PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Menyembuhkan Luka Dunia

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


John Dawson

Dawson.jpg
John Dawson adalah pendiri dari International Reconciliation Coalition, yang mendedikasikan diri untuk penyembuhan luka yang ada di antara kelompok suku dan elemen-elemen dalam masyarakat. Dimulai dengan masalah-masalah Amerika Asli dan Amerika keturunan Afrika, koalisi ini menjadi sebuah jaringan global, berurusan dengan luka-luka di banyak bangsa. Sejak tahun 2003, beliau telah melayani sebagai International President of Youth With A Mission dan telah menulis Taking Our Cities for God dan Healing America’s Wounds.


Pada tahun 1974, pemikiran kita berubah. Kita mulai melihat dunia sebagai kelompok suku, ketimbang negara-bangsa. Setelah Kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne, kita mulai membuat daftar kelompok suku yang “tersembunyi” yang masih belum memiliki kesaksian Injil. Daftar tersebut mengubah segala sesuatu―itu memberikan fokus untuk tugas yang belum terselesaikan. Kini kita berada pada titik balik lainnya. Ada daftar lain dengan berbagai implikasi yang bahkan lebih besar bagi tuaian―luka-luka dunia. Hari ini kita hidup dalam sebuah dunia yang terluka. Perang Dingin telah selesai. Ideologi-ideologi besar lintas bangsa telah gagal atau terbukti lemah. Komunisme telah ambruk, dan semangat fanatisme M fundamentalis tidak mampu membawa wilayah-wilayah M dan kelompok-kelompok sukunya untuk bersatu. Berbagai klaim yang lebih tua tentang kebangsaan, bahasa dan perpecahan religius dan identitas kesukuan telah menyeruak cepat ke dalam kekosongan sosiopolitis. Kebencian di masa lampau muncul kembali dengan sangat ekstrem. Bentuk kesalahan orang tua atau leluhur yang sementara waktu tertutupi sekarang terbuka kembali. Pertengkaran rasial di antara para imigran di kota-kota di Amerika, perang etnis di negara-negara pascakolonial di Afrika, dan pergolakan etnoreligius di Eropa Timur semuanya merupakan gejala dari berbagai konflik mendasar yang diterima generasi ini sebagai warisan dari masa lampau. Konflik rasial khususnya secara dramatis sangat mempengaruhi kehidupan pribadi saya. Saya seorang kulit putih. Saya telah tinggal selama 20 tahun di sebuah komunitas Afrika-Amerika di Amerika Serikat. Lingkungan tempat tinggal saya menjadi terkenal di seluruh dunia sebagai tempat di mana para petugas polisi Los Angeles tertangkap kamera sedang memukuli tanpa ampun seorang kulit hitam bernama Rodney King. Setelah para polisi itu dibebaskan, kota ini meledak. Lima puluh sembilan orang mati dalam kerusuhan dan lebih dari 5.000 gedung rusak atau dihancurkan. Mr. King kemudian dikutip dalam judul utama berita di seluruh dunia mengajukan pertanyaan putus asa ini, “Tidak bisakah kita bergaul dengan baik saja?” Pertanyaan tuan King masih menggema kepada kita sampai sekarang. Jawabannya tentu saja, “tidak.” Kesibukan seperti biasa di hati manusia adalah iri hati, ketakutan dan perdebatan, namun Allah pada akhirnya akan menggagalkan setiap usaha untuk merebut tempat dari kerajaan-Nya yang dilakukan melalui solusi yang berdasarkan pada sistem atau filsafat yang palsu. Bangsa akan bangkit melawan bangsa dan suku melawan suku, dan pengharapan palsu yang dimunculkan oleh nabi-nabi palsu akan dimusnahkan melalui serangkaian kegagalan yang menghancurkan dan akan memuncak pada kegagalan akhir sistem satu dunia dari Anti Kristus.

Pelayanan Pendamaian
Betapa suatu masa yang menyenangkan menjadi seorang pemercaya dalam Yesus, seorang pendoa syafaat yang terlibat dalam pelayanan pendamaian di dalam Kristus. Kita memiliki jawaban! (Lihat 2 Kor. 5:18). Hanya ketika kita sudah didamaikan dengan Allah Bapa barulah “keasingan” dari gender, ras atau budaya menjadi daya tarik bukannya sumber ketidaktenangan dan perpecahan. Inilah alasannya mengapa Yesus memberi pelayanan pendamaian bagi orang-orang tebusan di dalam Kristus, Gereja yang hidup. Orang-orang penyembah berhala tidak akan pernah berhasil sebagai jurudamai. Hanya ada satu Raja Damai. Bahkan sekarang, sebuah gelombang pertobatan sedang menyebar melalui berbagai kegerakan doa di dunia, menyelesaikan dosa-dosa mendasar yang menghalangi perkembangan Injil selama berabad-abad. Sebagian besar terjadi di dekade 1990-an, dimulai dengan masalah yang telah melukai suku Maori di Selandia Baru, suku Indian di Amerika dan suku-suku asli lainnya. Saya secara pribadi telah menyaksikan stadium dipenuhi dengan orang Kristen yang menangis di mana orang membanjiri panggung depan untuk mengakui bukan hanya dosa pribadi mereka tetapi juga dosa-dosa kelompok suku mereka terhadap kelompok suku lainnya. Sebagai contoh, pada bulan Mei 1995, hati yang hancur, pertobatan dan perdamaian melanda hampir 4.000 pemimpin Injili dari 186 negara yang bertemu di Seoul, Korea Selatan. Para pemimpin dari Turki dan Armenia berdamai dan saling memeluk satu sama lain. Para pemimpin dari Jepang berlutut meminta pengampunan dari orang-orang Asia Tenggara lainnya. Pertobatan yang sungguh, saya yakin, tidak hanya menunjukkan kasih Allah yang memulihkan tetapi juga menghancurkan tembok pertahanan Setan yang sudah berdiri lama dan memicu tuaian. Sebagai Gereja Yesus Kristus, sasaran kita, tentu saja, senantiasa mengupayakan agar manusia diperdamaikan dengan Allah melalui Injil. Namun, halangan utama terhadap hal ini adalah kita. Dunia belum mampu “melihat” Yesus karena pertikaian golongan di dalam Tubuh Kristus. Selama berabad-abad, roh kontroversi religius ini telah membuat kita menjadi bagian dari permasalahan. Tetapi sekarang, saya percaya, kita akhirnya menjadi bagian dari jawaban. Gelombang pertobatan yang semakin besar terhadap dosa-dosa dalam sejarah membawa orang percaya dari denominasi-denominasi, budaya dan gerakan yang berbeda-beda kepada afeksi dan saling menghormati seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yesus berkata bahwa ketika kesatuan seperti ini muncul, dunia akan percaya kalau Bapa telah mengutus Dia (lihat Yoh. 17:21). Pada akhirnya, dunia akan “melihat” Yesus ketika Gereja yang bersatu menjalankan pelayanan pendamaian melampaui dinding-dinding gereja mereka.

Luka-luka Dunia
Ketika kita mempelajari konflik manusia, kita melihat metode Setan untuk membuat satu kelompok menindas kelompok yang lain berakar pada perseteruan keras kepala dari antara orang-orang yang merasa diri mereka benar dalam masing-masing kelompok. Setan mengambil separuh kebenaran, memecah belah orang dengan kebenaran yang tidak utuh, menggoda mereka melalui penghukuman yang tidak benar dan melihat mereka saling melukai dengan penolakan, kata-kata yang kasar dan ketidakadilan … dan demikian terus berlanjut. Kita tahu bahwa dua orang dapat saling menyakiti melalui tingkah laku yang egois dan tidak adil. Adalah juga mungkin sebuah luka bisa tetap dipertahankan oleh sebuah bangsa atau kelompok suku di dalam suatu bangsa. Perseteruan dan kepahitan dapat menghantui dan tidak terselesaikan selama beberapa generasi. Di konferensi Kanada tahun 1995, delegasi Kristen yang lebih dari 40 negara mengidentifikasi 14 kategori umum dari keterasingan sistematik yang sudah berakar mendalam di antara kelompok suku dan elemen-elemen dalam sebuah masyarakat. Di dalam 14 wilayah ini, pelayanan pendamaian harus dijalankan:

1. Penduduk asli dengan pendatang (seperti orang aborigin dan orang Australia keturunan Eropa).

2. Perseteruan yang masih tersisa, ketika keadilan di bawah hukum memang ada tetapi luka terus berlanjut (sebagai contoh, antara orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika karena warisan perbudakan atau antara orang yang bisa mendengar dan orang yang cacat pendengarannya karena persepsi masyarakat tentang ketidakpekaan yang terus berlanjut)

3. Konflik antar kelompok suku (seperti suku Kurdi melawan suku Turki atau suku Hutu dan Tutsi)

4. Perseteruan antar negara (seperti perseteruan perbatasan antara Pakistan dan India)

5. Gerakan kemerdekaan (sebagai contoh, perlawanan orang Timor terhadap orang Jawa di Indonesia sebagai hasil dari kolonialisme)

6. Perang sipil (seperti di Bosnia)

7. Keterasingan antargenerasi (seperti generasi yang baru kembali dari perang dengan budaya tandingan dari anak-anak mereka yang menginjak remaja)

8. Konflik sosial (sebagai contoh, ideologi golongan kanan dan kiri mengenai lingkungan hidup dan aborsi)

9. Pelanggaran akibat gender (seperti pelacuran paksa di Korea, Tiongkok dan Filipina oleh militer Jepang selama tahun 1940-an)

10. Pertikaian industri, perdagangan dan tenaga kerja (seperti pekerja pertanian migran dan perusahaan agribisnis)

11. Pembagian kelas sosial (seperti mereka yang menjadi korban sistem kasta di India, elit pemerintahan sosialis, dinasti pemilik tanah dan usaha atau budaya aristokratis)

12. Konflik antar agama (seperti antar agama Kristen dan Yahudi)

13. Konflik antar orang Kristen (sektarian)

14. Kekristenan terhadap kelompok suku (ketika elemen-elemen dari peradaban Kristen salah mewakili karakter Allah, meletakkan batu sandungan di antara orang-orang dalam kelompok dan Pencipta mereka; seperti pengaruh Conquistadors pada kelompok suku Amerindian)

Bagaimana respons kita kepada luka-luka yang sudah begitu dalam, lebar dan sudah berlangsung begitu lama itu? Jawaban yang sederhana ada pada kerendahan hati Yesus yang dinyatakan melalui Tubuh-Nya, yaitu Gereja.

Model bagi Pendamaian
Meskipun kehadiran etos Judeo-Kristen di banyak budaya nasional memberi kita dasar untuk berharap kalau pendamaian dapat muncul melalui pemerintahan atau masyarakat, menurut saya pelayanan pendamaian terutama merupakan tanggung jawab Gereja yang hidup. Lagi pula tidak ada pengganti yang lain selain penebusan yang telah Yesus sediakan bagi dosa. Selama masa-masa kebangunan rohani besar di masa yang lalu, Gereja selalu memberi penekanan yang cukup bagi pengakuan dosa secara terbuka dan meminta perubahan sikap dan tindakan yang adil. Demikian juga, orang Kristen hari ini berpotensi menunjukkan sebuah model pendamaian dalam dunia yang bermasalah pada abad 21 ini. Apa modelnya? Sebagai orang Kristen, kita percaya pada pengakuan, pertobatan, pendamaian dan penggantian. Di dalam konteks pemulihan luka dunia, ini berarti:
Pengakuan: Menyatakan kebenaran; mengakui tindakan tidak benar atau menyakitkan yang dilakukan diri sendiri atau dilakukan oleh kelompok suku sendiri kepada orang lain atau sekelompok suku lain.
Pertobatan: Berbalik dari tindakan yang tidak mengasihi kepada tindakan kasih.
Pendamaian: Menyatakan dan menerima pengampunan dan mengusahakan hubungan yang intim dengan musuhnya.
Penggantian: Berusaha mengembalikan apa yang telah dirusak atau dihancurkan dan mengusahakan keadilan di mana pun kita memiliki kuasa untuk bertindak atau mempengaruhi mereka yang berwenang untuk bertindak.
Terkadang kita dapat memulai proses ini dengan mengatur peristiwa dan upacara di mana perwakilan dari kedua subbudaya baik yang menyerang maupun yang diserang untuk mendapat kesempatan menyatakan penyesalan atau memberi pengampunan. Tentu, untuk memulai tindakan seperti itu, kita melihat bahwa masalah yang terlibat tidaklah sederhana. Generasi masa kini mewarisi tugas menghormati nenek moyang yang benar dan berusaha meminta pengampunan atas dosa nenek moyang. Kejujuran mengharuskan kita merangkul kesalahan dan kebaikan yang melekatkan dirinya pada berbagai identitas kita. Adalah benar pula bahwa ketika kita ditebus, kita menjadi satu dalam Kristus di mana tidak ada pria atau wanita, Yahudi atau Yunani (Gal. 3:28). Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa kita perlu lebih bertanggung jawab terhadap implikasi identitas kita ketika kehidupan baru ada dalam kita. Meskipun setiap orang bertanggung jawab secara pribadi di hadapan Allah dan tidak ada yang namanya kesalahan dosa nenek moyang atau kelompok dituduhkan kepada mereka, Allah mencari sukarelawan yang mau membuka diri mereka untuk mengalami dukacita kudus dan mengakui dosa-dosa bangsanya. Disinilah rekonsiliasi dimulai.

Momentum Allah
Gerakan doa pendamaian tampaknya telah menemukan momentum yang diilhami Allah jauh melampaui dukungan manusia. Saya percaya, kita sedang berada di masa anugerah yang tidak biasa, masa perayaan. Saya bekerja dengan International Reconciliation Coalition (didirikan pada tahun 1990) sebagai sebuah persekutuan orang-orang Kristen yang berupaya untuk menangani konflik secara Kristen. IRC telah berkembang dengan cepat menjadi sebuah jaringan dunia yang sehati sepikir, tetapi secara budaya berbeda, para pelayan doa dari semua aliran di dalam Gereja Allah. Ada pendoa syafaat, pelayanan profetis, penelitian, perencana strategis, pelayanan pelatihan, dan duta besar pendamaian yang memimpin dalam pengakuan umum, pertobatan dan pendamaian di “perkumpulan yang khusuk” dan peristiwa khusus lainnya. Inisiatif pendamaian dimulai ketika orang yang saling mempercayai membentuk aliansi di seputar masalah pendamaian dan berusaha mengadakan tindakan bersama. IRC membantu orang yang memiliki pikiran yang sama saling bertemu dan belajar dari rekonsiliator lain dalam jaringan ini. Saya menyadari lebih dari 60 inisiatif utama memperoleh momentum. Pertobatan yang bersifat identifikasi terbukti menjadi kunci untuk membuka pintu yang telah tertutup selama berabad-abad. Salah satu contoh yang paling signifikan dari inisiatif itu adalah “Perjalanan Rekonsiliasi,” yang bersamaan dengan hari jadi ke-900 Perang Salib. Para pendoa di Eropa berjalan di jalur yang dilalui pasukan Perang Salib dari barat ke timur, membawa pernyataan pertobatan kepada komunitas M dan Yahudi atas pembantaian yang dilakukan atas nama Kristus. Responsnya sangat luar biasa. Saya tidak tahu mengapa kita menunggu sampai 900 tahun baru bertobat akibat Perang Salib, tetapi saya senang terobosan di antara orang M terjadi di masa hidup kita! Di Amerika Serikat, orang melakukan perjalanan doa di tempat orang Indian Amerika ditindas dan dibantai. Selain itu, ada perjalanan doa ke pelabuhan budak bersejarah di Afrika Barat, di sana orang Amerika kulit putih dan hitam menangis bersama, belajar bersama dan menemukan kedekatan yang dihindari orang percaya yang kurang radikal.

Pemulihan melalui Kuasa Salib
Saya memiliki seorang teman dari Welsh bernama Rhiannon Lloyd yang mengadakan kelas pemulihan trauma bagi orang-orang yang selamat dari suku Hutu maupun Tutsi dari pembantaian di Rwanda. Jika Anda berada di tempat dia, apa yang akan Anda katakan kepada orang-orang yang mengalami peristiwa mengerikan ini? Banyak yang mengalami pemerkosaan atau dibuat cacat atau menyaksikan pembunuhan anggota keluarga mereka. Ini yang teman saya lakukan: Di tempat penampungan sebuah rumah gereja, mereka bertemu selama tiga hari. Rhiannon pertama membujuk jemaatnya yang sedang berduka untuk menulis di sebuah kertas pengalaman terburuk yang pernah mereka alami. Ketika fakta-fakta mengerikan dihadapi dengan cara ini, dia mengumpulkan kembali mereka dalam kelompok kecil untuk saling menceritakan kisah mereka. Ini sering kali menjadi langkah pertama yang menakutkan untuk mulai bisa mempercayai orang lain. Terakhir, kengerian yang luar biasa tersebut ditulis pada sebuah kertas besar agar semua bisa melihat dan bertanya, “Apa yang Allah rasakan tentang hal ini?” Dia kemudian menggambar sebuah salib besar berwarna merah pada kertas yang berisi tulisan itu, menjadi simbol salib Kristus. “Ini satu-satunya tempat di mana kita dapat membawa penderitaan kita,” kata teman saya kepada mereka. Teman saya kemudian berkata kepada mereka “ini salah satu alasan Yesus datang ke dunia, tidak hanya menanggung dosa kita, tetapi juga dosa dari orang-orang yang telah berdosa terhadap kita. Berdiri dan katakan kepada Tuhan kesakitan yang ada dalam hati Anda. Apa yang Anda lihat … apa yang terjadi pada Anda. Jika Anda marah, katakan kepada Dia. Jika emosi yang kuat datang, jangan menahannya, karena Allah akan menangis bersama Anda.” Pada awalnya hanya keheningan, tetapi isak tangis dan raungan kemudian memenuhi penampungan budaya Rwanda ketika orang-orang menumpahkan kesedihan, kemarahan dan keputusasaan mereka dihadapan Kristus yang tersalib. Lama sesudah itu, ketika semua diam, mereka bernyanyi dengan pelan bagian refrain dari sebuah lagu, “What a friend we have in Jesus, all our sins and griefs to bear.” Pada akhirnya Rhiannon membawa sebuah salib besar dari kayu kasar dan menempatkannya di lantai dengan sekumpulan paku. Satu per satu, orang-orang percaya itu maju ke depan, dan mengambil kertas mereka yang berisi catatan kegerian dan telah basah oleh air mata, berlutut dan memakukannya ke salib Yesus. Sepanjang sore bunyi palu terdengar, menggemakan kepedihan Golgota, sebagai pengingat Yesus mengerti penderitaan kita. Pada hari ketiga, hal yang luar biasa terjadi. Orang mulai bersaksi bahwa di tengah pembantaian etnis, Allah bekerja dalam kegelapan. Mereka bicara mengenai pahlawan-pahlawan, pendamai-pendamai Kristen, yang pertama kali mati. Kemarahan kepada Allah mulai menjadi empati kepada Allah ketika orang percaya mulai merenungkan hati-Nya yang hancur melihat cara manusia memperlakukan sesamanya. Dengan duka yang sekarang mulai surut di antara banyak orang, pembicaraan mengenai pengampunan mulai muncul. Yesus dilihat, tidak hanya seabgai Domba Allah yang tidak bersalah, tetapi juga Hakim yang bangkit dan benar yang tanpa kompromi pasti akan menjalankan keadilan. Bahkan sekarang tangan pembalasan-Nya sudah teracung kepada orang jahat, orang-orang yang menghantui ingatan orang-orang yang selamat. “Jika mereka bertobat, bagaimana dengan Anda jika Allah mengampuni mereka?” tanya Rhiannon. Setiap orang merenungkan pertanyaan ini, menambah kesaksian mereka akan pembersihan terhadap kesedihan, banyak yang akhirnya menyimpulkan jika Allah mengampuni mereka, mereka pada akhirnya juga harus mengampuni yang lain. Inilah “keindahan dari abu,” janji Allah (Yes. 61:1-4).

Pemulihan Wilayah
Terakhir, Rhiannon menceritakan kepada mereka sebuah kisah pribadi:

Saya berasal dari sebuah bangsa di mana dua suku saling menyakiti. Suatu hari saya sedang berada dalam pertemuan doa ketika seorang Kristen dari Inggris berlutut di kaki saya. “Kami sering membuat orang Welsh sebagai pelayan kami,” katanya. “Mohon ampuni kami.” Dan orang itu melanjutkannya dengan membasuh kaki saya. Suatu perasaan yang mendalam terjadi di hati saya pada hari itu karena kerendahan hati seseorang yang memilih untuk mengakui dosa-dosa bangsanya yang telah dilakukan terhadap bangsa kami.

Kisah sederhana Rhiannon memiliki kunci. Kuncil kepada gerbang kuno yang memisahkan kelompok suku dan elemen-elemen masyarakat satu sama lain. Dia telah memberikan hikmat kepada suku Hutu dan Tutsi saat mereka bergumul untuk hidup bersama di wilayah yang sama. Anda bisa melihat, Yesus tidak menyuruh kita untuk memberikan salib kepada orang lain, tetapi kepada diri kita. Inilah yang memberi kita kuasa sebagai pendamai. Inilah suatu misteri yang dinyatakan dalam salib Kristus. Setiap orang percaya harus mengambil salib mereka dan menerapkannya ke dalam identitas mereka. Bahkan sekarang Allah masih mencari orang-orang seperti teman Rhiannon, orang Inggris yang rendah hati. Dia mencari mereka yang mau menyatakan kerendahan hati Kristus dan mendatangkan pemulihan kepada segala bangsa. Rhiannon menjalankan kebenaran ini. Dia melakukan satu hal lagi. Ketika seorang kulit putih dikelilingi oleh orang Afrika, dia melihat diri sebagai wakil orang Eropa. Dia tidak bisa mewakili orang Eropa secara resmi, apalagi mengakui dosa orang lain, tetapi dia menyadari bahwa tidak ada orang Kristen “generik.” Kita semua datang dari suatu tempat, dan bagi orang Afrika dia jelas salah seorang Eropa yang telah lama berkuasa di Afrika. Rhiannon mengetahui bahwa kehadirannya mengingatkan banyak orang Afrika akan penolakan dan dominasi yang tidak adil, tetapi alih-alih menolak semua hubungan dengan pemerintahan kolonial di masa lalu dengan perkataan seperti, “Saya bukan dari Belgia,” atau “Itu terjadi pada generasi yang lalu,” atau “Bangsa saya juga ditindas.” Dia dengan sukarela berdiri di antara celah sebagai seorang pemohon. Alkitab menunjukkan bahwa Allah sedang mencari orang-orang seperti ini. Tidak hanya orang-orang yang mau berdiri di antara di hadapan Dia, tetapi orang-orang yang mau memperbaiki dengan berlutut dalam hubungan manusia. Allah tidak meletakkan kesalahan kepada pemohon. Kita tidak secara individu bersalah atas apa yang kelompok suku atau orangtua kita lakukan, tetapi Dia menantikan “imamat rajani,” yaitu orang-orang yang telah ditebus dalam Kristus, untuk secara terbuka menyatakan kebenaran dihadapan Dia dan orang banyak, sama seperti para imam Ibrani di masa lalu lakukan atas dosa-dosa bangsa Israel. Anda bisa lihat, sangat sulit untuk mengampuni jika Anda tidak pernah mendengar suatu pengakuan terbuka akan ketidakadilan yang telah melukai Anda atau kelompok Anda. Di sisi lain, anugerah pengampunan seperti itu di keluarkan ketika diminta pengampunan oleh mereka yang mewakili orang-orang yang telah menyebabkan penderitaan Anda. Saya baru-baru ini menemukan kesaksian seorang misionaris yang bekerja di Pasifik pada tahun 1830-an. Di dalam diarinya, dia menggambarkan usaha awal untuk menjangkau suku Maori yang suka berperang di Selandia Baru. Terkejut, saya menemukan para pengikut Yesus yang baru bertobat ini terus membahayakan diri mereka dalam usaha mendamaikan konflik antar suku, sering kali meletakkan badan mereka di antara kelompok yang berperang dalam suatu Utu (pembunuhan untuk membalas dendam). Itu merupakan pelayanan pendamaian yang memberi kredibilitas bagi Injil lebih dari hal lainnya, dan di dalam sebuah generasi, sejumlah besar populasi lokal menjadi orang percaya. Apa yang efektif pada masa lalu lebih penting lagi pada perjuangan misi hari ini. Doa syafaat lebih dari sekadar doa, itu sama dengan menghidupi kehidupan Kristus sebagai perantara, pendamai dalam suatu dunia yang terluka dan pahit tanpa jawaban bagi hubungan yang rusak yang telah menyiksa segala budaya. Inilah hari kesukaan Allah: “Tetapi kamu akan disebut imam TUHAN dan akan dinamai pelayan Allah kita” (Yes. 61:6).


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas