Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia
Draf Buku Perspektif
David Wells
- David Wells adalah Andrew Mutch Distinguished Professor dalam bidang Teologi Sistematik dan Historika di Gordon-Conwell Theological Seminary di Hamilton, Massachusetts. David Wells juga penulis banyak artikel dan buku, termasuk The Person of Christ: A Biblical and Historical Analysis of the Incarnation, The Gospel in the Modern World, dan Above All Earthly Pow’rs: Christ in a Postmodern World.
- Tulisan ini diadaptasi dari “Prayer: Rebelling Against the Status Quo,” Christianity Today, vol. XVII (17), No. 6, 2 November 1979. Digunakan dengan izin.
Anda akan terkejut membaca kisah yang akan segera saya hubungkan kepada Anda. Terkejut jika Anda masih memiliki hati nurani sosial.
Seorang wanita kulit hitam tinggal di Wilayah Selatan Chicago berusaha agar apartemennya dipanaskan sebagaimana mestinya selama bulan-bulan musim dingin. Meskipun ada hukum kota tentang hal tersebut, sang penyewa apartemen yang tak berprinsip menolak membantu. Wanita tersebut adalah seorang janda, sangat miskin dan tidak mengetahui tentang sistem hukum, tetapi dia membawa kasusnya ke pengadilan atas namanya sendiri. Keadilan, wanita ini menyatakan, harus dilaksanakan. Namun, merupakan nasib buruknya karena berkali-kali wanita itu maju di hadapan hakim yang sama, yang ternyata seorang ateis dan rasis. Hakim tersebut memegang prinsip “orang kulit hitam harus tetap di tempat mereka.” Kemungkinan mendapat keputusan yang berpihak pada wanita itu sangatlah tipis. Kemungkinannya menjadi semakin tipis karena wanita tersebut tidak memiliki bahan yang penting untuk mendapat keputusan yang menguntungkan – yaitu, suap yang memuaskan. Namun, wanita tersebut bersikeras.
Pada awalnya, hakim tersebut bahkan tidak menolehkan kepalanya dari membaca novel sebelum menyuruh wanita itu pulang. Namun hakim tersebut mulai memperhatikan wanita itu. “Seorang kulit hitam biasa,” pikir hakim itu, “begitu naif mengira dia dapat memperoleh keadilan.” Ketekunan wanita tersebut membuat hakim itu menjadi tersadar. Ini menimbulkan rasa bersalah dan amarah. Akhirnya, merasa malu dan murka, hakim tersebut meluluskan kasus wanita tersebut dan menegakkan hukum. Ini merupakan kemenangan besar atas “sistem”?setidaknya sistem yang berlaku dalam pengadilan yang korup ini.
Dalam menaruh kisah seperti ini, tentu saya tidak cukup jujur. Karena kisah ini tidak pernah terjadi di Chicago (sejauh yang saya ketahui), ini juga bukan “kisah” saya. Kisah fiktif saya ini didasarkan dari sebuah perumpamaan yang Yesus ceritakan (Luk. 18:1-8) untuk mengilustrasikan natur dari doa permohonan. Yesus jelasnya tidak menyamakan Allah dengan hakim yang korup tersebut tetapi sebaliknya menarik paralel antara janda tersebut dengan pemohon. Ada dua aspek dari paralel ini: Pertama, janda tersebut menolak menerima situasinya yang tidak adil, seperti juga kita sebagai orang Kristen seharusnya tidak tunduk kepada korupsi dari dunia ini. Kedua, meskipun ditolak, janda tersebut terus bertekun dalam kasusnya, kita juga harus demikian. Aspek pertama berhubungan dengan natur dari doa, dan aspek kedua berhubungan dengan praktik doa.
Masalah kita: Bukan Gagal Mempraktikkan Doa, tetapi Salah Mengerti Doa
Argumen saya adalah ini: terlalu sering, doa-doa permohonan kita sangat lemah dan tidak teratur karena doa-doa tersebut disampaikan dengan cara yang salah. Kita menyiksa diri dengan kehendak kita yang lemah, keinginan yang tawar, teknik kita yang tidak efektif dan pikiran kita yang melayang-layang. Kita terus berpikir bahwa agaknya praktik doa kita salah dan kita berusaha keras untuk melihat apakah kita dapat menemukan alasannya. Saya mengira masalahnya terletak pada salah mengerti natur dari doa permohonan. Praktik doa kita tidak akan pernah memiliki ketekunan seperti janda itu sampai pandangan kita memiliki kejelasan seperti janda tersebut.
Doa Sebagai Pemberontakan
Kalau begitu, apa natur dari doa permohonan? Pada dasarnya, doa permohonan adalah pemberontakan?pemberontakan melawan status quo, keadaan dunia yang berada dalam dosa dan kejatuhan. Doa permohonan merupakan penolakan mutlak yang tak kunjung padam untuk menerima keadaan yang sepenuhnya abnormal sebagai sesuatu yang normal. Itu merupakan penolakan terhadap setiap agenda, skema, pendapat yang bertentangan dengan norma-norma yang Allah telah tetapkan sejak awal. Doa-doa permohonan kita merupakan sebuah ekspresi dari perbedaan yang sangat besar yang tidak dapat dijembatani yang memisahkan yang Baik dari yang Jahat, suatu deklarasi bahwa yang Jahat bukan merupakan sebuah variasi tentang yang Baik tetapi suatu hal yang sangat berlawanan.
Pengunduran Diri sebagai Tindakan Menyerah
Dengan kata lain, menerima status quo atau “hidup sebagaimana adanya sekarang ini” (dengan kata lain, menerima hal-hal yang ada dalam hidup sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari) adalah tindakan menyerah terhadap pandangan alkitabiah tentang Allah. Pengunduran diri terhadap apa yang abnormal mengandung sebuah asumsi tersembunyi yang tidak dikenali bahwa kuasa Allah untuk mengubah dunia, untuk mengatasi Kejahatan dengan Kebaikan, tidak akan terlaksana.
Tidak ada hal yang menghancurkan doa permohonan (bersama dengan pandangan alkitabiah tentang Allah) secepat pengunduran diri. “Selalu,” Yesus menyatakan agar kita “berdoa dengan tidak jemu-jemu” (Luk. 18:1).
Wawasan Dunia Lain Menerima Hal-hal Sebagaimana Adanya
Menghilangnya doa permohonan karena pengunduran diri memiliki hubungan historis yang menarik dengan agama-agama lain. Agama-agama yang menekankan penerimaan diam-diam terhadap status quo selalu meremehkan doa permohonan. Sebagai contoh, kaum Stoik mengklaim bahwa doa seperti itu menunjukkan suatu ketidakrelaan untuk menerima dunia yang ada sebagai ekspresi dari kehendak Allah; mencoba lari dari dunia ini dengan meminta Allah untuk mengubah hal-hal yang buruk, menurut mereka. Orang Budha juga memiliki sudut pandang yang serupa. Meski budaya sekular masa kini menggunakan jalan logika yang berbeda, namun pemikirannya tiba pada posisi dasar yang sama.
Sekularisme menganut pandangan yang melihat kehidupan sebagai suatu tujuan akhir dari hidup itu sendiri. Dalam pemikiran sekular, kehidupan terputus dari sebuah relasi dengan Tuhan. Akibatnya, satu-satunya norma atau “yang ada” dalam kehidupan (apakah itu norma-norma bagi makna atau norma-norma bagi moralitas) adalah dunia sebagaimana adanya. Kaum sekularis percaya kita harus bermufakat dengan kehidupan, menerima hal-hal sebagaimana adanya; mencari rujukan lain di sekitar struktur kehidupan kita adalah sia-sia dan merupakan suatu pelarian. Bukan hanya Tuhan (objek dari permohonan kita) yang menjadi tidak relevan, tetapi hubungan-Nya dengan dunia dilihat di dalam cara yang baru?sebuah cara yang melanggar asumsi sekular. Tuhan bisa saja “hadir dan aktif” dalam dunia, tetapi bukannya kehadiran dan aktivitas yang mengubah apa pun.
Sebaliknya, saya percaya bahwa doa permohonan berkembang hanya jika kita percaya dua hal: Pertama, bahwa nama Tuhan terlalu sedikit dikuduskan, kerajaan-Nya terlalu sedikit datang, dan kehendak-Nya terlalu jarang dilaksanakan. Kedua, bahwa hanya Allah sendiri yang dapat mengubah situasi ini. Oleh karena itu, doa permohonan mengekspresikan harapan bahwa kehidupan seperti yang kita hadapi dapat dan seharusnya berbeda.
Teladan Yesus: Bergumul dengan Status Quo dalam Doa
Bagi saya bergumul dengan status quo dalam doa merupakan signifikansi nyata dari doa permohonan dalam kehidupan Tuhan kita. Banyak dari kehidupan doa-Nya tetap tidak dijelaskan oleh para penulis kitab Injil (seperti Mrk. 1:35; Luk. 5:16; 9:18; 11:1), tetapi kita dapat mendeteksi suatu pola dari situasi-situasi yang membuat Yesus harus berdoa.
Pertama, Yesus berdoa sebelum membuat keputusan besar (misalnya, memilih para murid-Nya, Luk. 6:12). Memang, satu-satunya hal yang dapat menjelaskan mengapa Dia memilih sekumpulan rakyat jelata yang tidak berarti itu?sombong, bodoh, lambat dalam mengerti?adalah Dia telah berdoa sebelum memilih mereka. Kedua, Dia berdoa ketika berada dalam tekanan yang besar, ketika hari-hari-Nya sangat sibuk dengan begitu banyak tuntutan yang menyerap tenaga dan perhatian-Nya (seperti Mat. 14:23). Ketiga, Dia berdoa ketika berada dalam krisis yang besar dan saat-saat yang penting dalam hidup-Nya, seperti baptisan-Nya, transfigurasi, dan penyaliban (Luk. 3:21; 9:28-29). Terakhir, Dia berdoa sebelum dan selama pencobaan dan kesusahan, yang paling jelas ketika berada di taman Getsemani (Mat. 26:36-45). Ketika “saat-saat yang menakutkan” semakin mendekat, cara Yesus menghadapinya sangat berlawanan dengan cara para murid-Nya. Dia bertekun dalam doa sementara mereka tertidur dalam kekaburan hati.
Setiap peristiwa titik balik ini memberikan Yesus kesempatan untuk memilih agenda, perspektif atau jalur tindakan yang berbeda dengan kehendak Allah. Penolakan Yesus terhadap alternatif yang ada setiap saat diiringi oleh doa permohonan. Doa tersebut menjadi sarana bagi-Nya untuk menolak hidup dalam dunia atau melakukan kehendak Bapa dengan cara yang lain yang berbeda dari yang dikehendaki Bapa-Nya. Singkatnya, doa permohonan-Nya merupakan pemberontakan melawan dunia yang sudah rusak dan jatuh. Mirip dengan itu, mustahil bagi kita untuk hidup dalam dunia milik Tuhan sesuai kehendak-Nya, melakukan pekerjaan-Nya secara konsisten dengan siapa Dia adanya, tanpa melakukan doa secara teratur.
Menolak Keputusasaan: Allah Sendiri Bergumul dengan Kejahatan
Berdoa berarti menyatakan bahwa Allah dan dunia ini memiliki tujuan yang berbeda. “Tidur” atau “menjadi lemah” atau “putus asa” adalah berlaku seolah-olah tujuan Allah dan tujuan dunia tidak berbeda. Jadi, mengapa kita begitu sedikit berdoa untuk gereja lokal kita? Apakah teknik kita memang buruk, kehendak kita lemah atau pikiran kita yang terganggu? Menurut saya tidak. Ada banyak diskusi yang hangat dan bersemangat dalam gereja masa kini?bisa benar bisa juga tidak?mengenai khotbah yang biasa-biasa saja, kekosongan dalam ibadah, persekutuan yang superfisial dan penginjilan yang tidak efektif. Jadi, kalau begitu, mengapa kita tidak berdoa sebanyak kita berbicara? Jawabannya, sederhana saja, kita tidak percaya doa akan membuat perbedaan. Betapapun membuat putus asa, kita menerima bahwa situasi yang ada tidak dapat diubah, bahwa apa yang terjadi tidak dapat diubah dan akan selalu begitu adanya. Masalahnya bukan pada praktik doanya tetapi pada natur dari doa. Atau lebih tepatnya, masalahnya terletak pada bagaimana kita melihat natur Allah dan hubungan-Nya dengan dunia ini.
Berbeda dengan janda dalam perumpamaan di awal tulisan ini, kita terlalu mudah menerima dunia yang tidak adil dan sudah jatuh di sekitar kita?bahkan ketika dunia seperti ini masuk ke dalam berbagai institusi Kristen. Ini bukan selalu karena kita tidak sadar akan apa yang terjadi, tetapi sederhanannya bahwa kita merasa tidak berdaya untuk mengubah apa pun. Rasa tidak berdaya itu membawa kita, meskipun tidak rela, berkompromi dengan apa yang salah.
Dengan kata lain, kita telah kehilangan kemarahan kita, baik sebagai saksi dalam masyarakat ataupun di hadapan Allah dalam doa. Untungnya, Allah tidak kehilangan kemarahan-Nya. Murka Allah adalah perlawanan-Nya terhadap apa yang salah, sarana yang dengannya kebenaran diletakkan kembali ke takhta dan yang salah disulam di tiang gantungan. Tanpa murka Allah, tidak ada alasan untuk hidup bermoral di dunia. Tanpa murka-Nya, ada alasan untuk hidup secara tidak bermoral. Murka Allah karenanya sangat terkait erat dengan doa permohonan yang juga mencari kemenangan kebenaran dan penghapusan Kejahatan.
Konteks yang Yesus berikan kepada kita untuk memikirkan hal ini adalah kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah lingkup di mana kedaulatan raja dan otoritas untuk memerintah diakui. Dan karena natur dari Raja kita, kedaulatan-Nya dilaksanakan secara supernatural. Di dalam Yesus, “zaman yang akan datang” yang telah lama dinantikan itu telah tiba. Dia adalah Mesias yang telah masuk ke dalam dunia. Maka, menjadi seorang Kristen bukan semata-mata mendapatkan pengalaman religius yang benar. Sebalikanya, itu berarti menjadi milik dari dan melayani Yesus sebagai Raja. Penginjilan berhasil bukan karena teknik kita “benar” tetapi karena “zaman yang akan datang” telah masuk ke dalam hidup orang berdosa. “Zaman” Allah ini?masa dari Anak-Nya yang tersalib?sedang dimulai di seluruh dunia. Oleh karena itu, doa kita harus melihat melampaui keprihatinan pribadi kita kepada cakrawala luas dari kehidupan seluruh umat manusia yang menjadi perhatian Tuhan. Jika Injil itu universal, kita tidak dapat membatasi doa menjadi sesuatu yang lokal.
Terus Kemukakan Permohonanmu: Dunia sebagai Ruang Pengadilan
Oleh karena itu, tidak salah melihat dunia sebagai sebuah ruang pengadilan di mana sebuah “kasus” sedang disidangkan melawan apa yang salah untuk mendapatkan apa yang benar. Kelemahan kita dalam berdoa terjadi karena kita telah kehilangan pandangan ini, dan sampai kita memperoleh sudut pandang ini kembali, kita tidak akan terus bertekun di dalam peranan kita sebagai pembela dan litigator di hadapan Tuhan. Selalu ada alas an mengapa kita perlu mendapatkan kembali visi kita dan menggunakan kesempatan kita, karena Hakim yang akan kita hadapi tidak korup ataupun jahat. Hakim kita adalah Allah yang mulia dan Bapa dari Tuhan kita Yesus Kristus. Apakah Anda sungguh-sungguh berpikir Dia akan gagal memberikan keadilan bagi orang pilihan-Nya yang berseru kepada-Nya siang dan malam? Akankah Dia mengabaikan mereka? “Aku berkata kepadamu,” kata Tuhan kita, “Ia akan segera membenarkan mereka” (Luk. 18:7-8).