Dua Struktur Misi Penebusan Allah (1)

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Draf Buku Perspektif



Ralph D. Winter

Ralph D. Winter adalah Direktur Umum Frontier Mission Fellowship (FMF) di Pasadena, CA. Setelah melayani selama sepuluh tahun sebagai misionaris di antara orang Indian Mayan di dataran tinggi Guatemala, beliau dipanggil menjadi Profesor Misi di School of World Misson di Fuller Theological Seminary. Sepuluh tahun kemudian, beliau dan istri pertamanya, Roberta, mendirikan masyarakat misi yang disebut Frontier Mission Fellowship yang kemudian melahirkan U.S. Center for World Mission dan William Carey International University, di mana kedua institusi tersebut melayani orang-orang yang bekerja di garis depan misi


Dalam pidato kepada peserta All-Asia Mission Consultation di Seoul, Korea pada bulan Agustus tahun 1973 (pendirian Asia Missions Association), Ralph Winter menggambarkan dua bentuk “struktur penebusan” Allah yang terjadi di setiap masyarakat, dan terjadi di sepanjang sejarah. Tesisnya memiliki dua implikasi utama: (1) Kita harus menerima kedua struktur tersebut, diwakili dalam gereja Kristen masa kini oleh gereja lokal dan masyarakat misi, sebagai bagian yang sah dan perlu dari “Umat Allah, Gereja”; dan (2) gereja-gereja non-Barat harus membentuk dan menggunakan masyarakat-masyarakat misi jika mereka mau mengerjakan tanggung jawab misi mereka.


Tesis dari artikel ini adalah entahkah Kekristenan mengambil bentuk Barat atau Asia, tetap akan ada dua jenis dasar dari struktur yang membentuk gerakan. Sebagian besar penekanan akan diberikan kepada menunjukkan eksistensi dari kedua struktur ini ketika keduanya secara terus-menerus muncul di sepanjang abad. Ini akan dipakai untuk mendefinisikan, mengilustrasikan dan membandingkan natur dan kepentingan dari kedua struktur tersebut. Penulis juga akan berusaha menjelaskan mengapa ia percaya berbagai upaya kita di banyak bagian di dunia ini akan menjadi lebih efektif hanya jika kedua struktur ini dilibatkan secara penuh dan tepat dan saling mendukung satu sama lainnya.

Struktur Penebusan di Masa Perjanjian Baru

Pertama, marilah kita mengenali suatu struktur yang biasa disebut “Gereja Perjanjian Baru” sebagai struktur yang umumnya merupakan sinagoge Kristen. Pekerjaan misi Paulus terdiri dari banyak kunjungan ke berbagai sinagoge yang tersebar di seluruh kerajaan Romawi, dimulai di Asia Kecil, dan menjelaskan kepada orang-orang percaya Yahudi dan bukan Yahudi di sinagoge-sinagoge tersebut bahwa Mesias telah datang dalam diri Yesus Kristus, Anak Allah; bahwa di dalam Kristus terdapat otoritas tertinggi bahkan lebih tinggi daripada Musa; dan bahwa penjelasannya membuat penerimaan orang bukan Yahudi lebih dapat dipahami daripada sebelumnya yaitu menyambut orang-orang bukan Yahudi tanpa memaksakan pada mereka suatu adaptasi budaya secara harfiah kepada pelaksanaan ritual Hukum Musa. Pekerjaan Paulus yang kelihatan baru adalah perkembangan berbagai sinagoge baru yang seluruhnya Yunani.

Sangat sedikit orang Kristen, secara sambil lalu membaca Perjanjian Baru (dengan hanya Perjanjian Baru yang tersedia di tangan mereka), akan memperkirakan berapa banyak para penginjil Yahudi yang sudah pergi sebelum Paulus di seluruh kerajaan Romawi – suatu gerakan yang dimulai 100 tahun sebelum Kristus. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang Yesus sendiri gambarkan sebagai orang-orang yang “mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu.” Saulus mengikuti jejak mereka; Paulus membangun dari usaha mereka dan melampaui usaha mereka dengan Injil baru yang dia kabarkan, yang mengizinkan orang Yunani untuk tetap sebagai orang Yunani dan tidak harus disunat atau secara budaya dijadikan sama seperti cara hidup orang Yahudi. Paulus memiliki fondasi yang luas untuk membangun: Petrus berkata “Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota (di kerajaan Romawi)” (Kis. 15:21).

Kendati begitu Paulus sepertinya tidak hanya pegi ke setiap sinagoge yang ada di Asia, yang kemudian dia berkata, “… seluruh Asia telah mendengar Injil,” tetapi, ketika menjadi tuntutan situasi, dia mendirikan suatu persekutuan orang percaya bertipe sinagoge baru sebagai unit dasar aktivitas misinya. Struktur pertama yang muncul dalam Perjanjian Baru adalah apa yang sering disebut Gereja Perjanjian Baru. Gereja seperti ini dibangun mengikuti sinagoge Yahudi, menyambut komunitas orang percaya di setiap tempat yang tersedia. Karakteristik yang menentukan dari struktur ini adalah struktur ini mencakup orang tua dan orang muda, pria dan wanita. Perhatikan pula bahwa Paulus mau membangun persekutuan seperti itu yang anggotanya berasal dari orang Yahudi dan orang Yunani.

Ada struktur kedua yang cukup berbeda dalam konteks Perjanjian Baru. Meskipun kita hanya sedikit tahu mengenai struktur penjangkauan penginjilan di dalam mana para misionaris Yahudi sebelum Paulus melakukan pekerjaan misi agama Yahudi mereka, kita tahu, seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa mereka bekerja di seluruh Kerajaan Romawi. Akan sangat mengherankan jika Paulus tidak mengikuti prosedur yang agaknya sama. Dan kita jauh lebih tahu bagaimana cara Paulus beroperasi. Bisa dikatakan, dia “diutus” oleh gereja di Antiokia. Tetapi ketika pergi dari Antiokia dia kelihatan sendirian dalam melakukan pekerjaannya. Tim kecil yang dibentuknya mencukupkan diri mereka sendiri secara ekonomi ketika situasi menuntut hal tersebut. Tim itu juga bergantung, dari waktu ke waktu, tidak hanya pada gereja di Antiokia, tetapi pada gereja-gereja lain yang telah muncul sebagai hasil dari jerih payah penginjilan. Tim Paulus tentunya bisa dianggap sebagai sebuah struktur. Meski desain dan bentuknya tidak dijelaskan secara konkret kepada kita berdasarkan dokumen-dokumen yang masih ada, dan tentunya struktur jemaat Perjanjian Baru juga tidak dijelaskan secara konkret kepada kita dalam halaman-halaman Perjanjian Baru. Di dalam kedua kasus di atas, tiadanya penjelasan yang konkret ini menyiratkan adanya suatu pola hubungan yang umum dimengerti sebelumnya, entahkah dalam kasus struktur jemaat lokal atau struktur masyarakat misi yang digunakan Paulus jauh sebelumnya waktu namanya masih Saulus orang Farisi, dan kemudian pada saat jemaat Antiokia mengutus Paulus dan Barnabas untuk pekerjaan misi dalam Kisah Para Rasul 13:2.

Jadi, di satu sisi, struktur yang kita sebut Gereja Perjanjian Baru adalah sebuah cikal bakal dari semua persekutuan Kristen yang kemudian di mana orang tua dan muda, pria dan wanita berkumpul bersama sebagai suatu keluarga biologis yang normal secara umum. Di sisi yang lain, kelompok misi Paulus bisa dilihat sebagai cikal bakal dari semua upaya misi yang diorganisasi berdasarkan pekerja-pekerja berpengalaman yang berkomitmen mengikatkan diri mereka sebagai satu keanggotaan melampaui keanggotaan pada struktur pertama.

Perhatikan kata komitmen tambahan Perhatikan juga bahwa struktur yang dihasilkan tersebut adalah sesuatu yang pastinya lebih daripada struktur penjangkauan yang diperluas dari gereja Antiokia. Bagaimana pun kita memikirkan tentang strukturnya, kita tahu bahwa struktur tersebut bukan sekadar suatu gereja Antiokia yang beroperasi jauh dari tempat asalnya. Struktur itu adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang berbeda. Kita akan memikirkan tentang dua struktur penebusan di masa Perjanjian Baru.

Kesimpulannya, sangat penting untuk diperhatikan bahwa kedua struktur ini, tak satu pun yang “diturunkan dari sorga” dalam suatu cara yang khusus. Mungkin awalnya mengejutkan jika berpikir bahwa Allah menggunakan pola sinagoge Yahudi atau pola penginjilan Yahudi. Tetapi ini tidak lebih mengejutkan dari fakta bahwa Allah juga menggunakan bahasa Yunani yang terkait erat dengan penyembahan berhala, Roh Kudus membimbing para penulis Alkitab untuk menggunakan istilah seperti kurios (kata Yunani untuk tuan, aslinya suatu istilah dari orang kafir), dan membentuk semua itu untuk membawa penyataan Kristen. Perjanjian Baru merujuk pada sebuah sinagoge yang dipersembahkan kepada Setan, tetapi ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus menghindari pola semacam itu, bahwa mereka tidak boleh bersekutu bersama dalam pola sinagoge. Pertimbangan-pertimbangan ini mempersiapkan kita untuk menghadapi apa yang akan terjadi dalam sejarah penyebaran Injil, karena kita melihat ada pola-pola lain dipilih oleh orang-orang Kristen di masa sesudahnya di mana pola-pola tersebut asal mulanya jelas merupakan suatu “pola pinjaman” sama seperti yang dilakukan di masa Perjanjian Baru.

Faktanya, implikasi misiologis yang mendalam dari semua ini adalah bahwa Perjanjian Baru berusaha menunjukkan kepada kita bagaimana memimjam pola-pola yang efektif. Ini mencoba membebaskan semua misionaris di masa depan dari kebutuhan untuk mengikuti bentuk-bentuk sinagoge orang Yahudi dan masyarakat misi Yahudi, dan membiarkan mereka memilih struktur lokal yang dapat diperbandingkan dalam segala macam situasi yang baru di sepanjang sejarah dan di seluruh dunia – berbagai struktur yang sesuai dengan fungsi dari pola-pola yang Paulus gunakan, jika bukan bentuknya! Tidak heran sejumlah literatur penting dalam bidang studi misiologi hari ini menegaskan fakta bahwa kekristenan dunia pada umumnya telah menggunakan beragam bahasa dan budaya yang ada di dalam masyarakat dunia manusia – jauh lebih banyak dari agama lainnya – dan dengan melakukan hal tersebut menolak segala upaya untuk membuat ukuran universal akan suatu kepanjangan formal secara mekanis dari Gereja Perjanjian Baru – yaitu “umat Allah” bagaimana pun orang-orang tersebut diorganisasikan. Seperti yang Kraft katakan sebelumnya, kita mencari persamaan yang dinamis bukan replikasi formal.4

Perkembangan Awal Struktur Kristen dalam Budaya Romawi

Kita telah melihat bagaimana gerakan Kristen membangun dirinya di atas dua struktur yang berbeda yang sudah ada sebelumnya dalam tradisi budaya Yahudi. Sekarang yang menjadi tugas kita adalah melihat apakah kedua struktur tersebut memiliki struktur-struktur yang sama secara fungsional dalam tradisi budaya Kristen sesudahnya ketika Injil menyebar ke seluruh dunia.

Tentu saja, pola sinagoge awal tetap menjadi struktur yang digunakan orang Kristen selama beberapa waktu. Persaingan antara orang Kristen dan Yahudi cenderung mengalahkan pola ini sebagai pola Kristen, dan dalam beberapa kasus memaksanya hilang sama sekali, terutama ketika mungkin bagi jemaat orang Yahudi yang tersebar menggerakkan penganiayaan umum bagi sinagoge Kristen yang keras kepala. Tidak seperti orang Yahudi, orang Kristen tidak memiliki izin resmi untuk menjadi kepercayaan alternatif selain ritual pemujaan Kerajaan Romawi.5 TMaka, meskipun setiap sinagoge bisa dikatakan berdiri sendiri-sendiri, pola Kristen segera terasimilasi ke dalam konteks Romawi, dan uskup kemudian diberikan otoritas terhadap lebih dari satu jemaat dengan suatu daerah kekuasaan yang sering identik dengan pola pemerintahan sipil Romawi. Kecenderungan ini dikonfirmasi ketika pengakuan resmi terhadap Kekristenan memiliki dampak penuh: kata Latin untuk wilayah magisterial Romawi diterapkan – daerah keuskupan – di dalam mana ada beberapa jemaat pada tingkatan lokal.

Dalam setiap kasus, sementara pola yang lebih “kongregasional” dari sinagoge-sinagoge yang mandiri digantikan secara meluas oleh pola Romawi yang lebih “koneksional,” gereja lokal Kristen yang baru tetap mempertahankan anggota dasar dari sinagoge, yaitu, gabungan dari orang tua dan muda, pria dan wanita – yaitu, organisme biologis yang saling menjaga kelangsungan hidup.

Sementara itu, tradisi monastik dalam beragam bentuk awalnya dikembangkan sebagai suatu struktur kedua. Struktur baru yang berkembang dengan luas ini jelas tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kelompok misi di mana Paulus terlibat. Namun, bentuk ini lebih merupakan pinjaman dari struktur militer Romawi ketimbang sumber apa pun lainnya. Pachomius, seorang mantan militer, mendapat 3.000 pengikut dan menarik perhatian orang seperti Basil dari Kaisarea, dan kemudian melalui Basil, Yohanes Cassian yang bekerja di Galia bagian selatan di kemudian hari. Orang-orang ini menjalankan suatu struktur yang disiplin, yang utamanya dipinjam dari militer, yang mengizinkan orang Kristen nominal membuat pilihan tingkat kedua – suatu komitmen tambahan yang spesifik.

Mungkin kita perlu berhenti sejenak disini untuk sementara. Rujukan apa pun mengenai biara memberikan orang Protestan kejut budaya. Reformasi Protestan berjuang susah payah melawan kondisi yang buruk di akhir 1.000 tahun periode Abad Pertengahan. Kita tidak ingin menyangkal fakta bahwa kondisi di biara tidak selalu ideal dan apa yang diketahui rata-rata orang Protestan tentang biara mungkin benar dalam situasi tertentu; tetapi prasangka populer yang dimiliki orang Protestan jelas tidak bisa menggambarkan secara tepat semua yang terjadi selama 1.000 tahun! Selama abad-abad tersebut ada banyak era dan periode yang berbeda dan beragam gerakan monastik, sangat berbeda di masing-masing waktu, yang sebentar lagi akan kita lihat. Setiap generalisasi tentang fenomena yang begitu luas ini pasti menjadi suatu penyederhanaan yang tidak dapat diandalkan dan berprasangka.

Izinkan saya memberi satu contoh saja tentang sangat salahnya prasangka orang Protestan mengenai hal ini. Kita sering mendengar bahwa para biarawan “melarikan diri dari dunia.” Bandingkan pemikiran tersebut dengan gambaran yang diberikan oleh seorang sarjana misi Baptis:

Aturan bagi biarawan Benediktus dan banyak aturan lainnya yang muncul dari aturan tersebut dapat dikatakan memberikan harga diri dalam pekerjaan, termasuk kerja kasar di ladang. Ini merupakan hal yang sangat berbeda dari keyakinan aristokratis mengenai status budak bagi pekerjaan kasar yang menjadi pandangan umum di sebagian besar masyarakat kuno dan juga menjadi sikap dari para pejuang dan gerejawan non-monastik yang menghuni kelas menengah ke bawah Abad Pertengahan…. Bagi biara-biara inilah …. kita berutang pembersihan lahan dan peningkatan metode dalam agrikultur. Di tengah barbarisme, biara-biara menjadi tempat pusat keteraturan dan kehidupan yang menetap dan para biarawan mengatur tugas membangun jalan dan memperbaiki jalan. Sampai pada masa munculnya kota-kota pada abad 11, mereka merupakan pionir dalam industri dan perdagangan. Toko-toko biara memelihara industri-industri di zaman Romawi…. penggunaan awal dari kompos untuk meningkatkan kesuburan tanah merupakan kontribusi mereka. Organisasi kebiaraan yang luar biasa di Perancis menghasilkan kolonisasi agrikultur di Eropa Barat. Terutama biara Cistercian membuat rumah-rumah mereka sebagai pusat agrikultur dan berkontribusi dalam peningkatan pekerjaan tersebut. Bersama dengan saudara awam dan pekerja sewaan, mereka menjadi pemilik tanah yang baik. Di Hungaria dan perbatasan Jerman kaum Cistercian berjasa dalam mengurangi penggunaan tanah untuk pembudidayaan dan penyebaran kolonisasi. Di Polandia, biara-biara orang Jerman menetapkan standar yang tinggi dalam agrikultur dan memperkenalkan suatu bidang pekerjaan keahlian dan kerajinan tangan.7

Bagi semua orang yang tertarik dalam misi, prasangka yang cenderung merusak bahwa “biarawan adalah orang yang melarikan diri dari dunia” menjadi lebih dramatis dan secara menentukan diperkuat oleh catatan luar biasa mengenai pengelana Irlandia, yang merupakan biarawan Celtic, yang lebih banyak menjangkau bangsa Anglo-Saxon untuk dipertobatkan daripada misi Augustinus yang kemudian dari Selatan, dan yang lebih banyak berkontribusi lebih bagi penginjilan Eropa Barat, bahkan Eropa Tengah, ketimbang kekuatan yang lain.

Sejak dari awal kemunculannya, struktur kedua ini sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan gerakan Kristen. Meskipun orang Protestan memiliki prasangka yang sudah tertanam terhadap hal ini dengan alasan yang beragam, tidak bisa disangkal bahwa tanpa struktur ini sulit membayangkan kontinuitas dari tradisi Kristen yang melintasi abad demi abad. Orang Protestan sama terkejutnya dengan struktur lainnya – struktur lokal dan daerah keuskupan. Sebenarnya karena nominalitas dan kelemahan dari struktur daerah keuskupan yang membuat struktur monastik begitu signifikan. Orang seperti Jerome dan Augustinus, sebagai contoh, dianggap oleh orang Kristen bukan seorang biarawan tetapi sebagai seorang sarjana besar, dan orang seperti John Calvin sangat bergantung pada tulisan-tulisan yang dihasilkan orang biarawan-biarawan seperti itu. Tetapi orang Protestan biasanya tidak mengakui struktur tertentu di mana Jerome dan Augustinus dan banyak sarjana monastik lainnya bekerja, suatu struktur yang tanpanya pekerjaan orang Protestan sulit untuk dibangun, bahkan Alkitab sekalipun.

Kita akan mengikuti alur ini ke dalam periode selanjutnya, di sana kita akan melihat kemunculan formal dari struktur monastik utama. Pada saat ini cukup untuk memperhatikan bahwa pada abad ke empat sudah ada dua struktur yang berbeda – daerah keuskupan dan biara – keduanya sangat penting dalam transmisi dan penyebaran Kekristenan. Pola kedua struktur ini diambil dari konteks budaya di zaman mereka, sama seperti sinagoge dan jemaat misi di masa Kristen mula-mula.

Bahkan lebih penting untuk kita perhatikan di sini adalah meskipun kedua struktur ini secara formal berbeda dari – dan secara historis tidak berhubungan dengan – dua struktur dalam zaman Perjanjian Baru, keduanya secara fungsi sama. Untuk bisa berbicara secara nyaman tentang kontinuitas kesamaan secara fungsi, sekarang kita akan menyebut sinagoge dan daerah keuskupan sebagai modalitas-modalitas, dan kelompok misi dan biara sebagai sodalitas. Sebelumnya saya telah mengembangkan istilah ini secara detail, tetapi singkat, suatu modalitas adalah suatu struktur persekutuan di mana tidak ada pembedaan jenis kelamin atau usia, sedangkan sodalitas adalah struktur persekutuan di mana keanggotaannya melibatkan keputusan kedua seorang dewasa yang melampaui keanggotaan modalitas, dan dibatasi oleh usia atau jenis kelamin atau status pernikahan. Di dalam penggunaan istilah ini, baik denominasi dan jemaat lokal adalah modalitas, sedangkan badan misi atau klub lokal pria adalah sodalitas.8 Pemakaian sekuler yang sejajar adalah kota (modalitas) dibandingkan dengan bisnis pribadi (sodalitas) – mungkin suatu jaringan toko yang ditemukan di berbagai kota. Sodalitas biasanya tunduk kepada otoritas dari struktur yang lebih umum. Sodalitas-sodalitas tersebut “diatur” tetapi tidak “dijalankan” oleh modalitas. Suatu negara yang sepenuhnya sosialis terjadi ketika tidak adanya inisiatif sektor swasta yang diatur atau didesentralisasikan. Beberapa tradisi denominasi, seperti Katolik Roma dan Anglikan, mengizinkan inisiatif semacam itu. Banyak denominasi Protestan, melihat penolakan Luther terhadap sodalitas-sodalitas di zamannya, berusaha mengatur segala sesuatu dari suatu jabatan denominasional. Beberapa jemaat lokal tidak mengerti nilai atau kebutuhan akan struktur-struktur misi. Paulus “diutus” bukan “disuruh” oleh jemaat Antiokia. Dia dapat melapor kepada jemaat Antiokia tetapi tidak menerima perintah dari mereka. Kelompok misi Paulus (sodalitas) memiliki otonomi dan otoritas penuh sebagai suatu “jemaat yang berpergian.”

Pada periode awal setelah masa Perjanjian Baru, sedikit sekali hubungan antara modalitas dan sodalitas, sementara di masa Paulus jemaat hasil misinya secara spesifik memelihara jemaat – suatu simbiosis yang paling penting. Kita sekarang akan melihat bagaimana periode abad pertengahan pada intinya memulihkan kembali hubungan yang sehat antara modalitas dan sodalitas Perjanjian Baru.

...bersambung ke Bagian 2



Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas