! Kebenaran tersebut memberi kita fondasi kekal yang di atasnya kita dapat membangun kehidupan kita. Hal ini selanjutnya akan membawa rasa aman yang besar yang kemudian membawa kepada sukacita kekal.
Yesus dengan jelas menggambarkan pengalaman yang Paulus ingin jelaskan saat Dia berkata, “kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32). Saat kita mengalami kebenaran, kita terbebas dari ketergantungan terhadap pemenuhan dari dunia yang tidak stabil ini, terbebas dari kuasa dosa, terbebas untuk berdiam dalam lingkungan kekal di mana terdapat sumber sukacita kekal (Mazmur 16:11) yang akan memuaskan keinginan terdalam kita. Mengenal Yesus sebagai Kebenaran merupakan pengalaman yang tidak bisa dibandingkan dengan agama lain. Ini adalah pengalaman akan Allah yang kekal, dan hanya Allah yang kekal yang bisa memberi kita sukacita yang kekal.
Yesus adalah Jalan
Jika Kekristenan adalah Kristus, maka salib-Nya adalah kunci untuk mengerti Dia. Halaman yang diberikan bagi minggu terakhir sebelum Penyaliban menjadi bukti betapa penting para murid melihat arti kematianNya. Pembahasan tersebut menghabiskan 30 persen Injil Matius, 37 persen Injil Markus, 25 persen Injil Lukas, dan 41 persen Injil Yohanes. Seorang teolog Inggris P.T. Forsyth berkata, “Kristus bagi kita sama seperti salib-Nya bagi kita. Keseluruhan Kristus baik di sorga atau bumi diletakan pada hal yang diperbuat-Nya di salib … Anda tidak bisa mengerti Kristus sampai Anda mengerti arti salib-Nya.” Saat Yesus berkata Dia adalah jalan pada Yohanes 14:6, Dia ingin mengatakan bahwa Dia akan menjadi jalan melalui kematian, seperti yang diperlihatkan konteks dari ayat ini (Yoh. 13:33 - 14:5.
Apa yang dicapai oleh Salib Kristus begitu luas dan dalam sehingga banyak penafsiran akan hal ini bermunculan di sepanjang sejarah gereja. Di sini kita akan menjelaskan apa yang telah dicapai dengan melihat enam konsep yang ditemukan dalam Perjanjian Baru.
1. Subtitusi. Mungkin aspek yang paling mendasar dari kematian Kristus adalah Dia menggantikan kita dan menanggung hukuman akibat dosa kita. Dia menggantikan kita. Petrus, yang pertama kali memberontak terhadap pemikiran Yesus akan disalibkan, sesudah peristiwa tersebut menuliskan dua pernyataan penting tentang hal tersebut: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh” (1 Petrus 2:24) dan “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk dosa-dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah” (1 Petrus 3:18).
2. Pengampunan. Hasil langsung dari kematian Kristus adalah pengampunan dosa. Kematian itu harus ada agar pengampunan bisa diberikan. Ibrani 9:22 menjelaskan “hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” Pesan pengampunan adalah salah satu aspek revolusioner dari Injil Kristen, dan pesan ini tidak terlihat dalam sistem agama lainnya.
3. Propisiasi. Kata ini berhubungan dengan ritual-ritual yang diadakan di bait Allah, di mana korban-korban bakaran dipersembahkan kepada Allah untuk mengalihkan murka-Nya atas dosa. Terjemahan The Living Bible terhadap 1 Yohanes 2:2 sangat baik dalam menyatakan hal ini: “Dialah yang mengambil murka Allah atas dosa-dosa kita dan menimpakannya atas diri-nya, dan membawa kita ke dalam hubungan dengan Allah.” Propisiasi berfokus pada seriusnya dosa dan murka Allah atasnya, yang ditanggung oleh Yesus. Salah satu alasan kita sulit menerima hal ini karena doktrin tentang murka Allah telah diabaikan oleh gereja. Pada masa kini kita terkejut melihat penggambaran Allah seperti ini: “Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memAndang kelaliman” (Habakuk 1:13). Kita telah kehilangan rasa jijik terhadap dosa seperti yang ditemukan dalam Alkitab. Namun baik Perjanjian Baru dan Lama, murka adalah bagian esensial dari natur Allah.
4. Penebusan. Pasar di masa itu, para budak dibeli dengan uang. Penebusan berbicara mengenai keselamatan dibeli sesuai harga dosa kita. Efesus 1:7 berkata, “Sebab di dalam Dia kita beroleh penebusan oleh darah-Nya, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan anugerah-Nya.” Di sini fokusnya ada pada kebebasan yang kita terima dari penawanan dosa, melalui harga yang dibayar oleh Kristus.
5. Pembenaran. Kata ini berasal dari persidangan, dan berarti “dinyatakan, diterima dan diperlakukan sebagai yang benar.” Kata ini menunjukkan “suatu tindakan hukum dari kuasa hukum – dalam hal ini menyatakan yang tertuduh tidak bersalah, dan membatalkan seluruh tuntutan.” Roma 4:25 berkata, “Yesus yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan untuk pembenaran kita.” Roma 5: 16, 18 menggambarkan apa yang terjadi dalam pembenaran kita: “Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi pemberian karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran … Jadi, sama seperti melalui satu pelanggaran banyak orang beroleh penghukuman, demikian pula melalui satu perbuatan kebenaran, banyak orang beroleh pembenaran untuk hidup.”
6. Rekonsiliasi. Kita dapat memikirkan rekonsiliasi dalam kerangka kehidupan keluarga dan persahabatan. Paulus berkata, “Sebab di dalam Kristus, Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya tanpa memperhitungkan pelanggaran mereka dan Dia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2 Korintus 5:19). Rekonsiliasi diperlukan karena dosa adalah pemberontakan melawan Allah dan hasilnya permusuhan antara Allah dan umat manusia. Roma 5:10 berkata, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah melalui kematian Anak-Nya.” Hasilnya adalah “hidup damai dengan Tuhan” (Roma 5:1) dan diangkat menjadi anak ke dalam keluargaNya (Yohanes 1:12).
Tantangan Salib
Yesus merupakan jalan kepada keselamatan, Dia datang ke dunia untuk membawa keselamatan ini bagi manusia. Hal ini secara implisit menunjukkan kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dan tidak ada jalan lain menuju keselamatan kecuali melalui Yesus. Kekristenan adalah agama anugerah, Allah bertindak di dalam Kristus untuk menyelamatkan kita.
Sebagian besar orang yang melawan kepercayaan Kristen dalam anugerah bertanya, “Mengapa kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri? Mengapa harus ada yang mati bagi kita?” Sebagian besar orang ingin menyelamatkan diri sendiri. Stephen Neill berkata, “Hal yang paling tidak diinginkan orang modern yang individualistis adalah bergantung pada orang lain.” Pesan salib menusuk inti kesombongan manusia, yang menjadi inti dosa. Dosa Adam dan Hawa adalah mereka ingin menyelamatkan diri sendiri, bebas dari Allah. Mereka tidak mau bergantung pada Allah bagi keselamatan atau hal lainnya. Hal yang sama terjadi dimasa kini. Orang sering berpikir mereka sedang menyelamatkan diri sendiri. Hal tersebut menenangkan mereka dan membantu menenangkan suara kegelisahan dan kekosongan di dalam diri karena mereka terpisah dari Penciptanya. Ini dapat menjadi penjelasan bagi fakta bahwa agama-agama seperti Buddha, Hindu, dan Zaman Baru, yang menawarkan kepada manusia untuk menyelamatkan diri mereka sendiri melalui beberapa siklus kehidupan (reinkarnasi), sangat berkembang bahkan di dunia barat.
Kepercayaan Hinduisme dan gerakan Zaman Baru yang mengatakan kita semua adalah bagian dari yang ilahi. Ini sangat berlawanan dengan Alkitab yang mengatakan kita bersalah di hadapan Allah dan memerlukan keselamatan. Swami Muktananda yang berpengaruh besar terhadap Werner Erhard pendiri EST, seminar pengembangan diri. Dia menyatakan dengan jelas perasaan orang di masa kini dengan pernyataannya: “Sembahlah dirimu. Hormati dan pujalah dirimu. Allah berdiam di dalam engkau sebagai Engkau.” Seorang pengamat Zaman Baru Theodore Roszak berkata tujuan kita adalah “membangunkan allah yang berdiam di dalam diri manusia.” Manusia yang telah jatuh sudah sewajarnya memiliki sifat memberontak terhadap Allah, dan lebih memilih pendekatan keselamatan seperti ini.
Saat seseorang bertanya kepada saya, “Mengapa kita harus membayar keberdosaan kita?” Saya biasanya menjawab: prinsip membayar keberdosaan seseorang ditemukan dalam setiap agama. Alkitab juga berkata, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Galatia 6:7). Orang Buddha dan Hindu menyebutnya hukum karma. Tapi dampak sebuah prinsip atau hukum bisa ditaklukkan oleh kekuatan yang lebih hebat. Contohnya hukum gravitasi. Menurut hukum ini, jika saya memegang sebuah buku dan melepaskannya, buku itu akan jatuh. Tapi saya bisa menggunakan kekuatan lain yang lebih hebat dan mengalahkan kekuatan yang berlaku dalam hukum gravitasi. Menangkap buku itu dan mengangkat tangan saya, bisa mengatasi kekuatan gravitasi dan membalikan arah buku tersebut. Saat saya melakukannya saya tidak menghancurkan hukum gravitasi. Saya hanya menggunakan suatu kekuatan untuk mengatasi dampaknya.
Allah menggunakan hal seperti ini terhadap kita. Dia menciptakan kita untuk hidup dengan Diri-Nya. Tapi kita memilih untuk hidup terpisah dari-Nya. Oleh sebab itu kita meletakkan beban rasa bersalah di atas diri sendiri. Mereka yang berusaha mengatasi hal ini dengan usaha sendiri akan menemukan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Sekuat apa pun usaha mereka, tidak bisa bisa menggerakkan timbangan hidup mereka ke arah ketidakberdosaan. Injil Kristen berkata, walaupun keadaan kita tidak berpengharapan, Pencipta kita tidak membuang kita. Dia mendatangkan hukum kasih. Dia membiarkan hukum itu menyelamatkan kita. Tapi Dia melakukannya tanpa melanggar hukum keadilan atau membatalkan tuntutannya. Apa yang Dia lakukan dalam kasih adalah untuk memuaskan tuntutan tersebut. Tuntutan keadilan tidak pernah diabaikan atau dibatalkan. Tuntutan tersebut dipenuhi dan satu-satunya cara Allah dapat melakukan hal ini adalah dengan membuat Anak-Nya yang tidak bersalah menanggung hukuman yang seharusnya kita tanggung.
Apa yang kita lihat di sini adalah kasih yang luar biasa. Dia melakukan hal yang tidak mungkin kita lakukan bagi diri sendiri. Kita menyebutnya anugerah, hasilnya adalah keselamatan. Saya mengenal banyak orang Hindu dan Buddha yang ketika sedang berusaha dalam keputusasaan mereka untuk menyelamatkan diri mereka, menemukan bahwa pesan keselamatan melalui anugerah Kristus ini merupakan kabar yang sangat baik.
Yesus adalah Hidup
Salah satu aspek penting dari supremasi Kristus adalah Yesus adalah hidup (Yoh. 14:6). Hidup kekal adalah hasil utama dari karya penyelamatan Kristus (Yohanes 3:16; 5:24). Yesus sering berkata bahwa hidup ini datang melalui hubungan yang kita miliki dengan Dia. Di dalam Yohanes 17:3 Dia berkata, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.”
Di dalam Yohanes 10:11 Yesus mengajarkan bahwa hubungan yang kita miliki dengan-Nya didasarkan pada komitmenNya bagi kita: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Selanjutnya Yesus merujuk pada orang-orang egois yang mengecewakan kita, orang yang tidak memiliki komitmen seperti itu. Mereka membiarkan kita disaat kita membutuhkan pertolongan bukannya memperhatikan kita seperti yang Yesus lakukan. Dia berkata, “sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu” (Yohanes 10:12-13). Yesus tahu bahwa dunia ini penuh dengan hubungan yang gagal. Faktanya, luka yang dalam yang disebabkan oleh orang yang mengecewakan kita telah memiliki tempat yang sangat kuat dalam kehidupan emosi kita. Fakta bahwa komitmen kasih-Nya untuk menyembuhkan kita dari luka yang kita terima dalam hidup adalah aspek penting dari keunikan Kristus.
Di dalam Yohanes 10:10 Yesus menggambarkan hidup yang Dia berikan dengan berkata, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10). Itu merupakan pemenuhan dari suatu hubungan kasih dengan Allah. Itu bukan kesenangan yang tanpa relasi atau “kesenangan” yang Dia berikan kepada kita melalui pengalaman tertentu. Semua cara hidup yang lain tidak menyamai kepenuhan hidup yang hanya dapat diberikan oleh Pencipta kita. Inilah yang ditemukan oleh Francis of Assisi (1182-1226). Dia adalah anak dari seorang pedagang yang kaya. Setelah kebangkitan rohaninya di umur dua puluhan, ayahnya yakin kalau dia sudah gila dan memutuskan hubungan. Francis menjalani gaya hidup miskin. Tapi dia tidak rindu terhadap kekayaan yang ditinggalkannya. Dia berkata, “Bagi manusia yang telah merasakan Allah, seluruh kemanisan dunia terasa pahit.” Yesus menjelaskan pemenuhan yang sama saat berkata, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35). Setelah kita datang kepada-Nya, ambisi yang sehat dan keresahan tidak hilang. Itu akan membuat hidup membosankan. Kenyataannya, kita memiliki sebuah kehausan baru bagi Allah, bagi kemuliaanNya dan bagi rencana-Nya. Tapi, kehausan dunia yang mengambil sukacita dan damai kita telah hilang selamanya.
Allah menciptakan kita untuk dapat memiliki hubungan dengan Dia. Tanpa hubungan ini kita sama saja dengan mati. Seperti kata Yohanes, “Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup” (1 Yoh. 5:12). Saat manusia yang diciptakan untuk hidup, tidak memiliki tujuan ini, mereka resah. St. Agustinus (354-430) berkata, “Engkau menciptakan kami untukMu, dan hati kami resah sampai kami berdiam bersama dengan Engkau.” Penemu dan ahli matematika terkenal dari Prancis Blaise Pascal (1623-62) menyebut keresahan ini sebagai tempat kosong yang hanya bisa diisi oleh Tuhan di setiap diri manusia. Karya Kristus di dalam kita melenyapkan keresahan tersebut dan memberi kita kelimpahan yang kita cari dalam hidup. Ini adalah aspek subjektif dari keunikan Kristus, dan dalam dunia yang sangat menekankan pengalaman pribadi, hal ini merupakan aspek yang paling menarik dari Kekristenan bagi mereka yang masih ada di luar iman kita.
Pekerjaan-Nya Membentuk Manusia Baru
Allah juga membentuk kita untuk memiliki hubungan satu sama lain, dan Injil memenuhi kebutuhan ini dengan cara yang unik, melalui apa yang kita sebut manusia baru. Salah satu dampak terbesar dari karya Kristus adalah membentuk manusia baru, yang Paulus sebut tubuh Kristus. Yesus berbicara mengenai manusia baru dalam Yohanes 10. Dia berkata, “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh. 10:16).
Sebagian orang menggunakan pernyataan ini untuk menegaskan adanya keselamatan bagi mereka yang berada di luar gereja. Menurut mereka karya Kristus adalah bagi semua manusia, baik yang di dalam maupun di luar gereja. Tetapi kecil kemungkinannya satu kitab yang sama yang berbicara begitu banyak mengenai pentingnya percaya pada Yesus untuk mendapatkan keselamatan tidak akan mengajarkan kemungkinan manusia diselamatkan tanpa kepercayaan tersebut. Kata kerja pisteuo, “percaya,” muncul 98 kali dalam Injil Yohanes. Di sini Yesus sebenarnya ingin berkata, “mereka juga akan mendengarkan suara-Ku.” Implikasinya adalah mereka akan menjawab panggilan Injil. Ketika Yesus mengatakan “kandang domba ini,” dia sedang menunjuk orang Yahudi. Sehingga “domba lain” adalah orang non-Yahudi. Yesus ingin mengatakan bahwa kematian-Nya akan membawa orang non-Yahudi masuk ke dalam kawanan. Tema ini juga muncul dalam Injil Yohanes (11:52; 12:20-21). Hal ini tersirat dalam pernyataan yang menegaskan Yesus sebagai Juruselamat seluruh dunia (Yohanes 1:29; 3:16-17). Hasil dari membawa domba ke dalam kawanan adalah penciptaan manusia baru “di dalam Kristus.” Paulus membandingkan manusia baru dan manusia lama dalam Roma 5:10-20 dan 1 Korintus 15:20-22. Bagian-bagian ini mengatakan, mereka yang ada di dalam Adam mengalami akibat dosa Adam, sedangkan mereka yang berada dalam Kristus mengalami akibat tindakan penyelamatan Yesus.
Yohanes 10:16 mengajarkan, kematian Kristus memungkinkan domba-domba lain masuk ke dalam kawanan domba Kristus. Tapi caranya adalah melalui gereja yang menjangkau keluar dan membawa mereka masuk. Yohanes 10:16 menjadi ayat yang dipakai berkaitan dengan misi. William Barclay, mengomentari ayat ini, “impian Kristus bergantung pada kita; kitalah yang menolong dia menjadikan dunia ini menjadi sekawanan dombaNya.” Maka penggambaran kematian Yesus dalam Yohanes 10:11-15 sangat tepat dengan puncaknya pada tantangan untuk bermisi dalam ayat 16. Teolog besar Skotlandia bernama James Denney (1856-1917) ketika berbicara dalam pertemuan misionaris menghabiskan waktunya membahas arti dari propisiasi, hal ini mengejutkan bagi semua yang hadir. Namun hal ini memberi dia latar belakang yang memang dibutuhkannya untuk menunjukkan tujuan utama dia pada bagian kesimpulan. Dia berkata bahwa jika propisiasi benar, maka membawa pesan Injil kepada dunia (misi) harus menjadi prioritas kita. Pada bagian akhir Yohanes 10:16, Yesus mengatakan hasil dari masuknya domba-domba lain ini: “mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Di sini kita memiliki pernyataan awal mengenai gereja universal yang Paulus ajarkan kemudian secara lebih detail. Dia menggunakan kiasan tubuh Kristus yang menunjukkan gereja dan melihat orang-orang yang berada “di dalam Kristus” melalui iman menjadi bagian di dalamnya. Yesus ingin mengatakan bahwa orang-orang non-Yahudi akan masuk, dan menjadi satu kawanan dengan orang-orang Yahudi. Jika orang-orang Yahudi yang mendengar bisa mengerti maksud perkataan Yesus ini, hal ini tetap merupakan suatu pikiran yang revolusioner bagi mereka. Mereka selalu menganggap bangsa mereka berbeda dan lebih tinggi dari bangsa lain karena mereka adalah umat pilihan Allah. “Hanya dengan menjadi warga penuh seorang non-Yahudi bisa masuk ke dalam kelompok agama Yahudi.” Yesus ingin mengatakan bahwa kematian-Nya membuat hal tersebut tidak diperlukan lagi. Aspek penting dari gambaran Alkitab tentang pekerjaan Kristus adalah penekanan Alkitab tentang bagaimana Salib dan Kebangkitan menghancurkan tembok pemisah di antara manusia. Ini adalah tema yang Gereja sering gagal beritakan dan lakukan, tetapi merupakan aspek yang unik yang Injil tawarkan bagi dunia yang telah tercabik-cabik oleh pertengkaran dan prasangka dalam masyarakat.
Kebangkitan sebagai Bukti
Kekristenan membuat klaim tentang keunikan dan kekhususan pendirinya tidak seperti yang dibuat agama mana pun. Bagaimana kita tahu klaim ini benar? Para rasul akan menjawab bahwa Kebangkitan-lah jawabannya. Pada kesimpulan pesannya keapda orang Athena, Paulus berkata, “Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati” (Kisah Para Rasul 17:31). Walaupun Yesus telah menjelaskan mengenai misiNya, para muridNya masih bingung akan kematianNya. Pada Minggu Paskah para wanita datang dan memberitahu mereka kabar Kebangkitan yang diberitahukan oleh malaikat Lukas 24:11 berkata, “Tetapi bagi mereka perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu.” Tapi ketika mereka tahu Dia memang bangkit, mereka tidak bisa berhenti. Mereka langsung berhadapan dengan orang-orang di Yerusalem yang sangat memusuhi mereka dan menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias (Kristus). Petrus menyatakan bahwa Kebangkitan Yesus menunjukkan bahwa “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis. 2:36). Maka Perjanjian Baru menegaskan bahwa Kebangkitan adalah pengesahan Allah akan supremasi Yesus.
Pencipta dunia telah menyediakan jawaban lengkap bagi situasi manusia. Jawabannya terutama unik, dan absolut. Oleh karena itu, kita memiliki keberanian untuk berbicara dalam zaman pluralistik ini bahwa Yesus yang digambarkan dalam Alkitab tidak hanya unik tapi juga memiliki supremasi. Dia yang harus kita beritakan dalam dunia. Seorang beragama Hindu pernah bertanya kepada Dr. E. Stanley Jones, “Apa tawaran Kekristenan yang tidak dimiliki agama kami?” Dia menjawab, “Yesus Kristus.”