Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia
Draf Buku Perspektif
Miriam Adeney
- Miriam Adeney adalah profesor di Seattle Pacific University. Sejak tahun 2002, beliau mengajar kursus singkat di 14 negara di Asia, Amerika Latin, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Utara. Beliau merupakan pembicara khusus mengenai masalah global di berbagai seminari dan perguruan tinggi Kristen di seluruh Amerika Utara dan menulis empat buku dan lebih dari 150 artikel.
- Tulisan ini diadaptasi dari One World or Many? The Impact of Globalization on Mission, disunting oleh Richard Tiplady, 2003. Digunakan dengan izin dari William Carey Library, Pasadena, CA.
Isabell Ides berumur 101 tahun ketika dia meninggal bulan Juni lalu. Seorang Indian Makah, anggota dari suku pemburu paus, dia tinggal di rumah terakhir pada jalan terakhir di ujung barat laut terjauh di Amerika Serikat. Isabell dikenal luas karena dia mencintai dan mengajar bahasa dan budaya suku Makah. Ratusan orang belajar menenun keranjang dari tangannya. Beberapa generasi belajar kata-kata dalam bahasa mereka dari bibirnya. Ibu muda membawa ikan salmon asap dari kutub utara kepadanya. Setelah mengunyah sedikit, dia bisa mengatakan kalau kayu yang mereka gunakan terlalu kering. Para arkeolog membawa keranjang-keranjang yang baru digali yang berumur 3.000 tahun kepadanya, dan dia dapat mengidentifikasi keranjang-keranjang apa itu, bagaimana mereka dibuat, dan bagaimana mereka digunakan. “Seperti kehilangan perpustakaan,” kata seorang antropolog pada saat pemakamannya.
Isabell juga mengajar Sekolah Minggu di gereja Sidang Jemaat Allah di wilayah reservasi orang Indian. Dia menghubungkan hidupnya yang panjang dengan iman Kristen.
Apakah keahlian Isabell membuat keranjang berarti bagi Allah, seperti juga kegiatan mengajarnya di Sekolah Minggu? Seberapa pentingkah warisan etnisnya dalam gambar besar Kerajaan Allah? Pertanyaan ini terus menggema seraya kita membahas globalisasi.1
Daftar isi |
Penghancuran Kreatif
Pada musim semi tahun 2001, perwakilan dari 34 bangsa berkumpul di Quebec untuk mendiskusikan kesepakatan pasar bebas yang akan meliputi seluruh benua Amerika. Ada banyak kekuatiran. Bagaimana bisa ada derajat untuk bermacam-macam perdagangan antara Amerika, Kanada dan Honduras atau Bolivia, antara beberapa negara terkaya dan beberapa yang termiskin di planet bumi? Bukankah negara yang kecil akan disikat? Bahkan Brazil, negara berekonomi terbesar di Amerika Latin, juga gesit.
Ke dalam pembahasan inilah, Kepala Ekonomi Federal Amerika Serikat, Alan Greenspan, memunculkan frasa “penghancuran kreatif.” Ya, dia berkata, semakin terbuka perdagangan dunia berarti ada beberapa “penghancuran kreatif.” Bisnis akan ditutup. Pekerjaan akan hilang. “Tak diragukan,” kata Greenspan (seperti dikutip dalam Workers, 2001), “bahwa transisi kepada ekonomi baru berteknologi tinggi yang menjadi bagian dari peningkatan perdagangan ini terbukti sulit bagi segmen besar tenaga kerja kita…. Proses penyesuaiannya menarik dengan keras tenaga kerja yang ada sekarang yang jumlahnya dibuat sangat berlebihan tanpa kesalahan dari pihak mereka.” Tetapi trauma seperti itu baru sebagian dari harga dari perkembangan. Seperti yang sering dikatakan, Anda tidak bisa membuat omelet tanpa memecahkan telur. Anda tidak bisa berkebun tanpa memangkas dahan. Anda tidak bisa menggunakan komputer tanpa sekali-kali menekan tombol hapus. Anda tidak bisa berlatih sebagai atlit tanpa menghindari berbagai kebiasaan buruk. Mengasah, menajamkan, menyingkirkan, mengurangi?semua itu merupakan istilah positif. Jadi Greenspan berbicara mengenai “penghancuran kreatif” yang tidak dapat dipisahkan dari globalisasi. Tetapi, dia menambahkan, “Sejarah mengatakan pada kita bahwa bukan hanya tidak bijak untuk menahan terjadinya inovasi, tetapi juga tidak mungkin.”
Etnisitas merupakan salah satu gelanggang penghancuran. Di dalam sistem dunia sekarang ini, nilai-nilai etnis lokal sedang diinjak-injak. Nilai-nilai budaya lebih daripada barang dagangan. Mereka adalah bagian dari warisan yang padanya kita tidak dapat menaruh sebuah harga. Namun, seperti spesies yang terancam punah, nilai-nilai budaya sedang terancam. Bagaimana seharusnya kita merespons ketika globalisasi menenggelamkan etnisitas?
Sebuah Tempat dalam Kisah
Apa pandangan Allah mengenai etnisitas? Allah menciptakan kita dalam gambar-Nya, mengaruniai kita dengan kreativitas, dan menempatkan kita di dalam sebuah dunia dengan berbagai kemungkinan dan tantangan. Menerapkan kreativitas yang diberikan Allah, kita telah mengembangkan berbagai budaya di dunia.
Pada mulanya, Allah mengatakan bahwa tidak baik bagi manusia untuk sendirian. Manusia diciptakan untuk hidup dalam komunitas yang bermakna. Maka Allah memberikan berkat-Nya kepada wilayah-wilayah budaya seperti keluarga, negara, pekerjaan, ibadah, seni, pendidikan, dan bahkan berbagai perayaan. Dia memberi perhatian kepada hukum-hukum yang memelihara keseimbangan ekologi, menata hubungan sosial, menyediakan sanitasi, dan melindungi hak-hak kaum yang lemah, orang buta, orang tuli, janda, yatim piatu, orang asing, orang miskin, dan para pengutang.
Dia meneguhkan dunia fisik dari mana bahan kebudayaan dikembangkan. Dia bersuka dengan tanah dan sungai yang telah diberikan-Nya pada manusia. Itu merupakan “suatu negeri yang dipelihara oleh TUHAN, Allahmu: mata TUHAN, Allahmu, tetap mengawasinya dari awal sampai akhir tahun” (Ul. 11:12). Mengetahui kesukaan akan materi dari umat-Nya, Allah menempatkan mereka dalam:
• negeri yang baik, suatu negeri dengan sungai, mata air dan danau, yang keluar dari lembah-lembah dan bukit-bukit.
• suatu negeri dengan gandum dan jelainya, dengan pohon anggur, pohon ara dan pohon delimanya.
• suatu negeri dengan minyak zaitun dan madunya.
• suatu negeri, di mana engkau akan makan roti dengan tidak usah berhemat, di mana engkau tidak akan kekurangan apa pun.
• suatu negeri, yang batunya mengandung besi dan dari gunungnya akan kaugali tembaga (Ul. 8:7-9).
Di dalam bahasa penggambaran Perjanjian Lama, Allah memberi minyak kepada umat-Nya agar wajah mereka bersinar, anggur untuk membuat hati mereka bersuka, teman-teman yang seperti besi untuk menajamkan mereka, istri yang seperti anggur yang berbuah, dan anak-anak yang seperti anak panah. Pola ekonomi, sosial dan artistik tergabung untuk membentuk suatu kebudayaan. Inilah konteks yang di dalamnya kita hidup. Inilah tempat di mana kita dirancang untuk hidup. Sistem global mungkin menenggelamkan kita dalam realitas maya (virtual)?media, paket musik, pasar saham, hasil olahraga, dan kilasan berita?di mana berbagai tragedi besar ditayangkan berdampingan dengan iklan bir. Namun jika kita asyik tenggelam dalam tingkatan global dan maya, kita kehilangan ritme nyata dari alam dan masyarakat. Masa menabur dan menuai, dan kesehatan dari tanah, pohon dan air kita. Persahabatan, pertunangan, pernikahan, pengasuhan orangtua, mengalami penuaan, dan mati. Penciptaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perbaikan. Ada ritme-ritme untuk hidup dalam dunia milik Allah. Semua ini diekspresikan secara lokal, melalui berbagai pola budaya yang spesifik. Mengetahui semua hal ini membantu kita mengenal diri kita sendiri, berbagai potensi kita dan berbagai keterbatasan kita, dan sumber-sumber serta urutan-urutan yang menenun susunan bagi pilihan-pilihan yang bahagia. Semua itu tidak dapat diketahui pada tingkatan global yang abstrak. Mendisiplin seorang anak, contohnya, bukan suatu yang maya. Dipecat dari pekerjaan bukanlah sebuah pengalaman media. Memiliki seorang bayi bukan sebuah permainan komputer. Berurusan dengan kanker bukan sesuatu yang abstrak.
Ketika saya tinggal di Filipina, saya melihat keluarga-keluarga yang kuat. Keramah-tamahan yang hangat. Banyak waktu dilimpahkan kepada anak-anak. Persahabatan yang terus berlanjut. Warisan kebebasan ekonomi bagi wanita. Kemampuan untuk hidup secara dermawan meski uang sedikit. Saus yang dibubuhkan pada sepotong kecil daging yang dibagikan ke banyak orang. Sebuah kesukaan dalam berbagi. Keahlian dalam seni relaksasi. Tubuh yang luwes dan lentur. Kemampuan untuk menikmati berada bersama dengan sejumlah besar orang secara terus-menerus. Karena setiap pemberian yang baik datangnya dari atas (Yak. 1:17) dan karena segala hikmat dan pengetahuan datangnya dari Yesus Kristus (Kol. 2:3), berbagai kualitas yang indah dalam budaya Filipina harus dilihat sebagai karunia dari Allah. Pencipta kita senang dengan berbagai warna. Dia menciptakan bau, dari bau bawang sampai bunga mawar. Dia membentuk setiap butiran salju yang segar. Dia melahirkan bermilyar-milyar kepribadian yang unik. Apakah mengejutkan jika Dia memprogram kita dengan kapasitas untuk menciptakan rangkaian kebudayaan yang luar biasa untuk memperkaya dunia-Nya?
Budaya mengandung dosa dan harus dihakimi, hal ini akan kita bahas dalam bagian berikut. Tetapi kebanggaan etnis tidak secara otomatis adalah dosa. Itu seperti sukacita yang orangtua rasakan ketika anak mereka lulus. Anak Anda berjalan di atas panggung. Dada Anda berdetak dengan kebanggaan. Ini bukan kebanggaan yang mengorbankan tetangga Anda, yang wajahnya juga bersinar ketika anaknya lulus. Bukan, hati Anda membesar karena Anda tahu kisah anak Anda. Kesedihan yang ia pernah derita. Berbagai karunia yang telah berkembang di dalam dirinya seperti bunga yang mekar diterpa mentari. Anda sendiri menangis dan tertawa dan memberi tahun-tahun hidup Anda dalam membentuk beberapa dari kisah tersebut.
Yang terbaik, etnisitas adalah perluasan dari kebanggaan keluarga yang baik adanya. Etnisitas adalah suatu perasaan identifikasi dengan orang-orang yang berbagi suatu kebudayaan dan sebuah sejarah, dengan penderitaan dan keberhasilan dari budaya tersebut, pahlawan dan martir mereka. Seperti keanggotaan dalam keluarga, etnisitas bukan sesuatu yang dihasilkan. Etnisitas diperoleh sejak lahir, itu diberikan tak peduli Anda menginginkannya atau tidak.
Umat manusia diciptakan untuk hidup dalam komunitas. Di dunia sekarang ini, kita tetap merasakan kebutuhan tersebut. “Meskipun ketika kebutuhan materi kita sudah terpenuhi, tetap saja motivasi kita … daya cepat sembuh secara emosional … dan kekuatan moral … harus berasal dari suatu tempat, dari beberapa visi tentang tujuan umum yang tertanam dalam sebuah citra tentang realitas sosial yang menarik perhatian,” menurut seorang antropolog Clifford Geertz (1964, hlm. 70). Menurut Gertz, menjadi warga negara dunia terlalu kabur untuk bisa menyediakan motivasi dan kekuatan seperti itu. Kewarganegaraan dunia membuat orang biasa merasa tidak berarti. Bahkan kewarganegaraan nasional bisa menghasilkan rasa apatis. Tetapi ketika Anda adalah anggota dari sebuah kelompok etnis, Anda memiliki sesuatu perayaan yang memberi kegairahan, nilai-nilai yang memberi kerangka kognitif, pola-pola tindakan yang memberi arah kepada hari-hari Anda, dan ikatan hubungan yang mengakarkan Anda dalam suatu konteks manusia. Anda memiliki tempat dalam waktu di dalam jagad semesta ini, suatu dasar bagi keyakinan bahwa Anda adalah bagian dari keberlanjutan hidup yang mengalir dari masa lalu dan bergerak ke masa depan. Anda ada dalam cerita.
Ketika Etnisitas Menjadi Berhala
Allah menetapkan budaya.Tetapi adat-istiadat yang memuliakan Allah bukan satu-satunya realitas yang kita amati di sekitar kita. Alih-alih keindahan, kreativitas yang harmonis, dan otoritas yang dikagumi, kita sering melihat perpecahan, keterasingan, hawa nafsu, korupsi, keegoisan, ketidakadilan dan kekerasan dipupuk oleh budaya kita. Tidak ada bagian yang masih murni. Ilmu pengetahuan cenderung melayani militerisme atau hedonisme, mengabaikan moral. Seni sering kali menjadi ibadah tanpa Allah. Media massa penuh dengan penyalahgunaan verbal. Para pengusaha mendukung transaksi dagang yang curang. Politisi memenuhi kantong mereka sendiri. Para pekerja melakukan pekerjaan bermutu rendah. Para suami menipu istri mereka. Para istri memanipulasi suami mereka. Anak-anak mengabaikan orang tua mereka sebagai pribadi.
Kita tidak hanya diciptakan dalam gambar Allah. Kita juga orang berdosa. Karena kita telah memutuskan hubungan dengan Allah, budaya yang kita ciptakan menunjukkan tanda kejahatan. Maka kita dipanggil bukan hanya untuk bersuka dalam pola hikmat, keindahan, dan kebaikan yang ada dalam budaya kita, tetapi juga mengonfrontasi dan menilai pola penyembahan berhala dan eksploitasi.
Terkadang etnisitas berubah menjadi berhala. Seperti berhala lain di dalam masyarakat modern?uang, seks, dan kekuasaan?etnisitas pada dirinya sendiri tidaklah buruk. Namun, ketika kita meninggikannya sebagai kebaikan tertinggi, etnisitas menjadi kejahatan. Hasilnya adalah rasisme, pertikaian, perang, dan “pembantaian etnis.” Ketika etnisitas menjadi berhala, itu harus dikonfrontasi dan dihakimi.
Berbagai Implikasi bagi Misi
Etnisitas melawan kecenderungan globalisasi yang menurunkan derajat manusia. Bahkan yang terbaik, globalisasi ekonomi tetap cenderung memperlakukan nilai-nilai budaya sebagai komoditas. Etnisitas mengingatkan kita untuk tetap setia kepada nenek moyang kita dan berbagai komunitas kita. Ini merupakan penyeimbang yang penting. Apa makna etnisitas bagi misi? Kita akan menyarankan empat aplikasi.
1. Menerima Kelokalan
Pertama, misi harus menegaskan kebudayaan lokal. Kita tidak melakukan ini secara tidak kritis. Bekerja dengan dan di bawah orang Kristen lokal, kita menghakimi pola-pola penyembahan berhala dan eksploitasi, seperti dijelaskan di atas. Namun kita mencintai budaya lokal. Kita menerimanya sebagai karunia Allah. Dan sementara kita tinggal di tempat itu, kita dengan senang hati mengadaptasi dimensi dari berbagai nilai lokal yang sehat.
Kita berbicara dengan bahasa lokal. Di mana pun orang Kristen pergi, mereka menerjemahkan Alkitab. Ini diperhatikan oleh Lamin Sanneh, seorang Kristen berlatar belakang M yang adalah profesor di bidang Sejarah di Yale University. Orang M menuntut umatnya belajar bahasa Arab, karena itu adalah bahasa Allah. Tetapi orang Kristen berkata, “Allah berbicara dengan bahasa Anda.”
Diciptakan untuk Menciptakan Kebudayaan
Erich Sauer
Firman Allah kepada Adam memanggil manusia kepada pertumbuhan progresif dalam kebudayaan. Jauh dari berlawanan dengan Allah, pencapaian budaya merupakan atribut esensial dari kemuliaan manusia, sama seperti yang mereka miliki di Firdaus. Penemuan-penemuan, ilmu pengetahuan dan seni, pemurnian dan peninggian, singkatnya, kemajuan pikiran manusia, semuanya adalah kehendak Allah. Semua itu adalah tugas menguasai bumi oleh umat manusia yang bermartabat layaknya raja, pelaksanaan suatu amanat. Manusia memiliki posisi yang berotoritas, di bawah Allah dan di atas seluruh ciptaan…. Mereka diharapkan untuk menemukan potensi-potensi dari bumi, udara, dan laut, menggunakan alam dan sumber-sumbernya…. Di sini kita dapat melihat pencarian ilmiah dibayangkan terlebih dahulu, yang bertujuan memahami dan mengelompokkan dunia alami. Ini merupakan anggaran dasar ilahi bagi keragaman yang amat besar dari kegiatan manusia: agrikultur, teknologi, industri, kerajinan, dan seni. Semua ini, menurut Kekristenan adalah karunia Allah untuk memperkaya kehidupan manusia.
Diambil dari The King of the Earth: The Nobility of Man According to the Bible and Science oleh Erich Sauer, (Grand Rapids: Eerdmans, 1962).
Kita mendukung para pebisnis lokal. Kita mendorong artis lokal, pemusik lokal, dan penulis lokal ketimbang secara rutin mengimpor buku-buku asing atau menerjemahkannya. Kita tinggal di hotel dan rumah yang dimiliki orang lokal. Kita belajar dari pengetahuan ahli herbal lokal. Kita menjaga hutan lokal. Kita menguasai olahraga dan permainan lokal. Kita berusaha hadir di pesta dan pemakaman lokal. Kita berempati dengan pembaharu sosial lokal. Jika kita misionaris, kita akan mendisiplinkan pikiran kita agar tidak dikuasai oleh pola budaya tempat asal kita. Warisan budaya yang spesifik memang penting. Bahkan cerita epik abad ke-20 The Lord of the Rings (Tolkien, 1954) menegaskan kelokalan ini. Kolumnis Mike Hickerson (2002) mengamati:
- The Lord of the Rings menyatakan bahwa kemenangan Allah di Bumi (atau Middle-Earth) tidak lengkap kecuali jika dan hanya ketika kemenangan tersebut memenuhi “tempat-tempat terpencil”…. Perang terakhir antara yang baik dan yang jahat bukanlah suatu pertempuran yang luar biasa besar dalam sejarah – seperti kehancuran Bintang Mati – tetapi suatu pertempuran kecil, diikuti oleh rekonstruksi kecil dari tempat yang sangat kecil. Kabar Baik memenuhi setiap lembah…. Di dalam perjalanan kembali ke Shire, para Hobit meneruskan misi mereka sampai selesai. Tanpa pekerjaan mereka di antara sesama mereka, kejahatan masih memiliki pertahanan di Middle-Earth. Global itu penting, demikian juga lokal.
Di dalam program pelatihan misionaris, penekanan ini harus dibuat. Ada kecenderungan bagi para misionaris dari kebudayaan yang dominan untuk menyatakan warisan etnis mereka seakan-akan itulah pola Allah bagi setiap orang. Misionaris-misionaris Barat melakukan hal ini. Misionaris Tiongkok dan Korea melakukan hal ini di Asia Tengah dan Tenggara. Orang Latin melakukannya di dalam komunitas pribumi.
Bahkan di dalam satu negara, para misionaris yang berasal dari populasi mayoritas mungkin kurang menghargai kebudayaan minoritas dan memperlakukannya secara buruk. Pertimbangkan undangan melalui email yang tiba pagi ini. Pesannya berbunyi:
- Jika Anda datang, bersediakah Anda melakukan lokakarya mengenai teologi tentang kebudayaan? Di negara kami, kami memiliki begitu banyak kelompok etnis yang berbeda, dan prasangka yang ada sangat besar. Jadi kami memiliki orang dari satu kelompok etnis bekerja dalam satu desa dengan berbagai kelompok etnis. Tetapi mereka cenderung hanya mau bekerja dengan kelompok mereka, dan datang dengan berbagai alasan untuk tidak bekerja dengan kelompok lain.
Di sepanjang sejarah, beberapa misionaris menyamakan warisan budaya mereka dengan cara yang lebih disukai Allah. Mudah untuk mengkritik mereka dengan kemampuan untuk mengingat sesuatu. Namun, kita tidak berani mengizinkan mereka pergi karena terlalu kurang persiapan. Sementara teologi kebudayaan dari para misionaris mula-mula mungkin terlalu sempit, praktik mereka sering kali sehat. Mereka belajar bahasa lokal. Mereka menjadi sumber utama informasi budaya bagi para antropologis pertama. Tanpa pesawat, mereka tetap bertahan melalui perang, epidemik, kekeringan, dan banjir. Anak-anak dan istri mereka terkubur dalam kotoran lokal.
Sebaliknya, para misionaris masa kini senang berbicara mengenai kontekstualisasi. Tetapi apakah kita punya waktu untuk menghidupinya? Yesus menghabiskan 33 tahun tercelup ke dalam satu budaya lokal.
2. Menjadi Musafir
Banyak orang memiliki beberapa identitas etnis. Perhatikan situasi ini: Di pesisir barat Amerika, generasi awal orang Asia dilarang oleh hukum untuk menikahi orang dari ras Caucasus. Cukup sedikit imigran Filipina menikahi orang Amerika asli. Bayangkan tiga anak yang sudah dewasa dari keluarga tersebut hari ini. Anak pertama terlihat lebih seperti orang Filipina, anak kedua lebih seperti orang Amerika asli, dan anak ketiga lebih seperti orang Amerika. Tetapi ketiganya berganti-ganti identitas dari waktu ke waktu.
Selanjutnya, kebudayaan berubah secara terus-menerus. Dalam prosesnya, kombinasi identitas yang baru muncul. Wing Luke Museum yang terkenal dibuka kembali minggu ini di kota asal saya, Seattle, Washington. Museum ini dilaporkan sebagai satu-satunya museum Pan-Asia-Pasifik-Amerika di Amerika Serikat. Apa itu Pan-Asia-Pasifik-Amerika? Menurut Jack Broom dari Seattle Times itu “bukan suatu ras, kelompok etnis, atau nasionalitas.” “Itu adalah sebuah kategori sensus yang secara historis menggabungkan orang-orang dari 40 negara lebih membentuk suatu populasi dunia yang luas yang membentang dari Tahiti sampai Pakistan, Jepang sampai Indonesia, Hawai sampai India” (2008, hlm. A16).
Empat belas persen dari populasi negara saya adalah orang Asia Pasifik Amerika. Meski ada penyangkalan dari Seattle Times, ini merupakan kategori etnis yang signifikan, suatu kelompok yang dapat diukur dengan identitas yang cukup untuk mendukung suatu museum yang terkenal. Di dalam sebuah jalinan hirarki dari identitas etnis, kelompok ini membentuk satu tingkat. Artikel Times juga berkata bahwa tingginya angka tersebut “mencerminkan ranting bertengger dari Barat Laut di Lingkar Pasifik.”
Memiliki banyak identitas bukanlah hal yang tidak biasa. Penutur bahasa Spanyol di Amerika bertumbuh 50% dari tahun 1980 sampai 1990. Kini mereka merupakan 30% dari populasi di New York. Kebanyakan juga berbahasa Inggris. Pada dekade yang sama, jumlah penutur bahasa Mandarin di Amerika meningkat 98%. Empat per lima dari mereka lebih suka untuk terus menggunakan bahasa Mandarin di rumah meskipun sebagian besar dari mereka berbahasa Inggris.
Intinya, identitas etnis terletak pada penganggapan diri sebagai seorang anggota dari sebuah kebudayaan bersama, sebuah komunitas bersama, sebuah warisan bersama. Di dalam masyarakat yang multietnis, Anda mungkin tidak melihat perbedaan yang mencolok antara pola ekonomi, sosial, dan wawasan dunia dari mereka yang orangtuanya berasal dari negara lain. Mereka mungkin berbelanja pada toko yang sama dan membuat lelucon mengenai acara olahraga yang sama.
Warisan itu penting, tetapi banyak orang memiliki lebih dari satu warisan, dan pada beragam titik dalam sebuah kontinum identitas. Sebagian orang menyeimbangkan beberapa identitas yang dimilikinya. Orang mungkin tidak menyatakan hal ini dalam kata-kata, atau bahkan dalam pikiran sadar. Tetapi mereka tahu kapan mereka merasa tidak nyaman, kapan mereka merasa dijejali ke dalam kategori yang tidak sesuai, ke dalam kotak yang tidak cocok. Penting untuk menghormati cara orang mengidentifikasi diri mereka pada waktu tertentu. Akan tetapi, melakukan hal demikian mungkin mengacak kategori kita atau daftar kelompok suku yang kita miliki. Individu dari nenek moyang yang sama?bahkan saudara kandung?mungkin memilih untuk mengidentifikasi dirinya secara berbeda.
Apa identitas dari imigran pengungsi? Anak yang memiliki dua ras? Suku Indian Navaho yang ragu-ragu entahkah rumah yang menjadi tempat reservasi mereka atau kota? Kaum kosmopolitan dan orang muda yang membeli dan memakai barang dari segala tempat dan membaca, mendengar, serta menonton media dari segala tempat? Siapa suku mereka? Apakah mereka ditakdirkan menjadi kaum nomaden global?
Di mana pun mereka, Injil menawarkan mereka sebuah. Allah tidak berprasangka terhadap kita. Dia menemui kita masing-masing sebagai pengecualian bahwa kita adalah seperti adanya kita, dengan identitas kita yang banyak dan saling tumpang tindih, pengembaraan kita yang unik, kekhasan perilaku individual kita. Allah tidak tidak menempatkan kita dalam kotak kecil. Apakah kita secara permanen telah kehilangan komunitas kita, atau sementara tanpa tujuan, atau sedang merangkai bagian-bagian dari beberapa warisan, Allah menyambut kita ke dalam umat-Nya. Injil menawarkan kita sebuah rumah yang melampaui berbagai struktur dunia ini.
Budaya lokal merupakan karunia Allah, tetapi mereka tidak pernah cukup. Ya, seperti kata Yeremia, “Usahakanlah kesejahteraan kota” di mana kita berada (Yer. 29:7). Namun, seperti Abraham, kita tahu bahwa ini bukan tempat akhir kita. Kita tetap merupakan musafir yang sedang mencari “kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:8-10).
3. Membangun Jembatan
Pada tahun 1964, ketika berumur 14 tahun, Zia masuk sekolah khusus orang buta di Afganistan. Dia menjadi orang Kristen yang penuh sukacita. Selama beberapa tahun kemudian, dia belajar berbicara bahasa Dari, Pastu, Arab, Inggris, Jerman, Rusia, dan Urdu, dan membaca bahasa ini jika huruf Braille-nya tersedia. Selama masa pendudukan Rusia di Afganistan, Zia ditugaskan untuk memimpin sekolah khusus orang buta ini. Kemudian, karena ia tidak mau bergabung dengan Partai Komunis, ia dilemparkan ke dalam penjara. Ia melarikan diri ke Pakistan dengan menyamar sebagai pengemis buta, yang memang merupakan keadaannya yang sebenarnya.
Di Pakistan, karena Zia menerjemahkan Perjanjian Lama, dia ditawarkan beasiswa ke Amerika Serikat untuk belajar bahasa Ibrani. Ia menolak kesempatan itu. Mengapa? Ia terlalu sibuk melayani secara lokal. Meskipun ia tidak berpikir ia punya waktu menarik keluar dirinya untuk belajar Ibrani, ia belajar bahasa Urdu sebagai bahasa ketujuhnya demi menjangkau orang Pakistan. Akhirnya ia mati martir.
Zia mewakili jutaan orang Kristen yang bersaksi selama berabad-abad yang telah menemukan bahwa Injil menghubungkan kita dengan dunia. Kita mulai secara lokal, tetapi kita tidak berhenti di sana.
Hari ini dunia sangat amat membutuhkan orang-orang seperti Zia. Globalisasi ekonomi dan teknologi menghubungkan kita secara dangkal. Masyarakat harus memiliki orang-orang yang bisa membuat hubungan-hubungan yang lebih dalam. Thomas Friedman (1999) menjelajahi pemikiran ini dalam bukunya yang luar biasa, The Lexus and the Olive Tree, di mana Lexus mewakili ekonomi global dan pohon zaitun mewakili berbagai tradisi lokal. Clifford Geertz (1973) menulis mengenai ketegangan antara periodisme dan esensialisme, antara kebutuhan untuk menjadi bagian dari periode masa kini dan kebutuhan untuk mempertahankan identitas esensial kita, untuk mengetahui siapa kita. Manuel Castells (1996, hlm. 459) dalam bukunya The Rise of the Networked Society berpendapat bahwa meskipun sebuah bumi yang berjejaring berarti suatu integrasi kekuasaan, ini terjadi pada tingkat yang semakin dipisahkan dari kehidupan pribadi kita. Ia menyebutnya “skizofrenia struktural” dan memperingatkan, “Kecuali jika jembatan budaya, politik, dan fisik secara sengaja dibangun … kita mungkin sedang mengarah kepada kehidupan dalam semesta paralel yang waktunya tidak bersesuaian.”
Siapa yang dapat membangun jembatan? Gerakan apa yang mencakup bangsa-bangsa, berbagai ras, jenis kelamin, ethne, kaya dan miskin, orang yang buta huruf dan orang yang bergelar Ph.D.? Sangat luar biasa untuk menyadari bahwa jarang ada orang yang lebih siap untuk berhubungan secara antarbudaya daripada gereja universal.
Ketika ikatan masyarakat terpecah, sering kali orang percaya-lah yang dapat memimpin masyarakat melintasi jembatan rekonsiliasi, menjangkau dengan genggaman tangan sukacita saudara-saudari dari pihak lain. Kesetiaan kita tidak berhenti hanya pada budaya kita sendiri. Kita adalah pengembara. Kita melangkah keluar dari kelompok kita. Memang, itu yang selalu menjadi mandat orang Kristen. Abraham dipangil untuk menjadi berkat bagi segala kaum di bumi (Kej. 12:1-3). Daud menyanyi, “ya Allah kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu” (Mzm. 67:3-5). Paulus didorong oleh semangat yang besar untuk menjangkau kelompok suku yang belum terjangkau (Rom. 15:20-21). Yohanes tergetar oleh visi akan kelompok suku dan kaum dan keluarga dan bangsa berkumpul bersama di depan takhta Allah di akhir zaman (Why. 4-5).
Membuat hubungan lintas budaya telah menjadi amanat kita sejak awal. Keterlibatan kita dalam globalisasi bukan berakar dalam ekonomi tetapi dalam kasih Allah akan dunia-Nya. Kita tidak boleh menjadi penyendiri, puas dengan mengurung diri. Kasih Allah mendorong kita untuk melangkah keluar dari wilayah kita. Di mana ada konflik, kita keluar sebagai pembawa damai. Di mana Injil belum dikabarkan, kita keluar sebagai saksi. Hubungan global juga memungkinkan kita keluar untuk melayani Gereja Yesus Kristus di seluruh dunia secara lebih cepat dan menyeluruh ketimbang yang pernah sebelumnya.
Bagi orang yang diberi banyak, mereka akan dituntut banyak. Apakah kita sedang membangun jembatan?
4. Membangun Gereja Etnis
Terakhir, kita perlu mempertimbangkan gereja-gereja etnis yang berbeda dalam komunitas kita sendiri. Sebagian orang bertanya: “Jika pukul 11 siang hari Minggu merupakan waktu paling memisahkan orang di Amerika, bukankah gereja etnis sebetulnya rasis? Mereka jelas menguatkan penginjilan dan persekutuan. Tetapi hanya karena sesuatu berhasil tidak berarti itu benar. Iblis memiliki banyak keberhasilan juga.”2
Sepuluh Cara Membangun Jembatan Multi-Etnis Di Antara Berbagai Gereja
1. Menyambut. Kita harus menyambut orang dari budaya lain yang ingin bergabung dengan gereja kita, dan jika mereka begitu menginginkannya, kita harus membantu mereka menciptakan relung di mana mereka dapat beribadah dengan cara yang akrab bagi budaya mereka.
2. Mengajar. Kita harus mengjar, berulang kali, membedakan kebenaran Alkitab tentang kesatuan dan kreativitas.
3. Berdoa. Kita harus berdoa satu sama lain secara teratur melampaui batasan etnis.
4. Menginjili. Kita harus bekerja bersama dalam penginjilan lokal yang relevan secara budaya.
5. Memupuk. Kita harus bekerja bersama dengan gereja-gereja etnis dalam komunitas kita untuk memupuk orang muda, sambil mendorong orang muda memelihara kebanggaan dalam warisan mereka.
6. Bertobat. Kita harus bertobat dari dominasi hegemonis atau pengabaian di satu sisi dan dari ketidaksukaan atau ketergantungan di sisi lain.
7. Hubungan. Kita harus menugaskan orang yang menjadi “makelar kebudayaan” yang menghubungkan jemaat kita dengan kebudayaan spesifik dari warisan budaya lain dalam komunitas kita, dan yang mengharuskan para anggota gereja bertanggung jawab menjaga hubungan yang dalam dan berarti.
8. Investasi. Kita harus menginvestasikan waktu dan uang secara berkorban dan merisikokan diri kita secara emosi dalam kemitraan yang kuat dan pertukaran pola-pola.
9. Membangun Pemimpin. Kita harus bekerja bersama dalam pelatihan kepemimpinan yang secara budaya relevan dan penerbitan bahan-bahan yang bermanfaat.
10. Belajar. Kita harus siap untuk saling belajar, percaya bahwa Firman Allah bisa datang kepada kita melalui orang-orang yang sangat berbeda dari kita.
Bagaimana kita menjawab hal ini? Di dalam bab ini, kita telah meletakkan dasar bagi pendapat bahwa gereja etnis dibenarkan bukan hanya untuk alasan pragmatis?karena berhasil?tetapi juga karena mereka berakar dalam doktrin penciptaan. Di dalam gambar Allah, menyatakan kreativitas yang Allah berikan, manusia telah mengembangkan beragam kebudayaan. Berbagai kebudayaan ini menawarkan bayangan akan keindahan dan kebenaran yang melengkapi, dan kritik atas kejahatan yang melengkapi.
Setiap gereja harus menyambut semua orang dari berbagai ras dan kebudayaan. Sebagian orang berkembang dalam gereja yang miliki beragam budaya. Sebagian lainnya memelihara tradisi mereka. Bagi mereka, kebudayaan tetap penting dalam ibadah. Mereka berdoa dengan bahasa asli mereka, dengan bahasa tubuh yang berarti, ratapan dan tiarap. Kebudayaan mereka akan mempengaruhi cara mereka menginjili, memuridkan, mengajar, mengatur administrasi, konseling, keuangan, pelayanan pemuda, pelatihan pemimpin, disiplin, pengembangan kurikulum, pemulihan bencana, pengembangan, dan advokasi. Teolog mereka melengkapi pemahaman kebudayaan lain akan Alkitab.
Jemaat-jemaat yang terpisah tidaklah buruk. Apa yang buruk adalah kurangnya kasih. Kurangnya kasih ini terlalu sering ditemukan dalam gereja-gereja yang mayoritas anggotanya berasal dari cabang kebudayaan yang berada di hirarki puncak kekuasaan. Gereja yang lebih kaya dan lebih berkuasa memiliki berbagai tanggung jawab khusus. Jika saudara-saudari seiman kita kekurangan bantuan kesehatan, sekolah yang baik, atau lingkungan yang aman?atau jika mereka kekurangan tafsiran Alkitab dalam bahasa mereka, atau uang kuliah agar pendeta mereka dapat pergi ke seminari?kita tidak dapat hanya tersenyum dan melangkah pergi. Seperti yang ditulis rasul Yakobus,
Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!,” tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? (Yak. 2:1-16).
Di dalam konteks ini, gereja-gereja etnis memiliki nilai yang besar. Seperti mosaik, seperti kaleidoskop, seluruh spektrum kebudayaan?dan gereja-gereja etnis?memperkaya dunia milik Allah. Sama seperti keluarga yang sehat dan kuat merupakan dasar bagi komunitas yang sehat, demikian juga gereja-gereja etnis yang kuat dapat menjadi dasar bagi persekutuan multikultural yang kuat. Hanya ketika kita telah belajar tentang komitmen dan kerjasama di rumah barulah kita siap untuk mempraktikkan ketrampilan tersebut secara luas.
Gereja-gereja etnis etnis juga merupakan tempat yang baik untuk memulai misi global. Kita dapat bekerjasama dengan orang Kristen dari berbagai bangsa yang tinggal di kota kita?mahasiswa, pengusaha, pengunjung sementara, pengungsi, imigran. Banyak dari mereka yang mewakili kelompok suku yang “belum terjangkau.” Banyak dari mereka yang secara teratur pulang ke tanah air mereka untuk membantu menggali sumur, mendirikan klinik, mengajar di sekolah-sekolah Alkitab, menerbitkan buku-buku himne dan buku pegangan pelatihan, dll. Kita dapat berdoa dengan mereka, membantu mereka bertumbuh dewasa sebagai murid-murid Kristus, dan bersama-sama menjangkau kepada kelompok suku mereka.
Ketika etnisitas dihargai sebagai karunia namun tidak disembah sebagai berhala, dunia milik Allah diberkati, dan kita bisa mencicipi sorga. Mari kita menjaga visi tersebut di hadapan kita.