PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Identitas dengan Integritas, Pelayanan Apostolik di Abad 21

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Rick Love

Love.jpg
Rick Love telah melayani selama 25 tahun di antara orang M. Beliau mengkhususkan diri dalam pengembangan kepemimpinan, melatih berbagai organisasi berbasis iman dalam komunikasi lintas budaya, dan hubungan orang Kristen dan M. Beliau menulis dua buku dan banyak artikel. Tulisan ini diadaptasi dari “Blessing the Nations in the 21st Century: A 3D Approach to Apostolic Ministry,” International Journal of Frontier Missiology 25:1 (Spring 2008), diterbitkan oleh William Carey International University Press, Pasadena, CA.


Saya duduk tertegun di depan televisi seraya menyaksikan serangan teroris yang menghancurkan pada 11 September 2001. Seperti kebanyakan orang lainnya, saya merasa kebas dan marah. Seperti kebanyakan orang lainnya, saya terus berpikir dan berdoa sejak saat itu. Siapa yang dapat meragukan bahwa sudah waktunya kita memikirkan ulang model-model pelayanan ”apostolik” kita bagi abad 21? Perhatikan bahwa saya mejadii istilah “apostolik” ketimbang terminologi yang lebih luas dan dibebani muatan seperti “misi.” Saya mendefinisikan istilah “rasul” sebagai seorang pembuat murid secara lintas budaya, melayani dalam konteks perintisan―seseorang “yang diutus” yang membantu membentuk berbagai komunitas pengikut Yesus di tempat di mana Kristus belum disembah.

Melayani dalam Dunia Pasca 9/11: Terorisme, Globalisasi, Pluralisme
Tiga kecenderungan global yang sangat besar telah secara mendalam mengubah dunia kita: terorisme, globalisasi, dan pluralisme. Ketiganya secara radikal mempengaruhi bagaimana kita hidup, berpikir dan berkomunikasi dalam abad 21. Ketiganya juga menantang cara tradisional kita dalam melakukan pelayanan apostolik secara internasional. Serangan teroris yang mengerikan pada 9/11 telah membekas secara mendalam dalam generasi ini. Sebelumnya, hanya sedikit orang di luar lingkungan gereja yang tertarik mengetahui apa yang orang Kristen lakukan di dunia M. Tetapi sekarang semua orang yang hidup dan bekerja di antara orang M memiliki minat tersebut―entah karena peran mereka sebagai pembangun jembatan budaya atau karena mereka bisa dilihat dan dirasakan sebagai pengganggu yang mengancam kepentingan nasional. Media internasional merasa ingin tahu tentang peran mereka dalam “benturan peradaban” antara dunia M dan dunia Barat. Terorisme bukanlah satu-satunya hal yang membuat pelayanan apostolik menjadi lebih menantang. Kita hidup dalam dunia yang saling terhubung dan mengglobal. Mungkin contoh yang paling kuat dan relevan dari hal ini adalah mesin pencari “Google.” Ketik beberapa kata tentang hal apa pun dan Anda akan mendapat serangkaian artikel dan informasi mengenai hal tersebut dalam hitungan detik. Di dalam dunia yang telah “meng-google,” ini, kapan pun kita menggambarkan siapa kita, atau apa yang kita lakukan, atau mengapa kita melakukannya, kata-kata kita akan tersebar lebih cepat melebihi target pendengar yang kita inginkan dan masuk ke dalam pasar gagasan yang besar sekali dan mendunia. Kecenderungan ketiga, pluralisme, merujuk pada pembauran beragam etnis, agama atau latar belakang politik di dalam satu masyarakat. Istilah seperti “Eurobia” atau “Londonistan” menonjolkan masuknya arus berbagai budaya M ke dalam masyarakat Barat. Di masa lalu yang belum terlalu lama, dunia dapat dibagi secara mencolok ke dalam negara-negara pengutus dan “ladang-ladang misi.” Ini tidak lagi benar. Populasi yang signifikan dari setiap blok kelompok suku yang belum terjangkau sekarang hidup dalam negara-negara yang secara historis merupakan negara-negara pengutus misionaris. Tentu saja, kedekatan dari dunia yang belum terjangkau menyajikan suatu kesempatan yang luar biasa untuk mengekspos kelompok suku yang belum terjangkau itu kepada Injil. Tetapi kedekatan yang sama itu berarti identitas ganda dari para pekerja lintas budaya―di tempat asal mereka dikenal sebagai misionaris yang diutus oleh gereja pengutus di sana, tetapi di negara lain dikenal dengan identitas sebagai ”pembuat tenda”― di mana kedua identitas ini sering terekspos dalam realitas global yang baru ini. Berikut beberapa contoh mengenai tantangan yang dihadapi oleh para duta lintas budaya dalam dunia pascaperistiwa 9/11:

• Sebuah seminar mengenai M di sebuah gereja di Australia mendorong jemaatnya untuk mengasihi orang M dan menjangkau mereka dalam persahabatan. Beberapa ayat dari AQ dibacakan, yang menggambarkan bagaimana seharusnya orang M memperlakukan wanita dan orang kafir. Beberapa orang Australia yang baru masuk ke dalam agama M mengikuti seminar itu. Mereka mendorong gugatan sipil terhadap pemimpin gereja melalui hukum baru tentang “pidato kebencian.” Para pendeta dituduh “memfitnah M.”

• Seorang pemimpin dari organisasi berbasis iman Kristen yang melayani di antara orang M mengizinkan seorang jurnalis lepas untuk hadir dalam kursus di seminari yang diajarnya. Sebuah artikel yang negatif dan berkobar-kobar muncul. Artikel itu diterjemahkan dan dicetak ulang di seluruh dunia M. Dia diundang untuk merespons tulisan itu di tempat seperti The Washington Post, The New York Times, CNN dan 60 Minutes, tetapi ia tidak siap untuk mendapat perhatian media dengan profil kelas tinggi tersebut. Hasilnya, sebuah NGO/Ornop (organisasi non-pemerintah) dalam bidang pengembangan masyarakat di sebuah negara M terekspos sebagai memiliki hubungan dengan organisasi berbasis Kristen ini.

• Sebuah keluarga yang melayani di negara M kembali ke kampung halaman selama satu musim. Mereka mengunjungi sebuah acara untuk mahasiswa internasional yang didukung oleh gereja asal mereka. Pada acara tersebut, para mahasiswa dari negara M tempat di mana keluarga misionaris itu melayani diperkenalkan dengan antusias oleh seorang anggota “komite misi”: “Kami ingin memperkenalkan Anda kepada misionaris kami yang melayani di negara Anda!”

Identitas Sejati dengan Tiga Pendengar
Kesalingterhubungan dunia kita yang sudah masuk dalam era globalisasi berarti bahwa kita semakin ditantang untuk melakukan tiga hal secara bersamaan: menyajikan Injil (di latar utama kita, kepada komunitas yang belum terjangkau), membela Injil (terhadap dunia sekuler yang memperhatikan) dan merekrut orang untuk Injil (dalam gereja). Di dalam dunia pascaperistiwa 9/11, semakin terbukti mustahil untuk berkomunikasi dengan salah satu hal dari para pendengar ini secara terpisah. Apa yang kita katakan dalam satu latar pada akhirnya akan didengar atau dibaca di seluruh dunia. Di masa lalu kita mungkin dapat membatasi pesan kita hanya kepada pendengar tertentu, tetapi sekarang tidak bisa lagi. Apa yang dibicarakan ke salah satu kelompok pendengar akan didengar oleh kelompok yang lain. Karena kita tidak bisa lagi menyajikan pesan atau pribadi yang berbeda bagi setiap pendengar, kita harus memiliki pesan yang sama dan identitas pribadi seperti layaknya kita memiliki satu kelompok pendengar gabungan. Tiga pertanyaan akan membantu kita menghadapi kompleksitas keragaman pendengar dalam dunia kita yang berglobalisasi: Bagaimana kita membingkai pesan kita? Bagaimana kita mengungkapkan maksud kita? Dan bagaimana kita akan menyatakan identitas kita?

Sebuah Pesan Inti
Yang saya maksudkan dengan “pesan inti” artinya pesan Injil yang tidak bisa dikurangi yang disajikan kepada ketiga kelompok pendengar: kelompok suku yang belum terinjili, dunia sekuler dan pada saat yang sama, kepada gereja-gereja pengutus. Kita akan secara bervariasi mengomunikasikan penerapan yang sudah dikontekstualisasi dari pesan inti kita kepada setiap pendengar, tetapi pesan yang sudah terkontekstualisasi ini akan selalu merujuk pada pesan inti kita. Kita perlu mengidentifikasi dan jelas tentang pesan inti ini. Salah satu cara terbesar untuk mengerti pesan inti dari hidup Anda adalah menjawab pertanyaan ini: Pesan apa yang saya bersedia mati untuknya? Dalam kasus saya, saya tidak mau mati karena dianggap berafiliasi dengan suatu badan misi atau kebijakan luar negeri negara saya. Sejujurnya, saya tidak mau mati karena agama dari Kekristenan. Tetapi dengan anugerah Allah, saya bersedia mati bagi Kristus dan bagi hak setiap orang untuk mengenal kasih Kristus. Pesan inti kita dapat diartikulasikan dalam beragam cara. Sebagai contoh, Yesus mengadaptasi pesan-Nya tentang Kerajaan Allah dalam cara yang berbeda kepada para pendengar yang berbeda. Yesus dapat berkata seperti ini mengenai pesan-Nya, “Aku berbicara terus terang kepada dunia … Aku tidak pernah berbicara sembunyi-sembunyi” (Yoh. 18:20). Demikian juga dengan kita, kita dapat menyesuaikan kepada pendengar kita, asalkan setiap hal yang kita katakan cocok dengan pesan inti kita. Meskipun sulit, hal ini mungkin dilakukan, dan saya percaya ini diperlukan dalam abad 21. Baru-baru ini saya berbicara di sebuah gereja mengenai apa yang sedang Allah lakukan di dunia M. Meskipun fokus saya adalah untuk mendorong dan menantang orang Kristen, saya melakukan yang seterbaik mungkin untuk mengomunikasikan hal ini secara hati-hati agar tidak menyinggung seorang sekuler atau pendengar yang M. Setelah saya berbicara, seorang M yang mengunjungi gereja itu datang kepada saya dan berkata, “Terima kasih atas pesan Anda pagi ini. Pesan ini perlu didengar di seluruh Amerika Serikat!” Pengalaman tersebut dan banyak pengalaman lainnya telah membantu saya untuk mengembangkan suatu kesadaran bahwa saya, kapan pun, sedang berbicara di depan beragam pendengar.

Sebuah Amanat Inti
Misi modern telah cenderung berfokus pada berbagai metafora militer dan slogan kemenangan untuk menggambarkan amanat global gereja. Berbagai metafora dan slogan ini membentuk cara kita memandang orang-orang yang kepada mereka kita diutus. Apakah mereka sungguh-sungguh adalah “target”? Adakah gambaran perang kita secara tidak sadar membawa kita melihat dan merasa kelompok suku yang belum terjangkau sebagai “musuh”? Para misionaris modern semakin menghindari penggunaan istilah-istilah yang sebelumnya disukai seperti “Kristen,” “misi,” “misionaris,” dan “penanaman gereja.” Makna negatif telah bertambah kepada istilah-istilah ini dan sebagai hasilnya, dalam berbagai upaya kita untuk memberkati bangsa-bangsa, kita terlalu mudah disalahmengerti. Di dalam semangat kita yang berkobar-kobar untuk menggenapi Amanat Agung, kita sering salah menyajikan jalan salib. Kita telah menghilangkan karakter yang bersifat pribadi dari pelayanan pendamaian ini. Kita telah gagal meneladani cara Yesus yang damai. Saya pikir tema alkitabiah “memberkati bangsa-bangsa” dapat menjadi cara terbaik untuk menggambarkan amanat apostolik inti kita. Kita menemukan frasa ini atau yang mirip dengan itu, dapat menggantikan istilah “misi.” Amanat untuk memberkati bangsa-bangsa dimulai dengan Abraham. Janji Allah untuk memberkati segala bangsa melalui Abraham (Kej. 12:1-3; 18:18; 22:18; 26:4; 28:14) menyediakan dasar alkitabiah dan sikap hati yang tepat untuk pelayanan. Di sini kita menemukan tujuan Allah yang pengasih untuk memberkati segala bangsa. Di sini kita melihat tujuan global Allah bagi umat manusia. Dalam Perjanjian Lama, “berkat” merujuk kepada kebaikan Allah yang rahmani dan kuasa yang diberikan kepada mereka yang merespons Dia melalui iman (Kej. 15:6; Mzm. 67). Berkat kebaikan Allah menarik kita ke dalam hubungan dengan Dia, menghasilkan damai, kesejahteraan dan keselamatan. Berkat kuasa-Nya mempengaruhi realitas praktis dari setiap dimensi kehidupan. Jadi, berkat merupakan istilah relasional dan juga kuasa. Berkat yang dijanjikan ini dipenuhi dalam Kristus. Di dalam Kristus, kita menemukan kepenuhan kebaikan Allah pengasih. Di dalam Kristus, kita menemukan demonstrasi kuasa Allah yang memerdekakan. Paulus menonjolkan dimensi relasional dan kuasa dari berkat di dalam Kristus secara paling jelas dalam Surat Galatia (Gal. 3:5, 8, 9, 14). Tersirat dalam berkat kepada Abraham, saya pikir kita menemukan amanat kita dan juga pesan kita. Paulus menjelaskan ini dalam Galatia 3:8, “Dan Kitab Suci, yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham: “Olehmu segala bangsa akan diberkati.”” Jadi pesan inti kita tentang berkat yang ada di dalam Kristus menyesuaikan dengan amanat inti kita untuk membawa berkat dalam Kristus itu ke segala bangsa.

Sebuah Identitas Inti
Setiap orang yang terlibat dalam berbagai upaya apostolik menghadapi masalah identitas, terutama mereka yang bekerja dalam konteks yang bermusuhan terhadap iman Kristen. Di masa yang lalu banyak dari kita merasa kita dapat hidup berhasil dalam dua dunia dengan dua identitas. Bagi gereja yang mengutus kita, kita biasanya dikenal sebagai misionaris, tetapi dalam konteks pelayanan lintas budaya kita adalah pebisnis, pendidik, pekerja pemulihan bencana atau pekerjaan “tentmaker” lainnya. Ketegangan dalam menjaga dua identitas ini telah semakin meninggi dikarenakan dunia yang semakin terhubung di mana kita hidup sekarang ini. Satu contoh yang cenderung menarik perhatian: Dua orang wanita Amerika diculik di Afganistan pada tahun 2001. Setelah pembebasan yang dramatis, mereka mengatakan kepada seorang reporter televisi bahwa mereka adalah pekerja bantuan kemanusiaan, namun media global langsung menyiarkan sebuah kartu doa yang menunjukkan mereka sebagai misionaris. Dua dunia bertabrakan. Identitas ganda seperti itu menghasilkan kekuatiran bermutu rendah bagi sebagian orang, yang merasa seolah-olah mereka menyembunyikan identitas sejati mereka untuk menyatakan kebenaran tentang Kristus. Ketakutan-ketakutan yang mengganggu karena tampil tidak jujur dapat mengacaukan hati nurani siapa pun dan secara perlahan-lahan mengikis keberanian untuk membagikan Injil. Identitas ganda tidak hanya mencerminkan sebuah kepribadian yang terpecah tetapi sebuah kerohanian yang terpecah―suatu pemahaman yang salah bahwa aspek-aspek rohani dalam hidup kita atau pekerjaan kita lebih penting daripada bagian praktis kehidupan kita. Tidak peduli peran apa yang dipakai oleh para rasul (baca: misionaris) untuk menjadi berkat bagi komunitas di mana mereka hidup, mereka perlu untuk bisa memenuhi peran itu dengan integritas yang sepenuh hati: “Saya seorang guru bahasa Inggris-rasul bagi kemuliaan Allah.” “Saya seorang pengusaha-rasul bagi kemuliaan Allah.” “Saya seorang pekerja bantuan kemanusiaan-rasul bagi kemuliaan Allah.” Identitas mereka tetap sama di antara ketiga kelompok pendengar. Sebuah identitas yang terintegrasi yang patut dihidupi berarti bahwa kita memiliki kesesuaian antara motivasi kita, peran tentmaking (profesional yang bersaksi) kita, karunia pribadi kita dan panggilan apostolik (baca: misi) kita. Dengan kata lain, digerakkan oleh kasih Kristus, kita mencari cara hidup dan melayani yang sejalan dengan maksud Allah menciptakan kita dan yang mengizinkan kita menjalankan panggilan apostolik kita dengan penuh integritas. Tetapi hikmat masih diperlukan! “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang” (Kol. 4:5-6). Di mana batas antara integritas dan kebijaksanaan? Hikmat Allah diperlukan untuk membedakan hal ini. Yesus memiliki pesan inti di mana Dia mau mati untuk itu: Kerajaan Allah. Meski cara Dia menjelaskan tentang diri-Nya dan pekerjaan-Nya bervariasi. Cara-Nya tergantung pada konteks dan orang-orang yang dituju-Nya. Mengikuti teladan Yesus dan memperhatikan nasihat-Nya, bahwa kita perlu cerdik seperti ular tetapi tulus seperti merpati (Mat. 10:16). Berjalan dalam integritas tidak mengharuskan kita membuka setiap aspek hidup kita ke setiap orang yang kita temui. Tetapi pada akhirnya, kita perlu ingat bahwa Yesus akhirnya mati demi pesan-Nya. Jenis identitas inti yang disebutkan di atas telah menghindari banyak misionaris modern dengan berbagai alasan. Paradigma misi yang lama, pandangan dualistik dari kehidupan rohani, pandangan yang terdistorsi tentang tentmaking (profesional yang bersaksi) dan pelatihan yang tidak memadai merupakan penghalang yang paling jelas. Semua ini membutuhkan perhatian dan pemikiran yang cermat.

Perubahan-perubahan Di Depan
Saya telah melalui beberapa perubahan selama beberapa tahun setelah peristiwa 9/11. Belajar mengomunikasikan sebuah pesan inti dan amanat inti dalam cara yang serupa Kristus kepada siapa pun dari ketiga kelompok pendengar setiap waktu sungguh menantang. Saya menemukan bahwa semua itu menuntut perubahan, bukan sekadar dalam “pengkalimatan” saya, tetapi juga dalam “keberadaan” saya. Organisasi saya telah membuat beberapa perubahan yang signifikan juga, jauh lebih dari sekadar mengubah kosa kata di situs. Kita perlu memikirkan ulang teologi dan organisasi kita bagi pekerjaan apostolik (baca: misi) di abad 21.



Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas