PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Alkitab dalam Penginjilan Dunia

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


John R. W. Stott

Stott.jpg
John R. W. Stott adalah Rektor Emeritus dari All Souls Church di London. Beliau menjabat sebagai Presiden dari London Institute for Contemporary Christianity dan sebagai Pendeta Tentara Ekstra bagi Ratu Inggris. Beliau telah menulis banyak buku, antara lain, Basic Christianity, Christian Mission in the Modern World, dan The Church and the World. John Stott telah berbicara dalam 5 konvensi misi mahasiswa Urbana. Selama 25 tahun beliau telah memimpin perjalanan misi ke lima benua yang disponsori oleh universitas
Tulisan di bawah ini diadaptasi dari ceramah yang disampaikan beliau pada konvensi Urbana tahun 1976. Dari buku You Can Tell the World karya John Stott, 1979, InterVarsity Christian Fellowship of the USA. Tulisan ini digunakan dengan izin dari InterVarsity Press, PO Box 1400, Downers Grove, IL . ivpress.com.

Tanpa Alkitab, penginjilan dunia bukan hanya tidak mungkin melainkan sesungguhnya tidak dapat dibayangkan. Alkitablah yang meletakkan kepada kita tanggung jawab untuk menginjili dunia, memberikan kita Injil untuk dikabarkan, mengatakan kepada kita bagaimana mengabarkannya dan menjanjikan kepada kita bahwa Injil itu adalah kekuatan Allah bagi keselamatan setiap orang yang percaya.

Lebih lagi, Alkitab merupakan fakta sejarah yang bisa diamati, baik mengenai masa lampau maupun masa kini, bahwa tingkatan komitmen gereja bagi penginjilan dunia sebanding dengan tingkatan keyakinan gereja terhadap otoritas Alkitab. Kapan pun orang Kristen kehilangan keyakinan mereka terhadap Alkitab, mereka juga kehilangan gairah bagi penginjilan. Sebaliknya, kapan pun mereka yakin terhadap Alkitab, maka mereka bertekad bagi penginjilan.

Saya akan mengembangkan empat alasan mengapa Alkitab harus ada bagi penginjilan dunia.

Daftar isi

Mandat bagi Penginjilan Dunia

Pertama, Alkitab memberikan kita mandat bagi penginjilan dunia. Kita jelas memerlukannya. Dua fenomena terlihat semakin berkembang di mana-mana. Pertama adalah fanatisme religius dan kedua pluralisme religius. Orang fanatik menunjukkan jenis kegairahan yang tidak rasional yang (jika dimungkinkan) akan menggunakan kekuatan untuk memaksakan kepercayaan atau menghapuskan ketidakpercayaan. Pluralisme religius mendorong kecenderungan yang berlawanan.

Kapan pun semangat fanatisme religius atau kebalikannya, ketidakpedulian religius menguasai, penginjilan dunia sangat ditolak. Orang fanatik menolak untuk mendukung rival yang diwakilkan oleh penginjilan, dan orang pluralis menolak tuntutan eksklusif dari Injil. Penginjil Kristen dianggap sebagai membuat penyusupan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ke dalam urusan pribadi orang lain.

Menghadapi perlawanan ini kita perlu mengerti dengan jelas tentang mandat apa yang Alkitab berikan kepada kita. Ini bukan hanya Amanat Agung, (sama pentingnya), tetapi seluruh penyataan yang ada dalam Alkitab. Saya akan mengulangi hal ini secara singkat.

Hanya ada satu Allah yang hidup dan sejati, Pencipta alam semesta, Tuhan segala bangsa dan Allah atas semua roh makhluk ciptaan. Sekitar 4.000 tahun yang lalu Dia memanggil Abraham dan membuat sebuah kovenan dengannya, berjanji bukan hanya memberkati Abraham tetapi juga melalui keturunannya untuk memberkati seluruh kaum di bumi (Kej. 12:1-4). Teks Alkitab ini merupakan salah satu batu fondasi misi Kristen. Karena keturunan Abraham (yang melaluinya semua bangsa akan diberkati) adalah Kristus dan umat Kristus. Jika melalui iman kita menjadi milik Kristus, kita juga adalah anak rohani Abraham dan mempunyai tanggung jawab terhadap umat manusia. Demikian juga para nabi Perjanjian Lama telah diberitahu sebelumnya tentang bagaimana Allah akan membuat Kristus sebagai pewaris dan terang bagi bangsa-bangsa (Mzm.2;8; Yer.42:6; 49:6).

Ketika Yesus datang, Dia mendukung janji-janji tersebut. Memang benar, selama pelayanan-Nya di bumi Dia dibatasi “kepada domba-domba yang hilang dari orang Israel” (Mat. 10:6; 15:24), tetapi Dia bernubuat bahwa banyak, “orang akan datang dari timur dan barat dan dari utara dan selatan,” dan akan “duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Surga” (Mat. 8:11; Luk. 13:29). Lebih jauh setelah kebangkitan-Nya dan dalam penantian akan kenaikan-Nya Yesus membuat pernyataan yang luar biasa bahwa “segala kuasa di sorga dan di bumi” telah diberikan kepada-Nya (Mat.28:18). Sebagai konsekuensi otoritas-Nya atas alam semesta inilah Dia memerintahkan para pengikut-Nya untuk menjadikan segala bangsa sebagai murid-Nya, membaptis mereka ke dalam komunitas-Nya yang baru dan mengajarkan mereka segala sesuatu yang telah diajarkan-Nya (Mat. 28:19).

Ketika Roh Kudus dari kebenaran dan kuasa turun ke atas mereka, orang Kristen mula-mula mulai menjalankan misi ini. Mereka menjadi saksi bagi Kristus sampai ke ujung bumi (Kis. 1:18). Lebih lanjut mereka melakukannya “karena nama-Nya” (Rom. 1:5; 3 Yoh. 7). Mereka tahu Allah telah meninggikan Yesus, menempatkan-Nya di sebelah kanan Allah dan memberi-Nya kedudukan tertinggi agar setiap lidah mengaku ketuhanan-Nya. Mereka merindukan bahwa Yesus harus menerima kehormatan sesuai dengan nama-Nya. Selain itu, pada suatu hari Dia akan datang dalam kemuliaan untuk menyelamatkan, untuk menghakimi dan untuk memerintah. Jadi apa yang akan memenuhi masa di antara dua kedatangan-Nya ini? Misi ke seluruh dunia oleh Gereja! Yesus berkata akhir zaman tidak akan datang sampai Injil telah diberitakan ke seluruh dunia (bdk. Mat. 24:14; 28:20; Kis. 1:8). Kedua ujung ini akan bertemu.

Oleh karena itu, mandat kita untuk penginjilan dunia adalah seluruh Alkitab. Mandat ini bisa ditemukan dalam tindakan penciptaan oleh Allah (Karena semua manusia sebagai makhluk ciptaan bertanggung jawab kepada-Nya), dalam karakter Allah (sebagai yang menjangkau, mengasihi, berbelas kasihan, tidak rela jika ada yang binasa, menginginkan agar semua bertobat), dalam janji-janji Allah (agar segala bangsa diberkati melalui keturunan Abraham dan menjadi pewaris Mesias), dalam Kristus Tuhan (sekarang ditinggikan dengan otoritas atas alam semesta, menerima pengakuan dari seluruh alam semesta), dalam Roh Allah (yang menyadarkan dosa, menjadi saksi bagi Kristus, dan mendorong gereja untuk menginjili) dan dalam Gereja Tuhan (yang terdiri dari berbagai bangsa, komunitas yang misioner, di bawah perintah untuk menginjili sampai Kristus kembali).

Dimensi global dari misi Kristen ini tidak bisa ditolak. OrangKristen secara individu dan gereja-gereja lokal yang tidak berkomitmen bagi penginjilan dunia sedang menyangkal (entah melalui ketidaktahuan atau ketidaktaatan) bagian esensial dari identitas yang Allah berikan kepada mereka. Mandat alkitabiah bagi penginjilan dunia tidak dapat dihindari.

Berita bagi Penginjilan Dunia

Kedua, Alkitab memberi kita berita bagi penginjilan dunia. Perjanjian Lausanne mendefinisikan penginjilan dalam istilah penginjil. Paragraf keempat dimulai dengan:

Menginjili adalah menyebarkan kabar baik bahwa Yesus Kristus telah mati bagi dosa-dosa kita dan telah dibangkitkan dari antara orang mati sesuai dengan Kitab Suci, dan sebagai Tuhan yang bertakhta, Kristus kini menawarkan pengampunan dosa dan Roh yang memerdekakan bagi semua yang bertobat dan percaya.

Berita kita berasal dari Alkitab. Meskipun demikian, ketika kita kembali ke Alkitab untuk mendapatkan berita tersebut, kita berhadapan dengan suatu dilema. Di satu sisi berita tersebut diberikan kepada kita. Kita tidak menciptakan kabar tersebut; berita tersebut telah dipercayakan kepada kita sebagai “deposit” yang berharga, di mana kita sebagai pelayan yang setia harus menjaga dan memeliharanya bagi rumah Allah (1 Tim. 6:20; 2 Tim. 1:12-14; 2 Kor. 4:1-2). Di sisi yang lain, berita tersebut tidak diberikan kepada kita sebagai suatu formula tunggal, rapih dan matematis, namun di dalam keragaman formula yang kaya, yang di dalamnya berbagai gambaran yang berbeda atau metafora digunakan.

Jadi hanya ada satu kabar baik, yang disetujui oleh para rasul (1 Kor. 15:11), dan Paulus mengatakan kutuk Allah dapat jatuh kepada setiap orang – termasuk dirinya – yang mengabarkan Injil yang “berbeda” dari Injil orisinil tentang kasih karunia Allah yang telah dikabarkan oleh para rasul (Gal. 1:6-8). Tetapi para rasul memberitakan kabar baik yang satu ini secara beragam – secara pengorbanan (pencurahan dan pemercikan darah Kristus), secara mesianik (terwujudnya pemerintahan yang telah Allah janjikan sebelumnya), secara legal (Hakim menyatakan orang yang bersalah menjadi tidak bersalah), secara personal (Bapa memperdamaikan anak-anak-Nya yang menyimpang), secara penyelamatan (Pembebas dari sorga turun untuk menyelamatkan yang tidak berdaya), secara kosmik (Tuhan alam semesta mengklaim kekuasaan-Nya atas alam semesta); dan ini baru sebagian.

Jadi kabar baik tersebut tetap satu kabar baik namun beragam. Kabar tersebut “diberikan,” tetapi diadaptasi secara kultural bagi pendengarnya. Sekali kita mengerti hal ini, kita terhindar dari membuat dua kesalahan yang berlawanan. Pertama adalah kesalahan yang saya sebut “keluwesan total.” Baru-baru ini saya mendengar seorang pemimpin gereja di Inggris menyatakan bahwa tidak ada yang namanya Injil sampai kita memasuki situasi di mana kita harus bersaksi. Kita tidak membawa apa-apa ke dalam situasi tersebut, kata pemimpin gereja tersebut; kita menemukan Injil hanya ketika kita telah tiba dalam situasi tersebut. Perhatikan, saya setuju sepenuhnya dengan kebutuhan untuk peka terhadap setiap situasi, tetapi jika ini poin yang ingin dikatakan oleh pemimpin gereja tersebut, dia menyatakannya terlalu berlebihan. Memang ada Injil yang dinyatakan atau diberikan itu dan kita tidak memiliki kebebasan untuk memalsukannya.

Kesalahan yang berlawanan dengan yang pertama saya sebut “kekakuan total.” Di dalam kasus ini si penginjil berlaku seolah-oleh Allah telah memberikan serangkaian formula yang tepat yang harus kita ulangi kata per kata, dan gambaran tertentu yang harus kita gunakan secara tetap. Hal ini membawa kepada perbudakan kata atau gambaran atau keduanya. Beberapa penginjil jatuh ke dalam penggunaan jargon yang basi, sedangkan yang lain merasa wajib di setiap saat untuk menyebut “darah Kristus” atau “pembenaran oleh iman” atau “kerajaan Allah” atau gambaran lainnya.

Di antara dua ekstrem ini ada cara ketiga dan yang lebih baik. Cara ini menggabungkan komitmen terhadap fakta pewahyuan dengan komitmen terhadap tugas kontekstualisasi. Cara ini menerima bahwa hanya formulasi alkitabiah dari Injil yang diterima sebagai norma yang permanen, dan bahwa setiap usaha untuk memberitakan Injil dalam ungkapan modern harus membenarkan dirinya sebagai suatu ekspresi otentik dari Injil yang alkitabiah.

Namun cara ini menolak untuk membuang formulasi-formulasi alkitabiah dan juga menolak untuk mengutip formulasi-formulasi tersebut secara kaku dan tidak imajinatif. Sebaliknya, kita harus terus terlibat dalam pergumulan yang terus menerus (melalui doa, belajar, dan diskusi) untuk menghubungkan Injil yang ada pada kita dengan situasi yang ada. Karena Injil datang dari Allah kita harus menjaganya; karena Injil dimaksudkan untuk dibagikan kepada manusia modern kita harus menafsirkannya. Kita harus menggabungkan kesetiaan (terus mempelajari teks Alkitab) dengan kepekaan (terus mempelajari keadaan masa kini). Hanya dengan begitu kita dapat berharap dengan kesetiaan dan relevansi untuk menghubungkan Firman kepada dunia, Injil kepada konteks, Kitab Suci kepada budaya.

Model bagi Penginjilan Dunia

Ketiga, Alkitab memberi kita model bagi penginjilan dunia. Selain berita (apa yang harus kita katakan) kita membutuhkan sebuah model (bagaimana kita harus mengatakannya). Alkitab menyediakan hal ini juga: karena Alkitab tidak hanya berisi Injil; Alkitab adalah Injil. Di seluruh Alkitab Allah sendiri sebenarnya yang sedang menginjili, yaitu, mengomunikasikan kabar baik kepada dunia. Anda pasti ingat pernyataan Paulus mengenai Kejadian 12:3 bahwa “Kitab Suci … telah lebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham” (Gal. 3:8). Seluruh Kitab Suci memberitakan Injil; Allah menginjili melalui Kitab Suci.

Jika Kitab Suci itu sendiri merupakan penginjilan ilahi, Alkitab dapat menjadi alasan mengapa kita dapat belajar bagaimana memberitakan Injil dengan mencermati bagaimana Allah telah melakukannya. Allah telah memberikan kita suatu model penginjilan yang indah di dalam proses inspirasi alkitabiah.

Hal yang langsung mengejutkan kita adalah keagungan Allah dalam perendahan diri-Nya. Allah memiliki kebenaran yang agung untuk dinyatakan tentang diri-Nya dan Kristus, belas kasih-Nya dan keadilan-nya, dan kepenuhan keselamatan-Nya. Dan Allah memilih untuk membukakan semuanya melalui kosa kata dan tata bahasa manusia, melalui manusia, gambaran dan budaya manusia.

Namun melalui media bahasa dan gambaran manusia yang rendah ini, Allah menyatakan Firman-Nya. Doktrin Injili kita tentang inspirasi Alkitab menekankan kepengarangan ganda. Manusia berbicara dan Allah berbicara. Manusia berbicara atas nama Allah (2 Ptr. 1:21) dan Allah berbicara melalui manusia (Ibr. 1:1). Kata-kata yang diucapkan dan ditulis sama sama dari Allah dan manusia. Allah menetapkan apa yang ingin dikatakan-Nya, tetapi tidak mematikan kepribadian manusia yang berbicara. Manusia menggunakan kemampuan mereka secara bebas, tetapi tidak mendistorsi pesan ilahi. Orang Kristen ingin menegaskan hal yang sama terkait dengan Inkarnasi, klimaks dari Allah yang mengomunikasikan diri-Nya sendiri. “Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Firman Allah yang kekal, yang sejak kekekalan telah bersama dengan Allah dan adalah Allah, agen yang melalui-Nya alam semesta diciptakan, menjadi manusia, secara khusus manusia Yahudi Palestina abad pertama. Dia menjadi kecil, lemah, miskin, dan rapuh. Dia mengalami derita dan lapar, dan terekspos kepada pencobaan.

Semuanya termasuk dalam “daging,” Ia menjadi seorang manusia. Tetapi, ketika Dia menjadi salah satu dari kita, Dia tidak berhenti menjadi diri-Nya. Dia tetap selamanya Firman Allah yang kekal atau Anak Allah.

Secara mendasar, prinsip yang sama diilustrasikan dalam inspirasi Kitab Suci dan inkarnasi Anak Allah. Firman menjadi daging. Allah mengomunikasikan diri-Nya melalui menjadikan diri-Nya sebagai manusia. Dia menjadi sama seperti kita, namun tanpa menghilangkan identitas-Nya. Prinsip “indentifikasi tanpa kehilangan identitas” inilah model bagi seluruh penginjilan, khususnya penginjilan lintas budaya.

Sebagian dari kita menolak untuk diidentifikasikan (disamakan) dengan orang-orang yang kita klaim sedang kita layani. Kita tetap menjadi diri kita, tidak menjadi seperti mereka. Kita tetap menjauh. Kita terus berpegang pada warisan budaya kita dalam pandangan yang keliru bahwa warisan tersebut merupakan bagian yang harus ada dari identitas kita. Kita tidak rela untuk melepaskannya. Kita bukan hanya mempertahankan berbagai praktik budaya kita dengan kekerasan hati yang garang, tetapi kita juga memperlakukan warisan budaya dari tempat yang kita adopsi tanpa rasa hormat yang patut diterimanya. Jadi kita mempraktikkan semacam penjajahan budaya ganda, memaksakan budaya kita sendiri kepada orang lain dan merendahkan budaya mereka. Ini bukan cara Kristus, yang mengosongkan diri-Nya sendiri dari kemuliaan-Nya dan merendahkan diri-Nya untuk melayani.

Utusan Injil lintas budaya lainnya melakukan kesalahan yang berlawanan dengan kesalahan di atas. Mereka begitu bertekad untuk mengindentifikasikan diri mereka dengan orang yang mereka layani sehingga mereka menyerahkan berbagai standar-standar dan nilai-nilai Kristen mereka. Sekali lagi, ini bukan cara Kristus, karena di dalam keadaan-Nya sebagai manusia pun Dia tetap Allah sejati. Perjanjian Lausanne mengekspresikan prinsip ini seperti demikian: “Para pemberita Injil Kristus harus dengan rendah hati berusaha mengosongkan diri mereka dari semua hal kecuali otentisitas pribadi mereka, untuk bisa menjadi pelayan bagi orang lain” (paragraf 10).

Kita harus bergumul dengan alasan-alasan mengapa orang menolak Injil, dan secara khusus memberi bobot terkait dengan berbagai faktor budaya. Beberapa orang menolak Injil bukan karena mereka melihat Injil sebagai sesuatu yang salah, tetapi mereka melihat itu sebagai sesuatu yang asing.

René Padilla dikritik di Lausanne [Kongres Penginjilan Dunia tahun 1974-ed.] karena mengatakan bahwa Injil yang dibawa oleh beberapa misionaris dari Eropa dan Amerika Utara berupa sebuah “budaya Kekristenan,” berita tentang kekristenan yang telah terdistorsi oleh budaya materialistik, konsumer dari dunia Barat. Sangat menyakitkan bagi kita orang Eropa mendengar dia berkata seperti itu, tetapi dia tentu saja benar. Setiap kita perlu menempatkan Injil yang kita beritakan kepada penyelidikan yang lebih kritis, dan dalam sebuah situasi lintas budaya, pengabar Injil asing perlu dengan rendah hati berusaha meminta pertolongan orang Kristen lokal untuk mencermati distorsi budaya dari berita mereka.

Sebagian orang yang lain menolak Injil karena mereka melihat Injil sebagai ancaman bagi budaya mereka sendiri. Kristus tentu saja menantang setiap budaya. Di mana pun kita mewartakan Injil, baik kepada orang Hindu atau Budha, Yahudi atau M, sekuler atau Marxis, Yesus Kristus mengonfrontasi mereka dengan tuntutan-Nya untuk mengganti apa pun yang menjadi kesetiaan mereka dengan kesetiaan kepada diri-Nya. Kristus adalah Tuhan dari setiap pribadi dan setiap budaya. Ancaman dan konfrontasi seperti itu tidak dapat dihindari.

Tetapi apakah Injil yang kita beritakan memberikan ancaman lain yang tidak perlu bagi orang yang kita beritakan, karena Injil yang kita beritakan mengharuskan penghapusan kebiasaan yang tidak merugikan atau tampak merusak kesenian, arsitektur, musik dan perayaan nasional, atau karena kita yang memberitakan Injil tersebut memiliki kesombongan budaya dan buta terhadap budaya lain?

Ringkasnya, ketika Allah berbicara kepada kita dalam Kitab Suci Dia menggunakan bahasa manusia, dan ketika Dia berbicara kepada kita melalui Kristus, Dia menjadi manusia. Agar dapat menyatakan diri-Nya, Dia mengosongkan dan merendahkan diri-Nya. Inilah model penginjilan yang Alkitab berikan kepada kita. Di setiap penginjilan yang otentik selalu ada pengosongan diri dan merendahkan diri; tanpa hal tersebut kita melawan Injil dan salah mewakili Kristus yang kita beritakan.

Kuasa bagi Penginjilan Dunia

Keempat, Alkitab memberikan kita kuasa bagi penginjilan dunia. Saya tidak perlu menekankan kebutuhan kita akan kuasa, karena kita menyadari betapa rapuhnya kemampuan manusia kita dibandingkan dengan besarnya tugas yang harus kita jalankan. Kita juga menyadari baju zirah merupakan pelindung bagi hati manusia. Lebih buruk lagi, kita menyadari akan realitas kebencian dan kekuatan setan, dan kekuatan kejahatan yang ada di bawah pimpinannya.

Orang canggih mungkin merendahkan kepercayaan kita, dan mengejeknya, untuk membuat lelucon mereka lebih masuk akal. Namun kita sebagai orang Kristen Injili cukup naif untuk percaya apa yang Yesus dan para rasul-Nya ajarkan. Bagi kita, fakta yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, tertuang dalam perkataan Yohanes, “seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat” (1 Yoh. 5:19). Karena sampai mereka dibebaskan oleh Yesus Kristus dan masuk ke dalam kerajaan-Nya, semua laki-laki dan perempuan adalah budak Setan. Lebih lagi, kita melihat kuasa si jahat dalam dunia masa kini – dalam kegelapan pemujaan berhala dan ketakutan terhadap roh, kepercayaan terhadap roh dan fatalisme, beribadah kepada dewa yang bukan Allah, keserakahan materialisme di dunia Barat, penyebaran komunisme ateistik, penyebaran bidat-bidat yang tidak masuk akal, kekerasan dan agresi, dan penurunan yang menyeluruh dari standar kebaikan dan kebenaran yang absolut. Semua hal di atas merupakan pekerjaan pribadi yang disebut Kitab Suci sebagai pembohong, penipu, pemfitnah dan pembunuh.

Konversi dan regenerasi orang Kristen adalah mujizat dari anugerah Allah. Keduanya merupakan puncak dari pertempuran antara kuasa Kristus dan Setan atau (dalam gambaran apokaliptis yang jelas) antara Anak Domba dan Naga. Perampasan rumah orang kuat hanya dimungkinkan karena orang kuat tersebut telah diikat oleh Dia yang lebih kuat, dan melalui kematian dan kebangkitan-Nya telah melucuti dan mengalahkan pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa kejahatan (Mat. 12:27-29; Luk. 11:20-22; Kol. 2:15).

Jika demikian bagaimana kita dapat masuk ke dalam kemenangan Kristus dan mengalahkan kuasa setan? Biarlah Luther yang menjawab pertanyaan kita: ein wörtlein will ihn fällen (“sebuah perkataan singkat akan mengalahkannya”). Ada kuasa dalam Firman Allah dan dalam pemberitaan Injil. Ekspresi yang paling dramatis mengenai hal ini dalam Perjanjian Baru kita temukan dalam 2 Korintus 4. Paulus menggambarkan “ilah zaman ini” telah “membutakan pikiran orang-orang yang tidak percaya, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus” (ay. 4 NIV).

Jika pikiran manusia telah dibutakan, bagaimana mereka dapat melihat? Hanya melalui Firman Allah. Karena Allahlah yang mengatakan “Dari dalam gelap akan terbit terang” Dia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita “beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (ay. 6). Rasul Paulus kemudian menyamakan hati yang belum diregenerasi dengan kekacauan di masa penciptaan dan menghubungkan regenerasi dengan perintah Allah, “Jadilah terang.”

Jika Setan membutakan pikiran manusia, dan Allah menerangi hati manusia, apa yang dapat kita harap untuk kontribusikan dalam perjumpaan ini? Apakah tidak lebih baik bagi kita untuk mundur dari medan pertempuran dan meninggalkan keduanya bertempur? Tidak, ini bukan kesimpulan yang didapat Paulus.

Sebaliknya, antara ayat 4 dan 6, yang menggambarkan aktivitas Allah dan Setan, ayat 5 menggambarkan pekerjaan pemberita Injil: “kami beritakan … Yesus Kristus sebagai Tuhan.” Karena terang yang ingin dihalangi setan agar tidak dilihat manusia dan terang yang diberikan Allah kepada manusia adalah Injil, maka kita perlu memberitakan Injil! Memberitakan Injil, jauh dari tidak perlu, merupakan hal yang harus dilakukan. Memberitakan Injil adalah sarana yang Allah tentukan untuk mengalahkan pangeran kegelapan dan agar terang dapat masuk ke dalam hati manusia. Ada kuasa dalam Injil Allah – kuasa-Nya yang menyelamatkan (Rom. 1:16).

Kita mungkin sangat lemah. Saya terkadang berharap kita lebih lemah lagi. Menghadapi kekuatan kejahatan, kita sering kali tergoda untuk menunjukkan kekuatan orang Kristen dan terlibat dalam percekcokan kecil dalam penginjilan. Tetapi di dalam kelemahan kita kekuatan Kristus menjadi sempurna dan perkataan manusia yang lemah dikuatkan oleh kuasa Roh. Jadi, ketika kita lemah kita kuat (1 Kor. 2:1-5; 2 Kor. 12:9-10).

Kabarkan Ke Seluruh Dunia!

Mari kita tidak menghabiskan seluruh kekuatan kita untuk berdebat mengenai Firman Tuhan; marilah kita mulai menggunakannya. Firman Tuhan akan membuktikan kalau Firman itu berasal dari Tuhan melalui kuasa ilahinya. Kabarkan ke seluruh dunia! Hanya ketika setiap misionaris dan penginjil mengabarkan Injil yang sesuai dengan Alkitab dengan kesetiaan dan kepekaan, dan setiap pengkhotbah merupakan seorang yang mengeksposisi Firman Tuhan dengan setia! Barulah Tuhan akan menyatakan kuasa-Nya yang menyelamatkan.

Tanpa Alkitab penginjilan dunia mustahil dilakukan. Karena tanpa Alkitab kita tidak memiliki Injil untuk diberitakan ke segala bangsa, tidak ada jaminan yang mengharuskan Injil diberitakan kepada mereka, tidak mengerti bagaimana mengerjakan tugas yang telah diberikan, dan tidak ada harapan akan keberhasilan. Alkitablah yang memberi kita mandat, berita, model dan kuasa yang kita perlukan bagi penginjilan dunia. Jadi marilah kita memilikinya kembali melalui belajar dengan tekun dan merenungkannya. Marilah kita mendengarkan panggilannya, mengerti pesannya, mengikuti pengarahannya dan percaya pada kuasanya. Marilah kita mengangkat suara kita dan memberitakannya.

Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas