PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Kerajaan Menyerang Balik: Sepuluh Periode dari Sejarah Penebusan

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Ralph D. Winter

Winter.jpg
Ralph D. Winter adalah Direktur Umum Frontier Mission Fellowship (FMF) di Pasadena, CA. Setelah melayani selama sepuluh tahun sebagai misionaris di antara orang Indian Mayan di dataran tinggi Guatemala, beliau dipanggil menjadi Profesor Misi di School of World Misson di Fuller Theological Seminary. Sepuluh tahun kemudian, beliau dan istri pertamanya, Roberta, mendirikan masyarakat misi yang disebut Frontier Mission Fellowship yang kemudian melahirkan U.S. Center for World Mission dan William Carey International University, di mana kedua institusi tersebut melayani orang-orang yang bekerja di garis depan misi

Manusia sesungguhnya telah menghapus kisahnya sendiri. Sejauh catatan paleologis (kepurbakalaan) apa pun yang kita miliki, umat manusia telah begitu sering bertarung satu sama lain dan telah menghancurkan lebih dari 90 persen hasil karya mereka sendiri. Perpustakaan mereka, literatur mereka, kota-kota mereka, karya seni mereka hampir seluruhnya sudah tiada. Bahkan yang kecil yang tersisa dari masa lalu dibingungkan dengan bukti-bukti kejahatan yang aneh dan menyeluruh, yang secara menjijikkan telah merusak potensi manusia. Ini aneh karena kelihatannya tidak ada spesies lain yang memperlakukan sesamanya dengan kebencian yang mematikan seperti itu. Tengkorak-tengkorak tertua merupakan saksi bisu bahwa mereka dihantam dengan keras dan dipanggang agar organ tubuhnya menjadi makanan bagi manusia lain.

Sejumlah besar bakteri penyakit juga memangkas pertumbuhan populasi. Populasi dunia pada masa Abraham diperkirakan sekitar 27 juta orang – kurang dari populasi California pada tahun 2000. Tetapi, pertumbuhan populasi yang lambat pada masa Abraham merupakan bukti mengerikan dari kombinasi menghancurkan antara wabah dan perang, keduanya menjadi saksi akan dampak dari Si Jahat. Rata-rata pertumbuhan populasi dunia waktu itu hanya seperenambelas dari rata-rata pertumbuhan global masa kini. Ketika kebencian dan penyakit ditaklukkan, populasi dunia langsung meningkat. Jika rata-rata pertumbuhan global masa kini yang relatif lambat terjadi di masa Abraham, populasi dunia kita yang sekarang ini (sekitar 6 milyar orang) telah dicapai hanya dalam waktu 321 tahun! Jadi, pada masa itu, kejahatan yang menghancurkan kehidupan pasti jauh lebih merajalela daripada sekarang. Jadi, tidak heran kita menemukan bahwa penjelasan bagi kejahatan yang aneh ini muncul dalam catatan tertulis tertua yang rinci – dokumen-dokumen yang bertahan yang dihormati oleh tradisi Yahudi, Kristen dan M, di mana para penganutnya terdiri dari lebih setengah populasi dunia. Dokumen-dokumen ini disebut “Torah” oleh orang Yahudi, “Kitab-kitab Taurat” oleh orang-orang Kristen dan “Taurat” oleh orang-orang M. Dokumen itu tidak hanya menjelaskan sumber kejahatan tetapi juga menggambarkan suatu serangan balik, dokumen tersebut mengikuti perkembangan serangan tersebut di sepanjang sejarah.

Lebih spesifik lagi, sebelas pasal pertama dari Kitab Kejadian yang membentuk suatu “pendahuluan” dari seluruh permasalahan, merupakan plot dari seluruh Alkitab. Halaman-halaman tersebut menggambarkan tiga hal: (1) ciptaan awal yang indah dan “baik”; (2) masuknya kejahatan memberontak dan merusak – manusia yang mau menjadi sama dengan Tuhan, tergoda oleh setan – sehingga menghasilkan, (3) kemanusiaan yang terperangkap dalam pemberontakan dan berada di bawah kuasa si jahat.

Seluruh Alkitab bukan hanya suatu kumpulan kisah yang tidak saling berhubungan seperti yang terkadang diajarkan di Sekolah Minggu. Namun, Alkitab terdiri dari drama tunggal: masuknya Kerajaan Allah, kuasa dan kemuliaan Allah yang hidup ke dalam wilayah yang dikuasai musuh. Mulai dari Kejadian 12 sampai akhir Alkitab, dan bahkan sampai pada akhir zaman, dibukakan suatu drama tunggal yang koheren tentang Kerajaan Allah yang menyerang balik. Ini akan menjadi judul bagi Alkitab itu sendiri jika dicetak secara modern (dengan Kejadian 1-11 sebagai pendahuluan bagi seluruh Alkitab). Di dalam drama yang sedang dibukakan ini kita melihat secara bertahap kuasa Allah yang tidak dapat ditolak menguasai kembali dan menebus ciptaan-Nya yang telah jatuh dengan memberikan Anak-Nya di pusat periode 4.000 tahun dimulai pada tahun 2000 SM. Secara ringkas ini dirangkum: “Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu” (1Yoh. 3:8).

Serangan balik melawan Si Jahat ini jelas tidak menunggu sampai Pribadi di pusat kisah ini muncul. Memang, saya melihat ada lima periode sebelumnya yang mendahului kedatangan Kristus dan juga lima periode sesudahnya. Tujuan utama dari artikel ini adalah menggambarkan lima periode setelah Kristus. Namun, agar periode ini terlihat sebagai bagian dari satu kisah tunggal yang dibukakan dalam sepuluh periode selama 4.000 tahun, kita akan memperhatikan beberapa petunjuk mengenai lima periode awal. Tema yang menghubungkan kesepuluh periode adalah anugerah Allah yang campur tangan dalam sebuah “dunia berada di bawah kuasa si jahat” (1Yoh. 5:19), melawan musuh yang sementara ini adalah “ilah zaman ini” (2 Kor. 4:4) agar bangsa-bangsa dapat memuji nama Allah. Rencana-Nya untuk melakukan hal ini adalah dengan menjangkau segala suku bangsa melalui memberikan “berkat” yang tidak biasa kepada Abraham dan keturunannya (anak-anak Abraham melalui iman), bahkan ketika kita berdoa “Datanglah Kerajaan-Mu.” Berlawanan dengan itu, rencana Si Jahat adalah menodai nama Allah. Si Jahat mendatangkan kebencian, memunculkan penderitaan dan kerusakan atas ciptaan Allah yang baik, bahkan mungkin juga merusak urutan DNA. Alat Setan mungkin termasuk membuat bakteri yang jahat untuk merusak kepercayaan terhadap karakter Allah yang pengasih.

Serangan balik Allah dilaksanakan melalui Berkat. Kata berkat dalam bahasa Inggris bukan merupakan terjemahan yang ideal. Kita melihat kata ini digunakan ketika Ishak memberikan “berkat” kepada Yakub dan bukan kepada Esau. Itu bukan “berkat-berkat” tetapi “berkat,” pemberian nama keluarga, tanggung jawab, tugas, dan hak istimewa. Itu bukan sesuatu yang dapat Anda terima atau dapatkan seperti sebuah kotak coklat di mana Anda bisa membawanya pergi dan makan sendirian dalam gua, atau suatu kekuasaan pribadi yang baru yang dapat Anda pertunjukkan seperti otot-otot Anda. Berkat itu merupakan sesuatu di mana Anda menjadi berada dalam suatu hubungan dan persekutuan yang permanen dengan Bapa di sorga. Itu mengembalikan “keluarga-keluarga,” yaitu, segala bangsa kepada rumah tangga Allah, kepada Kerajaan Allah, agar bangsa-bangsa tersebut “dapat memuji kemuliaan-Nya.”

Bangsa-bangsa tidak menyatakan kemuliaan Allah karena mereka kekurangan bukti akan kemampuan Allah untuk mengatasi kejahatan. Jika Anak Allah muncul untuk menghancurkan pekerjaan Iblis, apa yang harus dilakukan para pengikut Anak Allah dan para “pewaris kerajaan” untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya? Mereka yang seperti Abraham menerimanya karena iman dan menundukkan diri mereka kepada kehendak Allah akan mewakili penyebaran Kerajaan-Nya dan otoritas di dalam dan atas segala bangsa dan suku. Berkat Allah membawa tanggung jawab yang tidak terpisahkan, sesuai dengan makna asli dari “berkat,” yang akan kita telusuri di sepanjang sejarah.

Daftar isi

Lima Periode Pertama dari Kisah Berusia 4.000 Tahun

Kisah tentang “serangan balik” seperti yang kita lihat dalam Kejadian 12 dimulai sekitar tahun 2000 SM. Selama sekitar 400 tahun berikutnya, Abraham dipilih untuk memberkati bangsa-bangsa, dan pindah ke pusat geografis daratan Asia-Afrika. Pada masa Abraham, Ishak, Yakub dan Yusuf (yang sering disebut Periode Bapa-bapa Leluhur) hanya sedikit menunjukkan terobosan kesaksian bagi bangsa-bangsa di sekeliling mereka meskipun mandat utama untuk memulihkan kekuasaan Allah atas segala bangsa (Kej. 12:1-3) diulangi dua kali lagi kepada Abraham (18:18; 22:18), dan sekali pada Ishak (26:4) dan Yakub (28:14-15).

Yusuf mengomentari saudara-saudaranya, “Kalian menjual aku, tetapi Allah mengutus aku.” Maka dia sebenarnya merupakan berkat besar bagi bangsa Mesir. Bahkan Firaun mengetahui kalau Yusuf dipenuhi dengan Roh Allah (Kej. 41:38, TLB). Tetapi ini bukan sepenuhnya ketaatan misi yang disengaja seperti yang Allah inginkan. Contohnya, saudara-saudara Yusuf tidak memberi persembahan korban dan mengutus dia ke Mesir sebagai seorang misionaris! Allah sudah berada di dalam upaya misi entah mereka sudah atau belum, dan Ia memakai Yusuf untuk memberkati Mesir.

Empat periode berikutnya, masing-masing kasarnya kira-kira 400 tahun, yaitu 2). Masa Penawanan, 3). Masa Hakim-hakim, 4). Masa Raja-raja dan 5). Masa Pembuangan ke Babilonia dan penyebaran (diaspora). Di sepanjang masa yang sulit ini, berkat yang dijanjikan dan misi yang diharapkan (memperluas pemerintahan Allah kepada segala bangsa di seluruh dunia) sama sekali tidak terlihat. Akibatnya, bila mana mungkin, Allah menggenapi kehendak-Nya melalui ketaatan secara sukarela dari umat-Nya, tetapi ketika harus, Dia menggenapi kehendak-Nya melalui cara paksa. Yusuf, Yunus, bangsa Israel secara keseluruhan, ketika ditawan, mewakili kategori misi penjangkauan secara terpaksa (involuntary) di mana Allah mendesak penyebaran berkat tersebut. Anak perempuan yang dibawa dalam penawanan ke rumah Naaman orang Siria mampu membagikan imannya. Naomi, yang “pergi” ke tempat yang jauh, membagikan imannya kepada anak-anaknya dan istri-istri mereka yang bukan Yahudi. Di pihak lain, Ruth, menantunya, Naaman orang Siria, dan Ratu Syeba semua “datang” secara sukarela, tertarik dengan hubungan berkat dari Allah kepada Israel.

Perhatikan empat “mekanisme misi” berbeda yang berfungsi untuk memberkati semua suku bangsa yang lain: 1) pergi secara sukarela, 2) secara terpaksa pergi tanpa niat bermisi, 3) datang secara sukarela, dan 4) datang secara terpaksa (seperti orang bukan Yahudi yang dipaksa tinggal di Israel – 2 Raj. 17).

Kita dapat melihat di setiap periode perhatian aktif Allah terhadap misi-Nya, dengan atau tanpa kerjasama penuh dari umat pilihan-Nya. Ketika Yesus datang, itu merupakan suatu “kunjungan” yang menuduh. Dia datang kepada milik-Nya, dan “tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:11). Dia diterima dengan baik di Nazaret sampai Dia mengatakan keinginan Allah untuk memberkati orang-orang bukan Yahudi. Pada waktu Dia mengatakan hal tersebut (Luk. 4:28) ledakan kemarahan sampai hendak membunuh-Nya mengkhianati fakta bahwa bangsa terpilih ini – dipilih untuk menerima dan menjadi perantara berkat tersebut (Kel. 19:5-6; Mzm. 67; Yes. 49:6) – telah jauh menyimpang. Bahkan ada beberapa “pelajar Alkitab” fanatik yang “mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mempertobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu” (Mat. 23:15). Tetapi penjangkauan demikian bukan untuk menjadi berkat bagi segala bangsa tetapi demi mempertahankan dan melindungi Israel. Dan mereka tidak selalu memastikan kalau para petobat mereka sudah “disunat hatinya” (Ul. 10:16; 30:6; Yer. 9:24-26; Rom. 2:29).

Jadi, Yesus tidak hanya datang untuk memberikan Amanat Agung tetapi juga dalam pengertian lain mengambilnya keluar. Cabang asli dipatahkan sementara cabang “dari luar” dicangkokkan (Rom. 11:13-24). Tetapi, meskipun bangsa pilihan yang harusnya melakukan misi ini enggan melakukannya – sama seperti bangsa-bangsa lainnya di kemudian hari – banyak kelompok suku bangsa yang diberkati karena kesetiaan dan kebenaran dari sebagian mereka. Kelompok-kelompok tersebut: orang Kanaan, Mesir, Filistin (dari budaya Minoan kuno), Hitit, Moab, Fenisia (Tirus dan Sidon), Asyur, Syeba (tanah ratu Syeba), Babilonia, Persia, Partia, Media, Elam dan orang Roma.

Lima Periode Berikutnya dari Kisah Berusia 4.000 tahun

Periode 2.000 tahun berikutnya adalah satu periode di mana Allah, melalui campur tangan Anak-Nya, memastikan agar bangsa-bangsa yang lain juga diberkati dan sama-sama dipanggil “untuk menjadi berkat bagi segala kaum di muka bumi.” Di semua situasi, “Kepada siapa diberi lebih, kepadanya akan dituntut lebih.” Di dalam periode ini, kita melihat “serangan balik” Kerajaan Allah dalam wilayah orang Armenia, Romawi, Celtic, Frank, Anglo, Saxon, Jerman, dan akhirnya juga perompak kafir jauh di utara yang disebut Viking. Orang-orang ini diserbu, ditaklukkan dan ditundukkan oleh kuasa Injil dan pada gilirannya diharapkan juga bisa membagikan “berkat” tersebut kepada suku bangsa lain (bukan dengan merampok mereka).

Tetapi dalam satu pengertian tertentu lima periode ini tidak begitu berbeda dari lima periode pertama. Bangsa-bangsa yang diberkati juga tidak begitu rindu membagikan berkat unit tersebut dan memperluas kerajaan yang baru ini. Suku Celtic merupakan bangsa yang paling aktif di awal millennium dan memberikan suatu respons misi yang istimewa. Kita akan melihat – seperti dalam Perjanjian Lama – pemberian berkat unik ini akan membawa tanggung jawab yang serius yang berbahaya jika tidak dipenuhi. Kita juga akan melihat berulang kali Allah menggunakan secara penuh keempat mekanisme misi-Nya.

Di samping penjajahan berdarah di masa kehadiran Kristus, Roma merupakan sebuah alat di tangan Allah untuk mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Nya. Roma menguasai salah satu kerajaan terbesar di dunia yang pernah ada, memaksakan kedamaian Roma (“Pax Romana”) ke atas semua suku bangsa barbar. Selama berabad-abad kaisar Roma telah membangun sistem komunikasi yang luas, menggunakan 250.000 mil jalan darat yang melintasi seluruh kerajaan dan sebuah transmisi berita dan dokumen yang cepat seperti Pony Express di wilayah terluar Amerika pada waktu silam. Dalam penaklukannya, Roma mendapatkan setidaknya satu peradaban yang jauh lebih maju daripada mereka – Yunani. Pekerja seni dan guru yang sangat terdidik ditawan sebagai budak di seluruh kota besar dalam kerajaan, di mana mereka mengajar bahasa Yunani. Bahasa Yunani kemudian dimengerti dari Inggris ke India. Sama pentingnya bagi tesis kita adalah ketaatan dan kebenaran yang tidak terlihat namun ada di seluruh kerajaan – kehadiran orang Yahudi diaspora, lebih dihormati di wilayah penyebaran mereka ketimbang di tempat asal mereka! Para sarjana setuju bahwa jumlah mereka telah bertambah hingga 10 persen dari populasi Roma. Elemen yang kuat dalam kehadiran orang Yahudi ini – mereka yang “disunat hatinya” – memainkan peran besar dalam menarik banyak orang bukan Yahudi di sekitar sinagoge. Banyak orang bukan Yahudi ini, seperti rumah tangga Kornelius, menjadi pendengar dan pemuja Alkitab yang sungguh-sungguh – Perjanjian Baru menyebutnya “orang-orang yang beribadah” atau “orang yang takut akan Allah.” Hal ini membuat iman melampaui batasan etnis! Orang-orang yang takut akan Allah ini menjadi rel besi yang di atasnya gerakan Kristen diperluas. Gerakan ini pada dasarnya merupakan iman Yahudi dalam jubah bukan Yahudi, ini merupakan sesuatu yang – perhatikan karena ini penting – sulit dimengerti oleh orang Yahudi yang taat.

Bagaimana lagi kitab-kitab Injil dan beberapa surat dari rasul Paulus bisa memperoleh dampak yang begitu luas di dalam begitu banyak kelompok etnis yang beragam dalam periode waktu yang begitu singkat?

Berhenti dan renungkan: Yesus datang, hidup selama 33 tahun di bumi, mengonfrontasi bangsa-Nya yang seharusnya bermisi namun tidak bersemangat melakukannya, ditolak oleh banyak orang, disalibkan dan dikubur, bangkit kembali, dan sebelum kembali kepada Bapa-Nya menekankan kembali amanat yang telah berlangsung lama kepada semua yang mau berespons. Pada hari ini bahkan sejarawan yang paling agnostik terkagum-kagum melihat apa yang dimulai di sebuah kandang yang hina di Betlehem Palestina, tempat yang terbelakang dalam Kerajaan Romawi, dalam waktu kurang dari 300 tahun diberikan kekuasaan di istana Kaisar di Roma. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ini sungguh merupakan kisah yang luar biasa.

Tidak Ada Orang Kudus di Abad Pertengahan?

Sebaiknya kita berhenti sebentar di sini. Jika Anda belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya Anda mungkin dapat menghadapi masalah psikologis. Di kalangan gereja pada masa ini, kita telah melarikan diri, takut atau melupakan abad-abad pertengahan ini. Saya harap, semakin sedikit dari kita yang berpikir dalam istilah yang disebut teori “BOBO” – bahwa iman Kristen sepertinya “Ter-Tutup” (Blinked Out) setelah zaman para rasul dan “Ter-Buka” (Blinked On) kembali pada masa kini, atau pada masa “para nabi” modern muncul, apakah itu Luther, Calvin, Wesley, Joseph Smith, Ellen White atau John Wimber. Hasil dari pendekatan BOBO ini adalah Anda memiliki orang-orang kudus “awal” dan “orang-orang kudus “akhir”, tetapi tidak ada orang kudus di abad pertengahan.

Jadi, banyak kaum Injili sering kali tidak terlalu berminat dengan apa yang terjadi sebelum Reformasi Protestan. Mereka memiliki kesan yang kabur bahwa gereja murtad sebelum Luther dan Calvin, dan apakah memang ada Kekristenan sejati pada masa itu yang terdiri dari beberapa orang individu yang mengalami penganiayaan. Sebagai contoh, dalam buku yang berjilid banyak Twenty Centuries of Great Preaching, hanya setengah dari jilid pertama didedikasikan untuk membahas 15 abad pertama! Dalam Sekolah Minggu Injili, anak-anak kecil disibukkan dengan kisah karya Allah dari Kejadian sampai Wahyu, dari Adam sampai para rasul – dan penerbit buku Sekolah Minggu mungkin membanggakan diri tentang “kurikulum berbasis Alkitab” mereka. Tetapi ini artinya anak-anak ini tidak terekspos sama sekali mengenai hal-hal yang Allah buat dengan Alkitab antara masa para rasul dan para reformator, suatu periode yang memiliki bukti luar biasa akan kuasa unik dari Alkitab! Bagi banyak orang, sepertinya “tidak ada orang kudus di abad pertengahan.”

Dengan keterbatasan ruang saat ini, saya hanya bisa membahas kisah serangan balik Kerajaan Allah bagian dunia Barat saja – dan hanya garis besarnya saja. Akan sangat membantu jika kita mengetahui beragam wilayah budaya di mana invasi terjadi. Buku karya Kenneth Scott Latourette History of Christianity memberikan detail yang luar biasa mengenai hal ini, buku ini membahas rentang waktu kisah ini melampaui zaman Alkitab. (Buku yang lebih bernilai dari buku apa pun, di luar Alkitab!) Perhatikan pola yang ditunjukkan dalam bagan di halaman 154. Istilah “kebangkitan” yang dipakai Latourette mirip dengan “renaisans” yang kita pakai.

Dalam Periode I, Roma “dimenangkan” tetapi mereka tidak menjangkau orang-orang Celtic dan Goth dengan Injil. Mungkin sebagai hukumannya, orang Goth menyerang Roma dan seluruh wilayah barat (Latin) hingga kalah.

Dalam Periode II, Orang-orang Goth juga dimenangkan, dan mereka dan orang dari bangsa lain meskipun singkat mencapai sebuah Kerajaan Romawi “Kudus” yang baru. Tetapi kerajaan ini tidak secara efektif menjangkau lebih jauh ke utara dengan Injil.

Dalam Periode III, sekali lagi, sepertinya sebagai hukuman, orang-orang Viking menyerang orang-orang barbar Celtic dan Gothic yang sudah dikristenkan ini. Akibatnya orang-orang Viking juga menjadi Kristen.

Dalam Periode IV, Eropa yang sekarang dipersatukan untuk pertama kalinya oleh iman Kristen, menjangkau orang-orang M dalam suatu usaha misi palsu yang dikenal dengan Perang Salib.

Dalam Periode V, Eropa sekarang menjangkau ke ujung bumi, tetapi tetap memiliki motivasi yang sangat bercampur, dibubuhi kepentingan komersial dan rohani yang mendatangkan kerusakan dan berkat. Namun, selama periode ini, seluruh dunia non-Barat tiba-tiba digerakkan dalam pertumbuhan seraya penguasa kolonial mengurangi perang dan penyakit secara drastis. Belum pernah terjadi sebelumnya ada tindakan yang begitu mempengaruhi banyak orang, meskipun juga belum pernah ada jurang pemisah yang demikian besar antara kedua belahan dunia. Apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun kemudian?

Akankah dunia non-Barat yang sudah semakin kuat akan menyerang Eropa dan Amerika sama seperti orang Goth menyerang Roma dan orang Viking meratakan Eropa? Akankah “Dunia Ketiga” menyerang ke dalam serangkaian serangan “barbar” yang baru? Akankah bangsa-bangsa yang tergabung dalam OPEC, atau orang Tiongkok berangsur-angsur memborong saham dan mengambil alih kita? Jelas, kita menghadapi reaksi dari kebangkitan dunia non-Barat yang tiba-tiba tidak dapat lagi kita kendalikan. Akan jadi apakah peran dari Injil? Bisakah kita mendapat pengertian dari siklus penjangkauan sebelumnya?

Periode I: Memenangkan Orang Romawi, 0-400 Masehi

Mungkin kemenangan Kekristenan yang paling spektakuler dalam sejarah adalah mempertobatkan (atau “menaklukkan”) dari kerajaan Romawi dalam jangka waktu kira-kira 200 tahun. Ada banyak lagi yang perlu kita ketahui mengenai pertumbuhan Kekristenan di sepanjang periode ini, yang agak misterius, khususnya jika kita tidak mempertimbangkan lapisan bawah orang Yahudi.

Untungnya, bagian awal dari kisah ini dihiasi dengan limpahan cahaya pencerahan dari surat-surat dalam Perjanjian Baru itu sendiri.

Di dalam surat-surat tersebut kita melihat seorang Yahudi bernama Paulus dibesarkan dalam sebuah kota Yunani, berkomitmen terhadap kepemimpinan dari tradisi Yahudi pada masanya. Tiba-tiba dia diubahkan oleh Kristus dan secara berangsur-angsur mulai melihat bahwa esensi iman Yahudi yang digenapi dalam Kristus dapat beroperasi tanpa jubah Yahudi. Paulus menyadari bahwa sunat dalam hati dapat dibungkus di dalam bahasa dan budaya Yunani seperti halnya Semit! Seharusnya amat jelas bagi semua orang bahwa siapa pun dapat menjadi orang Kristen dan ditransformasi manusia batiniahnya oleh Kristus, entah dia orang Yahudi, Yunani, Barbar, Skitia, budak, orang merdeka, pria atau wanita. Orang Yunani tidak harus menjadi Yahudi – melakukan sunat secara fisik, mengambil alih kalender atau hari raya Yahudi bahkan melakukan kebiasaan puasa Yahudi – sama seperti seorang wanita diharuskan menjadi pria agar dapat diterima oleh Allah. Apa yang sejak dulu diharuskan adalah “ketaatan iman” (Rom. 1:5; 16:26).

Paulus mendasarkan pekerjaannya pada prinsip Alkitab yang radikal (tidak diterima oleh banyak orang Yahudi pada masanya) yaitu sunat hati yang diperhitungkan (Yer. 9), dan bahwa orang percaya baru dari budaya yang baru tidak diharuskan untuk berbicara bahasa, mengenakan pakaian, atau mengikuti adat kebiasaan dari gereja pengutus. Bagi orang Yunani ini berarti segala detail budaya dari hukum Yahudi bukan lagi suatu keharusan. Oleh karena itu, bagi orang-orang Yahudi, Paulus terus hidup sebagai seseorang “yang hidup di bawah hukum Musa,” tetapi bagi mereka yang tidak biasa dengan hukum Musa, dia memberitakan “hukum Kristus” dalam cara yang dapat dipenuhi secara dinamis dan autentik dalam lingkungan yang baru. Meskipun bagi sebagian orang Paulus terlihat “tanpa taurat,” dia melihat bahwa dirinya bukan tanpa taurat di hadapan Allah. Memang, sejauh berkaitan dengan tujuan dasar dari Hukum Musa, orang-orang percaya Yunani serta-merta mengembangkan fungsi yang sejajar dengan Hukum Musa dalam budaya mereka sendiri sementara sebagian besar dari mereka juga memegang versi Yunani dari apa yang sering disebut Perjanjian Lama. Lagi pula, Perjanjian Lama merupakan “Alkitab di masa gereja Kristen mula-mula” (juga bagi orang Yahudi), yang sejak awal membawa mereka percaya.

Kita mungkin mendapat kesan bahwa kegiatan misi dalam periode ini memanfaatkan sangat sedikit upaya terorganisasi yang sengaja. Kesan tersebut mungkin diperoleh hanya karena strukturnya transparan: Paulus tampaknya bekerja di dalam struktur “tim misi” yang populer dipakai oleh orang Farisi – bahkan oleh Paulus sendiri ketika dia masih menjadi seorang Farisi! Jemaat Antiokhia yang mengutus Paulus pasti mengambil sebagian tanggung jawab. Namun, pada dasarnya, mereka “membiarkan dia pergi” ketimbang “mengutusnya untuk pergi.” Tim seperjalanannya memiliki otoritas penuh dari sebuah gereja lokal. Dia tidak mencari mandat dari Antiokhia.

Ada alasan yang sangat baik menganggap bahwa iman Kristen disebarkan ke banyak wilayah melalui mekanisme “pergi secara terpaksa” karena orang Kristen sering tersebar sebagai akibat penganiayaan. Kita tahu bahwa orang Kristen Arian yang melarikan diri banyak kaitannya dengan pertobatan dari orang-orang Goth. Kita memiliki kisah mengenai Ulfilas dan Patrick yang upaya misi mereka dimulai karena peristiwa penangkapan mereka.

Lagi pula, masuk akal untuk menganggap bahwa Kekristenan mengikuti rute perdagangan Kerajaan Romawi. Kita tahu bahwa ada hubungan yang dekat dan korespondensi di antara orang Kristen di Galia dan Asia Kecil. Namun kita harus menghadapi fakta bahwa orang Kristen mula-mula di Kerajaan Romawi (dan orang Kristen pada masa kini!) jarang mau dan mampu mengambil langkah-langkah praktis secara sadar untuk memenuhi Amanat Agung. Akan tetapi, melihat hasil yang luar biasa pada masa awal ini, kita semakin kagum melihat kuasa yang sudah ada di dalam Injil itu sendiri.

Satu kemungkinan yang menarik dari penyaluran Injil secara alami di dalam suatu unit sosial yang ada adalah kasus yang terjadi pada orang-orang Celtic (rumpun suku Irlandia, Skotlandia, Wales, dan Britania). Penelitian sejarah menjelaskan bagi kita bahwa propinsi Galatia di Asia Kecil disebut seperti itu karena propinsi tersebut ditempati oleh Galatoi dari Eropa Barat (yang sampai abad keempat masih berbicara menggunakan bahasa asli Celtic mereka dan juga bahasa Yunani yang merupakan bagian dari Kerajaan Romawi). Entahkah jemaat Galatia dari Paulus hanyalah para pedagang Yahudi yang tinggal di propinsi Galatia, atau sejak awal merupakan orang Galatoi Celtic yang tertarik ke sinagoge sebagai “orang-orang yang takut akan Allah,” kita mencatat, apa pun itu, surat Paulus kepada jemaat Galatia khususnya sangat prihatin terhadap orang-orang yang memaksakan kepada pembaca suratnya (Galatia) kebiasaan lahiriah semata dari budaya Yahudi, dan mencampurkan kebiasaan itu dengan iman alkitabiah yang esensial yang telah diberitakan kepada orang Yahudi dan Yunani (Rom. 1:16).

Sebuah perkara berkenaan dengan kepentingan misi yang kuat adalah fakta bahwa pemberitaan Paulus di Galatia telah masuk ke dalam urat nadi budaya kemanusiaan Celtic yang bisa saja segera mencakup hubungan teman-teman, keluarga dan sejawat dagang menjangkau suatu wilayah yang luas di Barat. Jadi, upaya Paulus di Galatia memberikan kita satu petunjuk tentang masuknya Injil pada masa awal ke wilayah Celtic di Eropa, yang mencakup suatu kelompok wilayah yang membentang dari Eropa Selatan sampai Galicia di Spanyol, Brittany di Prancis dan hingga ke belahan barat dan utara Kepulauan Inggris.

Ada masa di mana tidak hanya ratusan ribu warga Romawi dan Yunani menjadi Kristen, tetapi orang-orang yang berbahasa Celtic dan suku bangsa Goth juga percaya dan mengembangkan bentuk iman alkitabiah mereka sendiri, semuanya di dalam dan di luar batasan dari Kerajaan Romawi. Sangat mungkin pekerjaan misi di balik semua hasil tersebut terjadi sebagian besar melalui proses yang tidak direncanakan yang melibatkan orang Kristen dari bagian timur Kerajaan Romawi. Apa pun kasusnya, pencapaian ini tidak bisa dianggap berasal dari insiatif misi yang direncanakan oleh orang-orang Romawi yang berbahasa Latin di Barat. Inilah poin yang ingin kami buat dalam tulisan ini.

Satu buktinya adalah fakta bahwa rumah basis misi dari orang Irlandia yang paling awal (dibedakan dari tipe Latin-Romawi oleh kapel utama) mengikuti rencana dasar yang berasal dari pusat Kekristenan di Mesir. Dan bahasa Yunani, bukan Latin, yang adalah bahasa dari gereja-gereja mula-mula di Galia. Bahkan usaha misi pertama yang terorganisasi dari John Cassian dan Martin of Tours, contohnya, berasal dari Timur dengan memakai struktur komune (paguyuban) yang dimulai dari Siria dan Mesir. Untungnya, usaha terorganisasi ini disertai penekanan yang kuat akan kemampuan baca dan tulis (literasi) dan mempelajari serta menyalin manuskrip alkitabiah dan literatur klasik Yunani kuno.

Sama seperti para pemimpin kafir melihat, dampak menyeluruh dari bentuk baru dan yang lebih bisa diterima akan iman alkitabiah ini bertumbuh dengan sangat pesat pada tahun 300. Kita tidak tahu dengan cukup yakin alasan pribadi Konstantin pada tahun 312 menyatakan dirinya Kristen. Kita tahu bahwa ibunya di Asia Kecil adalah orang Kristen, dan ayahnya sebagai salah satu pemimpin di Galia dan Britania tidak memaksakan (dalam wilayahnya) keputusan Diocletian yang memerintahkan untuk menganiaya orang Kristen. Namun, pada waktu itu, faktor sejarah yang tidak bisa dilewatkan adalah sudah ada cukup banyak orang Kristen di dalam Kerajaan Romawi untuk membuat suatu kebijakan perubahan resmi terhadap Kekristenan, bukan hanya yang secara layak dapat dikerjakan, melainkan juga bijaksana secara politis. Saya mengingat sebuah kuliah yang dibawakan oleh almarhum Profesor Lynn White, Jr. dari UCLA, salah satu sejarawan abad pertengahan yang terkemuka. Beliau mengatakan bahwa meskipun Konstantin tidak menjadi orang Kristen, kerajaan tersebut tidak dapat lagi mengatasi Kekristenan satu dua dekade kemudian! Perkembangan Kerajaan Romawi yang begitu lama telah mengakhiri otonomi lokal dari kota-negara dan menciptakan suatu kebutuhan yang meluas akan rasa memiliki – beliau menyebutnya krisis identitas. Pada masa itu Kekristenan merupakan satu-satunya agama yang tidak memiliki nasionalisme pada akarnya, sebagian karena Kekristenan ditolak oleh orang Yahudi! Agama Kristen juga bukan agama dari salah satu suku bangsa. Mengutip perkataan White, agama Kristen telah mengembangkan “kombinasi yang tidak terkalahkan.” Namun, kebajikan ini menjadi berkat yang tercampur ketika Kekristenan menjadi satu dengan Kerajaan.

Jadi, kekuatan gerakan itu sendirilah yang menjelaskan mengapa keputusan penting dari kekaisaran untuk menerima Kekristenan secara hampir tak terelakkan memastikannya menjadi (lebih kurang 50 tahun kemudian) agama resmi kerajaan Romawi. Tidak lama setelah tirai kebangkitan Kekristenan diterima secara resmi sebagai agama, kepala komunitas Kristen di Roma ternyata adalah orang yang paling kuat dan terpercaya di sana. Itulah mengapa Konstantin, ketika dia memindahkan kursi pemerintahan di Konstantinopel, meninggalkan istananya (Lateran Palace yang terkenal) kepada komunitas Kristen sebagai “Gedung Putih-”nya Roma. Apa pun kasusnya, catatan sejarah menyatakan bahwa pada tahun 375, Kekristenan telah menjadi agama resmi Romawi. Jika agama Kristen hanyalah pemujaan berbasis etnis, Kekristenan bahkan tidak mungkin menjadi kandidat sebagai agama resmi Kerajaan Romawi.

Ironisnya, ketika Kekristenan disamakan dengan tradisi budaya dan politik Romawi, ia cenderung secara otomatis mengasingkan semua yang anti-Romawi. Ini menciptakan kecurigaan dan kemudian menghasilkan pembantaian menyeluruh terhadap orang Kristen di luar perbatasan Kerajaan Roma di Arab dan Persia. (Penindasan ini berhenti setelah 3 tahun, ketika kaisar Romawi [Julian the Apostate] menentang Kekristenan dan berusaha kembali kepada dewa-dewa kafir!) Sementara itu, bahkan dalam kasus populasi yang anti Romawi di dalam kerajaan, seperti di Afrika Utara, dasar telah diletakkan bagi orang-orang yang kemudian akan menjadi M sebagai alternatif. Di satu sisi, M adalah sebuah pemisahan diri secara budaya dari Kekristenan sama seperti Kekristenan dari Yahudi membentuk iman alkitabiah. Mirip dengan itu, “M kulit hitam” Amerika hari ini dengan sengaja menolak Kekristenan sebagai agama orang “kulit putih.”

Jadi, kemenangan politik dari apa yang akhirnya dikenal sebagai Kekristenan pada kenyataannya merupakan berkat yang tercampur. Iman alkitabiah dapat memakai pakaian selain Yahudi, Kekristenan sekarang berpakaian jubah Romawi. Namun, jika pakaian-pakaian baru ini merupakan keharusan, agama Kristen tidak mungkin diharapkan menyebar melampaui batasan politik dari Kerajaan Romawi. Hal ini tidak terjadi, kecuali di barat. Mengapa bisa demikian?

Ketika Kekristenan menjadi agama resmi Kerajaan Romawi, ia kurang diperlengkapi dengan bentuknya yang sekarang untuk menyelesaikan Amanat Agung ke populasi lainnya yang anti Romawi. Seperti yang kita duga, hanya Kekristenan dari variasi bidat yang diterima oleh suku-suku di Jerman ketika Roma masih kuat secara militer. Tetapi ketika orang-orang di suku tersebut menemukan kemungkinan untuk menyerang dan menaklukkan setengah wilayah barat Kerajaan Romawi, iman Kristen yang Universal dan Orthodoks tidak lagi menjadi ancaman. Orang-orang Goth dan lainnya sekarang dapat berusaha memiliki prestise bahasa dan budaya Romawi tanpa dikuasai oleh tentara Romawi.

Namun, perhatikan, konsekuensi dari ancaman sebagian orang Goth barbar yang menjadi Kristen terhadap Roma: sebagai pertahanan, orang Romawi menarik pasukan mereka keluar dari Inggris. Hasilnya, tiga abad kemampuan baca tulis Romawi di Inggris selatan punah dengan adanya penyerangan baru orang barbar – Anglo, Saxon dan Frisian yang, dibandingkan dengan Goth, adalah orang-orang yang sepenuhnya kafir, kejam dan merusak. Apa yang akan terjadi sekarang? Jadi mulailah bagian “Pertama” dari dua Masa Kegelapan.

Periode II: Memenangkan Orang-orang Barbar (400-800)

Ketika suku yang lebih awal (Goth) dikristenkan ke dalam suatu bentuk iman Arian yang antagonistik, mereka menjadi ancaman militer yang semakin besar bagi Roma. Hal yang membuat ancaman ini benar-benar mengancam adalah suku Hun yang menyerang Eropa dari Asia Tengah. Ini mendesak orang-orang Visigoth yang panik (dan kemudian Ostrogoth dan Vandals) ke dalam Kerajaan. Di dalam pergolakan dan kebingungan, penyerangan mendadak suku ini secara tidak sengaja merusak seluruh jaringan pemerintahan sipil di Barat (pada masa kini Italia, Spanyol, dan Afrika Utara). Di kemudian hari mereka berusaha secara serius untuk membangunnya kembali. (Bukankah ini seperti kekacauan di masa sesudah kolonialisme di Afrika setelah Perang Dunia Kedua?)

Satu-satunya alasan kota Roma sendiri tidak dihancurkan secara fisik oleh penyerangan yang pada akhirnya tiba di gerbang kota Roma pada tahun 410 adalah orang-orang barbar Goth ini. Mereka sebenarnya sangat menghormati kehidupan dan harta milik, terutama gereja-gereja. Merupakan suatu keuntungan besar bagi warga Romawi bahwa pada masa awal usaha misi secara informal – di mana orang Kristen Latin di Roma tidak bisa mengatakan itu usaha mereka – telah menjadikan suku-suku bangsa ini setidaknya masuk kepada iman Kristen yang tidak mendalam. Bahkan orang-orang Romawi sekuler mengamati betapa beruntungnya mereka bahwa penyerangnya memiliki standar moralitas Kristen yang tinggi. (Tidak demikian dengan orang-orang Anglo dan Saxon yang menyerang Inggris).

Kita tergoda oleh refleksi bahwa hal ini banyak dihasilkan melalui penyebaran Injil yang tidak resmi dan hampir secara tidak sadar – yaitu, berita dan otoritas berkat diperluas ke seluruh bangsa bukan Yahudi. Betapa jauh lebih baik jika orang-orang Romawi – selama jangka waktu ratusan tahun yang pendek dengan kemajuan resmi di masa puncak mereka (310-410) sebelum orang Goth pertama kali menyerang kota Roma – memberikan tenaga dan upaya misi yang kuat? Bahkan Kekristenan yang bersifat bidat mencegah orang-orang barbar ini untuk merusak total peradaban seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Viking pada periode ketiga. Mungkin sedikit usaha misi lagi dapat mencegah kehancuran total struktur pemerintahan Kerajaan Romawi di Barat. Sebagai contoh, pada masa kini, kemampuan negara-negara Afrika pasca kolonisasi untuk memelihara pemerintahan yang stabil sebagian besar tergantung pada tingkatan kristenisasi mereka (baik pengetahuan dan moral).

Dalam kasus apa pun, kita menghadapi fenomena di mana orang-orang dari suku yang barbar yang sebagian telah dikristenkan menjadi berani dan mampu menyerang kerajaan yang secara resmi adalah kerajaan Kristen yang telah gagal secara efektif untuk menjangkau mereka.

Entahkah orang Romawi tahu atau tidak hal ini akan terjadi (karena gagal menjangkau mereka), dan entahkah orang-orang barbar ini menjadi berani dan tidak terlalu brutal dalam penyerangan mereka karena pengaruh awal dari Kekristenan, fakta yang tak terbantahkan adalah meskipun Romawi kehilangan setengah kerajaannya di barat, dunia barbar, dalam makna yang sangat dramatis, memperoleh iman Kristen.

Hasil langsungnya: di dalam kota Roma terdapat dua “denominasi,” yang pertama Arian dan yang lainnya Athanasian. Di sana juga ada “gereja” Celtic, yang lebih merupakan rumah basis kelompok misionaris ketimbang suatu denominasi yang terbentuk dari gereja-gereja lokal. Kaum Benediktin kurang tampak seperti gereja. Mereka datang kemudian dan bersaing dengan orang Celtic dalam membangun rumah-rumah basis misi di seluruh Eropa. Pada saat orang Viking menyerang, lebih dari 1.000 rumah misi seperti itu telah tersebar di seluruh Eropa.

Rumah-rumah Basis Misi

Orang Protestan, dan bahkan mungkin orang Katolik modern, harus berhenti sejenak pada fenomena ini. Masalah kita dalam mengerti alat penginjilan yang aneh ini (dan banyak disalahmengerti) sebagian besarnya bukan karena ketidaktahuan kita tentang apa yang orang-orang ini lakukan, tetapi di dalam prasangka kita yang berkembang karena para biarawan yang bermoral rusak yang hidup hampir seribu tahun setelah mereka. Sangat tidak adil jika kita membiarkan penilaian kita terhadap pekerjaan para penginjil keliling seperti Columba atau Boniface dipengaruhi oleh stagnasi para biarawan Augustinian yang kaya pada masa Luther – meskipun kita jelas memaafkan Luther karena memiliki pikiran seperti itu.

Tidak diragukan “Pengikut Yesus” di periode kedua ini, entah mereka Pengelana Celtic atau yang mirip dengan mereka dalam komune (paguyuban) Benediktin, menjunjung tinggi Alkitab dengan hormat. Mereka menyanyi dari Kitab Mazmur setiap minggu sebagai disiplin rutin. Merekalah yang utamanya mampu untuk membagikan kuasa dan kemuliaan Kerajaan Allah kepada kaum barbar Anglo-Saxon dan Goth.

Memang benar bahwa banyak kebiasaan aneh (bahkan janggal dan kafir) tercampur sebagai elemen sekunder dalam berbagai bentuk Kekristenan yang aktif di sepanjang periode Kristenisasi Eropa. Benturan dan persaingan antara berbagai bentuk Kekristenan Romawi Barat dan Celtic (utamanya berasal dari Timur) sangat mungkin dihasilkan dari pengembangan elemen-elemen alkitabiah yang umum dalam iman mereka. Tetapi kita juga perlu mengingat kekacauan yang disebabkan oleh penyerangan tersebut.

Masuknya Ordo

Melihat keadaan di masa itu, mirip dengan keadaan kacau di berbagai sudut dunia pada masa kini, struktur yang paling bertahan adalah ordo – persekutuan yang paling disiplin dan paling erat. Biara-biaranya memenuhi daratan Eropa. Lebih jauh kita harus memperhatikan bahwa komunitas Kristen yang baru ini bukan saja merupakan sumber kerohanian dan kesarjanaan di sepanjang Abad Pertengahan, tetapi mereka juga melestarikan berbagai teknologi industri Romawi – penyamakan, pengecatan, perajutan, peleburan logam, keahlian penyusunan batu, pembangunan jembatan, dll. Kontribusi sipil, kedermawanan dan keilmuan mereka secara umum kebanyakan disalahmengerti – terutama oleh kaum Protestan yang telah mengembangkan gambaran yang terlalu disederhanakan dan tidak menyenangkan mengenai “para biarawan.” Mungkin pencapaian terbesar dari komunitas Kristen yang disiplin ini adalah fakta bahwa hampir seluruh pengetahuan kita mengenai dunia Romawi berasal dari perpustakaan mereka, yang kesaksian bisunya menunjukkan penghargaan mereka, bahkan sebagai orang Kristen, terhadap para penulis “kafir” di zaman kuno.

Karena itu, di zaman kita yang sekuler ini, sangat memalukan melihat bahwa jika bukan karena orang-orang Kristen di ladang misi yang sangat terdidik yang menyimpan dan menyalin manuskrip-manuskrip (tidak hanya Alkitab tetapi juga tulisan-tulisan klasik Kristen dan non-Kristen), kita tidak akan tahu banyak tentang Kerajaan Romawi pada hari ini sama seperti kita mengetahui kerajaan Maya dan Inca, atau banyak kerajaan lain yang sudah lama punah. Banyak kaum Injili yang akan terguncang membaca tulisan seorang profesor di Wheaton yang menulis satu bab yang mengapresiasi struktur ordo yang sangat disiplin ini, judulnya, “The Monastic Rescue of the Church.” Satu kalimat mengatakan:

Kebangkitan monastisisme, setelah amanat Kristus kepada para murid-Nya, adalah peristiwa institusional yang paling penting – dan dalam banyak hal paling membawa keuntungan - dalam sejarah Kekristenan (hlm. 84).1

Menariknya, frasa Dunia Ketiga berasal dari masa itu ketika Yunani dan Latin menjadi dua dunia pertama dan orang-orang barbar yang tinggal di wilayah utara adalah Dunia Ketiga. Orang-orang barbar di Eropa dimenangkan oleh kesaksian dan kerja keras orang-orang Celtic dan Anglo-Saxon yang telah bertobat – “para misionaris dari Dunia Ketiga” – ketimbang upaya dari para misionaris yang diutus dari Italia atau Galia. Fakta ini sangat menentukan atas pergeseran kekuasaan yang kelihatannya permanen di Eropa Barat dari Mediterania ke Eropa Utara. Bahkan pada tahun 596, ketika misionaris Roma pertama pergi ke utara (tanpa keberanian), dia tidak sengaja bertemu dengan misionaris Irlandia yang sangat berani dan telah menjelajah tempat yang luas, Columba, salah satu pengelana Celtic terpelajar yang menjelajah sampai ke Roma dan telah menjelajah lebih jauh dari tempat tinggalnya dibandingkan perjalanan yang direncanakan Augustinus dari tempat tinggalnya.

Kita tidak heran kalau Konstantinopel dianggap sebagai “Roma Kedua” oleh mereka yang tinggal di Timur, sama juga dengan Aachen (Charlemagne di Prancis) dan Moskow yang kemudian bersaing untuk mendapat pengakuan sebagai Roma yang baru oleh keturunan suku Frank dan Slav yang baru dikristenkan. Baik Roma yang asli maupun semenanjung Italia sebagai wilayah tidak pernah lagi memiliki signifikansi secara politik seperti kota-kota utama dari negara-negara yang baru di kemudian hari – Spanyol, Prancis, Jerman, dan Inggris.

Masuknya Charlemagne

Di akhir periode tahun 400-800, seperti di akhir dari masing-masing periode ini, terjadi kemajuan Kekristenan di dalam wadah budaya baru. Munculnya orang kuat seperti Charlemagne memfasilitasi komunikasi di seluruh Eropa Barat sampai pada tingkatan yang belum pernah terjadi selama 300 tahun. Di bawah dukungannya serangkaian masalah – sosial, teologis, politis – dengan baik dipelajari kembali dalam terang Alkitab dan tulisan-tulisan para pemimpin Kristen awal selama periode Romawi. Charlemagne bisa dikatakan Konstantin kedua, dan pengaruhnya tidak tertandingi di Eropa Barat selama setengah milenium.

Tetapi Charlemagne lebih Kristen daripada Konstantin dan jauh lebih rajin mendukung kegiatan Kristen. Seperti Konstantin, keputusan resminya tentang Kekristenan menghasilkan banyak orang Kristen yang sekadar nama. Tidak diragukan bahwa misionaris besar Boniface dibantai oleh orang Saxon karena pemimpinnya Charlemagne (yang keputusan militernya sangat tidak disetujui oleh Boniface) telah dengan kejam menindas orang-orang Saxon dalam banyak peristiwa. Jadi, sebagaimana masa lalu kita, kekuatan politik dari kekuasaan kolonial tidak membuka jalan bagi Kekristenan namun membuat orang menentang iman Kristen. Mengenai para misionaris, adalah fakta bahwa pusat pembelajaran utama yang dibuat oleh Charlemagne adalah tiruan dan penyebaran dari rumah basis misi yang baru dibentuk di pedalaman wilayah Jerman, tempat misi itu sendiri merupakan pos misi terluar hasil pekerjaan para misionaris Inggris dan Celtic yang berasal dari “pusat-pusat pengutusan” jauh di barat di pulau Iona dan Lindisfarne, Inggris.

Memang, usaha serius pertama seperti pendidikan umum dimulai oleh sang pemimpin Charlemagne ini atas saran dan dorongan para misionaris Anglo-Celtic dan para sarjana dari Inggris seperti Alcuin. Proyeknya pada akhirnya membutuhkan pertolongan dari ribuan orang Kristen terpelajar dari Inggris dan Irlandia sampai kepada sekolah-sekolah pria yang didirikan di Eropa. Sulit dipercaya, tetapi guru-guru bahasa Latin Irlandia yang dulunya “barbar” (tidak pernah berbahasa Irlandia) pada akhirnya diperlukan untuk mengajar bahasa Latin di Roma. Ini menunjukkan betapa luasnya serangan suku barbar telah merusak peradaban Kerajaan Romawi. Realitas ini menggarisbawahi buku Thomas Cahill, How the Irish Saved Civilization.

Orang-orang Kristen Celtic dan orang-orang Anglo-Saxon dan Eropa yang mereka pertobatkan sangat menghargai Alkitab. Karya seni tertinggi di sepanjang abad-abad “gelap” ini adalah manuskrip-manuskrip yang “diiluminasikan” secara luar biasa, dan ornamen-ornamen dalam gedung gereja yang sangat menonjol unsur Alkitabnya, suatu saksi bisu bagi Alkitab sebagai sumber utama inspirasi mereka. Manuskrip-manuskrip para penulis klasik non Kristen, meskipun dipelihara dan disalin, tidak dicerahkan. Melalui malam panjang kehancuran progresif bagian Barat dari Kerajaan Romawi, ketika migrasi kesukuan mengurangi hampir seluruh kehidupan di Barat ke tingkatan kesukuan mereka, dua pemikiran yang muncul kembali adalah harapan untuk membangun kejayaan yang pernah Roma capai dahulu, dan harapan membuat segala sesuatu tunduk bagi Kemuliaan Allah. Bisa dikatakan puncak dari semua ini, adalah ketika dua harapan tersebut hampir dicapai, selama karier Chalemagne yang panjang dan aktif terutama pada tahun 800. Seperti yang dikatakan oleh seorang sarjana,

Dalam sejarah panjang Eropa, dari kejatuhan Kerajaan Roma sampai berseminya Renaisans hampir seribu tahun kemudian, Charlemagne adalah satu-satunya kehadiran yang berpengaruh.

Tidak heran para sarjana menyebut periode kekuasaan Charlemagne sebagai Renaisans Carolingian, dan dengan demikian menggantikan secara lebih tepat konsep periode tunggal “masa kegelapan” yang panjang dengan perspektif yang lebih tepat, yaitu Masa Kegelapan Pertama dalam periode ini, dan Masa Kegelapan Kedua dalam periode berikutnya, di mana “Renaisans Carolingian” terletak di tengah-tengahnya.

Sayangnya, kerajaan yang dibangun kembali (kemudian disebut Kerajaan Roma yang Kudus) tidak mampu menemukan kekhasan Charlemagne dalam penggantinya; bahkan bahaya semakin jelas, ancaman baru sekarang muncul dari luar. Charlemagne sangat ingin mengkristenkan bangsanya sendiri, bangsa Jerman. Dia memberikan kepemimpinan yang bijak, bahkan rohani dalam banyak hal, tetapi tidak mendukung misi penjangkauan yang berani ke orang-orang Skandinavia jauh ke utara. Usaha misi yang dimulai oleh anaknya sudah terlambat. Fakta ini sangat berkontribusi pada keruntuhan kerajaannya, seperti yang akan kita lihat selanjutnya.

Periode III: Memenangkan Orang-orang Viking (800-1200)

Baru saja konsolidasi di Eropa Barat tercapai di bawah pemerintahan Charlemagne, telah muncul suatu ancaman baru terhadap kedamaian dan kemakmuran. Ancaman baru ini – orang-orang Viking – akan menciptakan suatu periode kedua yang lumayan gelap yang berlangsung kira-kira 250 tahun. Orang-orang brutal dari utara ini belum secara efektif diinjili. Sementara suku penyerang Romawi yang menciptakan Masa Kegelapan Pertama adalah orang-orang dari hutan, mereka sebagian besar adalah orang Kristen Arian nominal. Sebaliknya, orang-orang Viking belum beradab atau sedikit pun belum Kristen. Ada perbedaan yang lain lagi: orang-orang Viking adalah orang laut. Ini berarti pulau utama bagi tempat pelatihan misionaris, seperti Iona, atau lepas pantai yang menjorok ke laut di Lindisfarne (terhubung ke daratan hanya ketika air laut surut) meskipun aman dari serangan darat merupakan tempat yang rawan terhadap serangan dari laut. Di dalam periode baru ini kedua pusat misi ini dihancurkan berkali-kali, penghuninya dibantai atau dijual sebagai budak. Kelihatannya orang-orang Kristen di kerajaan Charlemagne jelas akan jauh lebih baik jika orang-orang Viking setidaknya menghargai iman Kristen seperti orang-orang barbar sebelumnya ketika mereka menghancurkan Roma. Sangat berlawanan dengan orang-orang Visigoth dan Vandal yang tidak menghancurkan gereja-gereja, orang-orang Viking kelihatannya sangat tertarik pada pusat-pusat biara tempat belajar dan ibadah Kristen. Mereka sangat suka menghancurkan gereja, membunuh manusia dengan pedang di dalam gereja, dan menjual para biarawan menjadi budak. Orang-orang yang biadab ini bahkan menjual anak-anak perempuan yang melawan dari tetangga Viking mereka ke Afrika Utara untuk menjadi budak. Kalimat yang ditulis pada masa itu memberi kita gambaran tentang kebrutalan mereka dalam wilayah “Kristen” di Eropa:

Orang-orang utara ini tidak berhenti membantai dan menawan orang Kristen, menghancurkan gereja dan membakar kota. Di mana pun, bergelimpangan mayat-mayat – pastor dan orang biasa, bangsawan, wanita dan anak-anak. Tidak ada jalan atau tempat yang tidak ada mayatnya. Kami hidup dalam tekanan dan kesusahan melihat pemandangan kehancuran orang Kristen ini.2

Tidak heran buku doa Anglikan berisi doa, “Dari kekejaman orang Utara, lepaskanlah kami, ya Tuhan.” Sekali lagi, ketika orang Kristen tidak menjangkau mereka, orang-orang kafir akan menghancurkan apa yang orang Kristen miliki. Dan sekali lagi, kekuatan fenomenal Kekristenan menunjukkan dirinya sendiri: penakluk menjadi takluk melalui iman tawanan mereka. Biasanya melalui para biarawan yang dijual sebagai budak, atau wanita Kristen yang dipaksa menjadi istri dan simpanan orang Viking, mereka memenangkan orang-orang barbar dari utara ini. Di dalam pemeliharaan Allah, Dia mengerjakan penebusan di tengah tragedi yang memilukan akibat penyerangan baru dari kekejaman dan kejahatan orang-orang barbar terhadap umat yang Allah kasihi. Selain itu, Dia menyerahkan Anak-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita! Jadi, apa yang Setan maksudkan untuk kejahatan, Allah gunakan bagi kebaikan.

Di dalam ratusan tahun sebelumnya, para sarjana Charlemagne telah mengumpulkan dengan saksama manuskrip-manuskrip masa lalu. Sekarang sebagian besar manuskrip tersebut telah dibakar oleh orang Viking. Karena begitu banyak salinan telah dibuat dan tersebar secara luas, buah karya dari kebangunan literatur Carolingian terselamatkan. Para sarjana dan misionaris mengalir dalam damai dari Irlandia ke Inggris dan ke Eropa, bahkan di luar batas dari kerajaan Charlemagne. Menerima dampak dari penyerangan baru yang kejam dari utara, ledakan semangat yang begitu besar yang menumpahkan semangat penginjilan selama tiga abad menjadi dingin dan hampir punah. Para pejuang Viking awalnya berbasis di Irlandia kemudian mengikuti jalur pengelana Irlandia mula-mula menyeberang ke Inggris dan ke Eropa, tetapi kali ini membawa kehancuran bukannya hidup baru dan harapan.

Ada beberapa berkat yang terselubung dalam peristiwa mengerikan ini. Alfred Agung, seorang pemimpin suku (“raja”) Wessex, berhasil memimpin perlawanan gerilya, dan dia peduli tentang kekalahan fisik dan rohani. Sebagai keadaan darurat, dia meninggalkan ide untuk mempertahankan bahasa Latin sebagai pola umum dalam ibadah dan memulai perpustakaan Kristen di dalam daerah lokal – Anglo-Saxon. Ini merupakan keputusan dengan kepentingan monumental yang mungkin akan tertunda beberapa abad seandainya tragedi kedatangan orang Viking ini tidak menyediakan kebutuhan yang merupakan awal dari penemuan.

Pada umumnya, seperti kata Christopher Dawson, kehancuran yang dahsyat di Inggris dan daratan Eropa bukan “kemenangan orang kafir.” “Orang-orang utara” yang mendarat di daratan Eropa di bawah pimpinan Rollo akhirnya menjadi “orang-orang Normandia” yang dikristenkan. Orang-orang Denmark yang merebut wilayah luas di Inggris tengah (bersama dengan penyerang dari Norwegia yang menempatkan orang-orang mereka di banyak tempat lain di Inggris dan Irlandia) tidak lama kemudian juga menjadi orang Kristen sebagai akibatnya. Injil terlalu kuat. Budaya Kristen menyebar kembali masuk ke Skandinavia. Ini sebagian besar berpusat di Inggris di mana komunitas biara pertama dan para uskup misi mula-mula berasal. Apa yang hilang di Inggris, diperoleh di Skandinavia.

Kita juga harus mengakui bahwa orang-orang Viking tidak akan tertarik entah pada gereja atau biara-biara seandainya pusat-pusat kesalehan Kristen tersebut sebagian besar tidak jatuh dalam kemewahan. Pergantian dari pola monastisisme Irlandia ke Benediktin merupakan suatu perkembangan dalam banyak hal, tetapi pergantian ini mengizinkan kemungkinan yang lebih besar bagi perkembangan kekayaan dan kemewahan yang tidak Kristen, yang menarik perhatian orang-orang Utara yang tamak. Jadi, akibat dari penyerangan adalah secara tidak langsung membersihkan dan memurnikan gerakan Kristen.

Bahkan sebelum orang-orang Viking muncul, Benedict dari Aniane mendorong suatu gerakan reformasi di sana sini. Pada tahun 910 di Cluny, gerakan tersebut mengalami langkah maju yang baru dan penting. Di antara berbagai perubahan, otoritas pusat biara dijauhkan dari politik lokal, dan untuk pertama kali seluruh jaringan rumah “anak” yang dibangun terhubung dengan satu rumah “ibu” yang kuat secara rohani. Kebangkitan yang terjadi di Cluny menghasilkan suatu sikap reformasi yang baru terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Di Roma, uskup terbesar di milenium pertama, Gregory I, adalah hasil dari komunitas Benediktin. Demikian juga, awal milenium kedua, Hildebrand adalah hasil dari reformasi Cluny. Penerusnya dalam reformasi sangat dikuatkan oleh kebangkitan Cistercian, yang memajukan gerakan reformasi ini lebih jauh lagi. Bekerja di belakang layar selama bertahun-tahun untuk reformasi di seluruh gereja, Hildebrand menjadi Paus Gregory VII dalam periode yang relatif singkat. Semangat reformasinya meletakan dasar bagi Paus Innocent III, yang memiliki kuasa yang lebih besar, dan melihat semua hal, kekuasaan untuk kebaikan yang lebih besar dari Paus sebelum dan sesudahnya. Gregory VII membuat langkah yang menentukan untuk mengontrol gereja dari kekuasaan sekuler melalui jawaban terhadap pertanyaan “kedudukan orang awam.” Dialah yang mengizinkan Henry IV untuk menunggu selama tiga hari di tengah salju di Canossa. Innocent III tidak hanya meneruskan reformasi Gregory, tetapi dia memiliki kekhasan sebagai Paus yang mengeluarkan kewenangan bagi serangkaian ordo misi penjelajah yang baru – para Friar.

Merangkum apa yang telah kita baca, periode pertama kita (0-400) berakhir dengan kehancuran Kerajaan Romawi yang sudah Kristen dan seorang kaisar Kristen, Konstantin. Periode kedua kita (400-800) diakhiri dengan rekonstitusi kerajaan itu di bawah Charlemagne, seorang barbar yang dikristenkan. (Dapatkan Anda membayangkan seorang kaisar yang memiliki kebiasaan biarawan?) Periode ketiga kita (800-1200) berakhir dengan Paus Innocent III sebagai orang terkuat di Eropa, yang didukung oleh Cluny, Cistercian dan gerakan-gerakan rohani sejenis, semuanya disebut Reformasi Gregorian.

Pemandangan ini sekarang sudah menjalar ke Eropa di mana tidak ada penguasa sekuler mana pun yang dapat bertahan tanpa menghormati para pemimpin dari gerakan Kristen ini. Ini merupakan periode di mana orang-orang Kristen di Eropa tidak menjangkau melalui misi, tetapi mereka setidaknya, dengan kecepatan yang fenomenal, dirasakan kehadirannya di seluruh wilayah utara, dan juga memperdalam dasar kesarjanaan dan ibadah Kristen yang diteruskan dari Eropa di mata Charlemagne.

Kejutan-kejutan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan akan terlihat pada periode berikut. Akankah Eropa sekarang berinisiatif menjangkau dengan Injil? Akankah Eropa akan tenggelam dalam kepuasan diri? Dalam beberapa aspek keduanya terjadi.

Periode IV: Memenangkan Orang M? (1200-1600)

Periode keempat dimulai dengan alat penginjilan yang luar biasa – para Friar. Setelah bencana wabah penyakit, muncul reformasi yang paling besar, paling vital, dan paling merusak di masa ini. Gerakan Kristen telah melibatkan diri selama ratusan tahun dalam misi Kristen yang paling besar dan salah tanggap yang tragis di sepanjang sejarah. Ironisnya, sebagian dari masa “Puncak” iman di akhir periode sebelumnya berakhir dengan kehancuran. Belum pernah ada sebelumnya bangsa atau kelompok bangsa melancarkan suatu usaha yang begitu bersemangat ke wilayah asing dalam nama Yesus seperti yang dilakukan Eropa dalam kegagalan tragis Perang Salib. Ini sebagian dipengaruhi oleh semangat Viking dalam gereja Kristen. Tidak heran seluruh Perang Salib utama dipimpin oleh keturunan Viking.

Meskipun Perang Salib memiliki unsur politik (sering menjadi alat pemersatu bagi para penguasa yang mau jatuh), Perang Salib tidak mungkin terjadi tanpa dukungan para pemimpin Kristen yang bersemangat tetapi salah arah. Perang Salib tidak hanya merupakan peristiwa paling berdarah bagi orang Eropa sendiri dan luka paling dalam di sisi suku bangsa M (luka yang sampai saat ini belum sembuh), tetapi juga merupakan pukulan mematikan bagi kesatuan Kristen Yunani/Latin dan kesatuan budaya di Eropa Timur. Pada akhirnya, meskipun orang Kristen Barat menguasai Yerusalem selama ratusan tahun, Perang Salib akhirnya meninggalkan Kekristenan Timur ke tangan para sultan Ottoman. Lebih buruk lagi, Perang Salib meninggalkan gambaran permanen tentang kebrutalan orang Kristen yang membantai sebagian besar manusia, menghancurkan nilai dari kata Kristen dalam misi sampai hari ini.

Ironisnya misi dari Perang Salib tidak akan dilihat begitu buruk seandainya tidak melibatkan komponen komitmen Kristen yang rendah. Pelajaran besar dari Perang Salib adalah keinginan baik, bahkan ketaatan untuk berkorban bagi Allah, bukan merupakan pengganti bagi pemahaman yang jelas akan kehendak-Nya. Bernard of Clairvaux, seorang saleh yang otentik, sangat penting dalam gerakan yang menyedihkan ini. (Kata-kata dalam himne Jesus the Very Thought ditujukan padanya.) Dia menentang Perang Salib pertama. Di samping itu, dua orang dari ordo Fransiscan, Francis of Assisi dan Raymond Lull, menonjol sebagai orang dalam periode yang karena pengertiannya akan kehendak Allah membuat mereka menggantikan perang dan kekerasan dengan kata-kata yang lembut sebagai cara yang tepat untuk memperluas berkat Allah yang telah diberikan kepada Abraham, dan selalu dimaksudkan kepada semua anak-anak Abraham karena iman.

Sayangnya M kurang dikenal di Eropa. Terjemahan lengkap pertama AQ ke bahasa Latin baru ada pada abad keduabelas, dan baru diterbitkan empat abad kemudian. Seandainya orang-orang Kristen Eropa berusaha untukmembaca kitab suci orang M, mereka mungkin akan terkejut melihat betapa banyak kesamaan di antara kedua iman ini. Kesarjanaan modern semakin menunjukkan kuatnya fondasi Kristen yang di atasnya M dibangun. AQ sendiri jika dibaca akan terlihat seperti kumpulan berbagai tradisi Kristen yang dianggap keramat di seluruh dunia pada abad ke-7. Sepertinya para editornya berusaha menyatukan berbagai pecahan komunitas Kristen ke dalam kerajaan Arab yang baru dibentuk pada abad ke-7, yang hampir menguasai setengah wilayah Kristen.

Namun, sebagai hasil dari Perang Salib, kesarjanaan M mulai mengubah penafsirannya terhadap AQ. Sejak saat itu, ayat-ayat AQ tentang Yesus (sekitar lebih dari 90 ayat), mulai ditafsirkan dalam sikap anti Kristen. Sebagai contoh, pada hari ini, secara umum dipercaya di seluruh dunia M bahwa Yesus tidak mati di salib. Namun ini tidak selalu masalahnya (dan AQ dapat menunjukkan penyaliban dan kebangkitan Yesus). Perubahan ini terjadi ketika orang Kristen mulai menggunakan salib sebagai simbol penaklukkan militer.

Pada saat ini kita perlu berhenti sejenak merenungkan beberapa peristiwa yang mengarah ke periode keempat yang menarik ini. Mari kita melihat segala hal dari sudut pandang Allah, melangkah secara hati-hati dan teliti. Mari kita mulai perenungan kita dengan melihat lebih jauh ke belakang. Sebagai contoh, kita tahu, pada akhir periode pertama setelah tiga abad yang sulit dan penindasan, ketika semua hal kelihatannya berjalan dengan baik, penyerangan terjadi kepada Roma dan kekacauan serta kehancuran menyusul terjadi. Mengapa? Penyerangan didahului oleh suatu periode yang disebut “Renaisans Klasik.” Periode ini bisa dikatakan baik dan bisa juga tidak. Ketika orang Kristen sedang menerjemahkan Alkitab ke bahasa Latin dan bertambah fasih dalam debat teologis, ketika Eusebius of Caesarea, sejarawan resmi pemerintahan sedang menyunting kumpulan besar tulisan-tulisan Kristen mula-mula, ketika bidat-bidat dikeluarkan dari kerajaan (menjadi satu-satunya kegiatan misi Kristen kepada orang Goth), ketika Roma akhirnya secara resmi menjadi Kristen – tiba-tiba tirai turun dengan penyerangan orang barbar ke Roma. Sekarang, dari kekacauan, Allah mendatangkan sekelompok orang baru untuk dimasukkan dalam “berkat” ini, yaitu, diperhadapkan dengan tuntutan, hak istimewa, dan tanggung jawab memperluas Kerajaan Allah.

Mirip dengan itu, pada akhir periode kedua, setelah tiga abad kekacauan selama amukan orang Goth yang akhirnya dikristenkan, ditaklukkan dan diberadabkan, Alkitab dan pengetahuan alkitabiah berkembang lebih pesat dari sebelumnya. Pusat-pusat misi yang alkitabiah dibangun oleh orang-orang Kristen Celtic dan murid-murid mereka orang Anglo-Saxon. Di dalam renaisans di masa pemerintahan Charlemagne (“Carolingian”), ribuan sekolah umum yang dipimpin oleh orang Kristen menghasilkan kemampuan literasi Alkitab dan umum secara besar-besaran. Para teolog besar bergumul dengan masalah-masalah teologis dan politis. Venerable Bede menjadi Eusebius periode ini (Charlemagne dan Bede jauh lebih Kristen daripada Konstantin dan Eusebius). Dan, sekali lagi penyerangan terjadi dan kekacauan dan kehancuran tiba. Mengapa?

Periode ketiga sangat mirip dengan sebelumnya. Pada awalnya, orang Viking hanya memerlukan dua setengah abad untuk takluk kepada “serangan balik Injil.” “Renaisans” bisa dikatakan demikian, yang muncul di akhir periode ini lebih lama dan satu abad lebih dan jauh lebih menyeluruh daripada kemajuan periode sebelumnya. Perang Salib, katedral, teolog skolastik, universitas, dan yang paling penting para Friar yang diberkati – bahkan bagian awal dari Renaisans Humanistik di kemudian hari – semuanya membentuk Renaisans Abad Pertengahan 1050-1350 ini, atau “Renaisans abad keduabelas.”

Tetapi tiba-tiba penyerang baru muncul – Wabah Hitam – lebih jahat dan lebih menghasilkan kekacauan dan kehancuran daripada sebelumnya. Mengapa?

Bagaimana kita menafsirkan bencana yang menyela apa yang kelihatannya merupakan suatu perkembangan dalam gerakan Kristen? Apakah Allah tidak puas dengan ketaatan yang tidak lengkap? Atau Setan menyerang balik setiap saat dengan keputusasaan yang lebih besar? Apakah mereka yang memperoleh berkat tersebut tidak secara memuaskan dan cukup bersemangat untuk membagikannya kepada bangsa-bangsa lain di seluruh dunia?

Lebih membingungkan lagi, wabah yang membunuh sepertiga penghuni Eropa secara proporsi membunuh lebih banyak lagi orang-orang dari ordo Fransiscan: 120.000 orang mati hanya di Jerman saja. Pastilah Allah tidak sedang menghukum semangat misi mereka. Apakah Allah berusaha menghukum Perang Salib yang kekejamannya melebihi unsur Kristen dalam gerakan mereka? Jika demikian, mengapa Dia menunggu beberapa ratus tahun untuk melakukannya? Mungkin Eropa tidak dengan baik mendengarkan para Friar yang saleh. Penghukuman Allah atas Eropa mungkin dengan cara mengambil para Friar dan pesan Injil mereka. Meskipun bagi kita penghukuman tersebut lebih kepada pembawa pesan dan bukannya kepada mereka yang menolak untuk mendengar, namun bukankah hal yang sama bisa kita temukan juga dalam Perjanjian Baru? Yesus sendiri datang kepada milik-Nya, dan milik-Nya tidak menerima Dia, namun Yesus, tidak melawan tapi pergi ke atas salib. Mungkin Allah menggunakan niat jahat Setan – membinasakan pembawa pesan – sebagai penghukuman atas mereka yang memilih untuk tidak mendengar.

Dalam kasus apa pun, serangan Wabah Hitam, pertama pada tahun 1346 dan sepanjang dekade berikutnya, mendatangkan kemunduran yang lebih besar daripada penyerangan yang dilakukan oleh suku Goth, Anglo-Saxon atau Viking. Wabah ini pertama menghancurkan wilayah Italia dan Spanyol, kemudian menyebar ke barat dan utara, ke Prancis, Inggris, Belanda, Jerman dan Skandinavia. Pada saat wabah tersebut sudah melanda selama 40 tahun, sepertiga atau setengah dari populasi Eropa mati. Para Friar dan para pemimpin rohani yang bersungguh-sungguhlah yang paling merasakan bencana ini. Merekalah yang tetap tinggal untuk merawat orang-orang yang sakit dan mengubur yang mati. Eropa dalam kehancuran. Hasilnya? Ada tiga Paus yang saling bersaing pada saat itu, unsur manusia menjadi sangat kuat, pergolakan petani (sering dibenarkan oleh Alkitab) berubah menjadi keliaran yang besar. “Allah dunia ini” pasti senang, tetapi dari kematian, kemiskinan, kebingungan dan kesulitan yang panjang, Allah melahirkan reformasi baru yang lebih besar dari sebelumnya.

Sekali lagi, pada akhir dari setiap periode, ada kemajuan besar terjadi. Percetakan dimulai, orang-orang Eropa akhirnya terlepas dari kebuntuan geografis mereka dan mengirim kapal-kapal untuk berdagang, dan membawa penaklukkan dan berkat rohani ke segala penjuru bumi. Dan sebagai bagian dari reformasi yang datang bersama dengan semua itu, Reformasi Protestan terlihat: desentralisasi budaya besar-besaran Eropa dan kelihatannya permanen.

Orang-orang Protestan sering berpikir bahwa Reformasi adalah reaksi yang sah melawan kejahatan yang dilakukan birokrasi Kristen yang jahat yang sudah tenggelam dalam kerusakan moral dan korupsi. Tetapi “re-formasi” ini lebih dari itu. Desentralisasi besar dalam wilayah-wilayah Kristen ini dalam banyak aspek merupakan hasil dari meningkatnya vitalitas, meskipun ini tidak diketahui oleh sebagian besar orang Protestan – juga terlihat di Italia, Spanyol dan Prancis sama seperti di Moravia, Jerman dan Inggris. Di segala tempat kita melihat suatu gerakan untuk kembali ke studi Alkitab dan munculnya pembaharuan rohani dan pengabaran Injil.

Injil yang sekarang diberitakan mendorong orang Jerman menjadi orang Jerman, tidak sekadar mengizinkan orang Jerman menjadi orang Kristen Roma. Meski begitu pengertian yang luar biasa ini merupakan salah satu hasil dari pembaharuan yang sedang terjadi. (Luther menghasilkan terjemahan Alkitab yang ke-empat belas bukan yang pertama dalam bahasa Jerman.) Sayangnya, penekanan yang indah terhadap pembenaran oleh iman – yang diberitakan di Italia dan Spanyol juga di Jerman di masa Luther muncul – menjadi diidentifikasikan dan disangkutpautkan dengan harapan nasional (separatis) Jerman, dan bisa dimengerti, dilihat sebagai ajaran yang berbahaya oleh kekuatan politik di Eropa Selatan.

Merupakan kesalahpahaman yang tipikal orang Protestan bahwa tidak ada kebangunan rohani yang dalam, penyelidikan Alkitab, dan doa di Eropa Selatan dan Utara pada waktu Reformasi. Masalahnya yang tampak bagi Protestan mungkin persoalan iman versus hukum, atau yang tampak bagi Katolik Roma mungkin persoalan kesatuan versus pembagian. Tetapi ukuran populer ini tidak tepat karena masalah ini jauh lebih merupakan terlalu dominannya budaya Latin dan masalah keseragaman versus keragaman. Bahasa dan budaya lokal akhirnya menang.

Meskipun Paulus tidak menuntut agar orang Yunani menjadi Yahudi, namun orang Jerman telah diwajibkan menjadi Roma. Orang Anglo-Saxon dan Skandinavia setidaknya diizinkan memakai bahasa dan budaya lokal mereka dalam batasan yang tidak dikenal dalam Kekristenan di Jerman. Jerman adalah tempat di mana pemberontakan secara masuk akal akhirnya terjadi. Italia, Prancis, dan Spanyol, yang awalnya bagian dari Kerajaan Roma dan secara luas berasimilasi secara budaya dengan Roma, tidak memiliki tekanan nasional yang sama kuatnya di balik gerakan refomasi mereka dan menjadi hampir tidak relevan dalam polaritas politik dari pertempuran tersebut.

Namun – sekali lagi – meskipun kaum Protestan memenangkan pertarungan politik, dan mendapat kekuasaan untuk merumuskan kembali tradisi Kristen mereka dan jelas melihat Alkitab secara serius, mereka tidak berbicara mengenai penjangkauan misi. Sebaliknya, periode ini diakhiri dengan penyebaran secara politik dan agama oleh orang Eropa Romawi (Katolik) ke tujuh samudra. Jadi, secara keseluruhan orang Protestan tidak berbagian selama sedikitnya dua abad, variasi Kekristenan dari Katolik secara aktif mempromosikan dan mengiringi suatu gerakan sedunia dalam jangkauan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia, salah satu gerakan yang di dalamnya ada kesadaran misi Kristen yang lebih besar daripada sebelumnya. Namun setelah kehilangan wilayah Eropa yang non-Romawi dengan pemaksaan budaya Mediterania, tradisi Katolik sekarang berusaha memenangkan seluruh dunia tanpa sepenuhnya mengerti apa yang baru terjadi, dan mengapa proyek ini tidak akan berhasil.

Tetapi mengapa kaum Protestan bahkan tidak berusaha menjangkau keluar? Para misionaris Katolik telah melakukan hal ini selama dua ratus tahun sementara kaum Protestan tidak mengutus satu orang pun. Beberapa sarjana merujuk pada fakta bahwa kaum Protestan tidak memiliki jaringan koloni secara global. Tapi kaum Protestan di Belanda punya. Kapal-kapal mereka, tidak seperti negara-negara Katolik, tidak memuat misionaris. Inilah mengapa Jepang – ketika mereka mulai takut terhadap gerakan Kristen yang dimulai oleh para misionaris Katolik – hanya mengizinkan kapal-kapal Belanda masuk ke pelabuhan mereka. Belanda bahkan bersukacita dan membantu orang Jepang dalam membantai komunitas Kristen (Katolik).

Renaisans dalam 5 Periode

Garis hitam tebal yang lebih atas yang menandai masa 400-an tahun “periode” dirancang agar mudah diingat, bukan untuk menetapkan realitas sejarah. Namun, ekspansi iman Kristen yang paling signifikan direfleksikan secara kasar, setidaknya dalam cara ini. Lebih penting, keberadaan dari 5 “renaisans” juga ditonjolkan.

Garis di bawahnya merujuk kepada halaman-halaman buku Latourette yang dikhususkannya untuk mengurai garis waktu di atasnya. Lingkaran oval yang polos menunjuk pada apa yang disebut Latourette “Kebangkitan” Kekristenan, sedangkan lingkaran oval yang berarsir menunjuk kepada “Kemunduran.”

Hal terpenting yang disingkapkan oleh perbandingan ini adalah fakta bahwa keempat “Kebangkitan” dari Latourette cocok dengan “Renaisans” pada garis tebal di atasnya. Satu-satunya perbedaan signifikan adalah dia tidak memberikan penghormatan kepada Renaisans Carolingian sebagaimana yang diberikan oleh para sarjana lainnya.

Satu alasan Latuorette melihat hal ini secara berbeda adalah bahwa dia prihatin sekali dengan apa yang disebut “Kekristenan” (yang logis dalam sebuah buku berjudul A History of Christianity) dan karenanya tidak menganggap gerakan M suatu ekspresi positif yang berasal dari tradisi “Yahudi” yang sama.

Dalam kasus apa pun, M, meski dimulai belakangan, menjadi sebuah perkembangan yang jauh lebih termasyhur ketimbang asuhan dan didikan Barat yang biasanya mengizinkan kita untuk menyadari. Hingga pada waktu Renaisans di periode keempat, M telah menjadi superior daripada “Kekristenan” secara politis, budaya, milter, dan bahkan jumlah. Dalam banyak hal ini sungguh benar selama lebih dari separuh periode Kristen. Ini tidaklah mengherankan karena banyak ekspansi M didirikan pada lapisan Kekristenan, sama seperti yang telah dilakukan Kekristenan yang mula-mula terhadap lapisan agama Yahudi.

Periode V: Sampai Ke Ujung Bumi (1600-2000)

Periode 1600-2000 dimulai dari penaklukkan orang Eropa terhadap seluruh dunia. Selain mengambil alih sebuah benua yang bisa dikatakan kosong dengan menumbangkan kerajaan Aztec dan Inka di belahan Barat, orang-orang Eropa hanya memiliki kuasa yang kecil di wilayah di luar dunia barat yang berpenduduk padat. Namun, pada tahun 1945, orang Eropa telah memiliki kontrol terhadap 99,5% dunia non-Barat. Ini tidak bertahan lama. Orang-orang yang menempati koloni-koloni orang Eropa telah berkembang secara signifikan dalam pengetahuan Barat dan prakarsa, seperti orang Goth berkembang pesat di luar Kerajaan Romawi. Para pemimpin orang Goth memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam militer Romawi. Pada masa kini banyak pemimpin dunia non-Barat memiliki pengalaman dan latihan bertahun-tahun di institusi pendidikan dan industri di Barat. Perang dunia kedua secara luar biasa mematahkan bangsa-bangsa Barat dari genggaman kolonial mereka pada sebagian besar dunia. Itulah sebabnya: Nasionalisme meledak, dan kontrol orang Eropa mulai goncang.

Hanya dua puluh lima tahun kemudian (tahun 1969), bangsa-bangsa Barat kehilangan kontrol 5% atas populasi dunia non-Barat. Saya telah menggambarkan periode 1945-1969 di mana kontrol Barat tiba-tiba runtuh ditambah dengan peningkatan yang signifikan dari gerakan Kristen dunia non-Barat dalam sebuah buku kecil berjudul The Twenty-five Unbelievable Years (1945-1969 ). Jika kita membandingkan periode ini dengan hancurnya dominasi kerajaan Romawi di barat atas wilayah taklukannya di Spanyol, Galia dan Inggris, dan hilangnya kontrol atas wilayah Eropa yang bukan bangsa Frank oleh penerus Charlemagne, kita bisa mengantisipasi – setidaknya dengan logika pembelokan paralelisme – bahwa dunia Barat tidak lama lagi akan didominasi secara signifikan oleh orang Asia.

Dengan alasan tertentu, sejak kehancuran kekuatan Barat menjadi nyata, ada banyak orang yang menentang pemikiran adanya usaha misi lebih lanjut dari Barat ke dunia non-Barat. Mungkin mereka telah membingungkan/menyalahtafsirkan ketidaksesuaian kontrol politik dengan kebutuhan untuk memutuskan hubungan iman dalam situasi misi di luar negeri.

Situasi yang sebenarnya adalah sangat berbeda. Faktanya, ketiadaan kontrol politik untuk pertama kalinya dalam berbagai bidang sekarang mulai mengizinkan populasi dunia non-Barat untuk menyerah kepada Kerajaan Kristus tanpa di saat yang bersamaan menyerah kepada kerajaan politik dunia Barat. Di sini kita melihat paralelnya dengan suku Frank yang menerima iman orang Roma hanya setelah Roma kehilangan kekuatan militernya. Keterbukaan baru terhadap Kekristenan Katolik ini terus berlanjut di antara orang-orang Anglo-Saxon, Jerman dan Skandinavia sampai di masa munculnya kekuasaan Kepausan yang kuat dicampur dengan kekuatan politik menjadi ancaman bagi ambisi yang sah dari suatu bangsa. Ancaman ini kemudian membawa kepada suatu Reformasi, yang mengizinkan bentuk Kekristenan yang dinasionalisasikan.

Pemandangan saat ini di dunia Barat memamerkan standar moralitas Kristen yang buruk dengan begitu jelas sehingga dapat menghalangi bangsa-bangsa non Kristen untuk memeluk iman Kristen, tetapi pemandangan ini juga cenderung memisahkan warisan cita-cita Kristen dari dunia Barat yang tidak dihidupi oleh mereka, dan sampai zaman ini, tetapi telah menjadi pendukung utama mereka. Ketika orang Asia menuduh bangsa Barat tidak bermoral dalam peperangan, mereka sedang merujuk pada nilai-nilai Kristen, jelas bukan nilai-nilai dari bangsa kafir apa pun di masa lalu. Dalam pengertian ini, Kekristenan telah menguasai dunia. Sebagai contoh, tidak ada lagi tradisi penyiksaan keji yang telah dikembangkan secara luar biasa di Tiongkok dan berlangsung lama, yang sepertinya dibanggakan di Tiongkok, tidak juga dihormati di mana pun, setidaknya di kalangan publik.

Tetapi transformasi seluruh dunia ini tidak muncul secara tiba-tiba. Bahkan pada masa kini pun, pencapaian minimal dari moralitas Kristen sedunia pada tingkatan publik telah dicapai hanya melalui pengorbanan besar dari usaha misi (selama empat abad dari Periode kelima) yang lebih berani dan lebih berniat dari zaman lainnya dalam rentang 2.000 tahun. Bagian awal dari periode kelima ini (1600-1800) hampir secara eksklusif merupakan pertunjukan Katolik Roma. Pada tahun 1800 sangat memalukan bagi orang Protestan mendengar para misionaris Katolik menganggap rendah gerakan Protestan sebagai pemurtadan hanya karena gerakan ini tidak mengutus misionaris. Tetapi pada tahun yang sama, usaha misi Katolik terpaksa mengalami penurunan karena pengurangan orang-orang ordo Jesuit dan efek gabungan dari Revolusi Prancis dan kekacauan yang ditimbulkannya sehingga memangkas akar ekonomi Eropa bagi misi-misi Katolik.

Namun, tahun 1800 menandai kebangkitan orang Protestan dari dua setengah abad yang tidak aktif, jika bukan karena kemalasan teologis, dalam kaitannya dengan penjangkauan misi ke seluruh dunia. Sepanjang periode akhir ini, untuk pertama kalinya, orang Protestan memperlengkapi diri mereka dengan struktur organisasional misi yang dapat dibandingkan dengan ordo-ordo Katolik dan mulai membayar waktu yang hilang. Usaha misi Protestan dalam periode ini - meski tidak diumumkan, tidak diketahui, kurang diperhatikan dan bahkan telah dilupakan pada masa kini kecuali kritik yang tanpa pengetahuan - lebih daripada misi Katolik dan telah membuka jalan menegakkan aparatur pemerintahan yang demokratis di seluruh dunia: sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, universitas, dan dasar-dasar politik dari negara yang baru. Jika dipahami dengan benar, para misionaris Protestan dan rekan sejawat mereka Katolik Roma tentunya merupakan penggerak utama dari kekuatan luar biasa yang sedang berkembang di “Dunia Ketiga” pada hari ini.

Ambil China sebagai contoh. Dua pemimpin terbesar modernnya, Sun Yat-sen dan Chiang Kai-shek adalah orang Kristen. “Empat Jalan Modernisasi” dari Deng Shiau Ping adalah penekanan prinsip dari gerakan misi Barat di Tiongkok. Para misionaris telah mendirikan universitas di setiap propinsi di China, dll.

Tetapi jika negara Barat sendiri sekarang jatuh dan gagal ketika gelombang berbalik melalui negara-negara yang sebagian kecilnya diinjili (seperti pola yang terjadi pada periode sebelumnya), kita hanya bisa merujuk pada komentar Dawson mengenai kehancuran yang dibawa oleh orang-orang Viking – bahwa ini bukanlah “kemenangan orang-orang barbar.” Kejatuhan dunia Barat, dalam kasus itu, sebagiannya, akan dikarenakan memudarnya semangat dan kekuatan kafir di dunia non-Barat yang semakin berani dan diperkuat oleh pertemuan pertamanya dengan iman Kristen. Itu mungkin merupakan hukuman drastis bagi dunia Barat yang selalu menghabiskan uang bagi kosmetik ketimbang misi luar negeri mereka – akhir-akhir ini sepuluh kali lebih banyak.

Dari sudut pandang sekuler dan nasionalistik, tahun-tahun ke depan mungkin menjadi periode gelap bagi dunia Barat. Harapan dan aspirasi wajar dari orang Kristen bagi negara mereka mungkin hanya menemukan sedikit dasar untuk bisa optimis. Tetapi jika masa lalu benar-benar merupakan petunjuk, ini akan menjadi gelap sebelum terang terbit. Seluruh dunia Barat dalam bentuk politiknya yang sekarang mungkin akan berubah secara radikal. Kita mungkin bahkan tidak pasti akan kelangsungan hidup negara kita sendiri. Tetapi kita memiliki alasan dari pengalaman sebelumnya bahwa orang Kristen dan iman alkitabiah jelasnya akan bertahan dalam bentuk apa pun. Kita dapat segera menghitung bahwa selama abad ke-20, penduduk dunia Barat berkurang dari 18% menjadi 8% dari seluruh populasi dunia. Tetapi kita tidak dapat pesimis total. Melampaui penderitaan Roma hadir kemenangan Injil atas kaum Barbar. Melampaui penderitaan dunia Barat kita hanya bisa berdoa akan ada kemenangan atas kuasa Setan yang sedang membelenggu jutaan orang dalam ribuan kelompok suku bangsa – suku-suku bangsa yang sudah terlalu lama “diam di negeri yang dinaungi maut” dan sekarang “telah terbit Terang” (Mat. 4:16). Dan kita bisa tahu bahwa tidak ada dasar, di masa lalu maupun sekarang, untuk berasumsi bahwa segala peristiwa berada di luar kontrol Allah yang hidup.

Jika kita di dunia Barat menahan berkat yang kita miliki ketimbang membagikannya, maka kita akan, seperti bangsa-bangsa lain sebelum kita (Israel, Romawi, dll.) yang mungkin harus “kehilangan” berkat tersebut agar bangsa-bangsa yang tersisa dapat menerimanya. Allah belum pernah mengubah rencana-Nya selama 4.000 tahun terakhir. Namun alangkah baiknya untuk tidak berfokus pada bagaimana menahan berkat Allah bagi diri kita sendiri, melainkan berjuang dengan sengaja demi memperluas berkat yang luar biasa ini! Dengan cara itu “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3). Ini satu-satunya cara kita dapat terus berada dalam berkat Allah. Penyebaran Kerajaan Allah tidak akan berhenti pada kita di Barat (meskipun hal itu bisa meninggalkan kita). “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya” (Mat. 24:14). Allah dapat membangkitkan orang lain jika kita jatuh. Sungguh, seluruh sisa dari buku ini mengindikasikan bahwa hal ini sudah dan sedang terjadi.


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas