PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Budaya, Pandangan Dunia dan Kontekstualisasi

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Charles H. Kraft

Kraft-c.jpg
Charles H. Kraft adalah profesor Antropologi dan Komunikasi Antarbudaya di Fuller Seminary School of Intercultural Studies sejak tahun 1969. Bersama istrinya, Marguerite, beliau melayani sebagai misionaris di Nigeria. Beliau mengajar dan menulis dalam bidang antropologi, wawasan dunia, kontekstualisasi, komunikasi lintas budaya, penyembuhan luka batin dan peperangan rohani.



Pertanyaan kunci bagi orang Kristen yang melayani secara lintas budaya adalah, “Apa pandangan Allah tentang budaya?” Sebagai contoh, apakah budaya Yahudi diciptakan oleh Allah dan karenanya dipaksakan kepada setiap orang yang mengikut Allah? Atau apa ada beberapa indikasi dalam Alkitab bahwa Allah memiliki pandangan yang berbeda? Saya percaya kita menemukan jawabannya dalam 1 Korintus 9:19-22, di mana Paulus mengartikulasikan pendekatannya (dan Allah) terhadap keragaman budaya. Paulus berkata, “bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi” tetapi “bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat.” Pendekatannya adalah “bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka.”

Orang Kristen mula-mula adalah orang Yahudi. Adalah alami bagi mereka untuk percaya bahwa bentuk budaya di mana Injil datang kepada mereka merupakan bentuk yang paling benar bagi semua orang. Mereka percaya semua orang yang datang kepada Yesus juga harus bertobat dan mengikuti budaya Yahudi, tetapi Allah menggunakan rasul Paulus, yang sendirinya orang Yahudi, untuk mengajar generasi mula-mula ini dan generasi kita suatu pendekatan yang berbeda. Di dalam perikop di atas, Paulus menjelaskan pendekatan Allah. Kemudian di dalam Kisah Para Rasul 15:2 dan selanjutnya, kita menemukan Paulus sangat menentang pandangan umum dari gereja mula-mula dan mendukung hak bangsa-bangsa non-Yahudi untuk mengikuti Yesus di dalam konteks sosio-budaya mereka sendiri. Allah sendiri telah menyatakan, pertama-tama kepada Petrus (Kis. 10), dan kemudian kepada Paulus dan Barnabas, bahwa inilah cara yang benar, dengan memberikan Roh Kudus kepada bangsa-bangsa non-Yahudi yang tidak dipertobatkan ke dalam budaya Yahudi (Kis. 13-14).

Tetapi Gereja terus-menerus melupakan pelajaran dari Kisah Para Rasul 15. Kita terus-menerus kembali kepada asumsi bahwa menjadi Kristen berarti menjadi seperti kita secara budaya. Setelah masa Perjanjian Baru, ketika gereja mengharuskan setiap orang untuk mengadopsi budaya Roma, Allah membangkitkan Luther untuk membuktikan bahwa Allah dapat menerima orang yang berbahasa Jerman dan beribadah dalam cara budaya Jerman. Kemudian Anglikanisme muncul untuk menunjukkan bahwa Allah dapat menggunakan bahasa dan budaya Inggris, dan Wesleyanisme bangkit untuk menunjukkan kepada rakyat jelata di Inggris bahwa Allah menerima mereka dalam budaya mereka. Jadi, senantiasa ada isu-isu budaya utama dalam perkembangan dari setiap denominasi baru.

Tetapi sayangnya, masalah terus berlanjut. Orang-orang yang mengomunikasikan Injil terus memaksakan budaya atau denominasi mereka kepada para petobat baru. Jadi, jika kita mengikuti pendekatan Alkitab, kita harus mengadaptasi diri kita dan penyajian kita tentang pesan Allah sesuai dengan budaya orang yang menerima pesan kita, dan tidak salah menyajikan Allah seperti yang dilakukan beberapa orang Kristen Yahudi mula-mula (Kis. 15:1) dengan mengharuskan para petobat untuk menjadi seperti kita untuk bisa diterima oleh Allah.


Daftar isi

Definisi Budaya dan Wawasan Dunia

Istilah budaya adalah label yang diberikan para antropolog kepada adat kebiasaan yang terstruktur dan asumsi yang mendasari wawasan dunia yang mengatur kehidupan orang. Budaya (termasuk wawasan dunia) adalah cara hidup orang, rancangan mereka untuk kehidupan, cara mereka mengatasi lingkungan biologis, fisik dan sosial. Budaya memiliki asumsi-asumsi yang dipelajari, memiliki pola (wawasan dunia), konsep dan perilaku, ditambah hasil berupa artifak (budaya secara materi).


Wawasan dunia, tingkatan budaya yang di dalam, merupakan perangkat asumsi-asumsi yang terstruktur secara budaya (termasuk nilai-nilai dan komitmen/kesetiaan) yang mendasari bagaimana orang menyadari dan berespons kepada realitas. Wawasan dunia tidak terpisah dari budaya. Wawasan dunia termasuk di dalam budaya sebagai tingkat terdalam dari berbagai presuposisi yang di atasnya orang mendasarkan kehidupan mereka.

Sebuah budaya bisa disamakan seperti sungai yang memiliki tingkat permukaan dan tingkat kedalaman. Permukaan dapat dilihat. Akan tetapi, kebanyakan sungai terletak di bawah permukaan dan sebagian besar tidak bisa dilihat. Apa pun yang terjadi di permukaan sungai dipengaruhi oleh fenomena di tingkat dalam seperti arus, kebersihan dan kekotoran sungai, objek lain di dalam sungai dan seterusnya. Apa yang terjadi di permukaan sebuah sungai merupakan respons dari fenomena eksternal dan sebuah manifestasi dari karakteristik pada tingkatan dalam dari sungai.

Demikian juga dengan budaya. Apa yang kita lihat di permukaan suatu budaya adalah perilaku manusia yang terpola. Tetapi pola atau perilaku yang terstruktur ini, meski mengesankan, merupakan bagian yang lebih kecil dari budaya. Pada kedalaman terdapat asumsi-asumsi yang kita sebut wawasan dunia, yang menjadi dasar orang mengatur perilaku pada tingkat permukaan mereka. Ketika sesuatu mempengaruhi permukaan suatu budaya, permukaan mungkin bisa berubah. Namun natur dan luas dari perubahan tersebut akan dipengaruhi oleh wawasan dunia pada tingkatan dalam yang menstruktur di dalam budaya itu.

Budaya (termasuk wawasan dunia) merupakan masalah struktur atau pola. Budaya tidak melakukan apa pun. Budaya seperti naskah yang diikuti oleh seorang aktor. Naskah memberi bimbingan di dalam mana para aktor biasanya beraksi, meskipun mereka bisa memilih untuk mengubah naskah, juga karena mereka telah melupakan sesuatu atau karena seseorang mengubah berbagai hal.

Ada beberapa tingkatan budaya. Semakin tinggi tingkatannya, semakin besar keragaman termasuk di dalamnya. Sebagai contoh, kita mungkin berbicara mengenai budaya pada tingkat multinasional sebagai “budaya Barat” (atau wawasan dunia Barat), atau “budaya Asia,” atau “budaya Afrika.” Berbagai entitas budaya seperti itu mencakup sejumlah besar budaya nasional yang cukup beragam. Sebagai contoh, di dalam budaya Barat ada berbagai keragaman yang disebut Jerman, Prancis, Italia, Inggris dan Amerika. Di dalam budaya Asia ada keragaman yang disebut Tiongkok, Jepang dan Korea. Jadi, berbagai budaya nasional ini dapat memasukkan banyak subbudaya. Sebagai contoh di Amerika, kami memiliki Hispanik Amerika, India Amerika, Korea Amerika dan sebagainya. Di dalam subbudaya-subbudaya ini kita bisa berbicara tentang budaya komunitas, budaya keluarga bahkan budaya individu.

Selain itu, istilah “budaya” dapat merujuk pada jenis strategi (atau mekanisme mengatasi) yang digunakan orang dari banyak masyarakat yang berbeda. Jadi, kita dapat berbicara mengenai entitas seperti budaya kemiskinan, budaya orang tuli, budaya orang muda, budaya pekerja pabrik, budaya pengemudi taksi, bahkan budaya wanita. Mengidentifikasi orang dengan cara ini sering bermanfaat dalam menyusun strategi bagi penginjilan terhadap mereka.

Orang dan Budaya

Sudah menjadi hal umum bagi para ahli dan orang awam untuk merujuk kepada budaya seakan-akan budaya itu seorang pribadi. Kita sering mendengar berbagai pernyataan seperti “Budaya mereka membuat mereka melakukannya,” atau “Wawasan dunia mereka menentukan pandangan mereka akan realitas.” Perhatikan, kata kerja yang dimiringkan dalam pernyataan tersebut memberikan kesan bahwa suatu budaya bertingkah seperti seorang manusia.

“Kuasa” yang menjaga orang tetap mengikuti naskah budaya mereka adalah sesuatu yang berada di dalam diri orang?kuasa kebiasaan. Budaya tidak memiliki kuasa di dalam dan dari dirinya sendiri. Orang secara teratur memodifikasi adat istiadat lama dan menciptakan yang baru, meskipun kebiasaan yang dihasilkan dalam kesesuaian yang besar sangatlah kuat. Penting bahwa kesaksian lintas budaya mengenali baik kemungkinan perubahan dan tempat serta kuasa kebiasaan.

Perbedaan yang kita buat diwujudkan dalam kontras antara kata budaya dan masyarakat. Budaya merujuk kepada struktur, tetapi masyarakat merujuk pada orang-orang itu sendiri. Ketika kita merasakan tekanan untuk menyesuaikan diri, adalah tekanan dari orang-orang (yaitu tekanan sosial) yang kita rasakan, bukan tekanan dari pola budaya (naskah) itu sendiri.

Bagan di bawah merangkum perbedaan antara perilaku orang dan pembentukan struktur budaya dari perilaku tersebut.

Budaya dan Wawasan Dunia Harus Dihormati

Pembentukan struktur budaya/wawasan dunia berfungsi di luar diri kita dan di dalam diri kita. Kita benar-benar tenggelam di dalamnya, berhubungan dengannya seperti ikan kepada air. Dan kita biasanya sama tidak sadarnya seperti ikan yang tidak sadar perlunya air atau seperti kita biasanya tidak menyadari udara yang kita hirup. Memang, sebagian besar dari kita hanya memperhatikan budaya ketika kita pergi ke wilayah budaya lain dan mengamati adat istiadat yang berbeda dari kebiasaan kita.

Orang (Masyarakat) Budaya
Perilaku Tingkat Permukaan

Apa yang kita lakukan, pikir, katakan atau rasakan entah sadar atau tidak sadar, sebagian besar kita lakukan secara kebiasaan dan juga secara kreatif

Struktur di Tingkat Permukaan

Pola budaya yang terkait dengan apa yang biasanya kita lakukan, pikir, katakan atau rasakan.

Perilaku Tingkat Dalam

Berasumsi, menilai dan berkomitmen biasanya suatu kebiasaan tapi juga secara kreatif:

  1. Berkenaan dengan memilih, merasakan, berpikir, menafsirkan dan menilai
  2. Berkenaan dengan menentukan arti
  3. Berkenaan dengan menjelaskan, berhubungan dengan orang lain, mengikat diri kita, dan mengadaptasi atau memutuskan untuk mencoba mengubah hal-hal yang terjadi di sekeliling kita.
Struktur di Tingkat Dalam

Pola-pola dalam hal kita menjalankan berbagai asumsi, penilaian dan komitmen dari perilaku di tingkat dalam. Pola memilih, merasakan, bernalar, menafsirkan, menilai, menjelaskan, berhubungan dengan orang lain, mengikat diri kita dan mengadaptasi atau memutuskan untuk mencoba mengubah hal-hal yang terjadi di sekeliling kita.


Sayangnya, ketika kita melihat orang lain hidup menurut pola budaya dan asumsi-asumsi wawasan dunia yang berbeda dari yang kita miliki, kita sering merasa kasihan terhadap mereka, seolah-olah cara-cara mereka lebih rendah dari kita. Kita mungkin berusaha mencari cara untuk “menyelamatkan” mereka dari adat istiadat mereka.

Akan tetapi, cara Yesus adalah menghormati budaya orang dan wawasan dunia yang menyertainya, bukan dengan merampas mereka dari hal itu. Sama seperti Yesus memasuki kehidupan budaya suku bangsa Yahudi untuk berkomunikasi dengan mereka, demikian juga kita harus masuk ke dalam jaringan kebudayaan kelompok suku bangsa yang berusaha kita menangkan. Mengikuti teladan Yesus, kita memperhatikan bahwa bekerja dari dalam budaya suatu kelompok suku melibatkan kritik alkitabiah terhadap budaya dan asumsi-asumsi wawasan dunia suku bangsa tersebut dan juga penerimaan akan keduanya sebagai titik berangkat. Jika kita harus bersaksi secara efektif, kita harus berbicara dan berperilaku dengan cara yang menghormati satu-satunya jalan hidup yang pernah mereka ketahui. Sama dengan itu, jika Gereja ingin penuh makna bagi kelompok suku yang menerima kesaksian Gereja, Gereja perlu menyesuaikan terhadap budaya mereka sama seperti yang Gereja mula-mula lakukan terhadap kehidupan berbagai suku bangsa di abad pertama. Kita menyebut gereja yang menyesuaikan diri tersebut sebagai “gereja dengan ekuivalen dinamis” (Kraft 1979), “gereja kontekstual” atau “gereja inkulturasi.”

Subsistem Budaya

Dengan wawasan dunia berada di pusat mempengaruhi semua budaya, kita dapat membagi budaya di tingkat permukaan ke dalam berbagai subsistem. Subsistem-subsistem ini menyediakan beragam ekspresi perilaku dari berbagai asumsi wawasan dunia.

Para misionaris mungkin tergoda untuk menggantikan agama tradisi dengan bentuk religius Kekristenan Barat. Namun, kesaksian Kristen harus diarahkan pada wawasan dunia dari seuah kelompok suku agar kesaksian tersebut mempengaruhi masing-masing subsistem dari yang paling inti dalam budaya tersebut. Ada banyak subsistem budaya, sebagian telah digambarkan di bawah. Kelompok suku yang benar-benar sudah dipertobatkan (apakah di Amerika atau di tempat lain) perlu memanifestasikan berbagai sikap dan perilaku Kristen yang alkitabiah dalam segala kehidupan budaya mereka, bukan hanya dalam berbagai praktik agama saja.

Jika kita mau menjangkau kelompok suku bagi Kristus dan melihat mereka berkumpul menjadi gereja-gereja yang menghormati Kristus dan menegaskan budaya, kita akan harus menghadapi mereka dalam budaya mereka dan dalam hal wawasan dunia mereka. Diharapkan bahwa melalui memahami lebih lagi segala sesuatu tentang wawasan dunia dan budaya, kita dapat menghadapi keduanya dengan lebih bijak ketimbang kalau tidak memahaminya.

Wawasan Dunia dan Perubahan Budaya

Sama seperti apa pun yang mempengaruhi akar dari sebuah pohon mempengaruhi buahnya, demikian pula apa pun yang mempengaruhi wawasan dunia sebuah kelompok suku akan mempengaruhi seluruh budaya dan, tentu saja, orang-orang yang bekerja dalam kerangka budaya suku tersebut.

Yesus mengetahui hal ini. Ketika Dia ingin menjelaskan berbagai maksud yang penting, Dia menujukannya pada tingkat wawasan dunia. Seseorang bertanya, “Siapakah sesamaku manusia?” Dia kemudian menceritakan sebuah kisah dan bertanya siapa yang bertindak baik terhadap sesamanya (Luk. 10:29-37). Dia sedang memimpin mereka untuk mempertimbangkan ulang dan mudah-mudahan mengubah nilai dasar di dalam sistem mereka. Pada kesempatan yang lain Yesus berkata,


Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu … siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu (Mat. 5:39, 43, 44).

Sekali lagi benih sedang ditanam untuk perubahan pada tingkatan wawasan dunia.

Perubahan di tingkat dalam sering menghasilkan keseimbangan. Ketidakseimbangan apa pun di pusat wawasan dunia dari sebuah budaya cenderung menghasilkan kesulitan di seluruh sisa budaya. Sebagai contoh, orang Amerika percaya di tingkat wawasan dunia mereka bahwa mereka tidak dapat dikalahkan dalam perang, tetapi kemudian mereka tidak menang di Vietnam. Dalam tahun-tahun berikutnya, suatu perasaan mendalam akan demoralisasi menjalar ke seluruh masyarakat, berkontribusi besar pada ketidakseimbangan yang terjadi di era tersebut.

Orang yang berniat baik dapat menyebabkan berbagai masalah wawasan dunia utama ketika mereka memperkenalkan berbagai perubahan yang baik dan menerapkannya pada tingkat permukaan tanpa perhatian yang tepat terhadap berbagai makna di tingkat dalam yang kepadanya orang melekat. Sebagai contoh, persyaratan yang dibuat para misionaris agar orang Afrika yang memiliki lebih dari satu istri harus menceraikan istri yang lain sebelum bisa dibaptis membawa orang Afrika Kristen dan non-Kristen kepada asumsi-asumsi wawasan dunia tertentu yang terkait dengan Allah orang Kristen. Di antaranya: Allah melawan para pemimpin dalam masyarakat Afrika, Allah tidak suka wanita mendapat pertolongan dan teman di rumah. Allah ingin pria diperbudak oleh satu istri (sama seperti orang kulit putih), dan Allah menyukai perceraian, tidak suka pertanggungjawaban sosial dan bahkan suka prostitusi. Tidak satu pun dari berbagai kesimpulan ini yang tidak rasional atau berlebihan dari sudut pandang orang Afrika. Meskipun kita percaya Allah ingin setiap manusia hanya memiliki satu istri, perubahan ini terlalu cepat dipaksakan, tidak seperti pendekatan Allah dalam Perjanjian Lama yang begitu bersabar di mana Ia membutuhkan banyak generasi untuk menghapuskan adat istiadat.

Bahkan perubahan yang baik, jika perubahan tersebut diperkenalkan dalam cara yang salah dapat membawa kepada degradasi budaya atau bahkan tidak bermoral. Di antara suku Ibibio di wilayah selatan Nigeria, pesan pengampunan Allah menghasilkan banyak orang berbalik kepada Allah Kristen karena Dia dilihat lebih toleran daripada allah tradisi mereka. Para petobat melihat tidak perlu menjadi benar, karena mereka percaya Allah pasti mengampuni mereka apa pun yang pernah mereka lakukan. Di dalam suku Aborigin di Australia, di antara suku Yir Yoront, para misionaris memperkenalkan kapak baja untuk menggantikan kapak batu tradisional. Ini membawa dampak yang sangat merusak karena kapak diberikan kepada wanita dan orang muda, yang secara tradisi diharuskan meminjam kapak dari para pria yang lebih tua. Perubahan ini, meskipun memberikan teknologi yang lebih baik kepada kelompok suku di sana, menantang asumsi-asumsi wawasan dunia mereka. Ini membawa kepada kehancuran otoritas dari para pemimpin di sana, perpecahan sosial yang luas dan kepunahan dari suku tersebut



Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas