Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia
Draf Buku Perspektif
Samuel Hugh Moffett
- Samuel Hugh Moffett adalah Henry Winters Luce Professor dalam bidang studi Ekumene dan Misi (Pensiun) di Princeton Theological Seminary di Princeton, New Jersey. Beliau dilahirkan di Pyongyang, Korea, dari orangtua misionaris dan ia sendiri melayani sebagai seorang misionaris ke Tiongkok dan Korea. Beliau telah menulis banyak artikel dan buku di bidang misi, teologi dan sejarah.
Perjanjian Baru menggunakan kata menginjili (evangelize) dengan apa yang tampaknya secara mengejutkan memiliki arti yang sempit. Sebenarnya, seluruh kelompok kata kerjanya digunakan untuk menjelaskan penginjilan (evangelism): “memberitakan Injil” (Kis. 8:4), “memberitakan Kerajaan Allah” (Luk. 9:2) dan “menyampaikan kabar baik” (Luk. 4:18; 8:1). Tetapi pada dasarnya apa yang digambarkan oleh semua frasa di atas adalah pemberitaan kabar baik (Injil) bahwa Yesus Sang Mesias adalah Raja yang menyelamatkan. Penginjilan adalah maklumat tentang kerajaan Kristus. Namun, penginjilan lebih dari sekadar maklumat―penginjilan juga merupakan suatu undangan untuk masuk ke dalam kerajaan Allah, melalui iman dan dengan pertobatan.
Apa yang Bukan Penginjilan
Karena itu, penginjilan bukanlah keseluruhan dari misi Kristen. Penginjilan hanyalah bagian dari misi. Yesus dan para murid melakukan banyak hal lainnya di samping mengumumkan kerajaan Allah dan mengundang tanggapan. Penginjilan bukanlah ibadah atau sakramen. “Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil,” kata Paulus (1 Kor. 1:17).
Penginjilan juga bukan pertumbuhan gereja atau penanaman gereja. Penanaman dan pertumbuhan gereja pasti merupakan sasaran dari penginjilan dan hasil-hasil yang diharapkan dari penginjilan. Tetapi penginjilan tidak selalu menghasilkan sebuah gereja atau lebih banyak anggota untuk gereja.
Penginjilan juga bukan sekadar apologetika. Paulus berkata, “kami berusaha meyakinkan orang” (2 Kor. 5:11) tetapi menekankan bahwa dia diutus untuk memberitakan kabar baik “bukan dengan hikmat perkataan” (1 Kor. 1:17, 20).
Terakhir, penginjilan dalam Perjanjian Baru tidak dikacaukan dengan pelayanan Kristen, atau kegiatan orang Kristen dan protes melawan berbagai ketidakadilan di dunia. Peristiwa yang menyingkapkan dan mengganggu dalam Kitab Kisah Para Rasul menceritakan bagaimana orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani di antara orang Kristen mula-mula muncul sebagai kelompok minoritas untuk menolak diskriminasi atas distribusi dana. Jawaban para rasul tampaknya secara tak sensitif sempit: “Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk menangani keuangan” (Kis. 6:1-2; TEV). Tentu saja, mereka langsung melakukan sesuatu untuk ketidakadilan tersebut. Tetapi mereka tidak menyebutnya sebagai penginjilan.
Konteks Kerajaan
Akan tetapi, dalam konteks kerajaan pengabaran Injil tidak pernah begitu sempit sehingga hal itu dipisahkan dari kebutuhan mendesak dari orang miskin, orang yang dipenjara, orang buta dan orang yang tertindas.
Di sini saya teringat akan penginjilan kepada orang Korea. Saya bertanya kepada seorang pendeta di wilayah Philadelphia mengapa gerejanya berkembang begitu pesat. Dia menjawab,
Ketika orang-orang Korea datang, hal pertama yang saya lakukan adalah mencarikan mereka pekerjaan; Saya mengajarkan bahasa Inggris kepada mereka; Saya membantu ketika mereka mengalami kesulitan dengan para pengawas mereka; Saya mengundang mereka ke gereja, dan kemudian saya mengabarkan Injil kepada mereka.
Ini meletakkan penginjilan ke dalam konteks. Tetapi jika ada yang lebih buruk dari mengambil teks keluar dari konteks, itu adalah mengambil konteks tanpa teks. Sama seperti keselamatan yang Kristus berikan tidak pernah boleh dipisahkan dari kebutuhan nyata manusia secara langsung, keselamatan tersebut juga tidak boleh diidentifikasikan dengan berbagai kebutuhan pada masa kini. Ketika Yesus mengutip Perjanjian Lama mengenai “kabar baik kepada orang miskin” dan “kebebasan bagi yang tertindas,” Dia melakukannya dalam istilah-Nya sendiri. Keselamatan-Nya bukan shalom Perjanjian Lama dan kerajaan-Nya bukan Israel. Tidak ada yang begitu melumpuhkan baik bagi penginjilan maupun aksi sosial selain mengacaukan mereka dalam definisi masing-masing atau memisahkan keduanya dalam praktik. Para penulis kitab Injil terkadang sepertinya memanggil kita untuk menerima Raja tanpa kerajaan-Nya; sementara para nabi, sama sempitnya dalam cara mereka, sepertinya berusaha membangun kerajaan tanpa Sang Raja yang menyelamatkan.
Lebih dari Keseimbangan
Pernah ada suatu waktu ketika kebanyakan orang Kristen percaya bahwa penginjilan merupakan prioritas satu-satunya. Mereka salah. Kemudian Gereja mengayun terlalu jauh ke arah yang lain. Bagi beberapa orang lain satu-satunya prioritas Kristen adalah keadilan sosial melalui pembangunan. Ini juga merupakan prioritas yang penting, tetapi bukan satu-satunya. Dan ketika mereka membuat hal ini menjadi satu-satunya misi Gereja, hasilnya adalah sebuah bencana. Di dalam usaha mereka berbicara kepada dunia, mereka hampir kehilangan Gereja.
Sebagian orang lain berusaha memulihkan keseimbangan dengan menunjukkan bahwa “Kristus memerantarai kovenan baru dari Allah melalui keselamatan dan pelayanan…. Orang-orang Kristen dipanggil untuk terlibat dalam penginjilan dan aksi sosial.” Tetapi ini pun belum cukup. Apa yang dibutuhkan Gereja bagi masa depan misi adalah lebih dari keseimbangan. Gereja membutuhkan momentum. Bukan suatu persetujuan gencatan senjata yang gelisah antara iman dan pekerjaan, melainkan suatu kemitraan.
Kini di dalam kemitraan praktis yang berjalan dengan baik harus ada mitra utama yang memimpin di antara yang setara, atau tidak ada yang bisa dilakukan. Yang mana yang harus menjadi mitra utama dalam misi: penginjilan atau aksi sosial?
Saya mengakui bahwa apa yang membuat misi Kristen berbeda dari berbagai upaya yang mulia dan tulus lainnya untuk memperbaiki kondisi manusia adalah ini: di dalam misi Kristen hubungan vertikal kita dengan Allah adalah hal yang pertama. Hubungan horizontal kita dengan sesama “sama seperti itu” dan sama utamanya, tetapi berada di tempat kedua. Mitra utamanya adalah penginjilan
Ini bukan untuk meninggikan pengabaran Injil dengan mengorbankan tindakan Kristen. Keduanya sama-sama penting. Keduanya saling memiliki. Namun perlu ditekankan bahwa, sementara kabar baik tanpa perbuatan baik yang menyertai hampir tidak dapat dipercaya, tanpa kata-kata kabar itu bahkan tidak bisa dimengerti! Selain itu, kabar baik yang sebenarnya bukanlah apa yang dengan penuh kemurahan kita perbuat kepada orang lain, melainkan apa yang Allah telah lakukan kepada kita semua di dalam Kristus. Penginjilan, seperti yang telah dikatakan, sama seperti seorang pengemis mengatakan kepada sesama pengemis di mana roti bisa didapatkan.
Maka tugas utama Gereja, masa kini dan di masa depan, adalah penginjilan. Itulah tugas utama dari Gereja Perjanjian Baru. Itu pula tantangan utama yang dihadapi Gereja pada hari ini.
Setengah dari Dunia Belum Terjangkau
Saya percaya bahwa faktor yang menentukan dalam mengembangkan strategi penginjilan adalah penginjilan selalu bergerak ke arah wilayah yang belum terjangkau. “Penginjilan harus berfokus pada mereka yang belum memiliki Injil.” Lebih dari setengah warga dunia masih sama sekali belum mengetahui kabar baik tentang kasih Allah yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus. Tidak ada tantangan yang lebih besar dari penginjilan dalam misi daripada fakta tersebut. Orang-orang Kristen sepatutnya prihatin terhadap ketidakseimbangan yang menyedihkan dari kekayaan dan makanan dan kebebasan dalam dunia. Bagaimana dengan ketidakseimbangan yang paling merusak dari semua: distribusi yang tidak sama akan terang pengetahuan Allah dalam Yesus Kristus?
Saya tidak terlalu kecanduan dengan statistik. Tetapi apa yang dikatakan statistik mengenai, contohnya, “pendekatan penginjilan enam benua,” untuk menemukan kalau sebagian besar dana misi gereja kita masih tetap diperuntukkan bagi diri kita sendiri di benua keenam, yang di dalamnya antara 70 dan 80 persen orang setidaknya Kristen nominal? Namun Afrika kemungkinan memiliki 40 persen orang Kristen dengan standar yang sama. Asia yang memiliki lebih dari setengah populasi manusia di dunia, hanya memiliki tiga sampai empat persen orang Kristen nominal.
Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah orang yang non Kristen yang ditambahkan ke dalam populasi Asia lebih besar dari seluruh populasi Amerika Serikat sekarang ini (450 juta, dibandingkan dengan 300 juta). Memperlakukan enam benua sebagai setara untuk tujuan-tujuan strategis jelas merupakan distorsi egoistis dari realitas penginjilan dunia hari ini.
Satu pikiran terakhir. Ada bonus yang tidak disangka untuk menjaga definisi penginjilan tetap sederhana. Keuntungannya semua orang dapat ikut bertindak bersama. Salah satu pelajaran terindah yang pernah saya pelajari tentang penginjilan tidak berasal dari penginjil profesional, melainkan dari penjual buah semangka.
Ini terjadi di sebuah desa di Korea, dan istri saya pergi menanyakan harga semangka ke seorang penjual. Dia sangat terkejut melihat orang asing yang memiliki hidung mancung dapat berbicara Korea sehingga awalnya dia terdiam. Dia bahkan lupa mengatakan harganya ke istri saya. Ada hal yang lebih penting yang perlu dia tanyakan. Dia bertanya, “Apakah Anda orang Kristen?” Dan istri saya menjawab, “Ya,” penjual tersebut tersenyum lebar. “Oh, saya sangat senang,” katanya, “karena jika Anda bukan orang Kristen saya pasti akan mengatakan kepada Anda betapa besar kerugian Anda.”
Jika lebih banyak dari kita begitu senang dengan apa yang kita temukan dalam Tuhan Yesus Kristus sehingga kita tidak bisa diam untuk memberitahukan kepada orang lain yang belum menemukan Dia betapa ruginya mereka, kita tidak perlu lagi khawatir tentang masa depan penginjilan.