Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia
Draf Buku Perspektif
Elizabeth S. Brewster
- Elizabeth S. Brewster (dikenal sebagai “Betty Sue”) dan almarhum E. Thomas Brewster melayani sebagai tim suami istri yang spesialisasinya membantu para misionaris mengembangkan teknik yang efektif untuk belajar bahasa apa pun dan mengadaptasinya ke dalam budaya yang lebih luas di mana bahasa tersebut adalah sebuah bagian. Buku mereka, Language Acquisition Made Practical (LAMP), telah dikenal atas pendekatannya yang inovatif dan kreativitasnya secara pedagogis. Betty Sue masih mengajar di Fuller Seminary dan beberapa seminar di dunia.
- Tulisan ini diadaptasi dari Bonding and the Missionary Task, 1982, Lingua House. Digunakan dengan izin dari para penulis.
Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita. – Yohanes 1:14
Baru beberapa bulan lalu kami memiliki seorang bayi laki-laki yang dilahirkan ke dalam keluarga kami. Dalam mempersiapkan kelahirannya kami diperkenalkan dengan konsep ikatan (bonding). Susunan fisik dan psikologis bayi yang baru segera setelah proses kelahiran secara unik mempersiapkan sang bayi untuk mengikatkan diri dengan orangtuanya. Jika orangtua dan bayi yang baru dilahirkan berada bersama-sama di saat itu, ikatan yang kuat dapat dihasilkan yang dapat bertahan menghadapi pemisahan yang berikutnya. Kegembiraan dan tingkat adrenalin baik dari sang bayi maupun orangtuanya pasti sedang berada pada puncaknya. Indera sang bayi sedang dirangsang oleh banyak sensasi baru. Kelahiran bayi pada esensinya adalah jalan masuk ke dalam suatu budaya baru dengan pemandangan baru, suara baru, bau baru, posisi baru, lingkungan baru dan cara-cara yang baru dipegang. Namun, pada saat khusus itu, sang bayi tersebut diperlengkapi dengan kemampuan yang luar biasa untuk merespons situasi yang tidak biasa dan rangsangan yang baru ini. Para dokter spesialis anak telah mengamati bahwa bayi yang baru lahir yang tidak diberi obat ketika dilahirkan sering lebih sadar selama hari pertama daripada waktu-waktu kapan pun dalam seminggu atau dua minggu berikutnya. Jam-jam sadar ini memfasilitasi pembentukan ikatan awal. Namun, ketika seorang bayi gugup karena obat-obatan yang diberikan kepada sang ibu yang berjerih lelah untuk melahirkan, baik bayi maupun ibunya tidak dapat mempergunakan periode yang Allah berikan ini. Atau ketika sang bayi disikat dengan cepat ke ruang isolasi oleh perawat, masa untuk kesadaran yang sangat penting mungkin akan hilang juga.
Analogi Misi
Ada beberapa kesejajaran penting antara tibanya bayi ke dalam budaya barunya dan masuknya seorang dewasa ke dalam suatu budaya asing yang baru. Di dalam situasi ini, indera seseorang juga dibombardir oleh banyaknya rangsangan yang baru, pemandangan baru, suara baru, dan bau yang baru. Dan sering orang ini secara unik mampu merespons semua pengalaman tersebut―dan bahkan menikmatinya. Sudah ada berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun waktu perencanaan dan persiapan. Kegembiraan, antisipasi dan adrenalin berada di puncak. Misionaris yang baru saja tiba berada dalam keadaan kesiapan yang tidak biasa, baik secara fisik dan psikologis, untuk mengikatkan diri dengan lingkungan baru. Misionaris baru dipersiapkan, mungkin lebih dari waktu mana pun, untuk mengikatkan diri―menjadi “pemilik” dari kelompok suku di mana ia terpanggil untuk memberitakan kabar baik.
Membangun Rasa Memiliki
Pemilihan waktu dapat sangat menentukan, karena ikatan paling baik terjadi ketika partisipannya secara unik telah siap bagi pengalaman ini. Jika misionaris yang baru saja tiba cepat-cepat dibawa ke dalam lingkungan nyaman yang akrab dengan kelompok misionaris lainnya, maka sebuah jendela kesiapan yang menentukan sudah hilang.
Jika seorang misionaris mau membuat rasa memiliki terhadap kelompok suku yang menjadi panggilannya untuk melayani, cara si misionaris menghabiskan beberapa minggu pertamanya sangat penting. Bukan hal yang aneh bagi seorang bayi yang dijaga dalam ruang perawatan untuk menjadi terikat dengan personil rumah sakit ketimbang orangtuanya. Demikian juga para misionaris baru dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk memiliki melalui mengikatkan diri dengan komunitas ekspatriat.
Jika rasa memiliki dibentuk dengan orang asing lain, seorang misionaris baru akan sepertinya lebih menjalankan pelayanannya dengan metode “penggerebekan.” Misionaris mungkin tinggal terpisah dari penduduk lokal, mungkin dalam sebuah “pemukiman misionaris,” namun beberapa kali dalam tiap minggu memberanikan diri masuk ke dalam komunitas lokal, dan selalu kembali ke dalam keamanan komunitas ekspatriat.
Jika misionaris tidak merasa nyaman dalam konteks budaya lokal, misionaris tersebut mungkin tidak mengejar hubungan yang signifikan dalam komunitas tersebut sebagai sebuah cara hidup. Kurangnya ikatan ini bisa tercermin dalam pernyataan kesal seperti, “Ah orang-orang ini! Mengapa mereka selalu berlaku seperti ini?” atau “Kapan orang-orang ini akan pernah belajar?”
Pengaruh Ikatan bagi Tugas Misi
Misionaris adalah orang yang pergi ke dunia untuk memberikan orang suatu kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga Allah. Misionaris pergi karena dia adalah seorang yang memiliki hubungan yang paling berarti tersebut. Kehidupannya harus menyatakan: “Saya milik Yesus yang telah memberi saya hidup baru. Dengan saya menjadi pemilik bersama Anda di sini, Allah sedang mengundang Anda melalui saya untuk menjadi milik-Nya.”
Tugas misionaris sejajar dengan model yang dibangun oleh Yesus, yang meninggalkan sorga, yang adalah milik-Nya, dan menjadi pemilik dengan umat manusia agar menarik banyak orang untuk memiliki hubungan dengan Allah.
Menjadi Seorang Pemilik
Misionaris yang langsung terlibat dalam komunitas lokal memiliki banyak keuntungan. Jika orang baru tersebut hidup dengan sebuah keluarga lokal, dia dapat belajar bagaimana orang lokal mengatur hidup mereka, bagaimana mereka mendapatkan makanan mereka dan berbelanja, dan bagaimana mereka berpergian dengan transportasi umum. Banyak yang dapat dipelajari selama bulan-bulan pertama mengenai sikap orang lokal dan perasaan mereka mengenai cara hidup orang asing. Seraya orang baru mengalami sebuah gaya hidup alternatif, dia dapat mengevaluasi nilai dari pengadopsian gaya hidup alternatif tersebut. Di sisi lain, misionaris yang prioritas pertamanya ingin mapan akan hanya bisa tenang dalam cara yang sudah biasa baginya. Karena tidak ada hal baru yang dialami, tidak ada pilihan lain yang mungkin. Dan sekali seorang misionaris secara nyaman tetap dengan gaya hidup lamanya, orang tersebut sudah terkunci dalam suatu pola hidup yang asing bagi orang lokal.
Di dalam budaya asli kita, secara alami kita sibuk dengan segala hal dalam suatu cara yang manjur. Kita tahu ke mana harus mencari jalan ketika melangkah keluar kendali, bagaimana membuat bis berhenti, bagaimana membayar harga yang wajar untuk barang atau jasa, bagaimana mendapat informasi yang kita butuhkan atau ke mana harus mencari pertolongan. Tetapi di dalam budaya baru, cara untuk melakukan ini dan itu kelihatannya tidak dapat diprediksi. Ini menghasilkan disorientasi yang dapat membawa kepada kejutan budaya. Seorang misionaris baru yang pertama-tama membangun rasa memiliki dengan sesama misionaris lain membuat jalan masuk ke kehidupan barunya dilindungi oleh sesama ekspatriat lain. Di masa lalu, pada umumnya hal ini dianggap penting bagi penyesuaian diri orang baru. Sering kali kedatangan orang baru direncanakan untuk bersamaan dengan upacara penyambutan. Namun, kami ingin mengatakan bahwa ”perlindungan” ini dapat menjadi tindakan yang merugikan.
Sama seperti hari pertama dalam kehidupan bayi yang baru dilahirkan, dua atau tiga minggu pertama dari tinggalnya seorang baru merupakan hal yang sangat menentukan. Peristiwa yang membuat malu di lingkungan baru ketika mengembangkan rasa memiliki adalah yang paling mungkin terjadi. Selama saat itu, seseorang bisa mengatasi situasi yang tidak terduga yang dijumpai dalam budaya baru, dan perlindungan merupakan hal terakhir yang diperlukan.
Individu yang berharap untuk masuk ke dalam budaya lain secara bertahap menghadapi halangan yang lebih besar dan, faktanya, mungkin tidak akan pernah menikmati pengalaman menjadi bagian dari kelompok suku lokal. Lebih baik terjun langsung dan mengalami hidup dari perspektif orang lokal. Hidup dengan orang lokal, belanja dengan mereka, menggunakan transportasi umum dengan mereka, beribadah dengan mereka jika itu tepat.
Sejak hari pertama, penting untuk mengembangkan hubungan sebanyak mungkin dengan orang lokal. Orang baru harus sejak awal mengomunikasikan kebutuhan dan keinginannya untuk menjadi seorang pembelajar. Orang membantu orang lain yang jelas membutuhkan pertolongan. Ketika situasi yang menekan terjadi, sebagai pembelajar misionaris baru dapat menerima pertolongan atau diberi pengertian dari orang lokal di situ. Dalam situasi yang sama, misionaris yang dilindungi menerima jawaban orang asing untuk situasi orang lokal, dan keasingan orang itu dapat terus terpelihara.
Sepasang misionaris yang memilih untuk memisahkan diri dari sesama orang Barat selama bulan-bulan pertama mereka di sebuah wilayah M menulis kepada kami tentang kemenangan yang mereka alami:
Sebelum kami berangkat kami sudah tahu bahwa kami akan mengalami jenis penyesuaian yang berbeda. Saya tahu waktu tersulit bagi saya adalah hari pertama dan suami saya merasa waktu tersulitnya adalah setelah berada beberapa hari di tempat ini. Demikianlah yang telah terjadi. Saya mengalami masa sulit meninggalkan sanak keluarga kami. Tetapi setelah saya keluar bersama dengan orang lokal di sini, rindu kampung halaman memudar. Komunitas lokal begitu hangat menyambut kami. Pada hari Natal, 125 teman lokal kami datang untuk merayakannya bersama kami. Dan selama masa itu, kedekatan hubungan antar pribadi yang kami alami membuat kami terkesima.
Saya tidak begitu yakin mengapa suami saya baru pada hari-hari ini mengalami depresi. Hari Natal sangat berbeda bagi kami daripada sebelumnya. Ditambah suami saya terbaring sakit selama seminggu karena flu. Selama masa itu, suami saya merindukan hal-hal yang biasa dialaminya. Dan suami saya berkata dia lelah selalu berusaha untuk peka, seperti waktu mau menyeberang jalan. Namun Tuhan telah memberkati pekerjaan kami di sini, dan dua orang M yang telah bertobat dan dimuridkan menjadi obat bagi suami saya melewati semua ini. Dalam banyak hal kami benar-benar sendiri. Kami saling menopang satu sama lain tetapi ada waktu di mana beban terasa begitu berat dan kami tidak memiliki satu orang pun untuk berbicara atau meminta saran. Tetapi mungkin inilah alasannya kami mendapat beberapa teman lokal yang baik.
Ikatan adalah faktor yang membuat orang baru untuk memiliki “teman lokal yang baik.” Tentu saja akan ada berbagai situasi yang menekan, tetapi orang baru yang sudah mengikatkan diri, dan mengalami keajaiban dari hubungan yang dekat, mampu untuk mendapat dukungan dari jaringan pertemanan lokal yang sudah dikembangkannya. Ini pada akhirnya akan memfasilitasi penyesuaian ke dalam gaya hidup orang lokal dan memberi rasa seperti berada di rumah. Orang yang merasa seperti berada di kampung halaman dapat saja mengalami putus asa bahkan kemuraman, dan beberapa tekanan budaya harus diharapkan, tetapi mungkin tidak sampai mengalami kejutan budaya yang parah dan lama.
Belajar Bahasa
Hidup dengan satu keluarga tidak hanya memfasilitasi ikatan, tetapi itu juga secara signifikan menambah pembelajaran bahasa. Orang baru belajar bahasa paling baik ketika terlibat dalam hubungan dengan orang lokal. Sama dengan cara mereka belajar bahasa ibu mereka: mendengar, meniru dan secara aktif bereksperimen dengan bahasa. Pengajaran dalam kelas bisa bermanfaat, tetapi tidak dapat menggantikan percakapan langsung di lapangan dalam hubungan dengan orang lokal.
Hanya sedikit bahasa sasaran yang dibutuhkan untuk memulai hubungan ikatan. Seorang misionaris menulis kepada kami, “Hal terbaik yang terjadi kepada saya adalah pada hari pertama ketika Anda menantang kami untuk menggunakan sedikit bahasa yang kami ketahui dan pergi berbicara kepada lima puluh orang.” “Saya tidak berbicara dengan lima puluh orang, saya hanya berbicara dengan empat puluh empat orang. Tetapi saya benar-benar berbicara dengan empat puluh empat orang.” Kalimat yang dapat dia ucapkan pada hari pertama hanya terbatas pada ucapan salam dan ungkapan keinginannya untuk mau belajar bahasa; kemudian dia dapat mengatakan kepada orang lokal bahwa dia tidak tahu bagaimana mengucapkan kalimat lainnya tetapi dia ingin bertemu dengan mereka kembali. Dia menutup percakapan dengan ucapan terima kasih dan salam perpisahan. Kebekuan terpecahkan di hari pertama dan sejak saat itu, dia mampu untuk mulai merasa nyaman seperti di kampung halaman dalam komunitas barunya. Dari titik itu dia terus melakukan apa yang telah dimulainya: belajar sedikit, banyak praktik.
Pemerolehan bahasa pada dasarnya adalah sebuah kegiatan sosial, bukannya akademis. Meraih penguasaan dalam bahasa memang menantang, tetapi normal bagi orang yang sangat terlibat dalam hubungan-hubungan dalam sebuah masyarakat yang baru. Belajar bahasa akan sering menjadi beban dan frustrasi bagi mereka yang terus memelihara hubungan utama mereka dengan sesama orang asing. Karena itu penting untuk memfasilitasi kesempatan bagi para misionaris baru untuk menjadi terikat dengan (dan kemudian menjadi bagian dalam) komunitas baru mereka. Para misionaris baru seharusnya ditantang dengan tujuan mengikatkan diri dan dipersiapkan untuk merespons kesempatan menjadi bagian dari komunitas lokal.
Orang baru perlu didorong untuk sepenuhnya melibatkan diri mereka dalam kehidupan komunitas baru sejak hari pertama. Jika orang baru ingin berhasil membuat dirinya menjadi bagian dari komunitas lokal, hiduplah dengan satu keluarga lokal dan belajar dari hubungan di jalanan, keputusan dan komitmen awal untuk melakukan hal ini sangatlah menentukan. Tanpa komitmen awal seperti itu hal tersebut jarang terjadi.
Kami telah menemukan bahwa sebuah persiapan awal mengenai perspektif dan harapan di tempat tujuan sangatlah bermanfaat, disertai dengan latihan bagaimana mengembangkan keahlian belajar bahasa. Ketika kami menasihati orang, kami merekomendasikan agar mereka menerima empat kondisi bagi beberapa minggu pertama mereka di sana:
1. Rela hidup dengan keluarga lokal.
2. Batasi bawaan pribadi hanya 20 kg.
3. Hanya menggunakan transportasi umum.
4. Berharap menjalankan pembelajaran bahasa dalam konteks hubungan dengan orang lokal yang memang perlu dikembangkan dan dijaga oleh si pembelajar.
Kerelaan untuk menerima keempat kondisi di atas berbicara banyak mengenai sikap dan fleksibilitas seseorang. Dengan mentalitas yang sudah dipersiapkan, orang baru bebas untuk merespons secara kreatif terhadap ikatan dan kesempatan pembelajaran yang mengelilinginya. Misionaris baru―entah lajang, menikah, atau bahkan dengan anak-anak―biasanya dapat secara berhasil hidup dengan satu keluarga lokal langsung pada saat dia tiba. Dalam beberapa situasi, anggota tim, staf badan misi atau orang lokal yang menjadi penghubung dapat mencarikan sebuah keluarga. Tetapi orang baru sering dapat menemukan keluarga sendiri dengan belajar berkata, “Saya ingin belajar bahasa Anda. Saya berharap menemukan sebuah keluarga untuk saya tinggal bersama mereka sekitar tiga bulan, dan saya akan membayar biayanya. Apakah Anda tahu ada keluarga yang mau menerima?” Sangat jarang ketika ini sudah dikatakan kepada lima puluh orang tanpa respons apa pun, setidaknya mendapatkan seorang perantara untuk membantu pencarian ini. Mereka yang mengikatkan diri dan menjalankan pelajaran bahasa mereka dalam konteks hubungan dalam komunitas baru juga memiliki kesempatan untuk memulai pengembangan pelayanan baru mereka sejak hari pertama belajar bahasa. Beberapa tahun yang lalu, kami mengawasi masa belajar bahasa awal bagi sebuah tim beranggotakan sebelas orang baru di Bolivia:
Lebih dari 30 orang mengenal Kristus sebagai hasil dari pelayanan yang melibatkan diri, yang mampu dikembangkan para pembelajar bahasa baru ini selama tiga bulan pertama. Banyak dari petobat baru ini adalah anggota keluarga tempat kami tinggal, atau sedang menjadi pendengar tetap. Dalam kedua kasus itu, yang merupakan hasil dari hubungan pribadi yang mereka kembangkan, mereka mampu melanjutkan dan memuridkan orang percaya baru. Jelas sekali ini merupakan pengalaman yang memuaskan bagi para pembelajar bahasa baru ini.
Risiko yang Lebih Baik dari Ikatan
Hanya sedikit peristiwa yang menegangkan dan berbahaya dalam kehidupan seperti peristiwa melahirkan. Salah jika mengatakan bahwa keterlibatan total dalam budaya yang baru sama sekali tanpa risiko. Namun, sepertinya komponen ketegangan dan risiko penting untuk membentuk lingkungan yang unik yang membuat ikatan mungkin terjadi. Dan ada sisi lain dari pertanyaan mengenai pertanyaan risiko ini. Jika seorang misionaris baru tidak mengambil risiko awal dan berusaha untuk menjadi nyaman sesegera mungkin dengan masyarakat baru, misionaris ini mungkin memilih sebuah risiko yang lebih berjangka panjang. Masalah misionaris yang menjadi korban membukakan bahwa ada harga yang besar yang harus dibayar mereka yang gagal menjadi bagian dari masyarakat lokal―banyak dari mereka yang tidak kembali ke ladang pelayanan untuk term kedua. Tidak mudah untuk hidup dengan sebuah keluarga lokal, berteman dengan orang asing dan belajar bahasa yang baru, tetapi juga tidak mudah untuk terus sebagai orang asing, hidup tanpa pertemanan yang dekat dengan orang lokal atau mengerti budaya mereka.
Apakah ikatan mungkin terjadi setelah bulan-bulan awal sudah lewat? Apakah mungkin bagi seorang misionaris yang sudah mapan mengalami ikatan yang terlambat? Jawabannya ya. Merupakan proses manusiawi yang normal untuk membangun suatu hubungan kepemilikan. Misionaris yang sudah mapan di suatu tempat yang melihat potensi untuk menjalin hubungan kepemilikan dengan orang lokal dapat menerapkan komitmen ini dengan berperan sebagai pembelajar dan tinggal bersama sebuah keluarga lokal selama beberapa minggu atau bulan.
Konsep ikatan mengimplikasikan seorang yang dwibudaya dengan citra diri yang sehat. Mengikat diri dan “menjadi orang lokal” tidaklah sama. Menjadi orang lokal mengimplikasikan penolakan terhadap budaya asli seseorang. Hal ini jarang terdapat dalam diri seorang misionaris dan mungkin mustahil pada orang dewasa yang normal dan stabil secara emosional. Dwibudaya juga tidak sama dengan memiliki “kepribadian ganda.” Orang yang memiliki kepribadian ganda memiliki diri yang terpecah dan terbagi. Orang yang dwibudaya mengembangkan bagian baru bagi kepribadian yang telah Allah berikan. Orang dengan bagian baru yang kreatif ini dapat bebas untuk berlaku seperti anak kecil yang terkadang acuh untuk mengangkat citra diri. Orang seperti ini bebas membuat kesalahan dan terus berusaha. Bagi misionaris Kristen, proses menjadi dwibudaya dimulai dengan pengakuan bahwa Allah dalam kedaulatan-Nya tidak salah dalam menciptakan kita dalam budaya asal kita; namun dalam kedaulatan-nya Allah menepuk pundak beberapa dari kita dan memanggil kita untuk menjadi bagian dari orang yang berbeda budaya agar kita dapat menjadi kabar baik bagi mereka.
Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita