Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia
Draf Buku Perspektif
International Orality Network
International Orality Network (ION) adalah sebuah jaringan berbagai organisasi yang bekerja sama untuk mempengaruhi organisasi-organisasi misi, gereja-gereja, dan setiap individu untuk memuridkan para pembelajar lisan melalui penceritaan Alkitab dan bentuk komunikasi lain yang tepat secara budaya. ION mendorong agar Firman Allah tersedia bagi orang yang berkomunikasi secara lisan, termasuk kelompok suku yang belum terjangkau, untuk memfasilitasi gerakan penanaman jemaat di mana-mana.
Tulisan ini diambil dari Making Disciples of Oral Learners, sebuah buku dari sebuah kelompok riset dalam konsultasi LCWE 2004 di Pattaya, Thailand, diterbitkan bersama oleh ION dan Lausanne Committee for World Evangelization (LCWE).
Sejak zaman Alkitab Gutenberg, Kekristenan “telah berjalan dengan kaki-kaki kemampuan baca tulis” dan secara langsung atau tidak langsung mengharuskan kemampuan baca tulis dari orang lain. Namun, dua per tiga dari semua orang di dunia berkomunikasi secara lisan?mereka yang tidak bisa, tidak atau tidak mau belajar melalui sarana baca tulis. Ironisnya, sekitar 90% para pekerja Kristen di seluruh dunia menyajikan Injil dengan menggunakan gaya komunikasi baca tulis yang tinggi.
Memuridkan para pembelajar secara lisan memerlukan berbagai bentuk komunikasi yang tidak asing bagi suatu budaya: cerita-cerita, kata-kata bijak, drama, lagu-lagu, seruan-seruan dan puisi. Pendekatan kemampuan baca tulis bergantung pada daftar, garis besar, studi kata, halaman cetak dan eksposisi analitis dari firman Allah. Ini menyulitkan, jika bukan mustahil, bagi para pembelajar lisan untuk mendengar dan memahami pesan dan mengomunikasikan Injil kepada orang lain.
Bagaimana Belajar dan Komunikasi Terjadi dalam Budaya Lisan
Yang kami maksudkan dengan ”pembelajar lisan” adalah orang-orang yang belajar paling baik dan yang hidupnya paling mungkin terpengaruh oleh perubahan jika pengajaran dilakukan dalam bentuk lisan. Budaya lisan cenderung berhadapan muka dengan muka, masyarakat yang memiliki hubungan yang tinggi. Budaya lisan menyalurkan kepercayaan, warisan, nilai-nilai dan informasi penting lainnya melalui sarana cerita, kata-kata bijak, puisi, seruan-seruan, musik, tari-tarian, upacara dan upacara yang dikaitkan dengan perubahan status. Kata-kata yang diucapkan, dinyanyikan atau diserukan dengan berbagai aktivitas tersebut di atas sering kali terdiri dari cara komunikasi yang dikembangkan dan penuh hiasan.
Perbedaan antara pembelajaran secara lisan dan tulisan lebih dari sekadar bentuk atau gaya komunikasi di permukaan. Bahkan cara pembelajar lisan dalam memproses informasi itu berbeda. Cara-cara memproses informasi melibatkan pemberitahuan secara konkret (ketimbang abstrak), secara berurutan (ketimbang secara acak) dan dalam konteks relasional (berlawanan dengan individualis).
Mereka yang bertumbuh dalam masyarakat dengan kemampuan baca tulisnya yang tinggi cenderung berpikir tentang kemampuan baca tulis sebagai norma dan komunikasi lisan sebagai sebuah penyimpangan. Ini tidak demikian. Semua masyarakat, termasuk mereka yang memiliki segmen kemampuan baca tulis yang tinggi, memiliki komunikasi lisan pada intinya. Komunikasi lisan merupakan fungsi dasar yang di atasnya tulisan dan kemampuan baca tulis didasarkan. Ketika kemampuan baca tulis bertahan dalam suatu budaya selama beberapa generasi, hal itu mulai mengubah cara orang berpikir, bertindak dan berkomunikasi?perubahan itu sedemikian besar sehingga anggota-anggota dari masyarakat yang melek huruf tersebut mungkin tidak lagi menyadari bagaimana gaya komunikasi mereka berbeda dari sebagian besar orang di dunia yang merupakan komunikator lisan.
Akan tetapi, para pembelajar lisan kesulitan mengikuti gaya presentasi tertulis, bahkan jika presentasi itu dibuat secara lisan. Tidak cukup untuk membuat materi yang diciptakan bagi orang melek huruf dan sekadar membacakannya ke dalam format rekaman. Menjadikan sesuatu menjadi sesuatu yang bisa didengar tidak selalu membuatnya menjadi sebuah komunikasi lisan. Tidak setiap hal dalam CD atau kaset adalah “lisan.” Sebagiannya jelas terlihat terpelajar dalam gayanya meskipun diucapkan atau direkam. Hal yang sama berlaku terhadap produk media lain yang dibuat bagi pendengar yang terpelajar. Semua itu mungkin memiliki ciri khas berkenaan dengan gaya bahasa tulisan yang membingungkan para pembelajar lisan.
Memuridkan dalam Budaya Lisan
Untuk memuridkan para pembelajar lisan, sangat penting agar kita berfokus pada lima aspek penting untuk mengomunikasikan Injil dalam budaya lisan.
1. Menggunakan Strategi Lisan yang Tepat untuk Membuat Firman Allah Bisa Diakses
Kita ingin agar semua kelompok suku sudah memiliki terjemahan tertulis dari Alkitab dalam bahasa asli mereka. Tetapi, bagi yang buta huruf, Alkitab tertulis tidak bisa diakses meskipun tersedia dalam bahasa mereka. Di sisi lain, program penerjemahan Alkitab yang dimulai dengan penyajian Alkitab secara lisan melalui bercerita dan kemudian berlanjut dengan suatu program penerjemahan dan penulisan Alkitab merupakan strategi yang paling komprehensif bagi pengomunikasian Firman Allah dalam bahasa asli mereka. Strategi ini menawarkan kemungkinan yang nyata untuk memuridkan para pembelajar lisan sementara pada saat yang sama menyediakan seluruh firman Allah.
Pendekatan yang sistematis dan sekuensial (berurutan) dengan sebuah masyarakat yang sebagian besarnya komunikator lisan dapat dimulai dengan menceritakan isi Alkitab secara lisan. Pendekatan ini mungkin bisa dimulai dengan melibatkan presentasi rekaman dan radio dari cerita-cerita lisan yang sama. Produk rekaman dan radio yang lebih luas yang didasarkan pada materi Alkitab yang diterjemahkan bisa juga digunakan. Dalam beberapa kasus bentuk visual bisa menjadi pelengkap, seperti ilustrasi yang menggambarkan berbagai pemandangan dalam kisah-kisah Alkitab. Tentu saja, film dan video bisa menjadi pelengkap yang penting dari “Alkitab lisan.”
2. Menggunakan Pola Komunikasi Lisan untuk Menyajikan Pesan Injil
Pertimbangkan bagaimana menolong seluruh komunitas pembelajar lisan agar mereka mendengar pesan Injil dan mengerti pesan tersebut secara jelas, merespons secara mendalam dan menyebarkan pesan itu kepada yang lain secara mudah. Di hampir setiap budaya lisan, menyajikan cerita Alkitab secara lisan, dalam pola berurutan, membantu orang memahami, mengingat dan menceritakan ulang. Komunikasi cerita dalam cara ini disebut sebagai “menceritakan Alkitab secara kronologis.”
Pendekatan bercerita dalam pelayanan melibatkan memilih dan membentuk kisah-kisah Alkitab dengan bantuan para pemimpin lokal. Kisah-kisah setia pada teks Alkitab, dan pada saat yang sama, kisah-kisah tersebut diceritakan secara alami dan menarik dalam bahasa asli yang menggema dengan wawasan dunia dari masyarakat yang menjadi penerima cerita tersebut. Ketika yang Alkitab dikisahkan secara kronologis dilakukan dengan baik, beragam kisah tersebut disajikan dalam bentuk-bentuk yang dianggap benar dan dihargai bagi masyarakat penerima. Sering kali cara kisah tersebut disajikan melibatkan para pendengar yang memproses kisah tersebut dalam cara yang relevan secara budaya sambil juga berinteraksi dengan orang yang bercerita serta mendiskusikan cerita-cerita tersebut di kalangan mereka sendiri.
3. Memperlengkapi Para Komunikator Naratif-Relasional untuk Memuridkan
Banyak orang menerima pandangan bahwa pendekatan lisan seperti menceritakan Alkitab secara kronologis mungkin cocok bagi penginjilan awal, tetapi mereka ragu apakah pendekatan cerita ini bisa terus digunakan bagi sebuah gerakan penanaman jemaat yang sinambung yang dipimpin oleh orang pribumi. Apakah pendekatan ini memadai untuk digunakan bagi pemuridan dari generasi-generasi kedua, ketiga dan seterusnya dan bagi pengembangan kepemimpinan dalam gereja? Mereka yang bekerja dalam masyarakat yang relasional, muka dengan muka, menemukan bahwa bercerita bukan hanya pendekatan yang bisa terus digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang ada, tetapi juga pendekatan yang paling disukai untuk memastikan kemampuan menghasilkan kembali. Apa pun yang bisa dihasilkan kembali biasanya bisa terus sinambung dalam berbagai gerakan penanaman jemaat yang dipimpin orang pribumi. Orang percaya baru dapat dengan segera membagikan Injil, menanam jemaat baru dan memuridkan orang percaya baru dengan cara yang sama seperti mereka dijangkau dan dimuridkan.
4. Menggunakan Sarana Lisan dalam Memuridkan untuk Menghindari Sinkretisme
Jika gereja ingin menghindari sinkretisme, maka Injil perlu dikomunikasikan dalam bahasa ibu dari kelompok suku yang ingin kita jangkau. Baik materi penginjilan maupun pemuridan tidak bisa secara generik tetapi perlu dikembangkan sesuai dengan wawasan dunia pendengar yang dituju. Kisah yang dipilih dan cara kisah tersebut dikomunikasikan akan harus mengubah wawasan dunia mereka yang melihat atau mendengar kisah tersebut. Alkitab lisan yang direkam akan menolong berfungsi sebagai standar untuk memastikan penyaluran kisah tetap akurat. Metode ini bisa memastikan gereja tetap setia kepada kepercayaan historis Kekristenan dan tidak mencampurkan kepercayaan tradisional dalam pengajaran dan praktik mereka.
5. Menggunakan Pendekatan Berorientasi Lisan demi Menjangkau “Pembelajar Lisan Sekunder”
Ada jutaan orang yang memilih untuk belajar dan berkomunikasi dengan metode lisan ketimbang baca tulis meskipun mereka melek huruf. Orang-orang ini dikenal sebagai pembelajar lisan sekunder. Pembelajar lisan sekunder adalah mereka yang telah melek huruf karena pekerjaan atau sekolah mereka, tetapi lebih memilih dihibur, belajar dan berkomunikasi secara lisan.
Strategi lisan juga diperlukan untuk menjangkau kelompok suku yang komunikasi lisannya terkait dengan media elektronik. Ledakan pertumbuhan media elektronik telah memberi dampak kepada munculnya komunikasi lisan sekunder di seluruh dunia, yaitu, komunikasi lisan yang bergantung pada media elektronik. Ketika media non-cetak seperti radio, film dan televisi tersedia secara luas, masyarakat yang berkomunikasi secara lisan menjadi masyarakat multimedia. Hidup mereka terus mendapat pengaruh kuat oleh kisah-kisah yang mereka pelajari dan lagu-lagu yang mereka dengar. Namun, kisah-kisah dan lagu tersebut semakin sering berasal dari media elektronik ketimbang dari komunikasi langsung muka dengan muka. Para penduduk desa beralih dari mendengarkan tua-tua menceritakan kisah-kisah di sekeliling perapian kepada menonton kisah-kisah di layar berwarna televisi. “Buta huruf fungsional masih besar di sini,” kata Muniz Sodre, profesor komunikasi di Federal University di Rio de Janeiro. “Dalam banyak hal, Brazil berubah langsung dari budaya lisan ke zaman elektronik, melewati tulisan. Televisi mengisi gap tersebut.”
Pembelajar lisan sekunder juga merupakan pengaruh yang signifikan dalam budaya yang memiliki tradisi tulisan yang kuat. Jutaan orang mungkin dapat membaca dengan baik, tetapi mereka mendapat sebagian besar informasi penting (termasuk kepercayaan dan nilai) melalui kisah dan musik yang berasal dari radio, televisi, film, internet dan berbagai sarana elektronik lainnya. Fenomena ini menyebabkan banyak orang berpikir, berkomunikasi, memproses informasi, dan membuat keputusan seperti orang yang berbudaya lisan. Strategi lisan merupakan bagian penting untuk membawa gerakan Injil ke dalam segmen dari populasi dunia ini.