PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Laporan Willowbank: Komite Lausanne untuk Penginjilan Dunia

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


“Dimana pun manusia mengembangkan organisasi sosial, seni dan ilmu pengetahuan, pertanian dan teknologi, kreativitas mereka merefleksikan Pencipta mereka.”

“The Willowbank Report,”(Laporan Willowbank) digunakan dengan ijin dari Komite Lausanne untuk Penginjilan Dunia, 1978.

“The Willowbank Report”(Laporan Willowbank) adalah produk dari perundingan tentang “Injil dan Budaya” Januari 1978, disponsori oleh Komite Lausanne untuk Penginjilan Dunia dan diselenggarakan di Willowbank, Somerset Bridge, Bermuda. Ada 33 teolog, antropolog, ahli bahasa, misionaris, dan pendeta yang hadir. Laporan itu menyatakan isi dari 17 makalah tertulis yang dibagikan di muka, ringkasan dari makalah-makalah tersebut dan tanggapan terhadapnya muncul selama perundingan dan pandangan-pandangan diungkapkan dalam diskusi pleno dan kelompok.

Daftar isi

1. Dasar Alkitab tentang Budaya

“Karena manusia adalah ciptaan Allah, beberapa dari kebudayaan mereka kaya akan keindahan dan kebaikan. Karena dia jatuh, semua itu tercemar dengan dosa dan beberapa darinya adalah jahat.” (Kovenan Lausanne, alinea 10). Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, dalam rupa-Nya sendiri dengan menganugerahkan kepada mereka kecakapan manusia yang khas, yaitu kecakapan rasional, moral, sodial, kreatif dan spiritual. Dia juga mengatakan kepada mereka untuk beranak cucu, untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya (Kej 1:26-28). Perintah ilahi ini adalah asal dari budaya manusia. Dasar kebudayaan adalah kontrol kita terhadap alam (yakni, lingkungan kita) dan pengembangan kita adalah kontrol atas bentuk-bentuk organisasi sosial. Sejauh kita menggunakan kekuatan kreatif kita untuk mematuhi perintah Allah, kita memuliakan Allah, melayani sesama dan memenuhi bagian penting dari takdir kita di bumi.

Namun, sekarang kita jatuh. Semua pekerjaan kita disertai dengan keringat dan susah payah (Kej 3: 17-19), dan dinodai oleh keegoisan. Jadi tidak ada budaya kita yang sempurna dalam kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Dalam jantung setiap budaya – entah kita mengidentifikasi jantung ini sebagai agama atau sudut pandang dunia – merupakan sebuah unsur dari egosentris, pemujaan manusia atas dirinya sendiri. Oleh karena itu sebuah budaya tidak dapat ditempatkan di bawah ketuhanan Kristus tanpa sebuah perubahan kesetiaan yang radikal. Untuk semua itu, penegasan bahwa kita diciptakan dalam gambar Allah masih berlaku (Kej 9:6; Yak 3:9), meskipun rupa ilahi telah tercemar oleh dosa. Dan Allah masih mengharapkan kita untuk mengelola bumi dan makhluk-makhluknya (Kej 9:1-3,7), dan di dalam anugerah umum-Nya membuat semua orang berdaya cipta, banyak akal dan bermanfaat dalam upaya-upaya mereka. Jadi, meskipun Kejadian 3 mencatat kejatuhan manusia, dan Kejadian 4 mencatat pembunuhan Kain oleh Habel, keturunan Kainlah yang digambarkan sebagai inovator-inovator budaya, membangun kota, peternakan, dan membuat alat-alat musik dan alat-alat logam (Kej 4:17-22).

Banyak dari kami penginjil Kristen di masa lalu telah terlalu negatif terhadap budaya. Kami tidak melupakan kejatuhan manusia dan ketersesatan yang membutuhkan keselamatan di dalam Kristus. Namun kami ingin memulai Laporan ini dengan sebuah penegasan yang positif tentang martabat manusia dan pencapaian budaya manusia. Dimanapun manusia mengembangkan organisasi sosial, seni dan ilmu pengetahuan, pertanian dan teknologi, kreativitas mereka merefleksikan Pencipta mereka.

2. Sebuah Definisi Budaya

Budaya adalah sebuah istilah yang tidak mudah rentan terhadap definisi. Dalam arti luas, budaya berarti cara terpola dimana orang-orang melakukan hal-hal bersama-sama. Jika ada kehidupan yang sama dan tindakan kerja sama, haruslah ada kesepakatan, diutarakan atau tidak, tentang sejumlah banyak hal. Namun istilah “budaya” umumnya tidak digunakan kecuali unit yang bersangkutan lebih besar daripada keluarga yaitu kesatuan-kesatuan atau yang diperluas. Budaya menyiratkan ukuran homogenitas. Namun, jika unitnya lebih besar daripada klan atau suku kecil, budaya akan mencakup sejumlah sub-budaya, dan sub-sub budaya dari sub-budaya, yang di dalamnya beragam variasi dan keanekaragaman adalah mungkin. Jika variasinya melampaui batasan tertentu, budaya tandingan akan terjadi, dan ini mungkin membuktikan proses yang destruktif.

Budaya menahan orang-orang bersama-sama selama suatu rentang waktu. Budaya diterima dari masa lampau, namun tidak melalui proses warisan alamiah. Budaya harus dipelajari lagi oleh setiap generasi. Ini terjadi secara luas melalui proses penyerapan terhadap lingkungan sosial, terutama di keluarga. Dalam banyak masyarakat, unsur-unsur tertentu dari budaya dikomunikasikan secara langsung dalam upacara pengenalan dan melalui banyak bentuk lain dari perintah yang dimaksudkan. Tindakan yang sesuai dengan budaya umumnya ada pada tingkat bawah sadar. Ini berarti bahwa budaya yang diterima meliputi segala sesuatu dalam kehidupan manusia. Di pusatnya ada sebuah sudut pandang dunia, yaitu, pemahaman umum tentang sifat alam semesta dan tentang tempat seseorang di dalamnya. Ini mungkin “religius” (berkenaan dengan Allah, atau dewa-dewa dan roh-roh, hubungan kita dengan mereka), atau mungkin mengungkapkan konsep “sekuler” tentang realitas, seperti dalam masyarakat Marxis.Dari sudut pandang dunia dasar ini mengalir baik standar-standar penilaian maupun nilai-nilai (tentang apa yang baik dalam arti yang diinginkan, tentang apa yang diterima menurut kehendak umum masyarakat, dan tentang pertentangan) dan standar-standar perilaku (mengenai hubungan antara individu, antara jenis kelamin dan generasi, dengan masyarakat dan dengan orang-orang di luar masyarakat).

Budaya terikat erat dengan bahasa, dan diungkapkan dalam peribahasa, mitos, cerita rakyat, dan berbagai bentuk seni, yang menjadi bagian dari perabotan mental semua anggota kelompoknya. Budaya mengatur tindakan-tindakan yang dilakukan dalam komunitas – tindakan ibadah atau kesejahteraan umum; hukum dan administrasi hukum; kegiatan sosial seperti tarian dan permainan; unit yang lebih kecil dari tindakan seperti klub-klub dan lembaga-lembaga, asosiasi-asosiasi untuk berbagai keperluan umum.

Budaya tidak pernah statis; ada proses perubahan yang terus-menerus. Namun ini harus bertahap dalam mengambil bagian di dalam norma-norma yang diterima; kalau tidak budaya akan terganggu. Penalti terburuk yang dapat ditimbulkan pada pemberontakan adalah pengucilan dari komunitas sosial yang ditegaskan secara budaya.Laki-laki dan perempuan membutuhkan sebuah keberadaan yang disatukan. Partisipasi dalam budaya adalah salah satu faktor yang memberikan kepada mereka rasa memiliki. Ini memberikan rasa aman, identitas, martabat, menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar, dan ambil bagian baik dalam kehidupan generasi masa lalu maupun dalam pengharapan untuk masa depan masyarakat itu sendiri.

Petunjuk Alkitabiah untuk memahami budaya manusia ditemukan dalam dimensi manusia rangkap tiga, tanah dan sejarah yang merupakan fokus perhatian Perjanjian Lama. Etnis, teritorial dan historis (siapa, dimana dan dari mana kita) muncul di sana sebagai sumber rangkap tiga dari bentuk-bentuk ekonomis, ekologis, sosial dan artistik dari kehidupan manusia di Israel, bentuk-bentuk tenaga kerja dan produksi dan sebagainya dari kekayaan dan kesejahteraan. Model ini memberikan perspektif untuk menafsirkan semua budaya.

Mungkin kita dapat mencoba untuk meringkas berbagai arti ini sebagai berikut: Budaya adalah sistem terpadu dari kepercayaan-kepercayaan (tentang Allah atau realitas atau makna tertinggi), dari nilai-nilai (tentang apa yang benar, baik, indah dan normatif), dari kebiasaan (bagaimana berperilaku, berhubungan dengan orang lain, berbicara, berdoa, berpakaian, bekerja, bermain, berdagang, bertani, makan, dll.) dan dari institusi-institusi yang mengungkapkan kepercayaan, nilai-niali, dan kebiasaan ini (pemerintah, pengadilan hukum, kuil atau gereja, keluarga, sekolah, rumah sakit, pabrik, toko, serikat, klub, dll.), yang menyatukan masyarakat bersama dan memberikan kepadanya rasa identitas, martabat, rasa aman dan kesinambungan.

3. Budaya dalam Penyataan Alkitab

Pengungkapan diri pribadi Allah dalam Alkitab diberikan dalam hal budaya para pendengarnya sendiri. Jadi kita harus bertanya pada diri kita sendiri apa yang menjadi tugas komunikasi lintas budaya kita saat ini. Para penulis Alkitab memanfaatkan dengan kritis materi budaya apapun yang tersedia bagi mereka untuk pengungkapan berita mereka.Sebagai contoh, Perjanjian Lama mengacu beberapa kali kepada monster laut Babel bernama “Lewiatan,” sedangkan bentuk “kovenan” dengan umat-Nya menyerupai “perjanjian” daerah kekuasaan orang Het kuno dengan para pengikutnya. Para penulis juga memanfaatkan secara insidental pemakaian dari gambaran konseptual alam semesta “tingkat tiga,” meskipun mereka tidak demikian menegaskan kosmologi pra-Copernican. Kita melakukan sesuatu yang mirip ketika kita berbicara tentang matahari “terbit” dan “tenggelam.” Demikian pula, bahasa Perjanjian Baru dan bentuk-bentuk pemikiran yang dijejakkan dalam budaya Yahudi maupun Yunani, dan Paulus tampaknya telah mengambil dari kosa kata filsafat Yunani. Namun proses yang melaluinya para penulis Alkitab meminjam kata-kata dan penggambaran dari lingkungan pergaulan budaya mereka, dan menggunakan itu dengan kreatif, dikuasai oleh Roh Kudus sehingga mereka bersih dari kesalahan atau implikasi palsu dan dengan demikian mengubah itu menjadi kendaraan bagi kebenaran dan kebaikan. Fakta-fakta yang tidak diragukan ini memunculkan sejumlah pertanyaan yang kita gumuli. Kami menyebutkan lima:

Sifat Inspirasi Alkitab

Apakah pemakaian kata-kata dan ide-ide dari budaya para penulis Alkitab sendiri bertentangan dengan inspirasi ilahi? Tidak. Kita telah mencatat genre-genre sastra yang berbeda di Kitab Suci, dan bentuk-bentuk yang berbeda dari proses inspirasi yang mereka nyatakan secara tidak langsung. Misalnya,ada perbedaan yang luas dalam bentuk antara pekerjaan para nabi, menerima penglihatan dan perkataan Tuhan, dan sejarawan dan para penulis surat. Namun Roh yang sama secara unik menginspirasi mereka semua. Allah menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan latar belakang budaya dari para penulis (meskipun penyataan-Nya terus-menerus melampaui ini), dan dalam setiap kejadian hasilnya adalah sama, yaitu Firman Allah melalui kata-kata manusia.

Bentuk dan Arti

Setiap komunikasi memiliki baik makna (apa yang mau kita katakan) maupun bentuk (bagaimana kita mengatakannya). Keduanya – bentuk dan arti – selalu sama-sama memiliki, di dalam Alkitab maupun dalam buku-buku dan ucapan lain. Lalu bagaimanakah seharusnya sebuah pesan diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain? Sebuah terjemahan harfiah dari bentuk (“korespondensi formal”) dapat menyembunyikan atau mengubah arti. Dalam kasus tersebut, cara yang lebih baik adalah dengan menemukan dalam bahasa yang lain sebuah ungkapan yang menjadikan dampak yang setara pada pendengar sekarang seperti pada pendengar asal. Ini dapat melibatkan perubahan bentuk untuk mempertahankan arti. Ini disebut “kesetaraan dinamis.” Perhatikan, misalnya, terjemahan RSV dari Roma 1:17, yang menyatakan bahwa dalam Injil “the righteousness of God is revealed through faith for faith.” [“kebenaran Allah dinyatakan melalui iman karena iman.”] Ini memberikan terjemahan kata per kata dari bahasa Yunani asli, yaitu terjemahan “korespondensi formal.” Namun ini membuat arti kata bahasa Yunani “kebenaran” dan “dari iman kepada iman” menjadi tidak jelas.

Sebuah terjemahan seperti TEV – “the gospel reveals how God puts people right with himself: it is through faith from beginning to end”[Injil mengungkapkan bagaimana Allah membenarkan orang-orang di hadapan-Nya: ini adalah melalui iman sejak awal sampai akhir”] – mengabaikan prinsip korespondensi satu-satu antara kata-kata Yunani dan Inggris; namun mengungkapkan arti dari kalimat asli dengan lebih memadai. Upaya untuk menghasilkan terjemahan “kesetaraan dinamis” juga dapat membawa penerjemah kepada pemahaman Kitab Suci yang lebih dalam, sekaligus menjadikan teksnya lebih bermakna bagi orang-orang dari bahasa lain.

Beberapa bentuk Alkitab (kata, gambaran, metafora) harus dipertahankan, bagaimanapun, karena merupakan simbol penting yang diulang-ulang dalam Kitab Suci (misalnya, salib, domba, atau cawan). Sementara mempertahankan bentuk, penerjemah akan berusaha untuk mengeluarkan artinya. Sebagai contoh, dalam TEV menerjemahkan Markus 14:36 -—“take this cup of suffering away from me” [“ambillah cawan penderitaan ini dari-Ku”] – bentuk (yaitu gambaran “cawan”) dipertahankan, namun kata “penderitaan” ditambahkan untuk memperjelas artinya. Menulis dalam bahasa Yunani, para penulis Perjanjian Baru menggunakan kata-kata yang memiliki sejarah yang panjang dalam dunia sekuler, namun menginvestasikan kata-kata tersebut dengan makna Kristen sebagaimana Yohanes menyebut Yesus sebagai “Logos.”[“Firman”]. Ini berbahaya karena “logos” memiliki arti yang bervariasi dalam sastra dan filsafat Yunani, dan asosiasi bukan Kristen diragukan menempel pada kata itu. Jadi Yohanes mengatur judulnya di dalam konteks pengajaran, menegaskan bahwa Logos adalah awal, adalah bersama Allah, adalah Allah, adalah agen ciptaan, adalah terang dan kehidupan manusia, dan menjadi manusia (Yoh 1:1-14). Demikian pula, beberapa orang Kristen India telah mengambil resiko meminjam kata Sansekerta “avatar” (keturunan), digunakan dalam Hinduisme untuk apa yang disebut “inkarnasi” Wisnu, dan menerapkannya, dengan keamanan penjelasan yang seksama, untuk inkarnasi Allah dalam Yesus Kristus. Namun orang lain telah menolak untuk melakukannya, dengan alasan tidak ada pengamanan yang memadai untuk mencegah salah tafsir.

Sifat Normatif Kitab Suci

Kovenan Lausanne menyatakan bahwa Alkitab adalah “tanpa kesalahan dalam semua yang ditegaskannya” (alinea 2). Ini meletakkan pada kita tugas eksegetis untuk membedakan apa yang Kitab Suci tegaskan. Arti penting dari pesan Alkitab harus dipertahankan apapun resikonya. Meskipun beberapa bentuk asli dimana arti yang diungkapkan dapat berubah demi komunikasi lintas budaya, kami percaya bahwa mereka juga memiliki kualitas normatif tertentu. Karena Allah sendiri memilih mereka sebagai kendaraan yang sepenuhnya sesuai atas wahyu-Nya. Jadi setiap formulasi baru dan penjelasan dalam setiap generasi dan budaya harus diperiksa kesetiaannya dengan mengacu kembali pada yang asli.

Pengkondisian Budaya Kitab Suci

Kami belum mampu mencurahkan waktu sebanyak yang kami inginkan untuk masalah pengkondisian budaya Alkitab. Kami setuju bahwa beberapa perintah di Alkitab (misalnya, mengenai jilbab perempuan di muka umum dan saling membasuh kaki) mengacu pada adat budaya yang sekarang telah usang di banyak bagian dunia. Dihadapkan pada teks seperti itu, kami percaya bahwa respon yang tepat bukanlah ketaatan seperti budak ataupun pengabaian yang tidak bertanggung jawab, melainkan pertama-tama penegasan kritis terhadap arti inti dari teks dan kemudian terjemahannya ke dalam budaya kita sendiri.Misalnya, arti inti dari perintah saling membasuh kaki adalah saling mengasihi harus terungkap dalam pelayanan yang rendah hati. Jadi dalam beberapa budaya kita bisa saling membersihkan sepatu sebagai gantinya. Jelas bagi kami bahwa tujuan seperti “perubahan budaya” tidak untuk menghindari ketaatan melainkan untuk membuatnya sejaman dan otentik. Pertanyaan kontroversial tentang status perempuan tidak dibahas di Perundingan kami. Namun kami mengakui kebutuhan untuk mencari pemahaman yang mencoba dengan integritas untuk melakukan keadilan atas emua pengajaran berdasarkan Alkitab, dan yang melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai keduanya berakar dalam tatanan yang dibuat dan pada saat yang sama berubah oleh tatanan baru yang diperkenalkan oleh Yesus.

Pekerjaan Roh Kudus yang Berkelanjutan

Apakah penekanan kami pada norma Kitab Suci yang menentukan dan permanen berarti bahwa kami berpikir Roh Kudus kini telah berhenti bekerja? Tidak, memang tidak. Namun sifat dari pelayanan pengajaran-Nya telah berubah. Kami percaya bahwa karya “inspirasi”-Nya telah selesai, dalam pengertian bahwa kanon Kitab Suci sudah ditutup, namun karya “iluminasi”-Nya berlanjut baik dalam setiap pertobatan (misalnya 2 Kor 4:6) maupun dalam kehidupan orang Kristen dan Gereja. Jadi kita pelu secara terus-menerus berdoa agar Dia akan mencerahkan mata hati kita sehingga kita dapat mengenal kepenuhan tujuan Allah bagi kita (Ef 1:17 dst) dan mungkin tidak takut-takut tetapi berani dalam membuat keputusan dan melaksanakan tugas-tugas baru hari ini.Kami telah dibuat menyadari bahwa pengalaman Roh Kudus mengungkapkan penerapan kebenaran Allah untuk kehidupan pribadi dan gereja sering kurang jelas daripada yang seharusnya: kami semua membutuhkan keterbukaan yang lebih sensitif pada titik ini.

Pertanyaan untuk Diskusi

  1. Perintah-perintah dalam Kejadian 1:26-28 kadang-kadang disebut sebagai “mandat budaya” yang Tuhan berikan kepada umat manusia. Seberapa jauh itu dipenuhi hari ini?
  2. Dalam pengertian definisi budaya di atas, apa saja unsur-unsur khas utama budaya Anda sendiri?
  3. Jika Anda bisa dua bahasa, buatlah kalimat dengan satu bahasa dan kemudian cobalah untuk menemukan terjemahan “kesetaraan dinamis” ke dalam bahasa yang lain.
  4. Berikan contoh lain dari “perubahan budaya” yang mempertahankan “arti inti” teks Alkitab namun mengubahnya ke dalam budaya Anda sendiri.

4. Memahami Firman Tuhan Hari Ini

Faktor budaya hadir tidak hanya dalam penyataan-diri Allah di Kitab Suci, tetapi juga dalam penafsiran kita tentangnya. Sekarang kita beralih ke topik ini. Semua orang Kristen peduli untuk memahami Firman Allah, namun ada cara yang berbeda dalam berusaha untuk melakukannya.

Pendekatan Tradisional

Cara yang paling umum untuk datang langsung ke kata-kata dari teks Alkitab, dan untuk mempelajari kata-kata tanpa kesadaran bahwa para penulis konteks budaya berbeda dari budaya para pembacanya. Para pembaca menafsirkan teks seolah telah ditulis dalam bahasanya sendiri, budaya dan zamannya sendiri.Kami menyadari bahwa banyak Alkitab yang bisa dibaca dan dipahami dengan cara ini, terutama jika terjemahannya baik. Karena Allah memaksudkan Firman-Nya bagi orang-orang biasa; tidak dianggap sebagai pelestarian para ahli; kebenaran sentral keselamatan adalah gamblang untuk dilihat oleh semua orang; Kitab Suci “useful for teaching the truth, rebuking error, correcting faults and giving instruction for right living” [“bermanfaat untuk mengajar kebenaran, menegur kesalahan, mengoreksi kesalahan dan memberikan instruksi untuk hidup benar”] (2 Tim 3:16, TEV); dan Roh Kudus telah diberikan untuk menjadi Guru kita. Kelemahan dari pendekatan “populer” ini, bagaimanapun, adalah bahwa itu tidak berusaha untuk pertama-tama memahami teks dalam konteks aslinya; dan, karena itu, beresiko untuk kehilangan arti sesungguhnya yang Allah maksudkan dan mengganti yang lain.

Pendekatan kedua melakukan berdasarkan keseriusan konteks historis dan budaya yang asli. Pendekatan ini juga berusaha untuk menemukan arti teks dalam bahasa aslinya, dan bagaimana itu berkaitan dengan seluruh isi Kitab Suci. Semua ini adalah disiplin yang penting karena Allah mengatakan Firman-Nya kepada orang-orang tertentu dalam konteks dan zaman tertentu. Jadi pemahaman kita tentang pesan Allah akan bertumbuh ketika kita meneliti hal-hal ini secara mendalam. Kelemahan dari penekanan “historis,” bagaimanapun, adalah bahwa pendekatan ini gagal untuk mempertimbangkan bahwa Kitab Suci mungkin berkata kepada pembaca kontemporer. Pendekatan ini semacam menghentikan makna dari Alkitab pada zaman dan budayanya. Dengan demikian bertanggung jawab untuk menganalisa teks tanpa menerapkannya, dan untuk memperoleh pengetahuan akademik tanpa ketaatan. Penafsir juga mungkin cenderung membesar-besarkan kemungkinan objektivitas yang lengkap dan mengabaikan perkiraan budayanya sendiri.

Pendekatan Kontekstual

Pendekatan ketiga dimulai dengan menggabungkan unsur-unsur positif dari keduanya, pendekatan “populer” dan “historis.” Dari pendekatan “historis” perlu adanya studi konteks dan bahasa aslinya, dan dari pendekatan “populer’ perlunya mendengarkan Firman Allah dan menaatinya. Namun itu lebih jauh daripada ini. Pendekatan ini dengan serius memperhatikan konteks budaya para pembaca kontemporer sekaligus teks Alkitab, dan menyadari bahwa sebuah dialog harus dikembangkan di antara keduanya.

Kebutuhan untuk interaksi dinamis antara teks dan penafsir inilah yang kita ingin tekankan. Para pembaca hari ini tidak bisa sampai kepada teks dalam kevakuman pribadi, dan seharusnya tidak mencobanya. Melainkan, mereka harus sampai dengan kesadaran akan kepedulian yang berasal dari latar belakang budaya mereka, situasi pribadi, dan tanggung jawab kepada orang lain. Kepedulian ini akan mempengaruhi pertanyaan yang diajukan ke Kitab Suci. Apa yang diterima kembali, bagaimanapun, tidak akan hanya jawaban, tetapi lebih banyak pertanyaan. Ketika kita membicarakan Kitab Suci, Kitab Suci membicarakan kita. Kita mendapati bahwa praduga yang dikondisikan secara budaya tertantang dan pertanyaan kita dikoreksi. Pada kenyataannya, kita dipaksa untuk merumuskan pertanyaan kita sebelumnya dan untuk meminta yang baru. Jadi interaksi yang hidup berlanjut.

Dalam proses interaksi ini, pengetahuan kita tentang Allah dan tanggapan kita terhadap kehendak-Nya terus-menerus diperdalam. Semakin kita mengenal Dia, semakin besar tanggung jawab kita untuk taat kepada-Nya dalam situasi kita sendiri, dan semakin kita merespon dengan taat, semakin Dia membuat diri-Nya dikenal. Pertumbuhan dalam pengetahuan, kasih, dan ketaatan yang berkesinambungan inilah yang merupakan tujuan dan keuntungan dari pendekatan kontekstual. Keluar dari konteks dimana Firman-Nya semula diberikan, kita mendengar Allah berbicara kepada kita dalam konteks kontemporer, dan kita menemukannya sebagai pengalaman yang mengubahkan. Proses ini adalah semacam spiral ke atas dimana Kitab Suci tetap selalu sentral dan normatif.

Komunitas yang Belajar

Kami ingin menekankan bahwa tugas pemahaman Kitab Suci bukanlah hanya untuk individu-individu tetapi seluruh komunitas Kristen, berbicara sebagai persekutuan kontemporer maupun historis. Ada banyak cara dimana gereja lokal dan regional dapat melihat kehendak Allah dalam budaya zaman ini sendiri. Kristus masih menunjuk para pendeta dan guru di dalam gereja-Nya. Dan sebagai jawaban atas doa yang mengandung harapan Dia katakan kepada umat-Nya, terutama melalui pemberitaan Firman-Nya dalam konteks ibadah.Selain itu, ada tempat untuk “pengajaran dan nasihat satu terhadap yang lain” (Kol 3:16) baik dalam kelompok pemahaman Alkitab maupun dalam perundingan gereja-gereja sealiran, serta untuk mendengarkan dengan tenang suara Allah dalam Kitab Suci, yang merupakan unsur yang sangat diperlukan dalam kehidupan Kristiani orang-orang percaya. Gereja juga merupakan persekutuan historis dan telah menerima warisan masa lalu yang kaya akan teologi Kristen, liturgi, dan kesetiaan. Tidak ada kelompok orang percaya yang dapat mengabaikan warisan ini tanpa resiko pemiskinan rohani. Pada saat yang sama, tradisi ini tidak boleh diterima secara tidak kritis, entah itu datang dalam bentuk serangkaian perbedaan denominasional atau dalam cara lain namun diuji oleh Kitab Suci itu menyatakan untuk menjelaskan. Juga tidak boleh dikenakan pada gereja manapun, melainkan disediakan bagi orang-orang yang menggunakannya sebagai bahan sumber daya yang berharga, sebagai penyeimbang semangat kemerdekaan, dan sebagai penghubung dengan Gereja universal. Jadi Roh Kudus memerintahkan umat-Nya melalui bermacam-macam guru baik dari masa lalu maupun masa kini. Kita saling membutuhkan. Hanya “dengan semua orang kudus” inilah kita dapat mulai memahami semua dimensi kasih Allah (Ef 3:18,19). Roh “menerangi pikiran umat Allah dalam setiap kebudayaan untuk melihat kebenarannya (yaitu kebenaran Kitab Suci) yang baru melalui mata mereka sendiri dan dengan demikian mengungkapkan kepada seluruh Gereja lebih banyak warna lagi tentang hikmat Allah” (Kovenan Lausanne, alinea 2, menggemakan Ef 3:10).

Keheningan Kitab Suci

Kami juga mempertimbangkan masalah keheningan Kitab Suci, yaitu, bidang-bidang doktrin dan etika yang Alkitab tidak berbicara secara eksplisit tentangnya. Ditulis dalam dunia Yahudi kuno dan Graeco-Romawi, Kitab Suci tidak mengalamatkan secara langsung, misalnya, untuk Hindu, Budha, atau M hari ini, atau untuk teori sosio-ekonomi Marxis atau teknologi modern. Namun demikian, kami percaya adalah hak bagi gereja untuk dibimbing oleh Roh Kudus untuk mencari Kitab Suci sebagai panutan dan prinsip yang akan memampukannya untuk mengembangkan pikiran Tuhan Kristus dan juga mampu untuk membuat keputusan-keputusan Kristen yang otentik. Proses ini akan berlangsung paling bermanfaat di dalam komunitas orang percaya karena menyembah Allah dan terlibat dalam ketaatan aktif di dunia. Kami mengulangi bahwa ketaatan Kristen adalah sebanyak pendahuluan untuk memahami sebagai konsekuensi dari itu.

Pertanyaan untuk Diskusi

  1. Dapatkah Anda mengingat contoh-contoh tentang bagaimana salah satu dari dua “pendekatan tradisional” terhadap pembacaan Alkitab telah menyebabkan Anda tersesat?
  2. Pilih teks yang terkenal seperti Matius 6:24-34 (kecemasan dan ambisi) atau Lukas 10:25-38 (orang Samaria yang baik hati) dan menggunakan “pendekatan kontekstual” dalam mempelajarinya. Mari mengembangkan dialog antara Anda dan teks, pada waktu Anda mengajukan pertanyaan tentangnya dan itu mengajukan pertanyaan tentang Anda. Tuliskan tahap-tahap interaksinya.
  3. Diskusikan beberapa cara praktis untuk mencari bimbingan Roh Kudus hari ini.

5. Isi dan Komunikasi Injil

Setelah memikirkan komunikasi Allah tentang Injil kepada kita dalam Kitab Suci, kita sekarang masuk ke dalam inti perhatian kita, tanggung jawab kita untuk mengomunikasikannya kepada orang lain, yaitu, untuk menginjili. Namun sebelum kita memikirkan komunikasi Injil, kita harus mempertimbangkan isi Injil yang harus dikomunikasikan. Karena “menginjili adalah menyebarkan kabar baik...” (Kovenan Lausanne, alinea 4). Oleh karena itu, tidak ada penginjilan tanpa kabar baik.

Alkitab dan Injil

Injil dapat ditemukan dalam Alkitab. Sesungguhnya, ada pengertian dimana seluruh Alkitab adalah Injil, dari Kejadian sampai Wahyu. Untuk tujuan utama seluruhnya adalah untuk menjadi saksi bagi Kristus, untuk memberitakan kabar baik bahwa Dia adalah Pemberi Hidup dan Tuhan dan untuk meyakinkan orang-orang supaya percaya kepada-Nya (misalnya, Yoh 5:39, 40; 20:31; 2 Tim 3:15).Alkitab memberitakan kisah Injil dalam berbagai bentuk. Injil adalah seperti sebuah berlian yang bersegi banyak, dengan aspek yang berbeda yang berdaya tarik bagi orang yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Injil memiliki kedalaman yang belum kita mengerti. Injil menantang setiap usaha untuk menguranginya menjadi sebuah formulasi yang rapi.

Intisari Injil

Namun demikian, adalah penting untuk mengidentifikasi apa yang ada pada intisari Injil. Kita mengetahui tema sentral Allah sebagai Pencipta, universalitas dosa, Yesus Kristus sebagai Anak Allah, Tuhan dari semua, dan Juruselamat melalui kematian-Nya yang menebus dan kebangkitan-Nya, perlunya pertobatan, kedatangan Roh Kudus dan kuasa mengubahkan-Nya, persekutuan dan misi Gereja Kristen dan harapan akan kedatangan Kristus kembali. Sementara ini adalah unsur-unsur dasarInjil, perlu untuk menambahkan bahwa tidak ada pernyataan teologis yang bebas-budaya/terlepas dari budaya. Oleh karena itu, semua formulasi teologis harus dinilai berdasarkan Alkitab itu sendiri, yang ada di atas semua itu. Nilai mereka harus dinilai oleh kesetiaan mereka pada Alkitab serta relevansinya dengan pesan yang mereka terapkan pada budaya mereka sendiri.

Dalam keinginan kami untuk mengomunikasikan Injil dengan efektif, kami sering disadarkan tentang unsur-unsur itu di dalamnya yang tidak disukai oleh orang-orang. Sebagai contoh, salib selalu menjadi sebuah pelanggaran bagi orang yang sombong dan juga kebodohan bagi orang yang bijaksana. Namun Paulus, karena hal itu, tidak menghilangkannya dari beritanya. Sebaliknya, dia terus memberitakan salib, dengan kesetiaan dan dengan resiko penganiayaan, percaya bahwa Kristus yang disalibkan adalah hikmat dan kuasa Allah. Kita juga, meskipun berkepentingan untuk mengkontekskan berita kami dan menghapus semua pelanggaran yang tidak perlu, harus menolak godaan untuk mengakomodasi itu untuk kesombongan dan prasangka manusia. Alkitab telah diberikan kepada kita. Tanggung jawab kita bukanlah untuk mengeditnya tetapi untuk memberitakannya.

Rintangan Budaya untuk Komunikasi Injil

Tidak ada saksi Kristen yang dapat berharap untuk mengomunikasikan Injil jika dia mengabaikan faktor budaya. Hal ini terutama benar dalam kasus misionaris. Karena mereka sendiri adalah hasil dari satu budaya dan pergi ke orang-orang yang adalah hasil dari budaya lainnya. Maka pastilah mereka terlibat dalam komunikasi lintas budaya, dengan semua tantangan yang menarik dan tuntutan yang rewel. Dua masalah utama menghadang mereka. Kadang-kadang orang menolak Injil bukan karena mereka pikir itu palsu tetapi karena mereka menganggap hal itu sebagai ancaman bagi budaya mereka, terutama struktur masyarakat mereka, dan solidaritas nasional dan suku mereka. Untuk beberapa hal ini tidak bisa dihindari. Yesus Kristus adalah pengganggu sekaligus pembawa perdamaian. Dia adalah Tuhan, dan menuntut kesetiaan kita secara total. Dengan demikian, beberapa orang Yahudi abad pertama memandang Injil sebagai merendahkan Yudaisme dan menuduh Paulus “mengajar orang dimana-mana untuk menentang bangsa, hukum, dan tempat ini,” yaitu bait Allah (Kis 21:28). Demikian pula, beberapa orang Roma abad pertama takut akan stabilitas negara, karena menurut pandangan mereka, para misionaris Kristen, dengan mengatakan bahwa, “ada Raja yang lain, yaitu Yesus,” tidak setia kepada Kaisar dan menganjurkan kebiasaan yang tidak sesuai dengan hukumpraktek Roma (Kis 16:21; 17:7). Hari ini pun Yesus masih menantang banyakkeyakinan yang dihargai dan adat istiadat dari setiap budaya dan masyarakat.

Pada saat yang sama, ada ciri-ciri dari setiap budaya yang tidak bertentangan dengan ketuhanan Kristus, dan yang karena itu tidak perlu diancam atau dibuang, melainkan dipertahankan dan diubah. Utusan Injil perlu mengembangkan sebuah pemahaman yang mendalam tentang budaya lokal dan penghargaan yang tulus terhadapnya. Hanya dengan begitu mereka akan mampu melihat apakah penolakannya adalah terhadap beberapa tantangan yang tidak bisa dihindari dari Yesus Kristus ataukah terhadap beberapa perlakuan atas budaya yang, apakah itu khayalan atau nyata, tidaklah penting. Masalah lainnya adalah bahwa Injil sering disampaikan kepada orang-orang dalam bentuk budaya yang asing. Lalu misionaris dibenci dan berita mereka ditolak karena pekerjaan mereka tidak dilihat sebagai usaha untuk menginjili namun sebagai usaha untuk memaksakan adat istiadat dan cara hidup mereka. Dimana misionaris mendatangkan cara berpikir dan perilaku yang aneh kepada mereka, atau sikap superioritas ras, paternalisme, atau keasyikan dengan barang-barang, komunikasi yang efektif akan terhalangi. Kadang-kadang dua kesalahan budaya disatukan bersama-sama, dan utusan Injil bersalah atas imperialisme budaya yang melemahkan budaya lokal yang tidak perlu dan juga memaksakan budaya asing sebagai gantinya. Beberapa misionaris didampingi penakluk Spanyol atas Mexico dan Peru abad ke-18Katolik Amerika Latin dan penjajah Protestan Afrika dan Asia merupakan contoh historis kesalahan ganda ini. Sebaliknya, Rasul Paulus tetap menjadi teladan tertinggi dari seseorang yang kesombongan atas hak istimewa budayanya sendiri pertama-tama dilucuti oleh Yesus Kristus (Flp 3:4-9) dan kemudian diajar untuk beradaptasi dengan budaya lain, menjadikan dirinya sebagai budak mereka dan menjadi “semua hal untuk semua orang” agar dengan demikian menyelamatkan orang-orang (1 Kor 9:19-23).

Kepekaan Budaya dalam Mengomunikasikan Injil

Saksi yang peka lintas budaya tidak akan sampai pada lingkungan pelayanan mereka dengan Injil yang pra-paket. Mereka pastilah telah memiliki pemahaman yang jelas tentang kebenaran Injil “yang diberikan.” Namun mereka akan gagal untuk berkomunikasi dengan sukses jika mereka berusaha untuk memaksakan ini pada orang-orang tanpa referensi pada situasi budaya mereka sendiri dan orang-orang kepada siapa mereka pergi. Hanya dengan keterlibatan aktif yang penuh kasih dengan orang-orang lokal, berpikir dalam pola pemikiran mereka, memahami sudut pandang dunia mereka, mendengarkan pertanyaan mereka, dan merasakan beban mereka, maka seluruh komunitas orang percaya (yang mana misionaris adalah bagian darinya) akan mampu meresponi kebutuhan mereka. Dengan doa, pemikiran, dan pencarian hati yang sama, di dalam kebergantungan pada Roh Kudus, orang asing dan orang percaya lokal bisa belajar bersama-sama bagaimana menghadirkan Kristus dan mengkontekstualisasikan Injil dengan tingkat kesetiaan dan relevansi yang setara. Kita tidak mengatakan bahwa itu akan mudah, meskipun beberapa budaya Dunia Ketiga memiliki daya tarik alamiah terhadap budaya yang berdasarkan Alkitab. Namun kami percaya bahwa pemahaman kreatif yang baru muncul ketika komunitas orang percaya yang dipimpin Roh mendengarkan dan bereaksi dengan peka terhadap kebenaran Kitab Suci dan juga kebutuhan dunia.

Kesaksian Kristen di Dunia M

Kepedulian diungkapkan tentang perhatian yang memadai telah diberikan pada Perundingan kami terhadap berbagai masalah misi Kristen di dunia M, meskipun ada sekitar 600 juta M hari ini [Ed. Catatan: lebih dari 1 milyar pada tahun 1998]. Di satu sisi, kebangkitan agama dan misi M terjadi di banyak negerei; di sisi lain, terjadi keterbukaan yang baru terhadap Injil di sejumlah komunitas yang melemahkan hubungan mereka dengan budaya tradisional M. Ada kebutuhan untuk mengenali ciri khas M yang memberikan peluang yang unik bagi kesaksian Kristen. Meskipun ada unsur M yang tidak sesuai dengan Injil, ada juga unsur-unsur dengan tingkat dari apa yang disebut “pertobatan.”Misalnya, pemahaman Kristen kita tentang Allah, dinyatakan dalam seruan lantang Luther berkaitan dengan keadilan, “Biarlah Allah menjadi Allah,” juga bisa berfungsi sebagai sampai dengan definisi M. Iman M dalam kesatuan ilahi, penekanan pada kewajiban manusia untuk beribadah kepada Allah dengan benar, dan ucapan penolakan penyembahan berhala juga bisa dianggap sebagai sejalan dengan tujuan Allah bagi kehidupan manusia sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus. Saksi Kristen kontemporer harus belajar rendah hati dan penuh harap untuk mengidentifikasi, menghargai, dan menerangi hal-hal ini dan nilai-nilai lainnya. Mereka juga harus bergumul untuk perubahan – dan, jika mungkin, integrasi – dari semua yang relevan dalam ibadah, doa, puasa, seni, arsitektur, dan kaligrafi M.

Semua ini berlangsung hanya di dalam apresiasi yang realistis terhadap situasi saat ini di negara-negara M yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan sekularisasi. Kewajiban sosial akan kekayaan baru dan kemiskinan tradisional, ketegangan kemerdekaan politis, dan pembubaran serta frustasi Palestina yang tragis – semua ini mengupayakan bidang-bidang kesaksian Kristen yang relevan. Yang terakhir telah melahirkan puisi yang sangat bersemangat, satu catatan yang di dalamnya adalah paradigma Yesus yang menderita. Hal-hal ini dan unsur lainnya meminta kepekaan Kristen yang baru dan kesadaran yang nyata akan kebiasaan diri sendiri tertutup yang mana Gereja telah lama bekerja untuk Timur Tengah. Di tempat lain, paling tidak di sub-Sahara Afrika, sikap-sikapnya lebih fleksibel dan kemungkinan-kemungkinannya lebih berubah-ubah. Untukmenghadapi tantangan misionaris yang lebih memadai, upaya-upaya yang baru dibutuhkan untuk mengembangkan cara-cara hubungan orang-orang percaya dengan para pencari, jika perlu ada di luar bentuk-bentuk tradisional gereja. Inti dari rasa tanggung jawab menginjili yang hidup terhadap M selalu adalah kualitas personil Kristen dan pemuridan dan kasih Kristus yang mendesak.

Sebuah Perkiraan Hasil

Utusan Injil yang telah membuktikan dalam pengalaman mereka sendiri bahwa “kekuatan Allah yang menyelamatkan” (Rm 1:16) dengan benar mengharapkan itu terjadi sama dalam pengalaman orang lain juga. Kami mengakui bahwa kadang-kadang, seperti iman seorang kafir perwira dipermalukan ketidakpercayaan Israel pada zaman Yesus (Mat 8:10), jadi hari ini pengharapan percaya orang Kristen dalam budaya lain kadang memunculkan kurangnya iman misionaris. Jadi kami mengingatkan diri kami sendiri akan janji Allah melalui keturunan Abraham untuk memberkati semua keturunan di bumi dan melalui Injil untuk menyelamatkan orang-orang yang percaya (Kej 12:1-4; 1 Kor 1:21). Berdasarkan hal-hal ini dan banyak janji lainlah kami mengingatkan semua utusan Injil, termasuk diri kami sendiri, untuk memandang Allah untuk menyelamatkan orang-orang dan membangun Gereja-Nya. Pada saat yang sama, kami tidak melupakan peringatan Tuhan tentang penindasan dan penderitaan. Hati manusia keras. Orang-orang tidak selalu menerima Injil, bahkan ketika komunikasi tidak bercacat dalam teknik dan komunikasi baik dalam karakternya. Tuhan kita sendiri sangat nyaman dengan budaya yang di dalamnya Dia mengajar, namun Dia dan berita-Nya dipandang rendah dan ditolak, dan Perumpamaan-Nya tentang Penabur tampaknya memperingatkan kita bahwa sebagian besar benih yang kita tabur tidak akan menghasilkan buah. Ada sebuah misteri di sini yang tidak dapat kita pahami. “Roh bertiup kemana Dia mau” (Yoh 3:8). Ketika berupaya untuk mengomunikasikan Injil dengan perhatian, kesetiaan, dan semangat, kita menyerahkan hasilnya kepada Allah dalam kerendahan hati.

Pertanyaan untuk Diskusi

  1. Dalam teks di atas, Laporan menolak untuk memberikan “formulasi yang rapi” dari Injil, namun mengidentifikasi “intisari”nya. Apakah Anda ingin menambahkan “tema-tema sentral” ini, atau mengurangi, atau memperkuatnya?
  2. Jelaskan “dua kesalahan budaya.” Dapatkah Anda memikirkan contohnya? Bagaimana kesalahan tersebut dapat dihindari?
  3. Pikirkan situasi budaya orang yang ingin Anda menangkan bagi Kristus. Apakah maksud “kepekaan budaya” dalam kasus Anda?

6. Dicari: Utusan Injil yang Rendah Hati!

Kami percaya bahwa kunci utama untuk komunikasi Kristen yang meyakinkan ditemukan dalam diri komunikator itu sendiri dan orang macam apa mereka. Dia harus pergi tanpa mengatakan bahwa mereka perlu menjadi orang-orang beriman Kristen, mengasihi dan suci. Artinya, mereka harus memiliki pengalaman pribadi dan bertumbuh dari kuasa Roh Kudus yang mengubahkan, sehingga citra Yesus Kristus terlihat lebih jelas dalam karakter dan sikap mereka.Di atas segalanya kami ingin melihat pada diri mereka, dan terutama dalam diri kami sendiri, “kelemahlembutan dan keramahan Kristus” (2 Kor 10:1); denga kata lain, kepekaan yang rendah hati akan kasih Kristus. Jadi penting untuk mempercayai ini bahwa kami mengabdikan seluruh bagian Laporan kami untuk itu. Selain itu, karena, kami tidak ingin menunjuk kepada orang lain tetapi kepada diri kami sendiri, kami akan menggunakan semuanya dengan bentuk jamak orang pertama. Pertama, kami memberikan analisa kerendahan hati Kristen dalam situasi misionaris; dan kedua, kami beralih ke Inkarnasi Allah dalam Yesus Kristus sebagai model yang kami ingin ikuti oleh anugerah-Nya.

Sebuah Analisa Kerendahan Hati Misionaris

Pertama, ada kerendahan hati untuk mengakui masalah yang dihadirkan oleh budaya, dan tidak menghindari atau terlalu menyederhanakannya. Sebagaimana telah kami lihat, budaya yang berbeda telah sangat mempengaruhi penyataan alkitabiah, diri kami sendiri, dan orang-orang yang kepada mereka kami pergi. Sebagai hasilnya, kami memiliki beberapa keterbatasan pribadi dalam mengomunikasikan Injil. Karena kami adalah tawanan (disadari maupun tidak) dari budaya kami sendiri, dan pemahaman kami tentang budaya, baik di Alkitab maupun di negara dimana kami melayani, sangatlah tidak sempurna. Ini adalah interaksi antara semua budaya ini yang merupakan masalah komunikasi; ini menjadikan semua orang yang bergumul dengan rendah hati.

Kedua, ada kerendahan hati untuk bersusah payah memahami dan menghargai budaya mereka yang kami datangi. Keinginan inilah yang membawa secara wajar ke dalam dialog yang sebenarnya “yang tujuannya adalah untuk mendengarkan dengan peka supaya memahami” (Kovenan Lausanne, alinea 4). Kami menyesali ketidaktahuan yang menganggap bahwa kami memiliki semua jawaban dan bahwa satu-satunya peran kami adalah untuk mengajar. Kami harus banyak belajar. Kami menyesal juga atas sikap yang menghakimi. Kami tahu kami seharusnya tidak pernah mengutuk atau menghina buadaya lain, melainkan menghormatinya. Kamitidakmenganjurkan baik itu kesombongan yang memaksakan budaya kami kepada budaya lain, atau sinkretisme yang mencampur Injil dengan unsur budaya yang tidak sesuai dengan Injil, melainkan membagikan kabar baik dengan rendah hati – yang dimungkinkan dengan saling menghormati pertemanan yang sejati.

Ketiga, ada kerendahan hati untuk memulai komunikasi kami dimana orang-orang sebenarnya berada dan tidak di mana kami ingin menjadikan mereka. Inilah yang kami lihat yang Yesus lakukan, dan kami inginuntuk mengikuti teladan-Nya. Terlalu sering kami telah mengabaikan ketakutan dan rasa frustasi orang-orang, kesakitan dan keasyikan mereka, dan kelaparan, kemiskinan, kekurangan atau penindasan mereka, sebenarnya “kebutuhan yang dirasakan” mereka mungkin kadang-kadang menjadi gejala terhadap kebutuhan yang lebih dalam yang tidak segera dirasakan atau dikenali oleh orang-orang.

Seorang dokter tidak selalu menerima diagnosa pasien itu sendiri. Namun demikian, kami melihat kebutuhan untuk mulai dimana orang-orang berada, namun tidak berhenti di situ. Kami menerima tanggung jawab kami untuk dengan lembut dan sabar membimbing mereka melihat diri mereka sendiri, seperti kami melihat diri kami sendiri, sebagai pemberontak kepada siapa Injil ditujukan secara langsung dengan sebuah berita pengampunan dan pengharapan. Untuk memulai dimana orang-orang berada tidaklah untuk membagikan berita yang tidak relevan; untuk tinggal dimana mereka ada dan tidak pernah membawa mereka kepada keutuhan kabar baik Allah, adalah tidak untuk memberitakan Injil yang terpotong. Kepekaan yang rendah hati dari kasih akan menghindari kedua kesalahan ini.

Keempat, ada kerendahan hati untuk mengakui bahwa bahkan misionaris yang paling berbakat, berdedikasi, dan berpengalaman pun jarang bisa mengomunikasikan Injil dalam bahasa atau budaya lain seefektif orang Kristen lokal yang terlatih. Kenyataan ini telah diakui dalam beberapa tahun terakhir oleh Bible Societies,yang kebijakannya telah berubah dari penerjemahan penerbitan oleh misionaris (dengan bantuan orang-orang lokal) menjadi pelatihan bahasa ibu kepada para ahli untuk melakukan penerjemahan.

Hanya orang-orang Kristen lokal dapat menjawab pertanyaan, “Allah, bagaimana Engkau mengatakan ini dalam bahasa kami?” dan “Allah, apakah arti ketaatan yang Kau maksudkan dalam budaya kami?” Oleh karena itu, entah kami menerjemahkan Alkitab maupun mengomunikasikan Injil, orang-orang Kristen lokal sangat diperlukan. Merekalah yang harus memikul tanggung jawab untuk mengkontekstualisasikan Injil dalam bahasa dan budaya mereka sendiri. Akankah saksi lintas budaya dalam hal itu tidaklah berlebih-lebihan; namun kami akan diterima jika saja kami cukup rendah hati untuk melihat komunikasi yang baik sebagai perusahaan tim, yang di dalamnya semua orang percaya bekerja sama sebagai mitra.

Kelima, ada kerendahan hati untuk percaya kepada Roh Kudus Allah, yang selalu menjadi komunikator utama, yang sendirian membuka mata orang buta dan membawa orang kepada kelahiran baru. “Tanpa kesaksian-Nya, kesaksian kami adalah sia-sia” (Kovenan Lausanne, alinea 14).

Inkarnasi sebagai Contoh Kesaksian Kristen

Kami telah bertemu untuk Perundingan kami dalam beberapa hari di waktu Natal, yang mungkin dapat disebut kejadian yang paling spektakuler tentang pengenalan budaya dalam sejarah manusia, karena oleh Inkarnasi-Nya Anak Manusia menjadi orang Yahudi Galilea abad pertama. Kami juga ingat bahwa Yesus memaksudkan misi umat-Nya di dunia dengan contoh diri-Nya sendiri. “Seperti Bapa telah mengutus Aku, demikian juga Aku mengutus kamu,”kata-Nya (Yoh 20:21; bandingkan 17:18). Kami bertanya kepada diri sendiri, karenanya, tentang implikasi dari Inkarnasi bagi kami semua. Pertanyaannya adalah pertanyaan tentang kepedulian khusus pada saksi lintas budaya, ke negara manapun mereka pergi, meskipun kami telah berpikir khususnya tentang mereka yang berasal dari Barat yang melayani di Dunia Ketiga.

Merenungkan Filipi 2, kami telah melihat bahwa merendahkan-diri Kristus dimulai dalam pikiran-Nya: “Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai hal yang harus dipertahankan.” Jadi kami diperintahkan untuk menjadikan pikiran-Nya ada di dalam kami, dan di dalam kerendahan hati pikiran untuk “memperhitungkan” orang lain lebih baik atau lebih penting daripada diri kami sendiri. “Pikiran” atau “perspektif” Kristus ini merupakan pengenalan nilai tertinggi dari manusia dan dari hak-hak istimewa untuk melayani mereka. Saksi-saksi itu yang memiliki pikiran Kristus akan memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap orang-orang yang mereka layani, dan terhadap budaya mereka. Dua kata kerja karenanya menunjukkan tindakan yang kepadanya pikiran Kristus memimpin-Nya: “Dia mengosongkan diri-Nya sendiri... Dia merendahkan diri-Nya...” Yang pertama berbicara tentang pengorbanan (yang Dia tinggalkan) dan pelayanan yang kedua, bahkan lebih rendah (bagaimana Dia mengidentifikasi diri-Nya sendiri dengan kita dan menempatkan diri-Nya di pembuangan kita). Kami telah mencoba untuk memikirkan apa maksud dari dua tindakan ini bagi-Nya, dan mungkin bagi saksi lintas budaya.

Kami mulai dengan penolakan terhadap Dia. Pertama, penolakan status. “Dia meletakkan kemuliaan-Nya dengan lembut,” kami bernyanyi pada hari Natal. Karena kami tidak bisa memahami seperti apa kemuliaan kekal-Nya, adalah mustahil untuk memahami kesengsaraan dari mengosongkan diri-Nya. Namun yang pasti Dia menyerahkan hak, hak istimewa dan kuasa yang Dia nikmati sebagai Anak Allah.“Status” dan “simbol status” berarti banyak di dunia modern, namun ganjil di misionaris. Kami percaya bahwa dimanapun misionaris berada mereka tidak boleh memegang kendali atau bekerja sendirian, namun selalu bersama – dan sebaiknya di bawah – orang-orang Kristen lokal yang bisa memberi nasihat dan bahkan mengarahkan mereka. Dan apa pun tanggung jawab misionaris, haruslah mengungkapkan sikap “tidak mendominasi namun melayani” (Kovenan Lausanne, alinea 11). Selanjutnya penolakan terhadap kemerdekaan. Kami telah melihat Yesus – meminta air dari seorang perempuan Samaria, tinggal di rumah orang lain dan memakai uang orang lain karena Dia sendiri tidak memilikinya, meminjam perahu, keledai, ruangan atas, dan bahkan terkubur dalam kuburan pinjaman. Demikian pula, utusan lintas budaya, terutama selama tahun-tahun pertama pelayanan mereka, perlu untuk belajar saling bergantung.

Ketiga, penolakan terhadap kekebalan. Yesus mengekspos diri-Nya sendiri terhadap godaan, kesedihan, keterbatasan, kebutuhan ekonomi dan penderitaan. Jadi misionaris haruslah memperkirakan untuk mungkin menjadi rentan terhadap godaan baru, bahaya, dan penyakit, iklim yang asing, dan kesepian yang tidak biasa, dan mungkin kematian. Beralih dari tema penolakan kepada tema identifikasi, kami terkagum lagi pada kesempurnaan identifikasi Juruselamat kami dengan kami, terutama karena ini diajarkan dalam Surat Ibrani. Dia juga memiliki “daging dan darah,” yang dicobai seperti kami, belajar ketaatan melalui penderitaan-Nya dan merasakan kematian bagi kami (Ibr 2:14-18; 4:15; 5:8). Selama pelayanan-Nya di muka umum Yesus berteman dengan orang miskin dan tidak berdaya, menyembuhkan orang sakit, memberi makan orang yang lapar, menyentuh orang yang tidak terjangkau dan mempertaruhkan reputasi-Nya dengan bergaul dengan orang-orang yang ditolak oleh masyarakat. Perluasan pengidentifikasian diri kami sendiri dengan orang-orang yang kami datangi adalah masalah kontroversi. Tentu saja pasti termasuk menguasai bahasa mereka, membenamkan diri kami sendiri ke dalam budaya mereka, belajar untuk berpikir seperti mereka, merasakan seperti mereka, berbuat seperti mereka. Pada tingkat sosio-ekonomi kami tidak yakin bahwa kami harus “menjadi pribumi” secara prinsip karena upaya seorang asing untuk melakukan ini mungkin terlihat tidak otentik namun berpura-pura.Namun kami juga tidak berpikir bahwa harus ada perbedaan yang mencolok antara gaya hidup kami dengan gaya hidup orang di sekitar kami.

Di antara ekstrim-ekstrim ini, kami melihat kemungkinan pengembangan standar hidup yang mengungkapkan jenis kasih yang peduli dan berbagi, dan yang menganggap wajar untuk bertukar keramahan dengan orang lain secara timbal balik, tanpa malu-malu. Sebuah penelusuran tes identifikasi adalah seberapa jauh kami merasa bahwa kami adalah bagian dari orang-orang itu , dan masih banyak – seberapa jauh kami merasa bahwa kami adalah bagian dari mereka. Apakah kami berpartisipasi secara wajar dalam hari-hari nasional atau hari thanksgiving atau kedukaan secara kesukuan? Apakah kami mengeluh bersama mereka dalam penindasan yang mereka alami dan bergabung dalam peperangan mereka demi keadilan dan kemerdekaan? Jika negara dilanda gempa bumi atau tertelan dalam perang sipil, apakah naluri kami adalah untuk tinggal dan menderita bersama orang-orang yang kami kasihi, atau naluri untuk pulang?

Meskipun Yesus mengidentifikasi diri-Nya sendiri sepenuhnya dengan kami, Dia tidak kehilangan identitas-Nya sendiri. Dia tetap menjadi diri-Nya sendiri. “Dia turun dari surga...dan menjadi manusia” (Kredo Nicea); namun untuk menjadi salah satu dari kita Dia tidak berhenti menjadi Allah. Hanya dengan begitu, “penginjil Kristus harus dengan rendah hati berusaha untuk mengosongkan diri mereka sendiri dari semua kecuali keaslian pribadi mereka” (Kovenan Lausanne, alinea 10). Inkarnasi mengajarkan identifikasi tanpa kehilangan identitas. Kami percaya bahwa pengorbanan diri yang sejati membawa kepada penemuan diri yang sejati. Di dalam pelayanan yang rendah hati terdapat sukacita yang melimpah.

Pertanyaan untuk Diskusi

1. Jika kunci utama untuk komunikasi terletak pada diri komunikator, menjadi orang macam apakah seharusnya mereka? 2. Berikan analisa Anda sendiri tentang kerendahan hati yang harus dimiliki semua saksi Kristen. Dimana Anda memberikan penekanan Anda? 3. Karena Inkarnasi melibatkan baik “penolakan” maupun “identifikasi,” jelaslah sangat mahal bagi Yesus. Apakah yang menjadi harga dari “inkarnasi penginjilan” saat ini?

7. Pertobatan dan Budaya

Kami telah memikirkan hubungan antara pertobatan dan budaya dalam dua cara. Pertama, efek apa yang dimiliki oleh pertobatan terhadap situasi budaya dari petobat, cara berpikirnya dan bertindaknya, dan sikap mereka terhadap lingkungan sosial mereka? Kedua, efek apa yang dimiliki budaya terhadap pemahaman kami sendiri tentang pertobatan? Kedua pertanyaan itu penting. Namun kami mau mengatakan jika unsur-unsur dalam pandangan tradisional penginjilan kami tentang pertobatan adalah lebih bersifat budaya daripada alkitabiah, maka itu perlu diubah. Terlalu sering kami berpikir tentang pertobatan sebagai sebuah krisis, bukannya sebuah proses juga; atau kami telah melihat pertobatan sebagai sebagian besar pengalaman secara pribadi, melupakan konsekuensi publik dan tanggung jawab sosialnya.

Sifat Radikal Pertobatan

Kami yakin bahwa sifat radikal pertobatan kepada Yesus Kristus perlu untuk ditegaskan kembali dalam gereja kontemporer, karena kami selalu dalam bahaya meremehkan itu, seolah-olah itu tidak lebih daripada perubahan di permukaan, dan reformasi diri. Namun para penulis Perjanjian Baru menulisnya sebagai pengungkapan keluar dari regenerasi atau kelahiran baru oleh Roh Kudus, sebuah penciptaan kembali, dan kebangkitan dari kematian rohani. Konsep kebangkitan tampaknya menjadi sangat penting. Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian adalah awal dari ciptaan Allah yang baru, dan dengan anugerah Allah melalui penyatuan dengan Kristus yang kami ambil bagian dalam kebangkitan ini. Kami dengan demikian telah memasuki masa yang baru dan telah mengalami kuasa dan sukacita kebangkitan. Ini adalah dimensi eskatologis dari pertobatan Kristen. Pertobatan adalah bagian integral dari Pembaharuan Besar yang telah Allah mulai, dan yang akan dibawa sampai kepada klimaks kemenangan ketika Kristus datang dalam kemuliaan-Nya. Pertobatan meliputi juga putusnya dengan masa lampau yang begitu sempurna sehingga dikatakan dalam istilah kematian. Kami telah disalibkan bersama Kristus. Melalui salib-Nya kami telah mati terhadap dunia yang tidak bertuhan, pandangannya, dan standar-standarnya. Kamu juga telah “menanggalkan” seperti pakaian lama Adam, kemanusiaan kami yang sebelumnya dan yang jatuh. Yesus mengingatkan kami bahwa berpalingnya dari masa lalu ini mungkin melibatkan pengorbanan yang menyakitkan, bahkan kehilangan keluarga dan harta benda (mis., Luk 14:25 dst.). Adalah penting untuk menerima bersama-sama aspek negatif dan positif dari pertobatan, kematian dan kebangkitan, menanggalkan yang lama dan mengenakan yang baru. Karena bagi kami yang mati, hidup kembali, namun hidup yang sekarang menjalani kehidupan yang baru, untuk dan di bawah Kristus.

Ketuhanan Yesus Kristus

Kami mengerti dengan jelas bahwa arti mendasar dari pertobatan adalah perubahan kesetiaan. Dewa-dewa dan tuan-tuan lain – pemberhalaan setiap orang – sebelumnya menguasai kami. Namun sekarang Yesus Kristus adalah Tuhan. Prinsip yang mengatur kehidupan pertobatan adalah bahwa ada di bawah ketuhanan Kristus atau (karena sampai kepada hal yang sama) dalam Kerajaan Allah. Otoritas-Nya menguasai kami secara total. Jadi kesetiaan baru yang memerdekakan pastilah membawa kepada penilaian ulang terhadap semua aspek dalam hidup kami dan secara khusus terhadap sudut pandang dunia kami, perilaku kami, dan hubungan-hubungan kami.

Pertama, sudut pandang dunia kami. Kami sepakat bahwa intisari setiap budaya adalah semacam “agama,” bahkan jika itu adalah agama yang tidak religius seperti Marxisme. “Budaya adalah agama yang kelihatan” (J.H. Bavink). Dan “agama” adalah seluruh kelompok kepercayaan dan nilai-nilai dasar, yang merupakan alasan mengapa untuk tujuan kami, kami menggunakan “sudut pandang dunia” sebagai ungkapan yang setara. Pertobatan kepada Kristus yang sejati terikat, karenanya, untuk menyerang intisari warisan budaya kami. Yesus Kristus bersikeras mencabut dari pusat dunia kami berhala apapun yang memerintah di sana sebelumnya, dan menduduki tahta itu sendirian. Ini adalah perubahan kesetiaan yang radikal yang merupakan pertobatan, atau setidaknya awal dari pertobatan.Kemudian setelah Kristus telah mengambil tempat-Nya yang sah, segala sesuatu yang lain mulai beralih. Gelombang kejut mengalir dari pusat ke sekeliling. Petobat harus memikirkan kembali keyakinan-keyakinan mendasarnya. Ini adalah metanoia, “pertobatan” dipandang sebagai perubahan pikiran, penggantian “pikiran daging” dengan “pikiran Kristus.” Tentu saja, pengembangan sudut pandang dunia Kristen yang terintegrasi memakan waktu seumur hidup, namun itu ada pada dasarnya sejak awal. Jika itu bertumbuh, konsekuensi-konsekuensi bersifat meledak tidak bisa diprediksi.

Kedua, perilaku kami. Ketuhanan Yesus menantang standar moral dan seluruh gaya hidup etika kami. Terus terang, ini bukanlah “pertobatan” melainkan “buah yang tepat dengan pertobatan” (Mat 3:8), perubahan tingkah laku yang keluar dari perubahan pandangan. Baik pikiran kami maupun kehendak kami harus tunduk pada ketaatan Kristus (lih. 2 Kor 10:5; Mat 11:29,30; Yoh 13:13). Mendengarkan studi kasus pertobatan, kami terkesan dengan keunggulan kasih dalam pengalaman petobat baru. Pertobatan memberikan baik dari pembalikan yang terlalu asyik dengan diri sendiri untuk repot-repot dengan orang lain maupun dari fatalisme yang menganggap adalah mustahil untuk membantu mereka. Pertobatan adalah palsu jika tidak membebaskan kami untuk mengasihi.

Ketiga, hubungan-hubungan kami. Meskipun petobat harus melakukan yang terbaik untuk menghindari perpecahan dengan bangsa, suku, dan keluarga, kadang-kadang konflik yang menyakitkan timbul. Jelas juga bahwa pertobatan melibatkan perpindahan dari satu komunitas ke komunitas yang lain, yaitu, dari kemanusiaan yang jatuh kepada kemanusiaan Allah yang baru. Itu terjadi sejak awal Hari Pentakosta: “Selamatkanlah dirimu dari angkatan yang jahat ini,” Petrus berseru.Jadi mereka yang menerima pesan-Nya dibaptis ke dalam masyarakat yang baru, mengabdikan diri mereka ke persekutuan yang baru, dan menemukan bahwa Tuhan terus menambahkan jumlah mereka tiap-tiap hari (Kis 2:40-47). Pada saat yang sama, “perpindahan” mereka dari satu kelompok ke kelompok lain berarti bahwa mereka secara rohani berbeda bukan berpisah secara sosial. Mereka tidak meninggalkan dunia. Sebaliknya, mereka memperoleh komitmen baru untuk itu, dan pergi ke dalamnya untuk bersaksi dan melayani.Kami semua harus menyemangati pengharapan besar dari pertobatan radikal yang demikian di zaman kami, melibatkan para petobat dalam pikiran yang baru, cara hidup yang baru, komunitas yang baru, dan misi yang baru, semua di bawah ketuhanan Kristus. Namun sekarang kami merasa perlu untuk membuat beberapa kualifikasi.

Petobat dan Budayanya

Pertobatan tidak boleh “membudayakan” seorang petobat. Benar, sebagaimana kita telah melihat, Tuhan Yesus sekarang mempertahankan kesetiaan-Nya, dan segala sesuatu dalam konteks budaya harus ada di bawah pengawasan Tuhan. Hal ini berlaku untuk semua budaya, bukan hanya budaya Hindu, Budha, M, atau budaya animistik tetapi juga untuk budaya Barat yang semakin materialistis. Kritik ini dpat menyebabkan tabrakan, sebagai unsur dari budaya berada di bawah penghakiman Kristus dan harus ditolak. Pada titik ini, pada pantulan, para petobat mungkin malah mencoba untuk mengadopsi budaya penginjil; upaya haruslah tegas namun ditolak dengan lembut. Petobat harus didorong untuk melihat hubungannya dengan masa lalu sebagai kombinasi perputusan dan kelanjutan. Bagaimanapun para petobat sangat merasa mereka perlu untuk meninggalkan demi Kristus, mereka masih orang yang sama dengan warisan yang sama dan keluarga yang sama. “Pertobatan tidak merapikan; pertobatan membuat ulang.” Itu selalu tragis, meskipun dalam beberapa situasi tidak bisa dihindari, ketika pertobatan seseorang kepada Kristus ditafsirkan oleh orang lain sebagai pengkhianatan terhadap budaya aslinya sendiri. Jika mungkin, daripada konflik dengan budayanya sendiri, para petobat baru harus berusaha untuk mengidentifikasi dengan kebahagiaan, harapan, penderitaan dan pergumulan budaya mereka.

Kasus sejarah menunjukkan bahwa para petobat sering melewati tiga tahap: (1) ”penolakan” (ketika mereka melihat diri mereka sendiri sebagai “orang yang baru dalam Kristus” dan menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu); (2) “akomodasi” (ketika mereka menemukan warisan etnis dan budaya mereka, dengan godaan untuk mengkompromikan iman Kristen yang baru ditemukan dalam hubungan dengan warisan mereka); dan (3) “pembentukan kembali identitas” (ketika salah satu penolakan dari masa lalu atau akomodasi untuk itu dapat meningkatkan, atau lebih disukai, mereka bisa bertumbuh ke dalam kesadaran diri yang seimbang dalam Kristus dan dalam budaya).

Pertempuran Kuasa

“Yesus adalah Tuhan” berarti lebih daripada bahwa Dia adalah Tuhan atas sudut pandang dunia, standar, dan hubungan-hubungan petobat secara individu, dan bahkan lebih daripada itu Dia adalah Tuhan atas budaya. Ini berarti bahwa Dia adalah Tuhan atas kuasa-kuasa, telah ditinggikan oleh Bapa atas kedaulatan universal; pemerintah-pemerintah dan kuasa-kuasa dibuat tunduk kepada-Nya (1 Ptr 3:22). Sebagian dari kami, terutama mereka yang dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin, telah berbicara baik tentang realitas kuasa iblis maupun perlunya untuk menunjukkan supremasi Yesus atas mereka. Karena pertobatan mencakup sebuah pertempuran kuasa. Orang-orang memberikan kesetiaan kepada Kristus ketika mereka melihat bahwa kuasa-Nya lebih tinggi daripada sihir atau guna-guna, kutukan dan berkat dari dukun, dan kedengkian roh-roh jahat, dan bahwa keselamatan-Nya adalah kebebasan yang nyata dari kuasa iblis dan kematian. Tentu saja, beberapa orang mempertanyakan pada hari ini apakah sebuah keyakinan dalam roh sesuai dengan pemahaman ilmu pengetahuan modern kita tentang alam semesta. Kami ingin menegaskan, karena itu, terhadap mitos mekanistik yang padanya sudut pandang dunia yang khas Baratterletak, realitas kepandaian iblis yang bersangkutan dengan segala cara, terbuka dan rahasia, untuk tidak mempercayai Yesus Kristus dan mencegah orang-orang datang kepada-Nya. Kami pikir adalah penting, dalam penginjilan di semua budaya, untuk mengajarkan realitas dan keseluruhan kuasa iblis, dan untuk menyatakan bahwa Allah telah meninggikan Kristus sebagai Tuhan dari semua dan bahwa Kristus, yang benar-benar memiliki segala kuasa, bagaimanapun kita mungkin gagal untuk mengetahui ini, bisa (ketika kita mewartakan Dia) menerobos sudut pandang dunia apapun dalam pikiran siapa saja untuk menjadikan ketuhanan-Nya dikenal dan menghasilkan perubahan hati dan pandangan.

Kami ingin menekankan bahwa kuasa adalah milik Kristus. Kuasa dalam tangan manusia selalu berbahaya. Kami telah mengingatkan tema yang berulang di dua surat Paulus kepada jemaat Korintus – bahwa kuasa Allah, yang jelas terlihat dalam salib Kristus, bekerja melalui kelemahan manusia (mis. 1 Kor 1:18-2:5; 2 Kor 4:7; 12:9,10). Orang duniawi menyembah kuasa; orang Kristen yang memilikinya tahu akan bahayanya. Lebih baik menjadi lemah, karena kemudian kami menjadi kuat. Kami secara khusus menghormati para martir Kristen masa kini (mis. Di Afrika Timur) yang telah meninggalkan cara kekuasaan, dan mengikuti jalan salib.

Pertobatan Individu dan Kelompok

Pertobatan tidak harus dipahami sebagai selalu dan hanya pengalaman individu, meskipun itu telah menjadi pola harapan Barat selama bertahun-tahun. Sebaliknya, tema kovenan di Perjanjian Lama dam pembaptisan rumah tangga di Perjanjian Baru harus mengarahkan kami untuk menginginkan, bekerja bagi dan mengharapkan keduanya yaitu pertobatan keluarga dan kelompok.Banyak penelitian penting yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir menjadi “gerakan rakyat” dari perspektif teologis dan juga sosiologis. Secara teologis, kami mengenali penekanan berdasarkan Alkitab pada solidaritas setiap etnos, yaitu negara atau bangsa. Secara sosiologis, kami mengenali bahwa setiap masyarakat terdiri dari berbagai sub-kelompok, sub-budaya atau unit-unit homogen. Jelas bahwa orang-orang paling siap menerima Injil ketika Injil diberikan kepada mereka dengan cara yang tepat – dan tidak asing – kepada budaya mereka, dan ketika mereka dapat merresponinya bersama dan di antara orang-orang mereka sendiri.Masyarakat yang berbeda memiliki prosedur yang berbeda dalam membuat keputusan kelompok, mis., dengan konsensus, oleh kepala keluarga atau oleh pemimpin kelompok. Kami mengakui keabsahan dimensi bersama dari pertobatan sebagai bagian dari proses keseluruhannya, serta kebutuhan bagi setiap anggota dari kelompok terutama untuk ambil bagian di dalamnya secara pribadi.

Apakah Pertobatan itu Tiba-Tiba atau Bertahap?

Pertobatan lebih sering setahap demi setahap daripada yang ajaran penginjilan tradisional mungkinkan. Memang, mungkin ini hanyalah perbantahan tentang kata-kata. Pembenaran dan regenerasi, yang satu menyampaikan status baru dan yang lain menyampaikan hidup yang baru, adalah karya Allah dan terjadi seketika, meskipun kita tidak menyadarinya ketika itu terjadi. Pertobatan, di sisi lain, adalah tindakan kita sendiri (digerakkan oleh anugerah Allah) berpaling kepada Allah dalam penyesalan dan iman. Meskipun mungkin itu mencakup sebuah masa genting yang disadari, seringkali lambat dan kadang-kadang melelahkan. Terlihat pada latar belakang kosa kata Ibrani dan Yunani, pertobatan pada dasarnya adalah berpaling kepada Allah, yang berlanjut sampai seluruh bidang kehidupan dibawa ke dalam cara yang semakin radikal di bawah ketuhanan Kristus. Pertobatan mencakup perubahan sempurna dan pembaharuan total dalam pikiran dan karakter sesuai dengan rupa Kristus (Rm 12:1,2). Namun, kemajuan ini tidak selalu terjadi. Kami telah memberikan beberapa pemikiran untuk fenomena meyedihkan yang disebut “kembali ke kebiasaan lama” (diam-diam menjauh dari Kristus) dan “murtad” (penolakan terbuka akan Dia). Ini memiliki berbagai alasan. Beberapa orang beralih dari Kristus ketika mereka kecewa dengan Gereja; yang lain menyerah terhadap tekanan-tekanan sekularisme atau tekanan dari budaya mereka yang sebelumnya. Fakta-fakta ini menantang kita baik untuk mewartakan Injil sepenuhnya dan juga untuk lebih teliti dalam mengasuh para petobat dalam iman dan melatih mereka untuk pelayanan. Salah satu anggota Perundingan kami telah menjelaskan pengalamannya dalam hal berpaling yang pertama kepada Kristus (menerima keselamatan-Nya dan mengakui ketuhanan-Nya) yang kedua kepada budaya (menemukan kembali asal-usul alamiah dan identitasnya), dan yang ketiga kepada dunia (menerima misi yang diberikan padanya oleh Kristus). Kami setuju bahwa pertobatan seringkali adalah sebuah pengalaman yang rumit, dan bahwa bahasa Alkitab tentang “berbalik” digunakan dalam cara dan konteks yang berbeda. Pada saat yang sama, kami semua menekankan bahwa komitmen pribadi kepada Yesus Kristus adalah mendasar. Di dalam Dia saja kami mendapatkan keselamatan, hidup baru, dan identitas peribadi. Pertobatan juga pasti menghasilkan sikap dan hubungan yang baru, dan mendatangkan keterlibatan yang bertanggung jawab dalam gereja kami, budaya kami, dan dunia kami. Akhirnya, pertobatan adalah sebuah perjalanan, ziarah, dengan tantangan,yang sama sekali baru, keputusan, dan berpaling kepada Tuhan sebagai titik acuan yang konstan, sampai Dia datang.

Pertanyaan untuk Diskusi

  1. Bedakan antara “regenerasi” dan “pertobatan” menurut Perjanjian Baru.
  2. “Yesus adalah Tuhan.” Apakah artinya ini bagi Anda dalam budaya Anda sendiri? Apakah unsur-unsur warisan budaya Anda yang Anda rasakan? (a) Anda harus, dan (b) Anda tidak perlu, tinggalkan demi Kristus?
  3. Apa yang tiba-tiba dan apa yang (atau mungkin) adalah bertahap dalam pertobatan Kristen?

8. Gereja dan Budaya

Dalam proses pembentukan gereja, seperti dalam komunikasi dan penerimaan Injil, pertanyaan tentang budaya adalah sangat penting. Jika Injil harus disesuaikan konteks, begitu juga gereja. Sesungguhnya, sub-judul dari Perundingan kami adalah “Kontekstualisasi Dunia dan Gereja dalam Sebuah Situasi Misionaris.”

Pendekatan Tradisional, Yang Lebih Lama

Selama ekspansi misionaris di awal abad ke-19, secara umum dianggap bahwa gereja “pada misi lapangan” menjadi contoh untuk gereja “di rumah.” Kecenderungannya adalah untuk menghasilkan replika yang hampir persis. Arsitektur gothic, liturgi buku doa, pakaian kependetaan, alat musik, himne dan lagu, proses pengambilan keputusan, sinode dan komite, kepala dan pembantu gerejawi – semua diekspor dan secara jelas diperkenalkan ke dalam gereja-gereja baru yang didirikan oleh misi. Ditambahkan pula bahwa pola-pola ini juga sangat ingin diadopsi oleh orang-orang Kristen baru, bukan ditetapkan oleh teman-teman Barat mereka, yang kebiasaan dan cara ibadahnya telah diperhatikan. Namun semua ini didasarkan pada anggapan yang salah bahwa Alkitab memberikan instruksi secara rinci tentang hal-hal tersebut dan bahwa pola pengaturan, ibadah, pelayanan dan kehidupan gereja rumah itu sendiri adalah contoh. Dalam reaksi terhadap sistem ekspor yang monokultural ini, para pemikir perintis misionaris seperti Henry Venn dan Rufus Anderson di tengah-tengah abad ke-19 dan Roland Allen di awal abad ke-20 mempopulerkan konsep gereja “pribumi,” yanga akan “mengatur sendiri, mandiri, dan menyebarkan sendiri.” Mereka mengajukan kasus mereka dengan baik. Mereka menunjukkan bahwa kebijakan rasul Paulus adalah untuk mendirikan gereja, bukan untuk mendirikan pangkalan misi.

Mereka juga menambahkan argumen pragmatis sesuai Alkitab, yaitu bahwa kepribumian sangat diperlukan bagi pertumbuhan gereja dalam kedewasaan dan misi. Henry Venn dengan yakin menantikan hari ketika misi akan memberikan semua tanggung jawab kepada gereja-gereja nasional, dan ketika dia menyebut “misi mematikan untuk menyelamatkan” akan terjadi. Pandangan-pandangan ini diterima secara luas dan sangat berpengaruh.Namun, di zaman kami, mereka dikritik, bukan karena cita-cita itu sendiri, tetapi karena cara yang seringkali diterapkan. Beberapa misi, misalnya, telah menerima kebutuhan kepemimpinan pribumi dan kemudian telah merekrut dan melatih pemimpin lokal, mengindoktrin mereka (kata ini keras namun bukan curang) dalam cara berpikir dan prosedur Barat. Membuat pemimpin lokal menjadi kebarat-baratan ini lalu melestarikan gereja yang tampak sangat Barat, dan orientasi asing telah berlangsung, hanya sedikit terselubung dengan penampilan pribumi. Sekarang, oleh karena itu, konsep kehidupan gereja pribumi yang lebih radikal perlu dikembangkan, yang dengannya setiap gereja bisa menemukan dan mengungkapkan jati dirinya sebagai tubuh Kristus di dalam budayanya sendiri.

Model Kesetaraan Dinamis

Menggunakan perbedaan antara “bentuk” dengan “arti,” dan antara “korespondensi formal” dengan “kesetaraan dinamis,” yang telah dikembangkan dalam teori terjemahan dan yang padanya kami telah memberikan komentar, disarankan bahwa sebuah analogi bisa ditarik antara penerjemahan Alkitab dengan formasi gereja. “Korespondensi formal” berbicara tentang peniruan yang membudak, entah dalam menerjemahkan kata ke dalam bahasa lain atau mengekspor contoh gereja ke budaya lain. Sama seperti terjemahan “kesetaraan dinamis”, bagaimanapun, berupaya untuk menyampaikan kepada pembaca sekarang, arti yang setara dengan yang disampaikan kepada pembaca aslinya, dengan menggunakan bentuk budaya yang tepat, demikian juga gereja “kesetaraan dinamis.” Itu akan melihat budayanya seperti terjemahan Alkitab yang baik melihat bahasanya. Itu akan mempertahankan arti dan fungsi yang mendasar yang Perjanjian Baru sebutkan tentang gereja, namun akan berusaha untuk mengungkapkan hal-hal ini dalam bentuk yang setara dengan aslinya dan pas dengan budaya lokal. Kami semua mendapati bahwa model ini bermanfaat dan meyakinkan, dan kami sangat menegaskan cita-cita yang berusaha untuk diungkapkan. Itusudah sepantasnya menolak impor dan tiruan asing, dan struktur yang kaku. Itu sudah sepatutnya melihat Perjanjian Baru untuk prinsip formulasi gereja, daripada melihat pada tradisi atau budaya, dan sama patutnya melihat pada budaya lokal untuk bentuk yang tepat dimana di dalamnya prinsip-prinsip ini harus diungkapkan. Kita semua (bahkan mereka yang melihat keterbatasan model ini) berbagi visi yang sedang dicoba untuk dijelaskan.Jadi, Perjanjian Baru menunjukkan bahwa gereja selalu merupakan komunitas yang beribadah, “imamat kudus untuk mempersembahkan persembahan rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus” (1 Ptr 2:5), namun bentuk ibadah (termasuk ada atau tidak adanya berbagai jenis liturgi, upacara, musik, warna, drama, dll.) akan dikembangkan oleh gereja sesuai dengan budaya pribumi. Demikian pula, gereja selalu merupakan komunitas yang bersaksi dan melayani, namun metode penginjilan dan program keterlibatan sosialnya akan bervariasi. Sekali lagi, Allah menginginkan semua gereja untuk memiliki pengawasan pastoral, namun bentuk pengaturan dan pelayanan mungkin sangat berbeda, dan pemilihan, pelatihan, pentahbisan, pelayanan, pakaian, pembayaran dan pertanggungjawaban pendetanya akan ditetnukan oleh gereja sesuai dengan prinsip berdasarkan Alkitab dan cocok dengan budaya lokal.

Pertanyaan yang diajukan tentang model “kesetaraan dinamis” adalah apakah dengan sendirinya cukup besar dan cukup dinamis untuk memberi semua panduan yang dibutuhkan. Analogi antara terjemahan Alkitab dengan formasi gereja tidaklah tepat. Dalam kontrol pekerjaan penerjemah sebelumnya, dan ketika tugas selesai adalah mungkin untuk membuat perbandingan dari dua teks. Setelahnya, bagaimanapun, yang asli yang kepadanya kesetaraan diusahakan bukanlah teks yang terperinci namun rangkaian sekilas pelaksanaan gereja mula-mula, membuat perbandingan lebih sulit, dan bukannya penerjemah yang mengontrol, seluruh komunitas iman haruslah terlibat. Selanjutnya, penerjemah bertujuan pada keobyektifan pribadi, namun ketika gereja lokal berusaha untuk menghubungkan dirinya sendiri secara tepat dengan budaya lokal, untuk menemukan keobyektifan hampir mustahil. Dalam banyak situasi terjebak dalam “sebuah pertemuan antara dua peradaban” (peradaban masyarakat itu sendiri dan peradaban misionaris).Selain itu, mungkin ada kesulitan yang besar dalam menanggapi suara-suara yang bertentangan di komunitas lokal. Beberapa menuntut adanya perubahan (dalam hal melek huruf, pendidikan, teknologi, pengobatan modern, industrialisasi, dll.) sedangkan yang lainnya bersikeras dengan budaya lama dan menolak datangnya zaman yang baru. Dipertanyakan apakah model “kesetaraan dinamis” cukup dinamis untuk menghadapi tantangan semacam ini. Tes ini atau model lain untuk membantu gereja-gereja berkembang dengan tepat, adalah entah bisa memampukan umat Allah untuk menangkap dalam hati dan pikiran mereka rancangan luar biasa gereja mereka yang adalah ekspresi lokal. Setiap model menyajikan hanya gambaran sebagian. Gereja lokal perlu untuk pada akhirnya mengandalkan tekanan dinamis dari sejarah Tuhan yang Hidup. Karena Dialah yang akan membimbing umat-Nya di setiap zaman untuk mengembangkan gereja mereka sedemikian rupa baik untuk mematuhi perintah yang telah diberikan-Nya dalam Kitab Suci maupun untuk merefleksikan unsur-unsur yang baik dari budaya lokal mereka.

Kebebasan Gereja

Jika setiap gereja adalah untuk mengembangkan dengan kreatif sedemikian rupa untuk menemukan dan mengekspresikan dirinya sendiri, gereja haruslah bebas untuk melakukannya. Ini adalah hak asasinya. Karena setiap gereja adalah gereja Allah. Dipersatukan dengan Kristus, gereja adalah tempat tinggal Allah melalui Roh-Nya (Ef 2:22). Beberapa misi dan misionaris telah lambat mengenalinya dan menerima implikasinya dalam arah bentuk pribumi dan pelayanan setiap anggota. Ini merupakan satu dari banyak alasan yang telah mendatangkan Gereja-gereja Mandiri, terutama di Afrika, yang mengusahakan cara-cara pengekspresian diri yang baru dalam hal budaya lokal. Meskipun para pemimpin gereja juga kadang-kadang menghambat perkembangan pribumi, kesalahan utama terletak di tempat lain. Tidaklah adil untuk menggeneralisasi. Situasinya selalu beragam. Pada generasi awal, ada misi yang tidak pernah mewujudkan semangat dominasi. Di abad ini, beberapa gereja telah bermunculan yang tidak pernah ada di bawah pengawasan misionaris, telah menikmati pengaturan diri sendiri sejak awal. Di kasus lain misi telah tunduk total pada kuasa sebelumnya, sehingga beberapa misi mendirikan gereja sekarang sepenuhnya otonom, dan banyak misi sekarang bekerja dalam kemitraan yang sungguh-sungguh dengan gereja-gereja. Namun ini bukanlah gambaran seluruhnya. Gereja lain masih hampir sepenuhnya terhalangi dari mengembangkan identitas dan program mereka sendiri dengan kebijakan yang ditetapkan dari jauh, dengan pengenalan dan kelanjutan tradisi asing, dengan penggunaan kepemimpinan asing, dengan proses pengambilan keputusan asing, dan terutama dengan penggunaan uang yang manipulatif. Mereka yang mempertahankan kontrol tersebut dapat benar-benar tidak menyadari cara dimana tindakan mereka dihargai dan di sisi lain berpengalaman. Itu bisa dirasakan oleh gereja-gereja yang bersangkutan untuk menjadi tirani. Kenyataan bahwa ini tidak dimaksudkan ataupun disadari menggambarkan secara sempurna bagaimana kami semua (entah kami mengetahuinya atau tidak) terlibat dalam budaya yang telah menjadikan siapa diri kami. Kami sangat menentang “keasingan” seperti itu, dimanapun itu ada, sebagai hambatan serius terhadap kedewasaan dan misi, dan sebagai pemadaman Roh Kudus Allah. Dalam protes terhadap kelanjutan kontrol asing–lah beberapa tahun yang lalu panggilan itu dilakukan untuk menarik semua misionaris. Dalam debat ini beberapa dari kami mau menghindari kata “pertangguhan” karena telah menjadi istilah yang penuh emosi dan kadang-kadang menandakan sebuah kebencian terhadap konsep “misionaris” yang sama. Yang lainnya ingin mempertahankan kata itu untuk menekankan kebenaran yang diungkapkan. Bagi kami itu berarti bukan sebuah penolakan terhadap personil misionaris dan uang mereka, tetapi hanya penolakan terhadap penyalahgunaannya sedemikian rupa untuk mencekik inisiatif lokal. Kami semua setuju dengan pernyataan dari Kovenan Lausanne bahwa “pengurangan misionaris dan uang asing ... kadang-kadang mungkin diperlukan untuk menfasilitasi pertumbuhan gereja nasional dalam kemandirian...” (alinea 9).

Struktur Kekuasaan dan Misi

Apa yang baru saja kami tulis adalah bagian dari permasalahan yang jauh lebih luas, yang tidak bisa kami abaikan. Dunia zaman sekarang tidak terdiri dari masyarakat atom yang terisolasi, namun merupakan sistem global yang saling terpadu dari ekonomi, politik, teknologi, dan ideologi struktur makro, yang pasti menghasilkan banyak eksploitasi dan penindasan. Apa kaitannya dengan misi? Dan mengapa kami mengangkatnya di sini? Sebagian karena konteks dimana Injil harus diberitakan kepada semua bangsa hari ini. Sebagian juga karena hampir semua dari kami baik di Dunia Ketiga, atau tinggal dan bekerja di sana, atau telah melakukan itu atau telah mengunjungi beberapa negara di situ. Jadi kami telah melihat dengan mata kami sendiri kemisikinan massa, kami merasa untuk mereka dan bersama mereka, dan kami mengerti bahwa penderitaan mereka adalah sebagian karena sistem ekonomi yang sebagian besar dikendalikan oleh negara-negara Atlantik Utara (meskipun negara lain sekarang juga terlibat). Kami yang merupakan warga negara Amerika Utara atau negara-negara Eropa tidak bisa menghindari beberapa perasaan malu, dengan alasan penindasan yang di dalamnya negara-negara kami dalam berbagai tingkat telah terlibat. Tentu saja, kami tahu bahwa terjadi penindasan di banyak negara hari ini, dan kami menentangnya dimana-mana. Namun sekarang kami membicarakan diri kami sendiri, negara kami sendiri dan tanggung jawab kami sebagai orang Kristen. Sebagian besar misionaris-misionaris dunia dan uang misionaris berasal dari negara-negara ini, seringkali dengan pengorbanan pribadi yang besar. Namun kami harus mengakui bahwa beberapa misionaris itu sendiri mencerminkan sikap neo-kolonial dan bahkan mempertahankannya, bersama dengan pos terdepan kekuasaan dan eksploitasi barat seperti Afrika Selatan.Jadi apa yang harus kami lakukan? Satu-satunya respons yang jujur adalah untuk mengatakan bahwa kami tidak tahu. Kursi kecaman berbau kemunafikan. Kami tidak mempunyai solusi yang siap pakai untuk ditawarkan bagi permasalahan seluruh dunia ini. Sesungguhnya, kami sendiri merasa menjadi korban dari sistem. Namun kami juga adalah bagian darinya. Jadi kami merasa hanya mampu membuat komentar-komentar ini.

Pertama, Yesus sendiri terus-menerus mengidentifikasi diri-Nya dengan orang miskin dan lemah. Kami menerima kewajiban untuk mengikuti jejak-Nya dalam hal ini seperti dalam hal lainnya. Setidaknya dengan kasih yang berdoa dan memberi, kami bermaksud untuk memperkuat solidaritas dengan mereka. Namun, Yesus berbuat lebih daripada mengidentifikasi. Dalam ajaran-Nya dan ajaran para rasul akibat wajar dari kabar baik terhadap orang yang tertindas adalah putusan penghakiman atas penindas (mis., Luk 6:24-26; Yak 5:1-6). Kami mengakui bahwa dalam situasi ekonomi yang rumit, tidaklah mudah untuk mengidentifikasi para penindas untuk mengecam mereka tanpa menggunakan retorika melengking yang tidak beresiko atau menyelesaikan apapun. Namun demikian, kami menerima bahwa ada saat-saat ketika itu adalah tugas kami sebagai orang Kristen untuk berbicara menentang ketidakadilan dalam nama Tuhan yang adalah Allah atas keadilan dan pembenaran. Kami akan mencari dari Dia keberanian dan hikmat untuk melakukannya.

Ketiga, Perundingan telah menyatakan keprihatinannya tentang sinkretisme di gereja-gereja Dunia Ketiga. Namun kami tidak lupa bahwa gereja-gereja Barat menjadi korban dosa yang sama. Memang, mungkin bentuk yang paling berbahaya dari sinkretisme di dunia hari ini adalah usaha untuk mencampur Injil pengampunan peribadi dengan sikap (bahkan sifat setan) duniawi terhadap kekayaan dan kekuasaan.Kami sendiri tidak bersalah dalam hal ini. Namun kami ingin menjadi orang Kristen yang berintegrasi yang untuk mereka Yesus adalah benar-benar Tuhan atas semua. Jadi kami yang adalah bagian, atau berasal dari Barat, akan memeriksa diri kami sendiri dan berusaha untuk membersihkan diri kami dari sinkretisme gaya Barat. Kami setuju bahwa “keselamatan yang kami akui pasti akan mengubah kamu dalam totalitas peribadai dan tanggung jawab sosial kami. Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Kovenan Lausanne, alinea 5).

Bahaya dari Kedaerahan

Kami telah menekankan bahwa Gereja harus dimungkinkan untuk mempribumi, dan untuk “merayakan, bernyanyi dan menari” Injil dalam media budaya itu sendiri. Pada saat yang sama, kami ingin menjadi waspada dengan bahaya dari proses ini. Beberapa gereja di semua enam benua bersukacita dan bersyukur atas penemuan warisan budaya lokal mereka, namun tidak menjadi sombong karenanya (sebuah bentuk sovinisme) atau bahkan memutlakkannya (sebuah bentuk penyembahan berhala). Lebih umum daripada salah satu ekstrim-ektrim ini, bagaimanapun, adalah “kedaerahan,” yaitu, semacam tempat pengasingan diri ke dalam budaya mereka sendiri ketika mereka terpisah terkatung-katung dari Gereja yang lain dan dari dunia yang lebih luas. Ini merupakan sikap diri yang sering muncul di gereja-gereja Barat dan juga di Dunia Ketiga. Ini menyangkal Allah atas ciptaan dan penebusan. Ini untuk menyatakan kebebasan seseorang, yang hanya akan memasuki ikatan yang lainnya. Kami memperhatikan pada tiga alasan utama mengapa kami pikir sikap ini harus dihindari.

Pertama, setiap gereja adalah bagian dari Gereja universal. Umat Allah oleh anugerah-Nya adalah komunitas multi-ras, multi-nasional, multi-budaya yang unik. Komunitas ini adalah ciptaan Allah yang baru, kemanusiaan-Nya yang baru, dimana Kristus telah menghapuskan semua hambatan (lihat Ef 2 dan 3). Karena itu tidak ada ruang bagi rasisme dalam masyarakat Kristen, atau bagi sukuisme – entah dalam bentuk kesukuan Afrika, atau dalam bentuk kelas-kelas sosial Eropa, atau sistem kasta India. Di sampingkegagalan gereja, visi tentang komunitas kasih supra-etnis ini bukanlah mimpi yang romantis, namun adalah perintah Tuhan. Oleh karena itu, sementara bersukacita dalam warisan budaya dan pengembangan bentuk-bentuk pribumi kami sendiri, kami harus selalu ingat bahwa identitas utama kami sebagai orang Kristen bukan pada budaya tertentu namun di dalam Tuhan dan Tubuh-Nya yang satu (Ef 4:3-6).

Kedua, masing-masing gereja menyembah Allah yang Hidup, Allah atas keragaman budaya. Jika kami bersyukur kepada-Nya untuk warisan budaya kami, kami harus bersyukur kepada-Nya untuk warisan budaya-budaya lainnya juga. Gereja kami tidak pernah boleh menjadi begitu terikat budaya sehingga pengunjung dari budaya lain tidak merasa diterima. Sesungguhnya, kami percaya itu memperkaya orang Kristen, jika mereka memiliki peluang, untuk mengembangkan dwi-budaya dan bahkan adanya multi-budaya, seperti Rasul Paulus yang adalah seorang Ibrani karena keturunan Ibrani, sekaligus menguasai bahasa Yunani dan seorang warga negara Roma.

Ketiga, setiap gereja harus masuk ke dalam “kemitraan ...dalam memberi dan menerima” (Flp. 4:15). Tidak ada gereja, atau berusaha untuk menjadi, sanggup mencukupi keperluan dirinya sendiri. Jadi gereja-gereja harus berkembang dengan saling berhubungan dalam doa, persekutuan, pertukaran pelayanan dan kerja sama. Asalkan kami berbagi kebenaran sentral yang sama (termasuk ketuhanan Kristus yang tertinggi, otoritas Kitab Suci, perlunya pertobatan, percaya diri dalam kuasa Roh Kudus, dan kewajiban hidup kudus dan bersaksi), kami harus keluar dan tidak malu-malu mengusahakan persekutuan; dan kami harus berbagi karunia roh dan pelayanan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan sumber keuangan. Prinsip yang sama berlaku untuk gereja. Sebuah gereja harus bebas untuk menolak bentuk budaya asing dan mengembangkan budayanya sendiri; gereja juga harus bebas untuk meminjam dari yang lainnya. Dengan demikian ada kedewasaan.

Salah satu contoh dari ini berkaitan dengan teologi. Para saksi lintas budaya tidak boleh berusaha untuk memaksakan tradisi teologis siap pakai kepada gereja dimana mereka melayani, baik melalui ajaran pribadi atau melalui literatur atau dengan mengontrol kurikulum seminari dan sekolah Alkitab. Karena setiap tradisi teologis mengandung dua elemen yang dipertanyakan secara alkitabiah dan telahmemecah-belah secara gerejawi dan menghilangkan unsur-unsur yang, mungkin ketika tidak berdampak besar di negara asalnya, mungkin kepentingan yang besar sekali dalam konteks lain. Pada saat yang sama, meskipun para misionaris seharusnya tidak memaksakan tradisi mereka sendiri pada yang lain, mereka juga seharusnya tidak menolak mereka masuk ke sana (dalam bentuk buku, pengakuan, katekismus, liturgi dan himne), karena diragukan kalau itu menyatakan sebuah warisan iman yang kaya. Selain itu, meskipun kontroversi teologis dari gereja yang lebih lama seharusnya tidak diekspor ke gereja-gereja yang lebih baru, namun pemahaman akan masalah, dan karya Roh Kudus dalam terungkapnya sejarah doktrin Kristen, seharusnya membantu untuk melindungi mereka dari pengulangan yang tidak menguntungkan dari pertempuran yang sama. Jadi kami harus berusaha dengan perhatian yang sama untuk menghindari imperialisme teologis atau kedaerahan teologis. Teologi gereja harus dikembangkan oleh komunitas iman dari Kitab Suci dalam interaksi dengan teologi-teologi lain di masa lalu dan masa kini, dan dengan budaya lokal serta kebutuhan-kebutuhannya.

Bahaya Sinkretisme

Selagi gereja berusaha untuk mengungkapkan dirinya sendiri dalam bentuk budaya lokal, gereja segera harus menghadapi masalah tentang unsur-unsur budaya yang jahat atau memiliki hubungan yang jahat. Bagaimana seharusnya gereja menyikapi ini? Unsur-unsur yang pada hakekatnya adalah palsu atau jahat jelas tidak bisa diterima dalam Kekristenan tanpa terjerumus ke dalam sinkretisme. Ini adalah bahaya bagi semua gereja di semua budaya. Jika kejahatan ada dalam pergaulan saja, bagaimanapun, kami percaya adalah benar untuk berusaha “membaptis”nya dalam Kristus. Ini merupakan prinsip yang dilakukan William Booth ketika dia menciptakan kata-kata Kristen ke musik yang populer, mempertanyakan mengapa kejahatan harus memperoleh lagu-lagu yang terbaik. Maka banyak gereja Afrika sekarang memakai drum untuk mengajak orang beribadah, meskipun sebelumnya tidak bisa diterima, karena dikaitkan dengan tarian perang dan ritual pengantara. Namun prinsip ini menimbulkan masalah. Dalam reaksi yan tepat terhadap orang asing, bermain-main yang tidak tepat dengan unsur Iblis budaya lokal kadang-kadang terjadi. Maka gereja, yang adalah hamba Yesus Kristus yang pertama dan terutama, harus belajar untuk meneliti semua budaya, baik asing maupun lokal, dalam terang ketuhanan dan wahyu Allah. Dengan pedoman apakah, karenanya, sebuah gereja menerima atau menolak ciri-ciri budaya dalam proses konteksualisasi? Bagaimana gereja mencegah atau mendeteksi dan menghilangkan bid’ah (ajaran yang salah) dan sinkretisme (pembawaan bahaya dari cara hidup yang lama)? Bagaimana gereja dapat melindungi dirinya sendiri dari menjadi “gereja rakyat” yang di dalamnya gereja dan masyarakat hampir sama? Satu model tertentu yang kami pelajari adalah Gereja di Bali, Indonesia, yang sekarang sekitar 40 tahun usianya. Pengalamannya telah memberikan pedoman sebagai berikut:

Komunitas orang percaya pertama-tama mencari Kitab Suci dan belajar banyak kebenaran berdasarkan Alkitab yang penting. Kemudian mereka mengamati gereja-gereja lain (mis. Sekitar Mediterania) menggunakan arsitektur untuk melambangkan kebenaran Kristen. Ini penting karena orang Bali adalah orang yang sangat “visual” dan menghargai tanda-tanda visual. Jadi diputuskan, misalnya, untuk mengungkapkan penegasan iman mereka akan Trinitas, ada atap tingkat tiga bergaya Bali untuk bangunan gereja mereka. Lambang itu pertama-tama ditetapkan oleh dewan tua-tua yang, setelah mempelajari baik faktor-faktor alkitabiah maupun budaya, merekomendasikannya kepada jemaat lokal.Pendeteksian dan penghapusan bid’ah mengikuti pola yang sama. Ketika orang percaya mencurigai sebuah kesalahan dalam hidup atau ajaran, mereka akan melaporkannya kepada penatua, yang akan membawanya ke dewan para penatua. Setelah mempertimbangkan urusannya, mereka pada gilirannya akan menyampaikan rekomendasi kepada gereja lokal siapa yang memutuskan.

Apakah perlindungan yang paling penting dari gereja? Untuk pertanyaan ini jawabannya adalah: “kami percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Penguasa dari semua kuasa.” Dengan pemberitaan kuasa-Nya, “yang sama kemarin dan hari ini dan selama-lamanya,” dengan menekankan setiap waktu pada sifat normatif Kitab Suci, dengan mempercayai para penatua dengan kewajiban untuk merefleksikan Kitab Suci dan budaya, dengan menghancurkan semua rintangan terhadap persekutuan, dan dengan membangun ke dalam struktur, katekismus, bentuk seni, drama, dll., pengingat yang terus-menerus dari posisi Yesus Kristus yang ditinggikan, gereja-Nya telah bertahan dalam kebenaran dan kekudusan. Kadang-kadang, di berbagai bagian di dunia, unsur budaya bisa diadopsi yang sangat mengganggu hati nurani yang sangat sensitif, terutama dari para petobat baru. Ini adalah masalah “saudara yang lebih lemah”yang kepadanya Paulus menulis berkaitan dengan berhala-daging. Karena berhala itu bukan apa-apa, Paulus sendiri memiliki kebebasan hati nurani untuk makan daging-daging ini. Tetapi demi orang-orang Kristen “yang lebih lemah” dengan hati nurani yang kurang terdidik, yang akan tersinggung melihat dia makan daging, dia menahan diri, setidaknya dalam situasi khusus dimana ketersinggunggan tersebut beralasan. Prinsipnya masih berlaku hari ini. Kitab Suci memandang serius hati nurani dan memberitahu kita untuk tidak melanggarnya. Hati nurani perlu diajar supaya menjadi “kuat,” namun sementara hati nurani “lemah” haruslah dihormati. Hati nurani yang kuat akan membebaskan kita; namun kasih membatasi kebebasan.

Pengaruh Gereja Pada Budaya

Kami menyesalkan pesimisme yang menyebabkan beberapa orang Kristen tidak menetujui keterlibatan budaya secara aktif dalam dunia, dan sikap menyerah yang membujuk orang Kristen lainnya bahwa hal-hal itu dapat berakibat tidak baik dan karenanya harus dalam ketidakaktifan menunggu Kristus untuk memperbaikinya ketika Dia datang. Banyak contoh historis yang bisa diberikan, diambil dari berbagai zaman dan negera, tentang pengaruh yang kuat yang – di bawah Allah – Gereja telah berikan pada budaya yang ada, membersihkan, menjahit, mempercantiknya untuk Kristus. Meskipun semua usaha tersebut telah memiliki kekurangan, tidaklah membuktikan kekeliruan keberanian untuk berusaha. Namun kami memilih, untuk mendasarkan tanggung jawab budaya Gereja pada Kitab Suci daripada pada sejarah. Kami telah mengingatkan diri kami sendiri bahwa saudara dan saudari kami diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, dan bahwa kami diperintahkan untuk menghormati, mengasihi dan melayani mereka dalam setiap bidang kehidupan. Untuk argumen dari penciptaan Allah ini kami menambahkan lagi dari kerajaan-Nya yang masuk ke dalam dunia melalui Yesus Kristus. Semua otoritas adalah milik Kristus. Dialah Tuhan alam semesta dan juga Gereja. Dan Dia telah mengutus kami ke dalam dunia untuk menjadi garam dan terang. Sebagai komunitas-Nya yang baru, Dia mengharapkan kami untuk menembus masyarakat.Jadi kami harus menantang apa yang jahat dan menegaskan apa yang baik; menerima dan berusaha untuk meningkatkan semua yang bermanfaat dan memperkaya dalam kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, industri, pendidikan, pengembangan komunitas dan kesejahteraan sosial; mengecam ketidakadilan dan mendukung orang yang tidak berdaya dan tertindas; menyebarkan kabar baik Yesus Kristus, yakni kekuatan yang paling membebaskan dan manusiawi di dunia; dan terlibat secara aktif dalam pekerjaan baik dari kasih.

Meskipun, dalam kegiatan sosial dan budaya seperti dalam penginjilan, kami harus menyerahkan hasilnya kepada Allah, kami yakin bahwa Dia akan memberkati upaya kami dan memakainya untuk mengembangkan komunitas kami kesadaran yang baru tentang apa yang “benar, mulia, adil, suci, indah, dan terhormat” (Flp. 4:8). Tentu saja, Gereja tidak bisa memaksakan standar-standar Kristen pada masyarakat yang tidak mau, namun dapat memberi komentar pada mereka baik argumen maupun teladan. Semua ini akan membawa kemuliaan bagi Allah dan kesempatan kemanusiaan yang lebih besar kepada sesama kami manusia yang Dia ciptakan dan kasihi. Sebagaimana Kovenan Lausanne menuliskannya, “gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya budaya, semuanya bagi kemuliaan Allah” (alinea 10).

Namun demikian, optimisme yang naif adalah sama bodohnya dengan pesimisme yang gelap. Di keduanya, kami mencari realisme Kristen yang bijaksana. Di satu sisi, Yesus Kristus memerintah. Di sisi yang lain, Dia belum memusnahkan kekuatan iblis; mereka masih mengamuk. Jadi dalam setiap budaya orang Kristen mendapati diri mereka dalam sebuah situasi konflik dan seringkali menderita. Kami dipanggil untuk melawan “penghulu-penghulu dunia yang gelap ini” (Ef 6:12). Jadi kami saling membutuhkan. Kami harus mengenakan perlengkapan senjata Allah, dan terutama senjata perkasa dari doa orang percaya. Kami juga ingat peringatan Kristus dan rasul-rasul-Nya bahwa sebelum akhir zaman akan ada sebuah wabah kejahatan dan kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa kejadian dan perkembangan di dunia kami zaman sekarang menunjukkan bahwa roh Antikristus yang akan datang sedang bekerja bukan hanya di dunia non-Kristen, tetapi juga di masyarakat yang sebagian Kristen dan bahkan di gereja-gereja sendiri. “Karena itu kami menolak gagasan mimpi yang membanggakan diri sendiri bahwa orang dapat membangun suatu utopia di bumi.” (Kovenan Lausanne, alinea 15), dan fantasi tak beralasan bahwa masyarakat akan berkembang menuju kesempurnaan.

Sebaliknya, sementara dengan penuh semangat bekerja di bumi, kami mengharapkan dengan penuh sukacita penantian kembalinya Kristus, dan pengharapan akan surga dan bumi yang baru dimana di dalamnya kebenaran akan berdiam. Lalu karenanya budaya tidak hanya akan diubah, ketika bangsa-bangsa akan membawa kemuliaan mereka ke dalam Yerusalem yang Baru (Why 21:24-26), tetapi juga seluruh ciptaan akan dibebaskan dari ikatan saat ini dari perbudakan yang sia-sia, pembusukan dan penderitaan, untuk ambil bagian dalam kebebasan anak-anak Allah yang mulia (Rm 8:18-25).Kemudian pada akhirnya, semua lutut akan bertelut kepada Kristus dan semua lidah akan mengakui bahwa Dia adalah Tuhan, kemuliaan bagi Allah Bapa (Flp. 2:9-11).

Pertanyaan untuk Diskusi

  1. Apakah gereja lokal Anda “bebas” untuk mengembangkan keinginannya sendiri? Jika tidak, kekuatan apa yang menghalanginya?
  2. Beberapa hal yang sulit telah dipaparkan dalam teks ini mengenai “struktur kekuasaan.” Apakah Anda setuju? Jika ya, dapatkah Anda berbuat sesuatu berkaitan dengan hal itu?
  3. “Kedaerahan” dan “sinkretisme” keduanya adalah kesalahan gereja yang mencoba untuk mengungkapkan identitasnya dalam bentuk budaya lokal. Apakah gereja Anda melakukan salah satunya? Bagaimana kesalahan itu bisa dihindari tanpa menanggalkan budaya asli?
  4. Haruskah gereja di negara Anda berbuat lebih untuk “mengubah dan memperkaya” budaya nasionalnya? Jika ya, dengan cara apa?

9. Budaya, Etika Kristen dan Gaya Hidup

Setelah mempertimbangkan beberapa faktor budaya dalam pertobatan Kristen, kami akhirnya sampai pada hubungan antara budaya dan perilaku etis Kristiani. Karena kehidupan baru yang Kristus berikan kepada umat-Nya terkait dengan hal gaya hidup yang baru.

Berpusat Kepada Kristus dan Serupa Dengan Kristus

Salah satu tema yang dibahas dalam Perundingan kami adalah ketuhanan Yesus Kristus yang tertinggi. Dia adalah Tuhan atasalam semesta dan Gereja; Dia adalah juga Tuhan atas individu orang percaya. Kami mendapati diri kami dilingkupi oleh kasih Kristus. Itu merajut kami dan membuat kami tidak bisa lepas. Karena kami menikmati barunya hidup melalui kematian-Nya bagi kami, kami tidak memiliki alternatif (dan tidak ada keinginan) selain untuk hidup bagi Dia yang telah mati bagi kami dan bangkit kembali (2 Kor 5: 14,15). Loyalitas kami pertama adalah kepada-Nya, berusaha untuk menyenangkan Dia, menjalani hidup yang layak untuk Dia, dan menaati Dia.Hal ini memerlukan penolakan dari semua kesetiaan yang lebih rendah. Jadi kami dilarang untuk menyesuaikan diri sendiri dengan standar dunia ini; yaitu, dengan budaya apapun yang tidak menghormati Allah, dan diperintahkan untuk diubah dalam perilaku kami melalui pembaharuan pikiran yang melaksanakan kehendak Allah.Kehendak Allah ditaati secara sempurna oleh Yesus. Oleh karena itu hal yang paling menonjol dari seorang Kristen bukanlah budayanya, melainkan keserupaannya dengan Kristus.” Sebagaimana Letter to Diognetus pertengahan abad kedua menyatakannya: “Orang Kristen tidak dibedakan dari orang lain berdasarkan negara atau perkataan atau adat istiadat..mereka mengikuti adat istiadat negara dalam hal pakaian, makanan, dan kehidupan sehari-hari lainnya, tetapi kondisi kewarganegaraan yang mereka tunjukkan adalah indah...dengan kata lain, seperti jiwa di dalam tubuh, demikianlah orang Kristen di dalam dunia.”

Standar Moral dan Praktek Budaya

Budaya tidak pernah statis. Budaya bervariasi dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Dan sepanjang sejarah gereja yang panjang di berbagai negara, Kekristenan, dalam ukuran tertentu, telah memusnahkan budaya, melestarikannya, dan akhirnya menciptakan budaya yang baru menggantikan yang lama. Jadi dimana pun orang Kristen perlu untuk berpikir dengan serius tentang bagaimana hidup baru mereka di dalam Kristus berkaitan dengan budaya zaman sekarang. Dalam tulisan Perundingan awal kami, dua model serupa ditetapkan di hadapan kami. Yang satu menyatakan bahwa ada beberapa kategori kebiasaan yang perlu dibedakan. Kategori pertama mencakup praktek-praktek yang akan diharapkan untuk segera ditinggalkan oleh petobat karena sama sekali tidak sesuai dengan Injil Kristen (mis., penyembahan berhala, kepemilikan budak, sihir dan ilmu gaib, perburuan kepala, permusuhan keluarga, ritual prostitusi, dan semua diskriminasi ras pribadi berdasarkan ras, warna kulit, kelas atau kasta). Kategori kedua mungkin mencakup kebiasaan lembaga yang bisa ditoleransi untuk sementara namun diharapkan akan hilang secara bertahap (mis., sistem kasta, perbudakan dan poligami). Kategori ketiga mungkin berhubungan dengan tradisi pernikahan, terutama pertanyaan dari kerabat, yang membuat gereja-gereja dibagi, sedangkan kategori keempat menempatkan “urusan yang sepele” yang berkaitan hanya dengan kebiasaan dan bukan dengan moral, dan karenanya bisa dipertahankan tanpa kompromi (mis., kebiasaan makan dan mandi, bentuk salam publik kepada lawan jenis, gaya rambut dan pakaian, dll.).

Model kedua yang telah kami anggap membedakan antara perjumpaan “langsung” dan “tidak langsung”antara Kristus dengan budaya, yang kira-kira sesuai dengan kategori pertama dan kedua dari model yang lain. Diterapkan di Fiji abad ke-19 dalam studi kasus yang disajikan kepada kami, diasumsikan bahwa akan ada “perjumpaan langsung” dengan praktek-praktek tidak manusiawi seperti kanibalisme, pembunuhan janda, bayi, ayah, dan diharapkan petobat meninggalkan kebiasaan ini berdasarkan pertobatan. Perjumpaan “tidak langsung” akan terjadi, bagaimanapun, baik ketika masalah moral tidak begitu jelas (mis., beberapa kebiasaan pernikahan, ritual permulaan, hari raya, perayaan musikal yang meliputi nyanyian, tarian dan alat musik) atau ketika itu menjadi kelihatan hanya setelah petobat mulai menerapkan iman barunya dalam kehidupan Kristen. Beberapa praktek ini tidak perlu dibuang, melainkan dibersihkan dari unsur najis dan diberi makna Kristen. Kebiasaan lama dapat diberi lambang yang baru, tarian yang lama bisa merayakan berkat yang baru dan kerajinan tua bisa digunakan untuk tujuan yang baru. Meminjam ungkapan dari Perjanjian Lama, pedang dapat ditempa menjadi bajak dan tombak menjadi pisau pemangkas.

Kovenan Lausanne menyatakan, Injil tidak mensyaratkan superioritas budaya manapun, tetapi mengevaluasi semua budaya menurut kriterianya sendiri tentang kebenaran dan kebajikan, dan bersikeras pada kemutlakan moral dalam semua budaya” (alinea 10). Kami ingin mendukung ini, dan menekankan bahwa bahkan dalam relativitas zaman sekarang ini, kemutlakan moral tetap. Sesungguhnya, gereja yang mempelajari Kitab Suci tidak boleh kesulitan untuk memilah apa yang menjadi bagian kategori pertama atau “perjumpaan langsung.” Prinsip-prinsip Kitab Suci di bawah bimbingan Roh Kudus juga akan menuntun mereka mengenai kategori “perjumpaan tidak langsung.” Sebuah tes tambahan adalah menanyakan apakah sebuah praktek meningkatkan atau mengurangi kehidupan manusia. Akan terlihat bahwa studi kami telah difokuskan terutama pada situasi dimana gereja-gereja yang lebih baru harus menentukan sikap moral terhadap kejahatan tertentu. Namun kami telah diingatkan bahwa Gereja perlu untuk melawan kejahatan dalam budaya Barat juga. Di Barat abad ke-20, seringkali contoh yang lebih rumit namun kurang mengerikan dari kejahatan yang ditentang oleh kehadiran Fiji di abad ke-19. Sejalan dengan kanibalisme adalah ketidakadilan sosial yang “memakan” orang miskin; pembunuhan janda, penindasan kaum wanita; pembunuhan bayi, aborsi; pembunuhan ayah, pengabaian keji terhadap warga senior; perang suku, Perang Dunia I dan II; ritual prostitusi, persetubuhan dengan siapa saja. Memikirkan paralelisme, perlu diingat baik rasa bersalah yang ditambahkan mengikuti bangsa-bangsa Kristen secara nominal, dan juga keberanian orang Kristen melawan kejahatan tersebut, dan besarnya (meskipun tidak sempurna) keberhasilan yang telah dimenangkan dalam mengurangi kejahatan-kejahatan ini. Kejahatan terdapat dalam banyak bentuk, namun universal, dan dimanapun kejahatan muncul orang Kristen harus melawan dan menolaknya.

Proses Perubahan Budaya

Tidaklah cukup bagi para petobat untuk membuat penolakan pribadi terhadap kejahatan di budaya mereka; seluruh gereja perlu bekerja untuk penghapusan kejahatan tersebut. Maka penting untuk menanyakan bagaimana budaya berubah di bawah pengaruh Injil. Tentu saja, kejahatan dan Iblis berakar kuat dalam sebagian besar budaya, namun Kitab Suci meminta pertobatan nasional dan reformasi, dan sejarah mencatat banyak kejadian perubahan budaya untuk yang lebih baik. Dalam beberapa kasus budaya tidaklah selalu menolak perubahan yang diperlukan seperti kelihatannya. Bagaimanapun, perhatian yang besar diperlukan, ketika berusaha untuk memulainya. Pertama, orang berubah karena dan jika mereka menginginkannya.” Ini terlihat aksiomatis (sudah jelas kebenarannya). Selanjutnya, mereka menginginkan perubahan hanya jika mereka merasakan keuntungan positif dari perubahan itu. Hal-hal ini akan perlu dengan seksama dibahas dan ditunjukkan dengan sabar, apakah orang Kristen menyarankan di negara berkembang keuntungan dari melek huruf atau pentingnya air yang bersih, atau di negara Barat pentingnya pernikahan dan kehidupan keluarga yang stabil. Kedua, saksi lintas budaya di Dunia Ketiga perlu untuk benar-benar menghormati dibangunnya mekanisme perubahan sosial pada umumnya, dan “prosedur inovasi yang benar” di setiap budaya tertentu. Ketiga, penting untuk diingat bahwa hampir semua kebiasaan melakukan fungsi pentingya di dalam budaya, dan bahwa bahkan praktek sosial yang tidak diinginkan bisa menjalankan fungsi “konstruksif.” Bahwa menjadi begitu, sebuah kebiasaan tidak boleh dimusnahkan tanpa pertama-tama memilah fungsinya dan kemudian mengganti dengan kebiasaan lain untuk menjalankan fungsi yang sama. Sebagai contoh, mungkin benar untuk ingin melihat hilangnya beberapa ritual pengenalan yang berkaitan dengan sunat remaja dan beberapa bentuk pendidikan seks yang menyertainya. Ini bukan untuk menyangkali bahwa ada banyak nilai dalam proses pengenalan; perhatian yang besar harus diberikan untuk melihat pengganti yang memadai tersedia untuk ritual dan bentuk pengenalan yang hati nurani Kristen akan ingin untuk melihatnya hilang. Keempat, adalah penting sekali untuk mengenali bahwa beberapa praktek budaya memiliki landasan teologis. Jika ini demikian, budaya hanya akan berubah jika teologinya berubah. Karena itu, jika janda dibunuh supaya suami mereka tidak bisa memasuki dunia berikutnya tanpa pengawasan, atau jika orang yang lebih tua dibunuh sebelum kepikunan menyerang, supaya di dunia berikutnya mereka bisa cukup kuat untuk bertarung dan berburu, maka pembunuhan demikian, karena didasaskan pada eskatologi yang salah, akan bisa dihapuskan jika sebuah alternatif yang lebih baik, harapan Kristen, diterima pada tempatnya.

Pertanyaan untuk Diskusi

  1. Dapatkah “keserupaan dengan Kristus” diakui dalam semua budaya? Apa unsur-unsurnya?
  2. Dalam budaya Anda, apa yang Anda harapkan untuk segera ditinggalkan oleh para petobat baru?
  3. Sebutkan beberapa “kebiasaan kelembagaan” di negara Anda yang orang Kristen harapkan akan “hilang secara bertahap” (mis., poligami, sistem kasta, perceraian yang mudah, atau beberapa bentuk penindasan). Langkah aktif apa yang harus dilakukan orang Kristen untuk membawa perubahan?

Kesimpulan

Perundingan kami telah meninggalkan untuk kami pengertian , yang tidak diragukan lagi, mengenai pentingnya budaya yang meresap. Penulisan dan pembacaan Alkitab, pekabaran Injil, pertobatan, gereja dan perbuatan – semuanya dipengaruhi oleh budaya. Karena itu sangatlah penting bahwa semua gereja mengkontekstualisasikan Injil supaya mengabarkannya dengan efektif di budaya mereka sendiri.Untuk tugas penginjilan ini, kita semua tahu kebutuhan kita yang mendesak tentang pelayanan Roh Kudus. Dia adalah Roh Kebenaran yang bisa mengajar setiap gereja bagaimana menghubungkan budaya yang menyelubunginya. Dia juga adalah Roh kasih, dan kasih adalah “Bahasa – yang dimengerti di semua budaya manusia.” Jadi kiranya Allah memenuhi kita dengan Roh-Nya! Kemudian, berbicara kebenaran di dalam kasih, kita akan bertumbuh ke arah Kristus yang adalah Kepala dari Tubuh, bagi kemuliaan kekal Allah (Ef 4:15).

CATATAN: Kutipan yang tidak dikaitkan dalam laporan ini diambil dari berbagai tulisan yang disajikan pada Perundingan ini.


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas