Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia
Draf Buku Perspektif
R. Pierce Beaver
- R. Pierce Beaver adalah Profesor Emeritus di University of Chicago. Beliau ahli dalam sejarah misi di Amerika, dan selama lima belas tahun menjadi direktur pengembangan perpustakaan Penelitian Misionari di New York City. Beaver menulis, di antara buku-buku yang lain, All Loves Excelling, sebuah deskripsi tentang prakarsa kaum perempuan Amerika dalam penginjilan dunia.
Disadur dari Southwestern Journal of Theology, volume xII, Spring 1970, No. 2. Digunakan dengan ijin.
Lima belas abad aksi misionaris mendahului munculnya misi dunia Protestan. Artikel ini akan menyajikan sejarah singkat tentang strategi misi sebelum munculnya usaha kaum Protestan dan secara singkat menelusuri strategi Protestan. Sayangnya, karena keterbatasan ruang, kami benar-benar akan menghilangkan referensi untuk misi Katolik Roma modern.
Boniface
Kejadian pertama dari strategi misi yang berkembang dengan baik adalah yang dikerjakan oleh Boniface dalam misi Inggris ke benua Eropa di abad ke-8. Boniface berkhotbah kepada orang-orang kafir Jerman dalam bahasa yang begitu mirip dengan bahasa mereka sendiri sehingga mereka bisa memahaminya. Dia mengalahkan dewa-dewa mereka, menghancurkan kuil mereka, menebang pohon suci dan membangun gereja-gereja di daerah suci penyembah berhala. Dia membuat mereka bertobat, mendidik, dan menjadikan mereka beradab. Dia mendirikan biara-biara, yang tidak hanya memiliki program akademik, tetapi yang juga mengajarkan pertanian, penggembalaan, dan kesenian daerah. Ini memungkinkan terbentuknya masyarakat yang mapan, gereja yang mantap, dan pelestarian kekristenan yang baik. Boniface juga mendatangkan suster dari Inggris untuk mengangkat pegawai-pegawai lembaga ilmu secara akademis dan domestik. Ini adalah pertama kalinya, perempuan secara resmi dan terdaftar secara aktif dalam pekerjaan misi. Pendeta dan biarawan direkrut dari para petobat lokal. Boniface mengirimkan laporan dan permintaan kepada gereja “kembali pulang” di Inggris, dan mendiskusikan strategi dengan mereka juga. Para uskup Inggris, biksu, dan suster bergiliran mengirim uang dan kebutuhan-kebutuhan untuk Boniface sendiri. Mereka juga menopang misi dengan doa syafaat.
Sayangnya, misi pengutusan yang begitu sejati tidak ada lagi karena kerusakan yang didatangkan oleh penjajah Inggris. Misi di benua tersebut menjadi terlalu banyak ekspansi imperialnya. Para pemimpin politik dan gerejawi seperti raja-raja kaum Frank, penerus Jerman mereka, kaisar Bizantium dan misi Paus memanfaatkan misi untuk ambisi-ambisi pembangunan kerajaan mereka lebih lanjut. Akibatnya, raja-raja Skandinavia mencegah misionaris-misionaris masuk ke benua dan menginjili negara mereka dengan misionaris Inggris yang berdiri sendiri atau yang tidak memiliki hubungan politis.
Perang Salib
Rangkaian perang Eropa melawan Muslin, yang disebut Perang Salib, hampir tidak bisa dianggap sebagai bentuk sah dari misi. Sampai hari ini, Perang Salib telah membuat misi untuk M hampir mustahil, karena mereka meninggalkan warisan abadi tentang kebencian dunia M kepada dunia Kekristenan.
Namun bahkan sebelum Perang Salib berakhir, Fransiskus dari Assisi telah pergi di dalam kasih memberitakan kepada Sultan Mesir, dan telah menciptakan sebuah kekuatan misionaris yang berkhotbah di dalam kasih dan perdamaian. Ramon Lull, pemimpin besar kaum Fransiskus, meletakkan jabatannya sebagai petinggi yang mulia di pengadilan Aragon dan mengabdikan hidupnya untuk menjangkau M sebagai “Orang dimabuk cinta.”
Dia akan meyakinkan dan membuat orang bertobat dengan alasan, menggunakan instrumen perdebatan. Untuk tujuan ini dia menulis suratnya Ars Magna, yang dimaksudkan untuk menjawab dengan meyakinkan, pertanyaan atau keberatan apa saja yang diajukan oleh M atau orang kafir. Dia merencanakan suatu jenis mesin logika yang ke dalamnya berbagai macam faktor dapat dimasukkan dan jawaban yang benar akan keluar. Selama beberapa dekade sebelum kematiannya, Lull tidak henti-hentinya memohon kepada Paus dan raja untuk mendirikan perguruan tinggi untuk mengajar bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya dan untuk pelatihan misionaris. Dia mendesak mereka untuk mempertimbangkan banyak ide dan proposal untuk mengirim misionaris ke luar negeri.
Ekspansi Kolonial
Selama abad 16 hingga 18, Kekristenan menjadi agama seluruh dunia bersamaan dengan perluasan kerajaan Portugis, Spanyol, dan Perancis. Ketika Paus membagi negeri non-Kristen (baik yang sudah ditemukan maupun yang belum) antara mahkota Portugal dan Spanyol, dia memberikan kepada raja, kewajiban untuk menginjili penduduk di negeri-negeri itu, untuk mendirikan gereja dan memeliharanya.
Misi dengan demikian membangun fungsi pemerintahan. Portugis membangun kerajaan perdagangan, dan kecuali Brazil, memiliki hanya wilayah kecil di bawah kekuasaan langsung. Mereka menekan agama-agama etnis, mengusir kelas atas yang menolak dan menciptakan komunitas Kristen yang terdiri dari campuran keturunan dan para petobat baru dari strata yang lebih rendah di masyarakat.
Spanyol, sebaliknya, berusaha untuk memindahkan kekristenan dan peradaban, keduanya sesuai dengan model Spanyol. Eksploitasi kejam membunuh orang-orang Indian Karibia dan mendorong misionaris-misionaris seperti Bartholome de las Casas untuk berjuang dengan gagah berani demi hak-hak orang-orang Indian yang tersisa. Sejak itu, para misionaris memainkan peranan yang penting dalam melindungi penduduk pribumi dari eksploitasi oleh orang kulit putih dan pemerintah kolonial. Melalui usaha yang besar, para misionaris menghapuskan perbudakan dan pembaptisan yang dipaksakan, menjadikan mereka orang-orang yang memberikan peradaban dan juga para pelindung orang-orang Indian.
Sebuah misi akan diadakan di sebuah perbatasan dengan pangkalan pusat di sekitar kota yang dihimpun dan orang-orang Indian yang didatangkan menjadi penduduk tetap. Biasanya ada garnisun tentara yang kecil untuk melindungi misionaris dan orang-orang Kristen India. Pangkalan-pangkalan satelit dan kota-kota kecil terhubung dengan pangkalan pusat. Orang-orang Indian diajar dan dibimbing oleh para imam dan dalam praktek-praktek keagamaan gereja. Mereka secara aktif mendaftar untuk melayani sebagai pembantu pendeta pada upacara misa, penyanyi, dan pemusik. Festival rakyat bernuansa Kristen, dan perayaan serta puasa Kristen diperkenalkan. Pegawai sipil Indian melaksanakan peran kepemimpinan yang cukup luas di bawah pengawasan ketat para misionaris.Pertanian dan peternakan dikembangkan dan orang-orang Indian diajarkan tentang semua hal berkenaan dengan penggembalaan dan pertanian.
Jadi orang-orang Indian diasuh, dijadikan beradab dan dikristenkan – tidak dibunuh atau diungsikan sebagaimana nantinya terjadi di Amerika Serikat. Sayangnya, ketika pemerintah memutuskan bahwa misi telah menjadikan orang-orang Indian beradab, misi “disekulerkan.” Pemerintah menggantikan misionaris dengan pendeta keuskupan, biasanya dengan kualitas rendah dan tidak memadai jumlahnya. Pegawai pemerintah sekuler datang sebagai penguasa di tempat para misionaris. Karena kurangnya kasih para misionaris kepada orang-orang, mereka membagi-bagikan tanah di antara penghuni tetap Spanyol. Orang-orang Indian secara berangsur-angsur diturunkan ke tingkat buruh harian yang tidak punya tanah.
Kebijakan Perancis di Kanada adalah kebalikan dari kebijakan Spanyol. Hanya sebuah koloni kecil ditetapkan untuk menjadi dasar bagi perdagangan dan pertahanan melawan Inggris. Perancis menginginkan bulu binatang dan produk lainnya dari hutan dan, karena itu, peradaban Indian terganggu sesedikit mungkin. Para misionaris harus mengembangkan strategi yang konsisten dengan kebijakan ini. Oleh karena itu, mereka tinggal bersama orang-orang Indian di desa-desa mereka, sebisa mungkin beradaptasi dengan kondisinya. Mereka berkhotbah, mengajar, membaptis orang, melakukan ritual gereja dan memperbolehkan para petobat baru tetap menjadi orang-orang Indian. Beberapa kota yang permanen dengan gereja-gereja dan sekolah-sekolah didirikan di perbatasan-perbatasan pemukiman Perancis, namun sebagian besar penduduknya tidak tinggal di sana secara permanen.
Orang Perancis juga terlibat di sisi lain dunia dalam apa yang kemudian menjadi Perancis Indo-China (sekarang Vietnam), dimana daerah itu ada di bawah kekuasaan Perancis sesudahnya. Alexander de Rhodes merancang sebuah strategi penginjilan baru yang radikal. Hal ini dibutuhkan karena para misionaris Perancis dianiaya dan diusir dari daerah itu untuk waktu yang lama. Penginjilan hanya bisa dilakukan dengan bekerja melalui agen-agen pribumi.Rhodes menciptakan sebuah tatanan penginjil awan pribumi yang hidup di bawah kekuasaan perintah agamawi. Mereka sukses besar, memenangkan ribuan petobat baru. Didorong oleh pengalaman ini, Rhodes dan rekan-rekannya mendirikan Masyarakat Misi Luar Negeri di Paris. Mereka diabdikan untuk kebijakan merekrut dan melatih pendeta keuskupan pribumi yang akan menjadi kepala agen-agen dalam menginjili negeri dan memberikan bimbingan pastoral gereja-gereja. Kebijakan ini berhasil dengan luar biasa.
Ahli Strategi Misi Abad ke-17
Para ahli teori misi modern muncul di abad 17 seiring dengan ekspansi iman yang hebat. Mereka termasuk Jose de Acosta, Brancati, dan Thomas a Jesu yang menulis buku pedoman tentang prinsip dan praktek misionaris, menjabarkan kualifikasi misionaris, dan mengajar mereka tentang bagaimana berkerja bersama orang-orang. Di tahun 1622, sebuah organisasi dibentuk di Roma yang disebut Jemaat Suci untuk Propaganda Iman. Ini untuk memberikan arahan pusat untuk misi-misi Katolik Roma. Juga mendirikan lembaga-lembaga pelatihan misionaris.
Para Jesuit adalah inovator-inovator hebat dan berani pada periode ini. Mereka di antara banyak negera, pergi ke Timur melalui Portugis menentang perbatasan. Mereka adalah pelopor modern di dalam hal kaum pribumi – praktek akomodatif terhadap budaya setempat, mengambil petunjuk mereka dari bentuk-bentuk budaya dan adat istiadat setempat.
Usaha pertama adalah di Jepang dimana para misionaris tinggal di rumah-rumah bergaya Jepang, mengenakan pakaian Jepang dan mengikuti sebagian besar adat istiadat dan etiket sosial setempat. Bagaimana pun, mereka tidak memanfaatkan penggunaan istilah-istilah dan konsep Shinto dan Budha, bentuk-bentuk atau ritualnya dalam menyampaikan Injil dan mendirikan gereja. Mereka memanfaatkan pemakaian bahasa Jepang dalam membuat literatur tertulis Kristen tentang pers misioleh para petobat Jepang. Diaken dan guru agama Jepang menanggung beban paling berat dalam penginjilan dan pengajaran. Beberapa diasuh menjadi pendeta. Sebuah komunitas Kristen yang besar segera muncul. Ketika Shogun, takut akan agresi asing, menutup Jepang dari semua pihak luar dan menganiaya orang-orang Kristen di abad ke-17, ribuan yang meninggal sebagai martir. Kekristenan bergerak di bawah tanah dan bertahan sampai Jepang membuka dirinya kembali terhadap dunia barat dua abad kemudian.
Eksperimen kedua di Madurai di India Selatan berjalan lebih jauh. Robert de Nobili percaya bahwa Brahmana harus dimenangkan jika Kekristenan mau berhasil di India. Akhirnya, dia menjadi seorang Brahmana Kristen. Dia berpakaian seperti seorang guru atau guru agama, memperhatikan hukum-hukum kasta dan adat istiadat, dan belajar bahasa Sansekerta. De Nobili mengambil mata pelajaran filosofi Hindu dan menyajikan doktrin Kristen sebanyak mungkin dalam istilah-istilah Hindu. Dia adalah salah satu dari sangat sedikit penginjil yang memenangkan banyak petobat Brahmana.
Usaha yang paling terkenal pada akomodasi budaya adalah di Tiongkok, dimana strateginya disusun oleh Matteo Ricci dan dikembangkan oleh penerusnya, Schall dan Verbiest. Sama seperti di Jepang, para misionaris mengadopsi cara hidup dan dasar peradaban Tionghoa. Namun, mereka bertindak lebih jauh dan secara bertahap memperkenalkan prinsip-prinsip dan doktrin Kristen dengan menggunakan konsep Konfusianisme. Mereka mengijinkan para petobat untuk melakukan ritual-ritual leluhur dan negara, menganggap hal-hal ini dari sisi sosial dan sipil daripada karakter religius.
Para misionaris mendapatkan pengaruh yang luar biasa selaku ahli matematika, astronom, pembuat peta dan ahli dalam berbagai ilmu. Mereka memperkenalkan pendidikan Barat kepada orang-orang Tiongkok, berteman dengan orang-orang yang berpengaruh dan memperoleh kesempatan secara pribadi untuk menyaksikan iman. Mereka melayani kaisar dalam banyak kapasitas. Semua ini dilakukan untuk satu tujuan, yaitu untuk membuka jalan bagi Injil. Strategi ini sangat berhasil, dan sebuah komunitas Kristen yang besar berkembang, termasuk orang-orang yang berpengaruh di kedudukan yang tinggi.
Misionaris lainnya, bagaimana pun, tidak bisa menghargai sesuatu yang tidak berbau Eropa. Mereka benar-benar memadukan istilah dan praktek Katolik Roma tradisional. Termotivasi oleh kecemburuan nasionalis dan partai, mereka menyerang kaum Jesuit dan mengajukan tuduhan terhadap mereka di Roma. Akhirnya Roma memerintahkan untuk menentang prinsip-prinsip Jesuit, melarang praktek mereka dan mengharuskan semua misionaris pergi ke Timur bersumpah untuk mematuhi putusan itu. Orang-orang Tionghoa Kristen dilarang untuk melakukan ritual keluarga dan negara. Sejak itu menjadi mustahil bagi orang Tionghoa Kristen untuk menjadi benar-benar Tionghoa dan Kristen pada saat yang sama.
Kekristenan muncul untuk menyerang akar kesalehan anak, yang merupakan dasar yang sama dengan masyarakat Tionghoa. Dua abad kemudian, sumpah itu dihapuskan dan ritual yang diganti pun diijinkan. Kaum Jesuit kalah perang tetapi akhirnya memenangkan perang itu. Saat ini, hampir semua misionaris dari semua gereja mengakui perlunya akomodasi dan hal yang berhubungan dengan pribumi.
Orang-Orang Puritan di New England:
Misi ke Indian Amerika Protestan mulai berpartisipasi dalam misi dunia di awal abad ke-17 dengan karya tentang penginjilan dari pendeta Perusahaan Hindia Belanda dan misi New England ke orang-orang Indian Amerika. Misi adalah sebuah fungsi dari perusahaan komersil, namun banyak dari pendetanya yang adalah para misionaris sejati. Mereka memiliki pengaruh yang kecil pada strategi misi berikutnya, namun misi Puritan ke orang-orang Indian Amerika-lah yang memberikan inspirasi dan contoh bagi pekerjaan misi di masa yang akan datang. Tujuan para misionaris adalah untuk menyampaikan Injil dengan begitu efektif sehingga orang-orang Indian bisa bertobat, secara pribadi menerima keselamatan dan dikumpulkan ke dalam gereja-gereja dimana mereka dapat dimuridkan.
Tujuannya adalah untuk membuat orang-orang Indian menjadi orang Kristen dengan jenis dan karakter yang sama seperti anggota Puritan Inggris dari gereja jemaat. Ini meliputi menjadikan Indian beradab menurut model Inggris.
Penginjilan adalah hal pertama di dalam strategi. Berkhotbah adalah metode utama, dilengkapi dengan pengajaran. Sebagian besar misionaris mengikuti John Eliot yang mulai berkhotbah di depan publik, meskipun Thomas Mayhew, Jr., yang sangat sukses di Martha’s Vineyard, mulai dengan pendekatan personil, individual, dan lambat. Para misionaris menyampaikan khotbah-khotbah yang sarat doktrin menekankan pada murka Allah dan penderitaan neraka, sama seperti khotbah-khotbah itu disampaikan kepada jemaat Inggris. Tetapi Davis Brainerd, yang menyukai orang-orang Moravia mengkhotbahkan kasih Allah, bukan murka-Nya, sangatlah efektif dalam menggerakkan orang-orang untuk bertobat.
Hal kedua dalam strategi itu adalah untuk mengumpulkan para petobat ke dalam gereja. Namun, orang-orang Kristen yang baru pertama-tama dimasukkan melalui tahun-tahun masa percobaan yang lama sebelum gereja-gereja pertama diorganisasi. Sebaliknya, ketika fase kedua misi Indian dibuka di tahun 1730-an, penundaan ini tidak lagi diperlukan dan gereja-gereja dengan cepat dikumpulkan dan diorganisasi. Para petobat baru diajar dan didisiplin di dalam iman, baik sebelum maupun sesudah organisasi gereja-gereja.
Penekanan stragtegis ketiga adalah untuk membangun kota-kota Kristen. John Eliot dan rekan-rekannya percaya bahwa pemisahan dan pengasingan diperlukan untuk pertumbuhan rohani para petobat. Para petobat harus dikeluarkan dari pengaruh negatif dari sanak keluarga kafir dan orang-orang kulit putih yang buruk. Para misionaris mendirikan kota-kota Kristen murni “Indian Berdoa” agar para petobat baru dapat hidup bersama di bawah disiplin yang ketat dan pemeliharaan yang baik dari para misionaris dan pendeta serta guru Indian. Ini akan menjamin apa yang disebut oleh Cotton Mather sebagai “cara hidup yang lebih layak dan lebih Inggris.”
Kristenisasi dan menjadikan orang-orang percaya Indian beradab dilakukan secara bersamaan dan tidak terbedakan. Eliot menjadikan kota-kotanya di bawah bentuk pemerintahan yang berdasarkan Alkitab dari Keluaran 18, namun Pengadilan Umum Massachusetts, yang memberikan tanah dan membangun gereja dan sekolah, menunjuk komisaris-komisaris Inggris menguasai kota-kota itu di tahun 1658. Di dalam kota-kota itu, orang-orang Indian hidup bersama di bawah kovenan antara mereka dan Tuhan. Kehidupan pribadi maupun komunitas diatur oleh hukum-hukum dari Alkitab.
Sebagian besar kota-kota Indian Berdoa tidak bertahan dari kehancuran akibat Perang Raja Philip di tahun 1674. Namun, strategi dari kota Kristen yang khusus itu diikuti lagi ketika John Sergeant mendirikan misi Stockbridge di tahun 1734. Stockbridge bukanlah sebuah tempat yang tertutup seperti kota-kota sebelumnya. Ada gerakan yang terus-menerus antara kota dan hutan, bahkan yang jauh jaraknya. Karena itu, orang-orang Kristen Stockbridge bisa menjadi agen penginjilan di dalam hubungan alamiah mereka.
Apapun yang mungkin telah dicapai dalam hal pengembangan rohani di kota-kota Kristen awal, penduduknya tidak memiliki pengaruh menginjili pada orang-orang Indian lainnya, karena mereka terputus dari kontak apapun. Sepanjang abad 19 dan awal abad 20, para misionaris untuk orang-orang Afrika primitif dan pulau-pulau terus tertawan dengan gagasan tentang menjaga kemurnian iman dan tingkah laku para petobat dengan memisahkan mereka ke dalam desa-desa Kristen.
Efek yang lazim adalah mengasingkan orang-orang Kristen dari masyarakat mereka, dan menciptakan “orang bastar” sejenis masyarakat yang bukan pribumi dan bukan Eropa. Ini mencegah dampak penginjilan apapun pada orang-orang lain. Orang-orang yang terpisah tidak bisa menyebarkan iman pribadi.
IndianCatechism oleh John Eliot adalah buku pertama yang pernah diterbitkan dalam bahasa Indian Amerika. Baik bahasa lokal maupun bahasa Inggris keduanya digunakan. Bahasa Inggris akan memungkinkan orang Indian untuk beradaptasi dengan masyarakat kulit putih dengan lebih baik, namun bahasanya sendiri lebih efektif dalam mengomunikasikan kebenaran Kristen. Eliot membuat buku-buku dalam dua bahasa. Membaca, menulis, dan aritmatika yang sederhana diajarkan bersamaan dengan pemahaman Alkitab dan perintah agama. Pertanian dan kerajinan domestik juga diajarkan agar cara hidup yang mapan dan beradab menjadi mungkin.
Di abad kedua dari misi itu, pertimbangan-pertimbangan strategis membuat John Sergeant memperkenalkan asrama sekolah, sehingga para pemuda bisa sepenuhnya dipisahkan dari kehidupan yang lama dan dibesarkan di dalam hidup yang baru. Lembaga ini, juga, akan menjadi sumber daya yang strategis di misi abad ke-19.
Bagi kepercayaan kaum Puritan New England, mereka tidak pernah meragukan perubahan kuasa Injil atau kemampuan potensial orang-orang Indian. Mereka mengharapkan bahwa beberapa dari mereka setidaknya dapat mencapai standar yang sama seperti orang-orang Inggris. Beberapa pemuda yang memberikan harapan, dikirim ke Boston Latin Grammar School, dan beberapa dikirim ke Indian College di Harvard College.
Ibadah, pelestarian dan pendidikan rohani semua menuntut bahwa literatur dalam bahasa lokal mencakup lingkup topik yang luas. Eliot menghasilkan Alkitab Massachusetts dan sebuah perpusatakaan literatur lainnya, yang ditambahkan beberapa oleh rekan-rekannya.
Yang paling mendasar bagi seluruh strategi misi New England adalah merekrut dan melatih pendeta-pendeta dan guru-guru pribumi. Baik para misionaris maupun para pendukung mereka keduanya menyadari bahwa hanya agen-agen pribumi yang dapat menginjili dan memberikan pelayanan pastoral dengan efektif kepada orang-orang mereka sendiri.
Sayangnya, kota-kota orang Indian lama-kelamaan menurun di bawah tekanan orang kulit putih yang terus-menerus dan pasokan pendeta serta guru juga menyusut sampai habis. Mungkin ada dua dampak yang abadi dari misi Indian di abad 17 dan 18. Pertama, kehidupan Eliot dan Brainerd menginspirasi banyak orang untuk menjadi misionaris di kemudian hari. Kedua, mereka diberkahi perusahaan luar negeri Protestan yang besar dengan rencana strategisnya: penginjilan melalui khotbah, perintisan gereja, pendidikan yang bertujuan untuk pemeliharaan orang-orang Kristen dan sosialisasi istilah-istilah Eropa, penerjemahan Alkitab, produksi literatur, penggunaan bahasa lokal dan perekrutan serta pelatihan pendeta-pendeta dan guru-guru pribumi.
Misi Danish-Halle
Misi Amerika untuk Indian pribumi telah didukung oleh masyarakat misionaris yang diorganisasi di Inggris dan Skotlandia, namun para misionaris belum dikirim keluar dari Inggris. Misi pengutusan pertama dari Eropa adalah Misi Danish-Halle. Dimulai pada tahun 1705, Raja Denmark mengutus misionaris Lutheran Jerman ke koloni Tranquebar-nya di pantai tenggara India. Pemimpim pelopornya, Bartholomew Ziegenbalg, mengembangkan sebuah strategi yang nantinya diwariskan ke generasi misionaris berikutnya. Dalam beberapa hal dia jauh mendahului zamannya. Dia menekankan ibadah, khotbah, pendidikan, pekerjaan penerjemahan dan produksi literatur dalam bahasa lokal. Dia merintis penggunaan lirik Tamil dalam ibadah.
Dia juga membuat jalan dalam studi filosofi dan agama Hindu, mengakui pentingnya pengetahuan demikian untuk penginjilan dan pertumbuhan gereja. Misi ini juga meliputi pekerjaan kesehatan di dalam programnya. Sayangnya, pihak berwenang di Jerman menentang strategi-stragtegi dan metode-metode ini. Yang paling terkenal dari misionaris Halle setelah Ziegenbalg adalah Christian Frederick Schwartz, yang melayani di bagian yang dikuasai Inggris di India Selatan.
Dia memberikan pengaruh luar biasa kepada semua agama Indian dan beberapa negara Eropa, baik tentara maupun warga sipil. Strateginya unik dan tidak direncanakan. Meskipun masih seorang Eropa dari semua penampilannya, Schwartz benar-benar menjadi seorang guru atau guru rohani, dicintai dan dipercayai oleh semua orang. Orang-orang dari semua agama dan kasta berkumpul di sekitarnya sebagai murid-murid tidak peduli status mereka. Pelayanannya luar biasa dalam hal adaptasi dan akomodasi terhadap budaya.
Misi Moravia
Strategi paling khas yang berkembang di abad 18 adalah strategi Moravian Church, berkembang di bawah Count Zinzendorf dan Uskup Spangenberg. Para misionaris Moravia, mulai di tahun 1734, yang dengan sengaja dikirim ke orang-orang yang paling dibenci dan diabaikan. Para misionaris ini haruslah mandiri. Penekanan itu menyebabkan pengadaan industri-industri dan bisnis-bisnis, yang bukan saja mendukung pekerjaan mereka, tetapi juga menjadikan para misionaris ke dalam hubungan yang dekat dengan masyarakat. Bagaimana pun, kemandirian tidak bisa diperoleh di antara orang-orang Indian Amerika.
Sebagai hasilnya, pemukiman komunal (misalnya, Betlehem di Pennsylvania dan Salem di Carolina Utara) didirikan dengan beraneka kerajinan dan industri yang hasil keuntungannya untuk mendukung misi. Para misionaris Moravia diminta untuk tidak menerapkan “tolok ukur Herrnhut” (yaitu standar yang ditetapkan di markas misi Moravia di Jerman) kepada orang-orang lain. Mereka harus waspada dalam mengenali sifat-sifat, karakteristik, dan kekuatan berbeda yang diberikan Allah kepada orang-orang itu. Selanjutnya, mereka harus melihat diri mereka sebagai asisten Roh Kudus.
Mereka harus menjadi pembawa berita, penginjil, pengkhotbah yang tidak boleh menekankan doktrin teologis yang berat melainkan menceritakan kisah Injil yang sederhana. Dalam waktu Allah, Roh Kudus akan membawa para petobat ke dalam gereja dalam jumlah yang besar. Sementara itu para misionaris harus mengumpulkan buah-buah pertama. Jika tidak ada respons, mereka harus pergi ke tempat lain. Sebenarnya, para misionaris pergi hanya jika dianiaya atau diusir. Mereka sangat sabar dan tidak mudah menyerah.
Abad Besar Misi Protestan
Dari semua permulaan yang sebelumnya, muncullah perusahaan misionaris luar negeri Protestan yang besar di abad 19. Pertama di Inggris ketika William Carey mendirikan Baptist Missionary Society di tahun 1792. Organisasi kalangan misi telah mulai di Amerika di tahun 1787; sejumlah masyarakat terbentuk, semua memiliki sasaran menjangkau seluruh dunia. Namun, pemukiman dan perbatasan Indian menyerap semua sumber daya mereka. Akhirnya, sebuah gerakan mahasiswa di tahun 1810 memecah kebuntuan dan meluncurkan misi luar negeri melalui pembentukan Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Perbatasan. Triennial Convention of the Baptist Denomination for Foreign Missions yang berikutnya diselenggarakan pada tahun 1814 diikuti oleh United Foreign Missionary Society di tahun 1816.
Masyarakat dan yayasan baru memulai pekerjaan dengan perkiraan strategis dan metode yang diwarisi dari misi Indian Amerika dan MisiDanish-Halle. Selama bertahun-tahun, pemimpin-pemimpin di rumahmengira bahwa mereka tahu lebih baik bagaimana misi seharusnya dilakukan dan memberikan petunjuk terperinci kepada setiap misionaris ketika dia berlayar. Setelah setengah abad atau lebih, mereka menemukan bahwa para misionaris yang berpengalaman di lapangan adalah misionaris yang terbaik untuk merumuskan strategi dan kebijakan, yang kemudian mungkin disahkan oleh yayasan asalnya.
Bahkan di negara-negara dengan budaya yang tinggi, seperti India dan Tiongkok, para misionaris Eropa menekankan sasaran “peradaban” sebanyak rekan-rekan mereka di daerah-daerah primitif karena mereka menganggap budaya lokal itu tidak bermoral dan bersifat takhayul – sebuah penghalang bagi Kristenisasi. Selama dekade-dekade awal tidak ada yang pernah mempertanyakan legitimasi fungsi menjadikan beradab dari misi. Para misionaris hanya memperdebatkan yang mana yang menjadi prioritas – Kristenisasi atau Peradaban? Beberapa percaya bahwa tahap peradaban tertentu pertama-tama dibutuhkan untuk memampukan orang-orang untuk memahami dan menerima iman. Beberapa yang lain percaya bahwa seseorang harus mulai dengan Kristenisasi karena Injil memiliki dampak menjadikan masyarakat beradab.Sebagian besar misionaris percaya bahwa keduanya saling berkaitan dan harus ditekankan secara setara dan bersamaan.
India segera menerima perhatian terbesar dari yayasan dan kalangan misionaris, dan strategi serta taktik yang berkembang di sana ditiru di daerah-daerah lain. Pembaptis “Trio Serampore” yaitu Carey, Marshman dan Ward sangat berpengaruh di awal periode itu. Meskipun Carey mengupayakan pertobatan pribadi, dia ingin mendorong pertumbuhan gereja yang akan independen, ditopang dengan baik oleh orang-orang awam yang terpelajar dan membaca Alkitab, dan dikelola serta digembalakan oleh para pelayan pribumi yang terdidik.
Carey tidak puas dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar, tetapi juga mendirikan perguruan tinggi. Raja Denmark (Serampore adalah sebuah koloni Denmark) memberinya piagam perguruan tinggi yang bahkan mengijinkan mereka untuk memberikan gelar teologi. Ada sekolah-sekolah di Serampore untuk orang-orang India dan untuk anak-anak asing. Program besar penerjemahan dan pencetakan Alkitab mereka berkisar dari bahasa-bahasa Indian lokal sampai karya-karya dalam bahasa Tionghoa. Ini menjadikan prioritas tinggi terhadap pekerjaan serupa di antara semua misi Protestan.
Trio Serampore juga menunjukkan bahwa penelitian adalah sangat penting dalam menentukan strategi dan pelaksanaan misi. Mereka membuat materi-materi linguistik yang dibutuhkan oleh semua misionaris dan menjadi yang pertama dalam mempelajari Hindu. Trio yang terkenal ini juga bekerja untuk perubahan sosial melalui dampak dari Injil. Mereka menjadi kekuatan besar untuk reformasi sosial, mengarahkan pemeluk Hindu untuk mencerahkan pandangan tentang praktek-praktek yang salah dan menekan pemerintah kolonial untuk menghapuskan suttee (pembakaran janda), kuil prostitusi dan adat istiadat yang tidak manusiawi lainnya. Carey juga memperkenalkan jurnalisme modern, penerbitan koran dan majalah baik dalam bahasa Bengali maupun Inggris. Dia mendorong kebangkitan literatur Bengali. Pekerjaan misi yang berbasis di Serampore ada dalam lingkup yang sangat komprehensif.
Scotsman Alexander Duff juga bekerja di India selama periode ini. Seperti Robert de Nobili, dia percaya bahwa orang-orang India akan dimenangkan bagi Kristus hanya jika kasta Brahmana yang pertama-tama dijangkau. Dia berusaha untuk memenangkan para pemuda Brahmana melalui sebuah program pendidikan yang lebih tinggi dalam bahasa Inggris. Dia sangat berhasil namun usahanya mendatangkan penekanan luar biasa pada bahasa Inggris di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi. Hal-hal ini menghasilkan sedikit petobat, namun membantu kesejahteraan gereja-gereja.
Sekolah-sekolah juga menghasilkan staf bertutur bahasa Inggris untuk layanan sipil dan bisnis komersial, yang menyenangkan pendirian kolonial. Namun, lembaga-lembaga pendidikan tersebut segera mengeringkan banyak bagian dari sumber daya misi. Pada saat yang sama, tanpa ada rencana strategis, pangkalan misi pusat muncul dimana para petobat berkerumun dalam kemandirian misionaris secara finansial dan sosial.
Kecuali seorang petobat datang kepada kristus bersama seluruh kelompok sosialnya, dia akan diusir dari keluarganya dan akan kehilangan pekerjaannya. Untuk membuat para petobat demikian tetap bertahan hidup, para misionaris akan memberi mereka pekerjaan sebagai pelayan, guru, dan penginjil. Gereja menjadi terlalu dipekerjakan, dengan para anggota yang dibayar untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai sukarelawan. Praktek buruk ini menyebar kepada misi-misi di daerah-daerah lain. Di dalam sebuah pangkalan misi dengan gereja, sekolah, rumah sakit, dan seringkali percetakan pusat, seorang misionaris adalah pendeta dan pemimpin komunitas itu. Sistem tersebut memiliki tempat yang sedikit untuk pendeta pribumi, kebalikan dengan apa yang dimaksudkan oleh William Carey.Hanya ada khotbah, tidak ada gereja yang dikelola, di desa-desa sejauh lima puluh mil dan lebih di daerah-daerah pedalaman.
Hal ini berubah di tahun 1854-55, ketika Rufus Anderson melanjutkan perutusan ke India dan Srilanka. Dia membuat misionaris yayasan Amerika membubarkan pangkalan pusat besar, untuk membentuk gereja-gereja desa dan untuk menahbiskan pendeta-pendeta pribumi. Dia menetapkan bahwa pendidikan dalam bahasa lokal harus menjadi aturan umum dan pendidikan dalam bahasa Inggris adalah pengecualian.
Ahli Misi Abad ke-19.
Kedua ahli teori dan strategi misi terbesar di abad ke-19 adalah juga pejabat eksekutif agen-agen misi terbesar. Henry Venn adalah sekretaris umum dari Church Missionary Society di London. Rufus Anderson adalah sekretaris luar negeri dari American Board of Commissioners for Foreign Missions. Strategi misi Anderson mendominasi pekerjaan misi Amerika selama lebih dari satu abad, seperti halnya strategi Venn di Inggris.
Kedua laki-laki itu mendatangkan secara terpisah prinsip-prinsip dasar yang sama secara praktis dan di tahun-tahun berikutnya saling memberikan pengaruh. Bersama-sama mereka merumuskan formula “tiga-sendiri” yang terkenal, yang menjadi tujuan strategis misi Protestan yang diakui dari pertengahan abad 19 sampai Perang Dunia II. Misi tujuan tiga-sendiri adalah untuk mendirikan dan mengembangkan gereja-gereja, yang akan mengatur-sendiri, mendukung-sendiri dan menyebarkan- sendiri.
Anderson adalah seorang Kongregasionalis dan Venn adalah seorang Anglikan Episcopal, namun keduanya ingin membangun gereja regional dari bawah ke atas. Venn ingin melihat seorang uskup yang hanya ditahbiskan ketika gereja regional telah mencapai sebuah tahap dimana mereka telah memiliki pendeta pribumi yang memadai dan memiliki kemampuan untuk mendukung gereja mereka sendiri.Anderson memprotes penekanan besar pada “peradaban” dan usaha untuk mengubah masyarakat dalam semalam. Dia memiliki pandangan bahwa perubahan demikian merupakan hasil perlahan-lahan dari ragi Injil dalam kehidupan sebuah bangsa. Dia mendasarkan strateginya pada Rasul Paulus yang tidak berfokus pada perubahan sosial.
Menurut Anderson, tugas misionaris adalah untuk memberitakan Injil dan menghimpun para petobat ke dalam gereja. Dia selalu harus menjadi penginjil dan tidak pernah menjadi seorang pendeta atau penguasa. Gereja harus diorganisir seketika itu juga karena orang-orang yang menunjukkan pertobatan yang sejati tanpa menunggu mereka sampai mencapai standar yang diharapkan oleh anggota gereja dari masyarakat yang dikristenkan di dunia Barat. Gereja-gereja ini harus dipimpin oleh pendeta-pendeta pribumi dan harus mengembangkan struktur pemerintahan regional dan lokal mereka sendiri.
Para misionaris adalah penasihat, pembimbing rohani untuk para pendeta dan orang-orang. Baik Anderson dan Venn keduanya mengajarkan bahwa ketika gereja-gereja berfungsi baik, para misionaris harus bergerak ke “daerah-daerah luar” dimana mereka bisa memulai proses penginjilan sekali lagi. Inti dari pendirian gereja adalah supaya gereja-gereja itu terlibat secara spontan dalam penginjilan lokal dan pengutusan misionaris ke orang-orang lain. Misi akan melahirkan misi. Dalam pandangan Anderson, pendidikan dalam bahasa orang-orang adalah hanya untuk tujuan melayani gereja, meningkatkan kualitas orang awan dan melatih para pelayan dengan memadai. Segala bentuk pekerjaan misi haruslah semata-mata untuk penginjilan dan mendirikan gereja.
Misi-misi Inggris menolak pandangan Anderson tentang pendidikan bahasa lokal. Misi-misi Amerika mengadopsi strateginya dan secara teori berpegang pada sistemnya selama lebih dari satu abad. Namun, setelah masa Anderson, mereka menekankan pendidikan menengah dan lebih tinggi dalam bahasa Inggris sampai jumlah yang lebih besar. Ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa sosial Darwinisme telah mengubah Amerika kepada doktrin kemajuan yang tidak terelakkan. Hal ini membuat penggantian eskatologi lama (doktrin Zaman Akhir) dengan gagasan bahwa Kerajaan Allah sedang datang melalui pengaruh lembaga-lembaga Kristen seperti sekolah-sekolah. Juga di akhir abad ke-19, sasaran strategis besar kedua telah ditambahkan ke formula tiga-sendiri, yaitu ragi dan transformasi masyarakat melalui dampak dari prinsip-prinsip Kristen dan semangat pelayanan Kristen. Sekolah tinggi dan perguruan tinggi sangat penting untuk tujuan ini.
John L. Nevius, misionaris Presbiterian di Shantung, merancang strategi yang agak memodifikasi strategi Anderson, meletakkan tanggung jawab yang lebih kepada orang-orang awam. Dia menganjurkan orang-orang awam untuk tetap berada dalam pekerjaan rutinnya sambil melayani sebagai penginjil sukarela, yang tidak dibayar. Nevius juga menganjurkan pemahaman Alkitab yang terus-menerus dan penatalayanan yang ketat bersama dengan pelayanan sukarela, dan mengusulkan sebuah pemerintahan gereja yang sederhana dan fleksibel. Rekan-rekannya di Tiongkok tidak mengadopsi sistemnya, namun para misionaris di Korea melakukannya dengan keberhasilan yang mengagumkan.
Sebuah Mentalitas Kolonialis
Selain komitmen mereka yang diakui terhadap formula Anderson-Venn, misi-misi Protestan berubah drastis di dalam mentalitas mereka dan akibatnya di dalam strategi mereka pada kuartal terakhir abad ke-19.Di bawah Venn, misi-misi Inggris di Afrika barat, misalnya, memiliki dua tujuan: (1) pengadaan gereja yang mandiri dengan pendetanya sendiri, yang akan menginjili dalam benua, dan (2) pengadaan kaum elite Amerika, yaitu, kaum intelektual dan kelas menengah, yang bisa mendukung gereja itu dan misinya. Hampir segera setelah masa kepemimpinan Venn berakhir, misi eksekutif dan misionaris lapangan menganut pandangan kolonialis bahwa orang-orang Afrika lebih rendah dan karena itu tidak bisa ambil bagian dalam kepemimpinan dalam pelayanan.
Akibatnya, orang-orang Eropa dibutuhkan untuk mengisi posisi kepemimpinan. Pengusaha kelas menengah dan kaum intelektual Afrika dipandang rendah. Sudut pandang kolonialis ini adalah versi gereja dari naiknya teori “beban orang kulit putih” yang populer. Hal ini mengurangi gereja pribumi dan menjadi koloni pendirian gereja asing.
Sebuah perkembangan yang mirip terjadi di India pada tahun 1880-an. Orang-orang Amerika dan barat memegang mentalitas kolonialis ini dari Inggris. Misi-misi Jerman, di bawah bimbingan para ahli strategis mereka yang terkemuka, Professor Gustav Warneck, juga bermaksud untuk menciptakan gereja-gereja nasional (Volkskirchen), namun sampai mereka meraih pengembangan yang lengkap, gereja-gereja tetap diperbudak untuk misionaris.
Paternalisme – memperlakukan gereja pribumi seperti anak kecil – menghambat perkembangan mereka. Semua misi yang menganut paternalisme dan kolonialis ada pada pergantian abad. Urusan yang tidak menyenangkan ini berlangsung sampai penelitian yang dilakukan untuk Konferensi Misionaris Dunia di Edinburgh pada tahun 1910 tiba-tiba menghancurkan kepuasan diri sendiri dan kelembaman. Mereka mengungkapkan bahwa gereja pribumi benar-benar kompeten dan resah di bawah dominasi yang bersifat paternal. Konferensi ini membawa arahan yang luar biasa bagi perubahan kuasa dari organisasi misi kepada gereja. Hampir semua yayasan dan kalangan mendukung gagasan ini, setidaknya di dalam teori.
Penginjilan, Pendidikan dan Kedokteran
Singkatnya, misi strategi abad ke-19 (sampai Edinburgh tahun 1910) bertujuan untuk pertobatan pribadi, pendirian gereja dan perubahan sosial melalui tiga tindakan utama: penginjilan, pendidikan, dan kedokteran. Penginjilan meliputi berkhotbah dalam segala bentuknya, pengorganisasian dan pembinaan gereja, penerjemahan Alkitab, pengadaan literatur dan distribusi Alkitab dan literatur.
Di bidang pendidikan, sekolah-sekolah kejuruan pada umumnya dilarang demi pendidikan akademis. Pada akhir abad, sistem pendidikan yang luas ada di Asia, mulai dari TK sampai perguruan tinggi, termasuk sekolah-sekolah medis dan teologis. Afrika, bagaimana pun, diabaikan dalam hal pendidikan menengah dan perguruan tinggi.
Para dokter misionaris pertama diutus terutama untuk merawat keluarga misionaris lainnya. Namun, mereka dengan cepat mendapati bahwa pelayanan medis menciptakan kehendak baik dengan orang-orang pribumi dan membuka peluang penginjilan. Oleh karena itu, pelayanan medis menjadi cabang utama dari pekerjaan misi. Tidak sampai pertengahan abad ke-20 misi-misi menyadari bahwa pelayanan medis di dalam nama Kristus adalah, di dalam dirinya sendiri, bentuk dramatis atas proklamasi Injil. Dengan semangat yang sama akan pertolongan dan kehendak baik, bersamaan dengan keinginan untuk meningkatkan dasar ekonomis gereja-lah para misionaris memperkenalkan unggas dan ternak yang dikembangkan, bibit dan tanaman baru yang lebih baik. Industri kebun besar di Shantung dimulai dengan cara ini.
Berkenaan dengan agama-agama lain, strategi misinya agresif, berupaya untuk menggantikan agama-agama itu dan mempertobatkan mereka dari agama-agama lain sepenuhnya.Sikap agresif ini menurun menjelang akhir abad ke-19. Para misionaris perlahan-lahan mulai menghargai karya Allah dalam kepercayaan-kepercayaan yang lain. Pada tahun 1910 banyak yang menganggap agama-agama lain sebagai “bias cahaya yang pecah” yang harus dijadikan utuh di dalam Kristus dan sebagai jembatan menuju Injil.
Kebiasaan dari Timur membuat hampir tidak mungkin bagi misionaris laki-laki untuk menjangkau perempuan dan anak-anak dalam jumlah yang besar. Para istri misionaris bekerja mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan dan untuk masuk ke rumah-rumah, zenanas dan harems. Namun, mereka tidak memiliki cukup kebebasan dari urusan rumah tangga dan mengurus anak-anak dan tidak bisa bepergian dengan mudah. Strategi realistis menuntut bahwa ketentuan yang memadai harus dibuat untuk kaum perempuan dan anak-anak, tetapi yayasan dan masyarakat menolak mentah-mentah mengutus perempuan lajang sebagai misionaris. Dalam keputusasaan yang penghabisan, kaum perempuan di tahun 1860-an mulai mengorganisir kalangan mereka sendiri dan mengutus perempuan lajang. Sebuah dimensi yang benar-benar baru ditambahkan kepada strategi misi:keberanian berusaha yang besar untuk menjangkau kaum perempuan dan anak-anak dengan Injil, untuk mendidik anak-anak perempuan dan untuk memberikan perawatan medis yang memadai bagi kaum perempuan.
Ketika perempuan datang ke gereja, anak-anak mereka mengikuti mereka. Pendidikan perempuan terbukti menjadi kekuatan yang paling efektif untuk membebaskan dan mengangkat sosial perempuan. Penekanan bahwa perempuan ditempatkan pada pelayanan medis membawa yayasan umum untuk menatar pekerjaan medis dan memberi penekanan yang lebih besar pada pendidikan medis. Sebagai hasilnya, perempuan Timur memperoleh akses ke karier yang bergengsi sebagai dokter, perawat, dan guru.
Sikap Hormat
Satu keistimewaan dari strategi misi abad ke-19 harus didaftarkan. Ini adalah praktek sikap hormat – koordinasi dari organisasi-organisasi yang berbeda demi keuntungan bagi semua. Southern Baptists adalah di antara para pendiri dan pelaku sikap hormat. Penatalayanan yang baik atas pribadi dan dana merupakan prioritas tinggi di antara yayasan dan masyarakat. Limbah dibenci, dan ada keinginan yang kuat untuk merentangkan sumber daya sejauh mungkin. Praktek sikap hormat dimaksudkan untuk membuat beberapa entitas bertanggung jawab terhadap penginjilan setiap bagian akhir dari wilayah dan setiap bangsa.
Hal itu juga dimaksudkan untuk mencegah kelipatan agen dari menduplikasi usaha mereka di wilayah yang sama (kecuali kota besar). Dengan mengkoordinasikan strategi mereka, agen-agen misi dapat mencegah tumpang tindih program misi, dan menghilangkan persaingan serta perbedaan denominasi yang akan membingungkan orang-orang dan menghambat penginjilan. Penguasaan wilayah sebelumnya diakui, dan misi yang baru dilakukan di wilayah yang belum diduduki. Kebiasaan ini menghasilkan “denominasionalisme melalui geografi” (gereja dengan keanggotaan dari berbagai denominasi berdasarkan tempat mereka). Namun, gambaran ini diharapkan untuk berubah ketika para misionaris pindah ke “daerah-daerah seberang.”
Para warga kemudian akan meletakkan potongan-potongan dikumpulkan ke dalam gereja nasional, yang mungkin berbeda dari gereja-gereja yang didirikan. Kelompok misi yang berbeda sepakat untuk mengakui satu terhadap yang lain sebagai cabang yang sah dari Gereja Kristus yang satu. Mereka setuju akan baptisan dan perpindahan keanggotaan, disiplin, gaji dan perpindahan pekerja-pekerja nasional. Kesepakatan ini membawa kepada kerjasama lebih lanjut dalam membentuk yayasan regional dan nasional sebagai penengah konflik di antara misionaris dan untuk mencapai tujuan bersama lainnya.
Tujuan-tujuan ini termasuk “serikat” proyek penerjemahan Alkitab, lembaga penerbitan, sekolah menengah dan perguruan tinggi, sekolah pelatihan guru, dan sekolah kedokteran. Strategi efektif menjawab lebih dan lebih terhadap kerjasama atas semua hal, yang dapat dicapai dengan lebih baik melalui usaha bersama. Konferensi misionaris kota, regional dan nasional di hampir setiap negara memberikan peluang bagi dialog dan perencanaan.
Perundingan dan Konferensi
Kerjasama misi lapangan membawa kepada perundingan yang lebih, kerja sama dan perencanaan di tempat asal. Konferensi Misionaris Dunia di Edinburgh pada tahun 1910 meresmikan serangkaian konferensi-konferensi besar: Jerusalem 1928, Madras 1938, Whitby 1947, Willingen 1952 dan Ghana 1957-58. Di konferensi-konferensi ini, arahan strategi secara luas ditentukan dan kemudian diterapkan secara lokal melalui studi lebih lanjut dan diskusi dalam badan-badan nasional dan regional.
Dewan Misionaris Internasional didirikan pada tahun 1921, membawa bersama-sama konferensi misionaris nasional (misalnya, Konferensi Misi Luar Negeri di Amerika Utara, 1892) dan dewan Kristen nasional (misalnya, NCC Tiongkok). Karenanya kemudian didirikan sebuah sistem universal di berbagai tingkatan untuk mempelajari masalah dan merencanakan strategi bersama-sama oleh tuan rumahyayasan misi yang berkuasa. Pada tahun 1961 IMC menjadi Divisi Misi Dunia dan Penginjilan Dewan Gereja Dunia.
Sejak Edinburgh 1910 sampai Perang Dunia I, perkembangan strategi yang paling terkemuka adalah menempatkan gereja nasional di pusat, memberinya kemerdekaan penuh dan otoritas, dan mengembangkan kemitraan antara gereja-gereja Barat dengan gereja-gereja muda. “Gereja pribumi” dan “kemitraan dalam ketaatan” adalah semboyan yang mengungkapkan tujuan dari strategi yang berlaku.
Para peserta dalam Konferensi Yerusalem pada tahun 1928 mendefinisikan gereja pribumi, menekankan akomodasi budaya. Konferensi Madras pada tahun 1938 mengemukakan kembali definisi itu, menekankan saksi bagi Kristus dalam “hubungan yang langsung, jelas, dan erat dengan warisan budaya dan agama negara(itu).” Konferensi Whitby tahun 1947 menegakkan cita-cita “kemitraan dalam ketaatan.”
Sejak Perang Dunia II
Roland Allen menguraikan strategi misi berbeda secara radikal dalam bukunya Missionary Methods: St. Paul’s or Ours? dan The Spontaneous Expansion of the Church. Namun, dia tidak mempunyai pengikut sampai setelah Perang Dunia II, ketika misionaris dari misi iman bersatu untuk posisinya. Pada intinya, strateginya adalah: misionaris mengomunikasikan Injil dan meneruskan kepada komunitas para petobat baru, pengakuan iman yang sederhana, Alkitab, sakramen, dan prinsip pelayanan.
Dia kemudian bertindak sebagai penatua konseling sementara Roh Kudus memimpin gereja baru, mengatur diri sendiri dan mandiri, untuk mengembangkan bentuk-bentuk pemerintahan sendiri, pelayanan, ibadah dan kehidupan. Gereja demikian adalah bersifat misi secara spontan.
Teori Allen berlaku pada perintis mula-mula yang baru sementara yayasan dan kalangan lama berhadapan dengan gereja-gereja yang sudah ada yang ditetapkan dalam cara mereka. Yang terakhir ini jarang berusaha untuk membuka ladang misi baru. Satu demi satu, organisasi misi di lapangan dilebur. Sumber daya ditempatkan di pembuangan gereja dan personil misionaris ditugaskan untuk mengarahkan mereka. Yayasan dan kalangan Barat memprakarsai strategi yang sangat kecil yang masih baru, namun berbuat banyak untuk mengembangkan metode yang baru: misi pertanian atau pengembangan pedesaan, beberapa pekerjaan industri perkotaan, komunikasi media masa, literatur yang lebih efektif. Ini adalah tahap terakhir dari dan era dari pekerjaan misi, yang telah mengalami kemajuan selama tiga ratus tahun.
Sekarang dunia tidak lagi dipisah menjadi umat Kristen dan umat penyembah berhala. Tidak bisa lagi ada misi satu arah dari Barat ke sisa yang ada di dunia. Dasar bagi sebuah misi didirikan dalam hampir semua negeri, dan sekarang sudah ada gereja dan komunitas Kristen global dengan kewajiban untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Momen untuk sebuah misi dunia yang baru dengan strategi baru yang radikal telah tiba. Revolusi yang menyapu bagian non-Barat di dunia selama dan setelah Perang Dunia I jelas-jelas mengakhiri tatanan misi Protestan yang lama.
Pemahaman yang baru dari misi, strategi-strategi baru, organisasi-organisasi baru, cara-cara baru, sarana-sarana dan metode-metode baru dituntut oleh dunia kita yang sedang berubah. Tugas utama dari gereja tidak akan pernah selesai sampai Kerajaan Allah datang di dalam segala kemuliaannya. Adalah akan membantu kita dalam tugas kita saat kita berdoa, belajar, berencana dan bereksperimen, jika kita tahu sejarah masa lalu dari strategi misi.