PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Mendirikan Gereja: Belajar Cara Keras

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Tim dan Rebecca Lewis

Tim dan Rebecca Lewis telah aktif dalam pelayanan kaum M selama 30 tahun, mempimpin sebuah tim lapangan selama beberapa tahun. Mereka sekarang ini terlibat di dalam kepemimpinan dan juga diskusi-diskusi mengenai isu-isu strategi.

Pendirian Gereja itu mudah! Pikir kami. Dalam beberapa bulan mendarat di sebuah kota di Afrika Utara, kami sudah mempunyai satu kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan mengadakan pertemuan di rumah kami. Yang bergabung dalam persekutuan itu ada beberapa orang percaya berlatar belakang M yang dulu menjadi percaya Tuhan melalui kesaksian orang lain. Kami menghiasi ruang tamu kami dengan tulisan lokal, menyuguhkan teh mint yang manis dan mengenakan djellabas (baju tradisional). Kami berharap sebuah persekutuan yang kontekstual dapat bertumbuh menjadi sebuah gereja yang kuat. Tim, seorang lulusan seminari, berperan sebagai pendeta namun bergantian dalam kepemimpinan. Kami bernyanyi dan mempelajari Alkitab dalam bahasa Inggris, Arab, dan Perancis. Para peserta berasal dari latar belakang Berber, Arab, Perancis, Spanyol, Scotlandia, dan Amerika. Kami bahkan mengumpulkan persembahan untuk kaum miskin. Kami kira kami sudah mendirikan sebuah rumah gereja Perjanjian Baru yang multi-budaya.

Bagaimanapun, sebelum tahun itu berakhir, gereja ini telah runtuh. Orang-orang percaya berasal dari semua penjuru kota dan memiliki sdikit kesamaan. Kami ingin mereka menjadi seperti sebuah keluarga, tetapi mereka tidak tertarik. Jika Tim pergi, tidak ada yang hadir.

Menyatukan sebuah kelompok orang-orang percaya yang kontekstual merupakan usaha kami untuk mendirikan gereja yang akan bertahan dengan menerapkan wawasan dari masa lalu. Selama sedikitnya 60 tahun, para misionaris telah memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus di negeri ini, tetapi mereka balik ke M untuk mendapatkan kembali keluarga dan komunitas yang hilang dari mereka. Maka, 20 tahun terakhir ini, para misionaris mulai mengumpulkan mereka dalam harapan untuk menciptakan komunitas, tetapi gereja-gereja yang didirikan tidak bertahan. Mempertimbangkan gereja-gereja terlalu asing, yang membuat keluarga dan pemerintah menentang mereka, kami berusaha untuk mengkontekstualisasikan persekutuan, namun persekutuan pun gagal.

Kami menyerah dan memulainya dari awal. Mungkin kami mengumpulkan orang-orang dengan terlalu banyak perbedaan latar belakang. Kali ini, kami memutuskan untuk mengumpulkan hanya orang-orang percaya dari satu kelompok kaum – yang kami sedang fokuskan. Jadi ketika peluang muncul, kami memperkenalkan hanya dua orang percaya yang dikenal dari suku itu. Kami berharap mereka bergabung dengan sukacita. Sebaliknya, mereka mundur dengan rasa curiga. Kemudian, satu-satu dari mereka menegur Tim karena memperkenalkan mereka. Masing-masing takut kalau orang lain akan memberitakan dirinya sebagai orang kristen ke kota asalnya atau kepada pemerintah.

Sekarang kami pikir, “mendirikan gereja itu begitu sulit!” Persekutuan multi-budaya kami yang kontekstual telah gagal. Kelompok satu budaya yang kontekstual juga gagal. Bagaimana kami bisa pernah membuat orang-orang percaya agar saling mempercayai untuk mendirikan sebuah gereja?

Ketika itu berakhir, kami perlu mengevaluasi kembali asumsi kami tentang apa itu gereja dan bagaimana memulainya. Pertama, Allah dengan tidak terduga menunjukkan kepada kami sebuah cara mendirikan gereja yang sangat berbeda. Lalu, kami memperhatikan bagaimana Yesus mendirikan gereja secara lintas budaya dan bagaimana Dia memerintahkan para murid-nya untuk memulai gereja.

Allah Menunjukkan kepada Kita Sebuah Cara yang Berbeda

Allah memeriksa secara seksama pemahaman kami tentang gereja dengan mendirikan gereja sendiri di tengah-tengah kelompok kami. Untuk jelasnya, Dia tidak mendirikan sebuah gereja; Dia menanam Injil ke dalam komunitas yang sudah ada.

Di tengah-tengah pergumulan kegagalan kami mendirikan sebuah gereja, kami menerima sebuah surat yang benar-benar di luar dugaan. Pembawa surat memberitahukan kami bahwa dua saudara dari kelompok kami telah menyelesaikan kursus koresponden Alkitab. Sekarang mereka ingin bertemu dengan orang percaya. Kami segera mengutus pembicara berbahasa Arab kami ke kota mereka. Ketika dia tiba di rumah mereka, rumah telah padat. Anggota tim kami heran berpikir mungkin dia terhalangi dengan acara pernikahan, maka dengan ragu-ragu bertanya pada Hasan, yang telah menulis surat.

Hasan dan saudaranya bergegas maju menyambutnya ke tengah-tengah keluarganya. Mereka telah mengumpulkan semua kerabat keluarga dan teman dekat untuk mendengar tamu kehormatan mereka menjelaskan apa yang telah mereka pelajari di kursus. Mereka sangat ingin menerima Injil dan berikrar berkelompok untuk mengikut Yesus. Rekan-rekan tim kami tergetar. Ketika dia pulang kembali, kami merasakan ketakjubannya.

Gereja baru ini, terdiri dari keluarga besar dan teman-teman, terus kuat hingga saat ini. Berpuluh tahun kemudian, mereka masih menyebarkan Injil dari kota ke kota melalui jaringan mereka yang alami. Mereka belajar Firman bersama-sama, berdoa, membaptis, dan bersekutu di dalam cara yang mereka anggap paling sesuai dengan komunitas mereka. Tidak ada orang luar yang pernah mencoba untuk mengkontekstualisasikan apa yang telah digantikan. Mereka tidak pernah memiliki seorang pemimpin atau dana dari pihak relasi jaringan mereka diluar. Mereka tidak merasa membutuhkannya.

“Inikah pendirian gereja?” kami bertanya. Begitu berbeda dengan apa yang selama ini kami lakukan. Selama berpuluh tahun, para pekerja yang setia telah membentuk gereja-gereja, hanya untuk membuatnya runtuh kurang dari 10 tahun. Ketika kami tiba, hanya ada satu persekutuan yang tersisa, berjuang di tengah-tengah kota terbesar. Kami sendiri telah menyaksikan terjadinya dan matinya beberapa kelompok lagi. Adakah cara lain?

Kami membandingkan dua cara mendirikan gereja. Cara kami terdiri atas membentuk gereja dengan mengumpulkan orang-orang percaya yang kami kenal. Iman mereka mendahului komitmen di antara mereka. Kami adalah pusat yang menghubungkan relasinya, entah gereja dikontekstualisasikan atau tidak, multi-budaya atau satu budaya. Tentu saja, kami berharap untuk mengganti kepeminpinan kepad orang-orang percaya sebagai komitmen mereka terhadap pertumbuhan satu sama lain. Tetapi, gereja runtuh. Cara kami membangun komunitas merupakan pola yang umum di dalam budaya kami tetapi tidak dalam budaya mereka.

Namun, gereja berkembang dengan cara yang berbeda ketika Injil ditanamkan dalam keluarga Hasan. Orang-orang percaya saling menguatkan di dalam komunitas natural mereka. Komitmen mereka terhadap satu sama lain mendahului iman mereka. Anggota bisa lebih mudah meninggalkan gereja daripada meninggalkan keluarga mereka. Kami memberikan masukan-masukan Alkitabiah sesekali, seperti kitab suci yang diterjemahkan, tetapi yang lain sedikit. Kami benar-benar pihak luar.

Dapatkah pertumbuhan iman di dalam keluarga atau jaringan menjadi cara yang lebih efektif dalam mendirikan gereja di tengah-tengah komunitas masyarakat? Jika ya, bagaimana kami bisa melakukan ini sebagai pihak luar? Ketika kami melihat dalam Kitab Suci, kami memperhatikan dua hal untuk pertama kalinya: Yesus telah mendirikan gereja secara lintas budaya di tengah-tengah desa Samaria, dan Dia telah memberi para murid-Nya perintah tentang bagaimana menanam Injil di dalam komunitas.

Yesus Mengajarkan Kita Cara yang Berbeda

“Bagaimana kita mendirikan gereja dengan cara lain ini?” kami bertanya-tanya. Kami mulai dengan memperhatikan cara Yesus mendirikan gereja di tengah-tengah komunitas Samaria (Yoh 4). Orang Samaria, seperti orang M saat ini, menyembah Allah Abraham. Seperti orang Samaria, orang M “menyembah apa yang tidak mereka kenal.” Karena penekanan mereka adalah pada kemurnian, orang Yahudi menganggap orang Samaria najis dan mengasingkan mereka dari bait dan semua ibadah Allah yang biasa.

Maka, perempuan Samaria terkejut ketika Yesus meminta air darinya karena permusuhan lama antara kelompok bangsa mereka. Dan ketika Yesus menawarkan hidup yang kekal, dia menolaknya, karena dia tahu bangsanya tidak akan pernah bisa bergabung dengan agama bangsa Yahudi. “Menarik,” pikir kita. Teman M kita seringkali menolak keselamatan di dalam Yesus karena mereka tidak bisa membayangkan bergabung dengan agama Kristen.

Namun Yesus merobohkan halangan itu. Ketika perempuan Samaria menyatakan bahwa orang Yahudi beribadah di bait, tetapi orang Samaria di pegunungan, Yesus menjelaskan bahwa perubahan bentuk religius bukanlah isunya. Tetapi, Dia berkata,

Saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian (Yoh 4:23).

Perempuan itu begitu bersukacita karena mereka pun bisa menjadi penyembah-penyembah yang benar, sehingga dia lari kembali ke desa dan memberitahu semua penduduknya.

Sebagai hasilnya, orang-orang Samaria mengundang Yesus untuk masuk ke dalam komunitas mereka selama 2 hari. Yesus meyakinkan mereka bahwa Dia “adalah benar-benar Juruselamat dunia,” bukan hanya Juruselamat orang-orang Yahudi. Banyak yang percaya, dan Yesus meninggalkan sebuah gereja di dalam komunitas itu seperti satu gereja di dalam keluarga Hasan. Yesus tidak berusaha untuk membuat mereka keluar dari komunitas mereka bergabung dengan orang Yahudi atau orang percaya Samaria dari tempat lain. Kami belum pernah memperhatikan bagian dari kisah ini sebelumnya!

Kisah ini bukanlah sebuah perumpamaan; Yesus menghadapi halangan yang sama yang sedang kami hadapi! Semua orang M yang kami kenal telah diajarkan bahwa untuk menyembah Allah melalui Kristus mereka harus meninggalkan keluarga mereka dan bergabung dengan kelompok Kristen, yang telah menjadi musuh mereka selama 1.400 tahun. Namun entah bagaimana Hasan dan keluarganya telah melihat hal-hal yang dilakukan Yesus: Mereka bisa menjadi penyembah-penyembah sejati tanpa meninggalkan komunitas mereka.

Lalu kami melihat, untuk pertama kalinya, bahwa Yesus juga mengajar para murid bagaimana mendirikan gereja di dalam sebuah komunitas. Di Luk 10, Dia menyuruh 70 orang untuk mencari “orang damai” – seseorang yang akan mengundang mereka ke dalam keluarga mereka. Mereka harus tetap tinggal di keluarga itu mengabarkan Injil kepada semua orang yang datang ke rumah itu dan bukan pergi dari rumah ke rumah. Jika tidak ada orang di desa tertentu yang mengundang mereka masuk ke dalam keluarga mereka, mereka harus meninggalkannya dan pergi ke desa lain. Luar biasa jelas!

Kami tidak pernah berpikir untuk mencari orang-orang yang akan mengundang kami masuk ke dalam keluarga atau komunitas mereka untuk berbicara tentang Yesus! Tetapi Yesus dan para murid-Nya telah mendirikan gereja dengan cara ini.

“Kami bisa meniru apa yang Yesus lakukan!” kami sadari. Kami bisa mulai dengan mengatakan kepada teman-teman M kami bahwa menyembah Allah di dalam roh dan kebenaran tidak menuntut mereka untuk mengganti sistem religius mereka. Jika ada yang menerima kabar ini dengan suka cita dan mengundang kami kembali untuk berbicara kepada seluruh keluarga mereka, kami bisa pergi ke dalam komunitas mereka. Seperti terjadi dalam keluarga Hasan, mereka yang memutuskan untuk mengikut Yesus bisa bertumbuh di dalam iman bersama-sama. Daripada berusaha untuk menarik orang-orang percaya dari komunitas yang berbeda untuk membentuk kelompok baru, kami dapat, seperti Yesus, mendirikan gereja di dalam komunitas natural mereka.

Kesimpulan

Setelah 15 tahun, kami mempelajari pendirian gereja di dalam budaya komunal dengan cara yang keras. Kami mendapati bahwa kami tidak bisa mendirikan gereja yang bertahan lama dengan mengumpulkan secara acak orang-orang percaya ke dalam kelompok baru. Tidak masalah apakah mereka dikontekstualisasikan atau tidak, multibudaya atau satu budaya. Setelah beberapa bulan atau tahun, kelompok-kelompok seperti ini akan runtuh.

Namun kami perlu mencari orang damai yang akan mengundang kami ke dalam keluarga mereka untuk mengabarkan Injil. Yesus disambut di dalam desa Samaria. Ketujuh puluh murid disambut di dalam sebuah keluarga. Demikian pula, Petrus diterima di dalam keluarga Kornelius, dan Paulus diterima oleh Lydia di dalam keluarganya.

Di semuanya, mereka disambut di dalam komunitas yang bersatu, sehingga Injil dibagikan ke seluruh kelompok. Sebagai hasilnya, orang-orang yang sudah berkomitmen satu sama lain menjadi beriman bersama-sama. Gereja lahir di dalam komunitas yang natural tanpa menciptakan kelompok baru hanya untuk persekutuan. Ini mengingatkan kami pada apa yang pernah dikatakan oleh Ralph Winter: “ ‘Gereja’ (dalam pengertian menjadi komunitas yang berkomitmen) sudah ada, mereka hanya belum mengenal Yesus!”


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas