PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Para Perintis Baru Memimpin Di Era Terakhir

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Yvonne Wood Huneycutt

Huneycutt.jpg
Yvonne Wood Huneycutt melayani selama sepuluh tahun menggerakan gereja-gereja dan mahasiswa di Nashville, Tennessee terkait dengan U.S. Center for World Mission. Selama masa itu dia bekerja dengan kursus Perspectives sebagai instruktur dan koordinator. Dia sekarang melayani sebagai konsultan bagi jaringan kursus Perspectives yang semakin berkembang di berbagai negara dan berbagai bahasa.



Pada tahun 2006 sebuah pertemuan strategis para pemimpin misi dari berbagai negara diadakan di sebuah negara yang mayoritas penduduknya M. Saat saya melihat pertemuan yang diikuti tidak lebih dari 300 orang, saya menyadari bahwa saya sedang melihat bukti yang jelas dari buah jerih payah umat Allah dalam generasi yang lampau. Dan pada saat yang sama saya sedang melihat sekilas apa yang bisa menjadi pengharapan terbesar kita bagi masa depan. Kami beribadah, berdoa dan merencanakan bersama demi penyelesaian penginjilan dunia, secara spesifik ditujukan untuk permulaan gerakan Injil di setiap kelompok suku. Fajar milenium ketiga sedang menyingkapkan sebuah potret keluarga Allah yang sudah ada di dalam hati-Nya sejak Dia meminta Abraham untuk menghitung bintang-bintang. Luar biasanya, potret keluarga tersebut sangat berbeda dengan foto 50 atau bahkan 10 tahun yang lalu! Banyak saudara-saudari telah ditambahkan ke dalam keluarga ini dari setiap negara dan hampir beberapa ribu kelompok suku bangsa.

Saya melihat ini luar biasa, tetapi tidak mengejutkan, bahwa pertemuan ini diorganisasi, ditangani dan dipimpin oleh para pemimpin yang terlatih dari Dunia Mayoritas. Inilah apa yang sudah diantisipasi oleh Ralph Winter, bersama beberapa lainnya, bertahun-tahun yang lalu. Di dalam sebuah artikel yang memberikan dasar perkembangannya, pertama kali diterbitkan tahun 1981 dengan judul, “The Long Look, Eras of Mission History” (Pandangan Jauh ke Depan, Era-era dalam Sejarah Misi), Winter secara ringkas menggambarkan pertambahan yang besar dari badan-badan misi non-Barat. Di dalam sebuah versi yang kemudian dari artikel yang dikenal dengan judul “Four Men, Three Eras”(Empat Orang, Tiga Era), Winter menggunakan istilah untuk menunjukkan bahwa kita sepertinya akan melihat struktur-struktur misi non-Barat (atau Dunia Mayoritas), menggantikan dominasi dari struktur-struktur misi Eropa dan Amerika dalam jumlah dan pengaruh.1

Antisipasi Winter terhadap pertumbuhan yang cepat dan efektivitas dari misi Dunia Mayoritas dibingkai dalam pengamatannya yang kini terkenal mengenai bagaimana misi Protestan mengemuka dalam tiga era, masing-masing berfokus pada pemahaman yang lebih tepat akan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan Amanat Agung. Pada momen transisi ini saya berpikir patutlah kita memeriksa kembali konsep “Tiga Era” dari Winter. Kita harus memperhatikan tantangan-tantangan yang mematahkan semangat dan mengalihkan perhatian generasi sebelumnya, agar kita dapat bekerja bersama secara bijak demi menyelesaikan tugas penginjilan dunia.


Daftar isi

Era Pertama: Ke Wilayah Pesisir

Era Pertama ditandai oleh William Carey, yang diyakinkan akan tanggung jawab misi gereja melalui studi Alkitab yang dilakukannya dan terekspos kepada kelompok-kelompok suku di tempat terpencil melalui jurnal dari Kapten Cook, seorang penjelajah. Hasratnya tidak dibungkam oleh argumen teologis yang sudah tersebar luas bahwa Amanat Agung diberikan hanya kepada kedua belas rasul yang pertama. Dikatakan bahwa sewaktu dia diberitahu, “Duduklah, anak muda. Jika Allah memilih untuk memenangkan orang kafir, Dia akan melakukannya tanpa pertolonganmu dan kita,” Carey mengambil pena dan kertas, dan pada tahun 1792 ia menulis sebuah buku kecil dengan judul besar: An Enquiry into the Obligation of Christians to Use Means for the Conversion of the Heathens (Sebuah Penyelidikan ke dalam Kewajiban Orang Kristen Untuk Menggunakan Sarana demi Pertobatan Orang-orang Kafir) [ini hanya separuh dari judulnya]. Buku singkat ini meluncurkan pencurahan pertama upaya misi Protestan ke wilayah pesisir di setiap benua. Di dalam semangat untuk mengalahkan berbagai institusi Katolik, orang Protestan telah mengabaikan kebutuhan untuk membentuk struktur-struktur misi mereka sendiri. Kata “sarana” dalam judul Carey merujuk pada struktur-struktur misi yang dibutuhkan. Pengaruh yang tersebar luas dari karya Carey mengilhami pembentukan salah satu badan misi Protestan yang pertama. Setahun kemudian, Carey berlayar ke India. Di dalam beberapa tahun, beberapa badan misi Protestan yang baru, berbasis denominasi, mulai bermunculan di Inggris, Eropa dan akhirnya Amerika.

Gerakan misi yang Carey bangkitkan di Inggris selanjutnya didorong oleh sebuah gerakan misi mahasiswa di Amerika. Mahasiswa-mahasiswa universitas yang dipengaruhi oleh buku Carey sedang berdoa bagi minat mahasiswa untuk misi ke luar negeri ketika mereka terperangkap dalam hujan badai dan melarikan diri ke bawah tumpukan jerami kering yang bolong untuk berlindung. “Pertemuan Doa di Tumpukan jerami” ini menyulut api hasrat misi yang bersinar dengan terang di seluruh Amerika dan akhirnya ke Eropa. Meskipun kemunculan awal misionaris Protestan dari daratan Inggris, Era Pertama didominasi oleh orang-orang Eropa yang mengikuti penjelajah kolonial ke berbagai wilayah pesisir dan pulau-pulau di bumi. Penyakit dan kematian yang hampir pasti menanti mereka, begitu pasti sehingga beberapa misionaris di Era Pertama ini yang pergi ke Afrika mengepak barang-barang mereka dalam peti mati, ketika statistik memberitahu mereka bahwa mereka tidak akan bertahan lebih dari dua tahun. Namun, seperti kata Winter, mereka tetap pergi “dalam arus yang sesungguhnya bunuh diri ini.”


Era Kedua: Ke Wilayah Pedalaman yang Belum Terjamah

Orang kedua dari “Empat Orang” dalam tulisan Winter adalah Hudson Taylor. Seorang pemuda berusia kurang dari 30 tahun, hati Taylor yang hancur untuk jutaan orang yang belum terjangkau di pedalaman Tiongkok meluncurkan Era Kedua dari Misi Modern. Ketika berbagai badan misi yang sudah ada menolak permohonannya untuk mengutus para misionaris berbagai wilayah yang belum terjamah di Tiongkok, Taylor membentuk sebuah badan misi baru yang dinamakannya China Inland Mission (Misi Pedalaman Tiongkok). Fokus pada mengidentifikasi kelompok suku dan tempat-tempat yang belum diinjili memulai sebuah gelombang struktur-struktur misi yang baru yang bertujuan untuk menjangkau wilayah yang tersembunyi atau pedalaman.

Badan misi China Inland Mission merekrut para misionaris dari berbagai latar belakang denominasi untuk menginjili propinsi-propinsi yang ada di pedalaman. Meskipun mendapat peringatan dari para pemimpin gereja bahwa dia mengutus orang-orang muda untuk mati, Taylor tetap berkeras. Iman Taylor menginspirasi yang lain dan akhirnya banyak badan misi baru yang tidak berafiliasi dengan denominasi tertentu?misi iman?diciptakan dengan menyandang nama-nama seperti Sudan Interior Mission dan Regions Beyond Missionary Union. Gerakan misi mahasiswa yang kuat yang dimulai di Universitas Oxford di Inggris dirasakan dampaknya sampai ke universitas-universitas di Amerika, menyulut munculnya Student Volunteer Movement (SVM) yang luar biasa. SVM menghasilkan begitu banyak misionaris Amerika dalam paruh pertama abad 20 sehingga Era Kedua menunjukkan dominasi Amerika.


Era Ketiga: Ke Kelompok Suku yang Belum Terjangkau

Dua era pertama ditandai oleh strategi-strategi geografis untuk menyelesaikan Amanat Agung. Selama 150 tahun para misionaris telah menyebarkan Injil ke wilayah pesisir dan maju lebih lanjut ke wilayah pedalaman di setiap benua. Winter mencatat, “Sampai tahun 1967, lebih dari 90% misionaris dari Amerika Utara sedang bekerja bersama gereja-gereja nasional yang kuat yang sudah eksis setelah beberapa waktu.” Dengan berakhirnya kekuasaan kolonial pada pertengahan abad 20, gereja-gereja nasional bukan hanya siap untuk ditinggal oleh para penguasa kolonial mereka, tetapi dalam beberapa kasus siap untuk ditinggal oleh para misionaris juga. Para misionaris mulai kembali dari lapangan dalam jumlah besar. Banyak yang berpikir bahwa tugas misi sudah selesai. Atau apakah memang demikian? Seperti yang ditulis Winter, “Tanpa diketahui oleh hampir semua orang, sebuah era lain dalam misi telah dimulai.”

Seorang yang direkrut oleh SVM bernama Cameron Townsend pergi ke Guatemala untuk mendistribusikan Alkitab. Sementara berusaha menawarkan sebuah Alkitab dalam bahasa Spanyol kepada seorang pribumi Indian, orang Indian tersebut dilaporkan bertanya kepada Townsend, “Jika Allahmu begitu pandai, mengapa Dia tidak bisa berbicara dengan bahasa kami?” Townsend menyadari bahwa Injil harus tersedia dalam setiap bahasa tak peduli berapa kecilnya kelompok penutur bahasa tersebut. Dia mendorong badan-badan misi yang ada untuk meneliti dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa orang yang terlewatkan. Tidak berhasil dalam membujuk orang lain untuk melakukan tugas ini, Townsend membentuk sebuah badan misi yang disebut Wycliffe Bible Translators.

Sementara Townsend mencerahkan tentang bahasa-bahasa yang terabaikan, misionaris generasi ketiga di India bernama Donald McGavran memperhatikan bagaimana Injil membuat kebangkitan secara tiba-tiba di beberapa kelompok kasta namun pengaruhnya tidak berarti di kelompok yang lainnya. Dia menggambarkan fenomena kemajuan Injil yang cepat di antara populasi sosial-etnis ini sebagai “gerakan kelompok suku.” Buku McGavran yang paling dikenal luas, The Bridges of God, menyebarkan ide bahwa Injil dapat menyebar dengan cepat di tengah-tengah sebuah kelompok suku tetapi sepenuhnya tidak mengenai kelompok suku lainnya dalam wilayah yang sama.


Orang Kelima: Ralph Winter

Adalah Ralph Winter, rekan sejawat McGavran di institusi School of World Mission di Fuller Seminary, yang mengembangkan ide McGavran dalam cara yang penting namun berbeda. Winter menyadari bahwa karena Injil tidak mengalir secara alami dari satu budaya atau kasta ke dalam budaya atau kasta yang lain, bahkan jika mereka berbicara dalam bahasa yang sama, tugas penanaman gereja dalam kelompok-kelompok etno-linguistik masih belum ditembusi dan mendefinisikan sebuah tugas tambahan yang sangat besar.

Winter menyebutkan Cameron Townsend dan Donald McGavran sebagai orang ketiga dan keempat dari “Empat Orang” yang merintis era baru yang berfokus pada penyelesaian penginjilan dunia. Namun, buat saya tampaknya ada orang kelima yang harus dimasukkan di antara para perintis ini: Ralph Winter sendiri. Pada Kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne tahun 1974, Winter mempopulerkan konsep kelompok suku yang belum terjangkau. Dia menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan Amanat Agung, upaya-upaya khusus diharuskan demi membuat Injil bisa dimengerti dan tersedia di dalam setiap kelompok etno-linguistik. Untuk mencapai hal ini, suatu gerakan gereja yang secara budaya cocok harus ditanamkan di dalam setiap kelompok suku. Ceramah Winter di Lausanne mengguncang dunia misi. Enam tahun kemudian, konferensi tahun 1980 di Edinburgh yang didukung Winter membuat frasa “sebuah gereja di dalam setiap kelompok suku” menjadi umum di antara gerekan-gerakan misi di seluruh dunia, tetapi khususnya di antara struktur-struktur misi yang baru muncul di dunia non-Barat.

Seperti dua era sebelumnya, Era Ketiga menghasilkan sekumpulan badan-badan misi baru, tetapi kali ini berfokus pada kelompok-kelompok suku yang belum terjangkau. Banyak badan-badan misi Barat yang baru mengambil nama seperti Frontiers atau Mission to Unreached Peoples. Selanjutnya, selama dua dekade terakhir di abad 20, ratusan badan misi dibentuk di negara-negara non-Barat atau Dunia Mayoritas. Hari ini ada lebih banyak misionaris yang diutus dari gereja-gereja di Dunia Mayoritas ketimbang dari Barat.

Era Ketiga sekarang sedang berlangsung penuh dan bahkan meski kekuatan misi sedang berubah dengan cepat menjadi lebih berwajah non-Barat, visi untuk menyelesaikan penginjilan dunia tetap sama: agar Kristus dapat disembah dan dimuliakan di antara setiap kelompok suku bangsa. Agar itu bisa terjadi, harus ada terobosan awal dari Injil yang menghasilkan gerakan pribumi mengikut Kristus di dalam setiap kelompok suku.

Transisi

Ralph Winter menunjukkan bahwa tiga era tidak dengan rapi berlanjut dari satu era ke era lainnya. Terjadi tumpang tindih dan menciptakan kebingungan serta konflik mengenai tugas misi selama masa transisi antarera. Sementara Era Pertama masih berjalan, Era Kedua menuntut berbagai upaya baru yang segar yang telah diabaikan dalam Era Pertama. “Sangat penting bagi kita masa kini untuk memperhatikan tumpang tindih dari dua era pertama ini,” tulis Winter. “Periode 45 tahun antara 1865 dan 1910 [permulaan Era Kedua dan akhir dari Era Pertama] adalah suatu transisi antara strategi yang tepat bagi tahapan yang sudah mapan di Era Pertama dan strategi yang tepat bagi tahapan perintisan di Era Kedua.” Demikian juga, sementara upaya-upaya misi di Era Kedua sedang dialihkan kepada gereja-gereja nasional pada tahun 1970-an dan 1980-an, upaya-upaya baru sedang dilakukan berfokus pada kelompok-kelompok suku yang lebih kecil, terabaikan dan belum diinjili, terkadang berada sangat dekat dengan gereja-gereja yang sudah ada namun yang secara budaya berbeda.

Memperlebar Misi?

Ketika kekuatan misi dari Dunia Mayoritas sekarang sedang diutus dari hampir setiap bagian dunia, transisi ke fokus Era Ketiga sedang terbuka dengan kerumitan tambahan. Banyak misionaris Barat masih aktif di negara-negara yang memiliki gereja-gereja yang sudah mapan yang sekarang sedang mengutus misionaris mereka sendiri ke daerah lain. Para misionaris Barat umumnya terus melanjutkan dalam latar ini dengan bekerja dalam kemitraan dengan para pemimpin lokal. Namun situasi semacam ini dapat dengan mudah membingungkan berbagai prioritas sehingga tugas misi didefiniskan dalam suatu cara yang semakin melebar. Gereja masa kini semakin sadar akan kebutuhan yang amat mendesak di setiap sudut dunia dan berusaha untuk mengintegrasikan pekerjaan transformasi sosial ke dalam mandat misinya. Di mana pun gereja sudah ada, tetap ada kebutuhan untuk bukan hanya menginjili, tetapi juga mengusahakan pekerjaan belas kasihan dan keadilan dan pelayanan yang mentransformasikan dalam konteks sosial mereka seperti yang diinspirasikan dari kerajaan Kristus. Ini terlihat sebagai pekerjaan gereja yang berkelanjutan dalam masyarakat. Tetapi ini jangan dicampuradukkan dengan tugas esensial misi yaitu penanaman awal komunitas kerajaan di dalam setiap kelompok suku. Di tempat di mana gereja belum ada, gereja-gereja pribumi yang baru ditanam perlu menghasilkan semacam orang-orang yang telah ditebus yang akan mengupayakan karya transformasi dalam masyarakat mereka.

Mempersempit Misi?

Salah hal yang membingungkan selain memperlebar misi sebagaimana disebutkan di atas adalah apa yang kita rujuk sebagai “mempersempit” misi. Gereja dapat membatasi ruang lingkup misi hanya kepada kelompok yang belum terjangkau di dalam negerinya saja atau suku bangsanya sendiri yang berada di negara-negara lain. Sebagai contoh, visi misi dari gereja di India dapat dengan mudah dibatasi pada menjangkau banyaknya suku dan komunitas di dalam wilayah negara India saja. Atau dalam kasus gereja-gereja Tiongkok, upaya misi gereja-gereja Tiongkok telah dengan tepat mengusahakan penginjilan bagi orang-orang Tiongkok perantauan di seluruh dunia. Tetapi jika misi yang dilakukan orang Tiongkok tidak lebih dari bangsanya sendiri, mereka akan hanya memenuhi sebagian dari yang dapat mereka usahakan. India atau Tiongkok tidak diberikan amanat kecil, tetapi Amanat Agung.

Sungguh membesarkan hati melihat misi Dunia Mayoritas secara antusias menjalankan Amanat Agung. Gereja-gereja Korea merupakan salah satu perintis pertama terhadap suku-suku di sepanjang Jalur Sutra lama. Gereja-gereja di Tiongkok sudah lama mengejar sebuah visi untuk melakukan bagian mereka dalam menyelesaikan tugas penginjilan dunia dalam hubungan dengan gerakan “Kembali ke Yerusalem” yang berfokus pada kelompok suku yang belum terjangkau di Asia dan Timur Tengah. Gerakan misi Nigeria telah berketetapan untuk bertemu dengan orang-orang Tiongkok di Yerusalem seraya mereka menginjili di sepanjang wilayah M di Afrika Utara dan Timur Tengah. Orang-orang Amerika Latin merupakan pemain utama dalam menginjili kelompok-kelompok suku di Afrika Utara. Orang Indonesia bergerak keluar dari wilayah kepulauannya menuju ke wilayah Asia lainnya. Kesaksian orang Filipina dan Korea dapat ditemukan di setiap tempat. Gereja Barat tidak seharusnya menyimpulkan bahwa peran mereka hari ini hanya terbatas pada membiayai dan mendoakan. Amanat untuk “pergi ke seluruh dunia” belum ditarik dari gereja Barat.

Kemitraan dan Perintisan Di Era Terakhir

Era Ketiga telah menyingkapkan bahwa masih banyak kelompok suku bangsa di mana gereja belum ada, dan ini membutuhkan strategi perintisan. Akan tetapi, hari ini upaya perintisan sedang dilakukan oleh struktur-struktur misi dari Barat dan non-Barat. Apa yang diperlukan pada saat ini adalah kemitraan dalam melakukan perintisan. Gereja non-Barat dalam banyak hal sejajar dengan gereja barat dalam menyelesaikan tugas yang tersisa. Karena kelompok suku yang masih tersisa untuk dijangkau adalah orang-orang non-Barat sendiri, gereja Barat memiliki banyak hal yang dapat dipelajarinya dari rekan kerjanya di Dunia Mayoritas. Demikian juga sebaliknya, gereja non-Barat memiliki banyak hal yang dapat dipelajarinya dari kesalahan dan keberhasilan misi Protestan selama 200 tahun ini.

Meramalkan kepenuhan dari Era Ketiga, Winter mengamati bahwa “suatu jejaring gereja-gereja di seluruh dunia yang dapat dibangkitkan bagi misi utama mereka” menjadikannya lebih sulit untuk “mengaburkan fakta bahwa ini bisa dan seharusnya menjadi era terakhir.” Kekuatan misi global yang semakin meningkat dan berbagai kelompok suku yang membutuhkan terobosan awal dari Injil yang jumlahnya semakin berkurang seharusnya terus-menerus mendorong kita untuk bekerja bersama menuju kepada visi akan sebuah dunia yang terinjili.

Seorang teman Amerika, menggambarkan mengenai pekerjaannya di negara M, dia mengatakan kepada saya bahwa beberapa orang M tertarik pada Yesus tetapi enggan menjadi pengikut Kristus. Mereka berkata, “Kekristenan adalah agama Barat. Saya akan ditindas jika saya menjadi orang Kristen.” Teman saya berkata, kemudian para pekerja misi Tiongkok datang. Latar belakang etnis dan pengalaman mereka dalam penderitaan menolong menghancurkan berbagai keberatan tersebut, mencapai apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang Barat.

Melihat kembali pertemuan global tahun 2006, satu kelompok khusus secara menyenangkan mengejutkan saya: orang Kazakh. Pada tahun 1990 gereja saya mengadopsi orang Kazakh dalam doa dan menjangkau mereka. Saya mengunjungi Kazakhstan pada tahun 1994 dan beribadah dengan gereja pribumi Kazakh yang pertama dalam sejarah modern. Gereja tersebut telah bertumbuh dengan luar biasa sejak itu. Hanya 12 tahun kemudian, meskipun orang Kazakh masih dianggap kelompok suku yang belum terjangkau, seorang pemimpin Kazakh berbicara di hadapan siding pendengar pada tahun 2006 itu dan melaporkan tentang para misionaris yang telah mereka utus kepada kelompok suku lain di negara lain.

Kita hidup di dunia yang lebih terinjili dibanding di masa lain dalam sejarah, terutama karena visi yang kuat dari sedikit orang untuk memenuhi tugas penginjilan dunia di setiap tempat dan di setiap kelompok suku. Sekarang setelah kita melihat tugas misi sedang dikerjakan dengan setia oleh Gereja yang global, apa yang akan kita lihat pada tahun-tahun mendatang? Mungkinkah di dalam masa hidup ini kita dapat melihat suatu potret lengkap dari keluarga Allah yang mencakup beberapa orang dari segala ethne (suku bangsa)?


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas

judul pranala