PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Dampak Sosial Misi Kristen

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Robert D. Woodberry

Woodberry.jpg


Robert D. Woodberry adalah asisten profesor sosiologi di University of Texas di Austin dan Direktur dari Project on Religion and Economic Change. Beliau meneliti dampak jangka panjang dari demokrasi dan perkembangan ekonomi di negara-negara di luar Eropa, terutama memperhatikan peran misionaris dan kelompok agama lain.


Ada kontroversi besar tentang misi belakangan ini. Beberapa dari reaksi ini terkait dengan tren baru-baru ini, seperti respons kekerasan terhadap misi yang kadang-kadang terjadi di Timur Tengah, India dan tempat lainnya. Namun, kebanyakan dari kontroversi ini hanyalah kebangkitan kembali sebuah persepsi yang populer tentang misi yang menggambarkan gerakan misi sebagai pelayan dari kolonialisme dan musuh eksistensial bagi budaya-budaya lokal. Akan tetapi, permasalahan dengan berbagai konotasi imperialis terhadap misi adalah bahwa pandangan-pandangan tersebut ini biasanya didasarkan pada novel, film, anekdot dan kesan-kesan subjektif. Bahkan meski berbagai anekdot itu dapat dikonfirmasi kebenarannya, mereka sering kali hanya memperkuat berbagai asumsi yang sudah ada sebelumnya pada seseorang. Apa yang hilang adalah suatu pengujian yang menyeluruh dan seimbang mengenai bukti sejarah dan statistik secara luas tentang dampak kumulatif rata-rata dari misi.


Daftar isi

Apakah Para Misionaris Telah Membantu atau Merusak?

Untuk membuat penyelidikan seperti itu, saya (bersama dengan sebuah tim mahasiswa1) mengumpulkan data mengenai aktivitas misi Protestan dan Katolik dari sejak awal abad 19 sampai pertengahan abad 20 dan dengan cermat meninjau riset historis masa kini tentang misi. Kami mengidentifikasi pola-pola yang ada dalam catatan sejarah dan membandingkan kondisi yang ada di berbagai tempat di mana para misionaris lebih berpengaruh dan kondisi di berbagai tempat di mana mereka kurang berpengaruh atau sama sekali tidak pergi ke sana. Ini membantu kami mengukur dampak sosial yang dimiliki misi. Jika para misionaris mulanya merugikan berbagai budaya di mana mereka pergi, kami akan berharap kondisinya menjadi lebih buruk di tempat di mana mereka telah memiliki pengaruh lebih; tetapi justru kami menemukan hal yang persis sebaliknya. Pada bab ini saya pertama-tama membahas bukti historis dan kemudian bagaimana sejarah ini membentuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.


Para Misionaris Memajukan Pendidikan Massa, Percetakan dan Ilmu kedokteran Barat

Di dalam berbagai tradisi religius, orang awam dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan religius tanpa mampu membaca. Ini tidak terjadi pada orang Protestan. Para misionaris Protestan menginginkan orang dapat membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Jadi, ke mana pun mereka pergi, mereka dengan cepat mengembangkan bentuk tertulis dari bahasa lisan, menciptakan huruf, membawa masuk teknologi percetakan dan mencetak Alkitab, traktat dan buku-buku pelajaran. Di dalam proses ini mereka menciptakan bentuk tulisan dari kebanyakan bahasa, sering memperkenalkan percetakan untuk pertama kalinya dan biasanya mencetak koran dan buku pelajaran untuk pertama kalinya. Mereka juga mendukung literasi secara massal dan yang khususnya penting, mendidik wanita, rakyat jelata dan para budak.

Para pemerintah kolonial, penduduk dan para pengusaha umumnya curiga dengan pendidikan massal. Mereka lebih suka berurusan dengan sedikit golongan elit terdidik yang dapat mereka kendalikan. Mereka merasa orang lain harus dididik hanya dalam keahlian praktis seperti pertukangan batu dan pertukangan kayu. Sebagai contoh, di Asia Tenggara, orang Prancis menutup sekolah-sekolah priBumi, menghalangi pendidikan dari orang Protestan dan merintangi orang Asia Tenggara untuk memperoleh pendidikan di negara-negara lain. Sebagai sebuah kebijakan terbuka, mereka hanya mendidik orang melampaui tingkatan sekolah dasar sebanyak yang dapat mereka pekerjakan dalam pemerintahan kolonial. Sebelum lobi yang dilakukan misionaris, orang Inggris juga tidak berinvestasi dalam pendidikan masal. Di wilayah di mana Inggris berhasil menjaga agar misionaris tidak masuk?misalnya, pedalaman Nigeria, wilayah Somali yang dikuasai Inggris, Nepal dan kepulauan Maldiva?mereka hanya mendidik beberapa anak dari kaum elit di daerah itu.

Misi Protestan dalam pendidikan menyebabkan kelompok agama lain untuk menyediakan pendidikan masal juga. Ketika bersaing dengan orang Protestan, para misionaris Katolik mendidik secara luas dan sering memiliki sekolah-sekolah terbaik. Namun, sebelum Vatikan II pada tahun 1965 atau di tempat yang terisolasi dari kompetitornya, orang Protestan, mereka sangat berinvestasi pada sekolah-sekolah untuk pastor dan elit. Orang Hindu, M dan Buddha juga serupa.

Berbagai upaya awal dari misionaris mendemonstrasikan manfaat ekonomi dari pendidikan dan dengan begitu memacu permintaan. Para misionaris juga menulis dan menerjemahkan buku, membangun gedung-gedung dan melatih guru-guru, yang membuat perluasan pendidikan di masa depan menjadi lebih mudah. Pemerintahan pascakolonial sering kali menasionalisasikan sekolah-sekolah yang didirikan oleh misi untuk menciptakan sistem kependidikan yang dijalankan oleh negara. Menciptakan sistem kependidikan yang berkualitas tinggi membutuhkan waktu dan uang yang besar. Jadi, negara-negara di mana proses ini dimulai lebih awal dan secara lebih luas telah memiliki keuntungan yang pasti. Bahkan ketika kami melihat pada wilayah-wilayah di dunia yang memiliki tingkat baca tulis yang sama sebelum masa kolonial, berbagai sub-wilayah yang memiliki aktivitas misionaris Protestan yang lebih banyak pada masa kini memiliki tingkat baca tulis yang lebih tinggi (sebagai contoh, Afrika Barat, Oseania dan Timur Tengah). Pola yang sama ini juga berlaku ketika kami membandingkan pendidikan antara wilayah-wilayah dari negara-negara yang sama (sebagai contoh, India, Nigeria dan Ghana).

Misi Protestan juga menjadi faktor utama yang merangsang percetakan massal secara internasional. Sebagai contoh, sebagian besar masyarakat di Asia dan Afrika Utara dahulu sudah mencetak materi dalam bahasa mereka dan sudah terekspos kepada fungsi percetakan dari orang asing dan kaum minoritas selama dua atau tiga ratus tahun sebelum mereka bisa mencetak apa pun. Awalnya, misionaris Yahudi dan Katolik mencetak sejumlah kecil teks-teks. Kemudian, perusahaan perdagangan dan pemerintahan kolonial mencetak surat-surat perjanjian dan berbagai dokumen administratif, tetapi tidak ada yang menyalinnya. Dalam hampir setiap kasus, orang priBumi baru memulai cetak-mencetak sebagai respons terhadap cetakan massal yang dilakukan misionaris Protestan. Sebagai contoh, di dalam 32 tahun kedatangan mereka, para misionaris Inggris pertama yang ke India telah mencetak lebih dari 212.000 buku dalam 40 bahasa. Ini memicu orang M dan Hindu untuk melakukan hal yang sama.

Bahkan di Tiongkok dan Korea?masyarakat yang memiliki logam cetakan huruf yang dapat dipindah-pindahkan sebelum dilakukan di Eropa – para misionaris dan orang yang mereka tobatkan mencetak koran pertama dan secara radikal mengubah ketersediaan teks. Ini menghasilkan suatu revolusi baik dalam percetakan maupun pendidikan kepada orang biasa. Sumber perubahan bukanlah pengetahuan akan teknologi atau pertumbuhan ekonomi, tetapi gagasan yang secara radikal berbeda tentang siapa yang seharusnya membaca dan memiliki akses kepada teks. Tanpa pendorong dari pemikiran religius, pasar yang kuat dan pengetahuan teknologi tidak cukup untuk memicu baik pendidikan maupun percetakan masal.

Para misionaris juga sentral dalam penyebaran ilmu kedokteran Barat, pendidikan medis dan berbagai organisasi pembaharuan sosial yang bersifat sukarela. Para misionaris memperkenalkan macam-macam benih baru, berbagai keahlian teknis yang baru dan ide-ide baru mengenai politik dan ekonomi. Saya telah membahas semua ini dan masalah lain secara detail di tempat lain.2


Para Misionaris Menggerakkan Pembaharuan Kolonial

Para misionaris sering kali dituduh berhubungan dekat dengan pemerintah kolonial. Terkadang ini memang benar, khususnya dalam koloni-koloni di mana pemerintah mengatur penugasan misionaris dan keuangannya. Namun, ketika para misionaris independen dari kontrol langsung pemerintah, mereka bertindak secara berbeda. Faktanya, para misionaris yang tidak diatur oleh pemerintah sangat penting dalam kebanyakan gerakan utama untuk reformasi kolonial.

Sebagian besar misionaris tidak menentang kolonialisme secara kuat. Mereka bersedia hidup dalam bentuk kolonialisme yang moderat dan terutama tidak terlalu memperhatikan politik. Namun, kezaliman yang dilakukan pemerintah kolonial membuat marah penduduk lokal sehingga mereka menentang Barat?yang banyak diasosiasikan dengan Kekristenan?dan membuat pekerjaan para misionaris menjadi lebih sulit. Tulisan-tulisan para misionaris penuh dengan keluhan tentang bagaimana kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial merendahkan upaya terbaik mereka. Jadi, para misionaris memiliki (1) dorongan untuk melawan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial, (2) personil di seluruh dunia yang secara langsung terekspos kepada kezaliman, (3) basis pendukung di banyak negara-negara yang dijajah, dan (4) suatu jaringan yang luas dari media religius untuk memobilisasi orang beriman demi melawan berbagai kebijakan yang menghambat kepentingan misi dan menyakiti orang-orang yang mereka kasihi. Jadi, para misionaris sangat penting bagi kampanye untuk melawan perbudakan dan kerja paksa, peningkatan bantuan asing, penciptaan organisasi internasional pemulihan bencana, melarang perdagangan opium, melindungi hak milik atas tanah orang lokal dan banyak reformasi lainnya.3


Para Misionaris Menolak Pandangan “Ilmiah” Mengenai Ras

Salah satu kritik tertulis yang paling konsisten terhadap misionaris adalah etnosentrisme mereka. Para misionaris abad 19 dan awal abad 20 adalah produk dari suatu era di mana baik orang Kristen maupun kaum sekularis memiliki asumsi akan superioritas peradaban Barat. Literatur misi yang bersejarah sering menekankan masalah-masalah berbagai budaya dan agama lain dalam cara yang tidak menyenangkan bagi banyak pembaca modern. Tetapi ini harus dilihat dalam perbandingan dengan rasisme “ilmiah” yang berkembang di kalangan akademis dan di antara penduduk Eropa yang bermukim di sana pada masa itu. Kritik utama misionaris terhadap orang lain adalah berkenaan dengan budaya dan agama, bukan ras. William Carey berpendapat bahwa orang Inggris dulunya merupakan orang barbar sebelum Kekristenan datang dan Injil dapat mengubah budaya lain sama seperti Injil telah mengubah Inggris.

Selama abad 19 dan awal abad 20, para misionaris lebih sering dikritik karena berpikir terlalu tinggi mengenai suku priBumi ketimbang sebaliknya, khususnya oleh para antropolog. Sebagai contoh, James Hunt?yang menciptakan kata “antropologi,” mendirikan masyarakat antropologis yang pertama dan menyunting dua jurnal pertama dalam bidang antropologi?berpendapat bahwa suku bangsa yang berkulit gelap merupakan spesies yang berbeda, secara mental lebih rendah dari bangsa kulit putih dan tidak dapat “diberadabkan” melalui pendidikan. Dia berpendapat bahwa para antropolog harus melawan para misionaris demi menegakkan disiplin ilmu mereka. Dalam jurnal Anthropological Review tahun 1866 dia menulis:

Dalam usaha untuk memberikan rekomendasi kepada Antropologi agar bisa lebih diterima secara umum, kita tidak boleh menyembunyikan fakta bahwa dua bidang pemikiran besar pada prinsipnya telah memutuskan bertentangan dengan pretensi kita. Kedua bidang yang berpengaruh ini … sama-sama setuju untuk membuang dan bahkan menolak kebenaran antropologi. Mereka melakukan hal itu karena kebenaran-kebenaran antropologi ini secara langsung berlawanan dengan prinsip utama mereka tentang kesetaraan di antara manusia yang absolut dan asali. Bidang yang kita maksudkan adalah ortodoksi di dalam agama, dan lebih khusus badan penginjilan dan partai ultra-liberal dan demokratis dalam politik.

Tulisan ini menjadi lebih menghina dan rasis, tetapi sedikit keterangan di atas seharusnya sudah cukup. Banyak antropolog modern dan sekuler masih memiliki ketegangan dengan para misionaris, tetapi dengan alasan yang sangat berbeda. Akan tetapi, dalam mengkritik sikap etnosentris para misionaris, akan lebih membantu untuk membandingkan mereka dengan orang lain di zaman mereka (misalnya, para antropolog awal) ketimbang berdasarkan standar masa kini. Melakukan hal yang sebaliknya sama saja dengan semacam etnosentrisme itu sendiri. Seperti yang ditulis oleh sejarawan Harvard William Hutchison, “Jika dari sudut pandang modern kepekaan para misionaris [abad 19 dan awal abad 20] terhadap berbagai budaya asing dianggap kurang, mereka bisa diukur superior dalam hal kepekaan budaya dibandingkan orang-orang sezaman mereka baik di tempat asal mereka maupun di luar negeri” (Hutchison 1987:1).


Apakah Dampak Kumulatif Itu?

Seseorang mungkin bertanya-tanya apakah dalam pembahasan di atas saya hanya memilih anekdot dan melakukan generalisasi yang sesuai dengan presuposisi saya. Mungkin orang lain dapat memilih anekdot-anekdot dan membuat generalisasi yang membuat para misionaris terlihat jauh lebih buruk. Bagaimana kita mengevaluasi dampak kumulatif misi di masa lalu? Salah satunya dengan statistik.

Dari sudut pandang statistik, masyarakat di mana para misionaris Protestan datang lebih awal dan lebih berpengaruh berakhir dengan lebih baik pada semua indikator perkembangan manusia yang telah saya kaji: literasi, pendaftaran pendidikan, kematian bayi, harapan hidup, perkembangan ekonomi, korupsi dan demokrasi politik. Hasil-hasil ini konsisten baik di antara berbagai negara dan di antara wilayah-wilayah yang berbeda dari negara yang sama (misalnya, India, Tiongkok, Nigeria, Ghana). Jika dampak utama misi adalah merusak, kita tidak akan mengharapkan hasil seperti ini.

Statistik berikut menggambarkan klaim ini. Bagi negara-negara di belahan Bumi Selatan, setiap misionaris tambahan per 10.000 populasi pada tahun 1923 dihubungkan dengan rata-rata 4,3 poin persentase pendaftaran yang bertambah untuk pendidikan antara tahun 1960-1985 dan 1,3 tahun dari penambahan harapan hidup pada tahun 2000 (bersih dari kontrol statistik). Hal serupa di berbagai propinsi di India, setiap misionaris tambahan per 10.000 jiwa pada tahun 1923 dihubungkan dengan 1,1 poin persentase lebih banyaknya literasi di tahun 2001, dll. Kebiasaan umum historis dari para misionaris Protestan juga dihubungkan dengan demokrasi dan berbagai hasil lainnya. Riset saya menunjukkan bahwa misi Protestan menjelaskan sekitar setengah dari demokrasi di belahan Bumi Selatan dan menyingkirkan dampak dari sebagian besar faktor lain yang dipikirkan dalam memprediksinya.

Menunjukkan bahwa para misionaris menyebabkan berbagai akibat positif ini lebih sulit daripada menunjukkan statistik yang menghubungkannya. Mungkin dulu para misionaris sepertinya pergi ke tempat-tempat yang sudah lebih baik. Contoh, bagaimana jika para misionaris pergi ke tempat yang iklimnya memang sehat? Jika demikian, kesehatan yang terjadi belakangan di tempat ini tidak mengindikasikan dampak yang diakibatkan oleh pekerjaan misi. Jadi, untuk memisahkan dampak dari misi Protestan terhadap pengembangan, saya menerapkan kontrol statistik yang terkait dengan iklim, geografi, kebiasaan penyakit, para penduduk di koloni, perkampungan orang Eropa di wilayah itu dan kondisi pra-kolonial. Tidak satupun dari kontrol-kontrol ini menggeser keterkaitan positif, dan berbagai koefisien dalam paragraf sebelumnya tetap berlaku setelah saya menerapkan kontrol-kontrol ini. Keterhubungan antara misi dan beragam bentuk kesejahteraan sangatlah jelas.

Lokasi spasial dari akibat positif ini juga menyingkapkan. Di Nigeria, orang Inggris melarang misionaris masuk wilayah di utara dan melek huruf di sana lebih rendah ketimbang di wilayah pesisir. Di Kenya, para misionaris dibatasi di dekat wilayah pesisir dan melek huruf lebih tinggi di daerah pedalaman. Di India, melek huruf tertinggi ada di Kerala, Nagaland, Mizoram dan Goa?wilayah-wilayah yang hampir tidak ada kesamaan kecuali pengaruh orang Kristen dan kegiatan misi yang bersejarah di situ. Orang-orang di Nagaland dan Mizoram adalah para pemburu-pengumpul tanpa bahasa tertulis mendahului hubungan dengan misionaris pada akhir abad 19. Jadi, tidak peduli bagaimana seseorang menilai pengaruh keseluruhan dari kolonialisme, imperialisme dan korporasi multinasional pada masa kini di belahan Bumi Selatan, negara-negara yang terkena dampak akan jauh lebih buruk seandainya para misionaris tidak pernah hadir dan terlibat di sana.


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas