Analogi Penebusan (1)
Draf Buku Perspektif
Don Richardson

- Don Richardson merupakan pionir dari World Team (sebelumnya RBMU International) yang melayani suku Sawi di Irian Jaya (sekarang Papua, Indonesia) dari tahun 1962-1977. Sejak saat itu, dia telah melayani sebagai Minister-at-Large bagi World Team. Beliau menulis buku Peace Child, Lords of the Earth dan Eternity in Their Hearts, beliau sering menjadi pembicara di konferensi-konferensi misi dan kelas-kelas Perspectives.
- Tulisan ini diambil dari Eternity in Their Hearts, 1981. Digunakan dengan izin dari Regal Books, Ventura, CA.
Ketika seorang misionaris masuk ke dalam budaya lain, dia sangat jelas asing. Ini harus diharapkan, tetapi sering Injil dilihat sebagai hal yang asing juga. Bagaimana Injil dapat dijelaskan sehingga ia terlihat tepat secara budaya?
Pendekatan Perjanjian Baru adalah mengomunikasikan Injil melalui analogi penebusan. Perhatikan beberapa contoh ini:
- Orang Yahudi mempraktikkan domba sebagai korban. Yohanes Pembaptis menyatakan Yesus sebagai penggenapan sempurna akan pribadi yang menjadi korban, “Lihatlah Anak Domba Allah yang nenghapus dosa dunia!” Inilah analogi penebusan.
- Ketika Yesus berbicara kepada Nikodemus, seorang guru Yahudi, keduanya tahu bahwa Musa pernah mendirikan ular dari tembaga agar orang Yahudi yang sekarat karena sengatan ular berbisa dapat melihatnya dan disembuhkan. Yesus mengatakan kepada Nikodemus bahwa “sama seperti Musa mendirikan ular tembaga di padang gurun, demikian juga Anak Manusia ditinggikan, agar siapapun yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Ini juga merupakan analogi penebusan.
- Sejumlah besar orang Yahudi, mengingat bahwa Musa pernah mendatangkan manna dari langit setiap hari, dan mengira Yesus akan mengulangi mujizat-Nya mengubah roti dan ikan dalam cara yang sama. Yesus menjawab, “Musa tidak memberimu roti sejati dari sorga. Roti sejati dari sorga adalah Dia yang turun dari sorga dan memberi hidup ke dalam dunia…. Akulah Roti Hidup!” Sekali lagi, analogi penebusan.
Ketika beberapa orang menuduh Kekristenan sedang menghancurkan kebudayaan Yahudi, penulis surat Ibrani menunjukkan bagaimana Kristus sebenarnya telah memenuhi semua elemen utama dari budaya Yahudi?keimaman, tabernakel, korban, dan bahkan hari Sabat. Kita menyebut ini sebagai analogi penebusan karena semuanya mempermudah manusia mengerti tentang penebusan. Tujuan yang ditetapkan Allah bagi analogi-analogi ini adalah untuk mengondisikan sebelumnya pikiran dalam suatu cara yang signfikan secara budaya agar mengenal Yesus sebagai Mesias. Di luar Alkitab, sepertinya penyataan umum Allah menjadi sumber analogi-analogi penebusan di seluruh dunia (Lihat Mzm. 19:1-4 dan Yohanes 1:9).
Strategi yang Sangat Kuat Hari Ini
Strategi analogi penebusan ini dapat diterapkan oleh para misionaris hari ini ketika mereka mengetahui dengan jelas berbagai analogi penebusan tertentu dari masing-masing budaya. Pertimbangkan keuntungannya: Ketika pertobatan difasilitasi melalui analogi penebusan, orang disadarkan akan makna rohani yang masih tertidur dalam budaya mereka sendiri. Melalui cara ini, pertobatan tidak menyangkali latar belakang budaya mereka. Sebaliknya, mereka mengalami pemahaman yang ditingkatkan baik ke dalam Alkitab dan warisan budaya mereka sendiri, dan akibatnya mereka dipersiapkan lebih baik untuk membagikan Kristus secara penuh makna kepada anggota masyarakat mereka yang lain.
Menemukan dan Menggunakan Berbagai Analogi
“Anak Perdamaian” Suku Sawi
Sebagaimana diceritakan dalam buku Peace Child mengenai suku Sawi, istri saya dan saya sendiri terkejut ketika mempelajari bahwa pengkhianatan merupakan kebajikan di sana. Karena itu, Yudas Iskariot pasti bagi mereka merupakan pahlawan dalam Injil. Namun, di dalam budaya suku Sawi, ada sebuah sarana untuk membuat perdamaian yang mengharuskan seorang ayah mempercayakan salah satu anaknya kepada musuhnya yang kemudian menjadi ayah dari anaknya dan membesarkannya. Anak ini disebut “anak perdamaian.” Pada situasi yang kritis dalam perseteruan suku, kami mampu menyajikan Kristus sebagai “anak perdamaian” Allah. Suku Sawi langsung menangkap kisah penebusan Allah sebagai Ayah terbesar yang memberi Putra-Nya untuk memperdamaikan manusia yang terpisah dari-Nya. Pada hari ini, tujuh puluh persen suku Sawi menyatakan iman di dalam Yesus.
Suku Damal dan Hai
Suku Sawi bukan satu-satunya suku yang memiliki analogi penebusan yang mengejutkan. Kurang dari satu generasi yang lalu, suku Damal di Irian Jaya masih hidup dalam Zaman Batu. Suku yang selalu bersikap patuh, mereka hidup di bawah bayang-bayang politis suku yang lebih kuat yang disebut suku Dani. Suku Damal memiliki konsep yang disebut hai. Hai merupakan istilah suku Damal bagi zaman keemasan yang dinantikan, utopia Zaman Batu di mana segala perang akan berakhir, manusia tidak lagi saling menindas dan sakit akan jarang terjadi. Mugumenday, pemimpin suku Damal, ingin melihat datangnya hai. Pada akhir hidupnya, dia memanggil putranya yang bernama Dem ke sisinya dan berkata, “Anakku, hai tidak datang sepanjang masa hidupku. Sekarang engkau harus menantikan hai. Mungkin masa itu akan datang sebelum engkau mati.” Bertahun-tahun kemudian, sepasang misionaris memasuki lembah tempat tinggal suku Damal. Setelah menguasai bahasa suku Damal, mereka mulai mengajar Injil. Penduduk di sana, termasuk Dem, mendengar dengan sopan. Kemudian satu hari Dem, yang sekarang sudah dewasa, bangkit berdiri dan berkata, “Oh, saudara-saudaraku, sudah lama nenek moyang kita menantikan hai. Betapa sedihnya ayahku mati tanpa melihatnya. Tetapi sekarang, tidakkah kalian mengerti, orang-orang asing ini telah membawa hai kepada kita! Kita harus mempercayai perkataan mereka, atau kita akan kehilangan penggenapan akan pengharapan kita sejak masa yang lampau.” Hampir seluruh populasi suku tersebut menerima Injil. Di dalam beberapa tahun kemudian jemaat muncul di hampir setiap desa suku Damal. Tetapi ini bukan akhir dari cerita ini.
Suku Dani dan Nabelan-Kabelan
Suku Dani, penguasa yang sombong dari suku Damal, terpesona dengan segala kegembiraan di desa-desa suku Damal. Penasaran, mereka mengutus orang dari suku Dani yang bisa berbahasa Damal untuk mencari tahu. Mengetahui suku Damal bersukacita atas penggenapan harapan mereka sejak dulu, suku Dani terkejut. Mereka juga telah menantikan penggenapan suatu hal yang mereka sebut nabelan-kabelan. Itu merupakan kepercayaan bahwa suatu hari kekekalan akan kembali kepada umat manusia. Mungkinkah pesan Injil tersebut yang merupakan hai bagi suku Damal juga merupakan nabelan-kabelan bagi suku Dani? Pada saat itu salah satu dari pasangan misionaris, Gordon dan Peggy Larson, ditugaskan untuk bekerja di antara suku Dani. Para pejuang suku Dani memperhatikan bahwa mereka sering menyebut seorang yang bernama Yesus yang tidak hanya dapat membangkitkan orang mati, tetapi membangkitkan Diri-Nya sendiri juga. Tiba-tiba, semuanya nyata bagi suku Dani sama seperti yang terjadi pada suku Damal. Beritanya tersebar. Di seluruh lembah, suku Dani yang dulunya barbar mendengar firman yang hidup. Sebuah gereja dilahirkan.
Suku Asmat dan “Lahir Baru”
Konsep “kelahiran baru” menghubungkan suku Asmat di Irian Jaya yang masih hidup di zaman batu dengan analogi penebusan lain. Nikodemus, seorang sarjana Yahudi terpelajar, mengalami kesulitan mengerti apa maksud Yesus ketika Dia mengatakan bahwa semua orang perlu dilahirkan kembali. Nikodemus bertanya, “Bagaimana seseorang dapat dilahirkan ketika dia sudah tua? Dapatkan dia masuk ke dalam rahim ibunya untuk kedua kali dan dilahirkan?” Namun lahir baru dari Injil dapat dimengerti oleh suku Asmat di Irian Jaya. Mereka memiliki suatu cara berdamai yang mengharuskan anak-anak dari dua desa yang berseteru berjalan melalui suatu simbol saluran kelahiran yang dibentuk oleh tubuh dari sejumlah pria dan wanita dari kedua desa tersebut. Mereka yang melalui saluran tersebut dianggap telah lahir kembali ke dalam sistem kekerabatan dari desa yang bermusuhan dengan mereka. Diguncang, dininabobokan, diayun, dan dimanjakan seperti bayi yang baru lahir, anak-anak itu menjadi fokus perayaan yang penuh sukacita. Sejak itu, mereka dapat berjalan dengan bebas di antara dua desa yang sebelumnya bermusuhan, menjadi ikatan hidup dari perdamaian tersebut. Selama berabad-abad, kebiasaan ini telah tertanam mendalam dalam pikiran suku Asmat dengan konsep: Damai yang sejati hanya dapat terjadi melalui pengalaman lahir baru! Anggaplah Allah memanggil Anda untuk mengomunikasikan Injil kepada suku Asmat. Apa yang menjadi titik awal logis Anda? Anggaplah Anda telah menguasai bahasa mereka dan cukup baik untuk membahas hal-hal yang dekat dengan hati mereka. Suatu hari Anda mengunjungi orang Asmat biasa?sebut saja namanya Erypeet?dalam rumah panjangnya. Pertama Anda akan bercakap-cakap dengan dia tentang masa perang sebelumnya dan peristiwa lahir baru yang mengakhiri perang tersebut. Kemudian Anda berkata, “Erypeet saya juga sangat tertarik dengan lahir baru. Lihat, saya dulu berperang dengan seorang musuh bernama Allah. Ketika saya sedang berperang dengan Allah, hidup menjadi suram, sama seperti yang engkau dan musuhmu alami. Tetapi suatu hari musuh saya, Allah, mendekati saya dan berkata, “Aku telah mempersiapkan suatu kelahiran baru di mana Aku dapat lahir di dalam engkau dan engkau dapat lahir kembali di dalam Aku, sehingga kita dapat berdamai…” Pada saat itu Erypeet pasti akan mencondongkan badannya. “Kamu dan bangsamu juga memiliki kelahiran baru?” tanyanya. Dia terheran-heran menemukan bahwa Anda, seorang asing, sudah cukup canggih untuk berpikir dalam istilah lahir baru, apalagi mengalaminya! Anda menjawab, “Ya.” “Apakah itu seperti milik kami?” Anda berkata, “Ya, tapi ada beberapa kesamaan dan beberapa perbedaan.” “Izinkan saya menjelaskannya…” Dan Erypeet mengerti. Mengapa ada perbedaan antara respons Erypeet dan Nikodemus? Pikiran Erypeet sudah terkondisi sebelumnya oleh analogi penebusan suku Asmat yang mengakui kebutuhan manusia akan kelahiran baru. Tugas Anda adalah meyakinkan dia bahwa dia butuh kelahiran baru rohani. Apakah berbagai analogi penebusan seperti ini muncul secara tidak disengaja? Tidak, karena penggunaan strategisnya sudah lebih dulu terlihat sebelumnya dalam Perjanjian Baru, dan karena analogi-analogi ini begitu luas, kita dapat mengerti lebih jelas bahwa anugerah Allah sedang bekerja. Lagi pula, Allah kita terlalu berdaulat untuk dikatakan beruntung.
Suku Yali dan Osuwa
Apakah ada suatu budaya yang ditemukan namun kekurangan konsep yang membentuk analogi penebusan? Kandidat yang menakjubkan untuk perbedaan ini adalah budaya suku kanibal Yali di Irian Jaya seperti yang digambarkan dalam buku Lords of the Earth. Jika pernah ada satu suku yang membutuhkan suatu kepercayaan yang bersifat meramalkan akan Kristus sebelumnya dan kepercayaan itu dapat digunakan misionaris untuk membujuk mereka, suku itu adalah suku Yali. Pada tahun 1966, para misionaris dari Regions Beyond Missionary (sekarang World Team) telah berhasil memenangkan sekitar dua puluh orang dari suku Yali kepada Kristus. Para dukun dari dewa Kembu Yali langsung membunuh dua dari kedua puluh orang tersebut. Dua tahun kemudian, mereka membunuh misionaris Stan Dale dan Phillip Masters, menancapkan sekitar seratus panah ke tubuh masing-masing misionaris tersebut. Kemudian pemerintah Indonesia, yang juga merasa terancam oleh suku Yali, turun tangan untuk menghentikan pemberontakan selanjutnya. Takut oleh kekuatan pemerintah, suku Yali memutuskan mereka lebih memilih misionaris ketimbang prajurit. Tetapi para misionaris tidak menemukan analogi dalam budaya suku Yali untuk menjelaskan Injil kepada mereka. Misionaris lain dan saya mengadakan suatu “pemeriksaan budaya” yang sangat terlambat untuk mempelajari lebih lanjut tentang adat istiadat dan kepercayaan suku Yali. Suatu hari seorang pemuda Yali bernama Erariek membagikan suatu kisah kepada kami dari masa lalunya. Dia berkata, “Dahulu kala saudara saya yang bernama Sunahan dan seorang teman bernama Kahalek disergap musuh dari seberang sungai. Kahalek terbunuh, tetapi Sunahan lari ke sebuah tembok batu berbentuk lingkaran di dekat situ. Melompat ke dalamnya, membuka dadanya ke muka para musuhnya dan menertawakan mereka. Musuh-musuhnya langsung menurunkan senjata mereka dan lari.” Saya hampir menjatuhkan pena saya. “Mengapa mereka tidak membunuhnya?” Tanya saya. Erariek tersenyum. “Jika mereka menumpahkan setetes saja darah saudara saya sementara dia sedang berdiri di dalam dinding batu keramat itu?yang kita sebut osuwa?orang-orang dari suku mereka sendiri akan membunuh mereka.” Para pendeta suku Yali dan para misionaris yang bekerja sama dengan mereka sekarang memiliki sebuah alat penginjilan yang baru. Kristus adalah osuwa rohani, tempat sempurna untuk berlindung. Budaya Yali secara naluriah menggemakan pengajaran Kristen bahwa manusia membutuhkan sebuah tempat berlindung. Berabad-abad sebelumnya mereka telah mendirikan suatu jaringan osuwa di wilayah-wilayah di mana mereka sering berperang. Para misionaris telah memperhatikan dinding batu tersebut, tetapi tidak pernah menemukan signifikansinya yang penuh.
Bersambung ke Bagian 2