PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Identifikasi Dalam Tugas Misi

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


William D. Reyburn

Reyburn.jpg
William D. Reyburn melayani dengan United Bible Societies sebagai Konsultan Penerjemah di Amerika Selatan dan Tengah, Afrika Barat, Eropa dan Timur Tengah. Beliau melayani sebagai Koordinator Penerjemahan Sedunia yang berbasis di London, Inggris dari tahun 1968 sampai tahun 1972. Tulisan ini diadaptasi dari Readings in Missionary Anthropology II, disunting oleh William A. Smalley, 1978. Digunakan dengan izin dari William Carey Library, Pasadena, CA.


Hujan lebat telah turun terus-menerus dari sore hingga malam hari. Seekor keledai kecil diikuti sepasang pria secara perlahan menapaki sisi jalan menurun yang licin karena lumpur ke kota sepi bernama Banos, di dataran tinggi Andes di Ekuador. Tidak seorang pun yang memperhatikan ketika dua sosok gelap menambatkan keledai mereka di depan penginapan kecil Indian yang kurang terawat. Orang yang lebih tinggi melangkah masuk ke dalam di mana sekelompok pria duduk di meja kecil sambil minum chicha dengan lilin di atas meja. Segera setelah orang asing itu masuk ke dalam ruangan itu sebuah suara dari balik bar berseru, “Buenas noches, meester.” Orang yang mantelnya basah kuyup karena hujan berbalik dengan cepat untuk melihat seorang wanita berwajah gemuk berdiri separuh tersembunyi di belakang meja. “Buenas noches, senora,” dia menjawab, sambil sedikit mengangkat topinya. Setelah percakapan singkat pria dan pelayan bar muncul kembali di luar dan membawa keledai melalui gerbang kecil ke sebuah kandang yang berlumpur. Kedua pria itu menurunkan muatan mereka dan membawanya ke semacam kedai yang terletak di samping kandang tempat mereka menghabiskan malam itu. Saya duduk di jerami di lantai dan mulai membuka pakaian basah saya. Saya terus mendengar kata-kata meester yang semakin membuat saya tidak suka. Mengapa wanita kecil yang aneh yang berdiri di ruang agak gelap itu memanggil saya dengan meester? Saya melihat pakaian saya. Topi saya adalah topi terburuk seorang cholo di Ekuador. Celana saya tidak lebih dari sekumpulan tambalan yang disatukan oleh tambalan lain. Pada kaki saya yang ternoda lumpur kotor saya memakai sepasang kasut karet alpargatas sama seperti yang dipakai orang Indian atau cholo mana pun. Mantel merah saya bukan dari penganyam Otavalo yang berkelas tinggi. Itu hanya mantel orang miskin yang dibuat di Salcedo. Mantel itu tidak memiliki jumbai berkualitas tinggi dan sesuai dengan gaya busana cholo di mana ada sedikit jerami menggantung di tepiannya yang lebih rendah, menunjukkan bahwa saya adalah orang yang tidur dengan keledai di jalan. Tetapi mengapa wanita itu memanggil saya meester, suatu istilah yang hanya digunakan bagi orang Amerika dan Eropa? Setidaknya dia dapat memanggil saya dengan sebutan senor, tetapi tidak, dia memanggil saya meester. Saya merasa seolah-olah samaran saya yang dipikirkan dengan cermat telah dilucuti dengan penyebutan kata itu. Saya terus mendiskusikan hal itu dalam pikiran saya. Pasti bukan karena wanita itu mendeteksi aksen saya yang asing, karena saya belum membuka mulut saya. Saya berbalik melihat teman Indian Quechua saya, Carlos Bawa yang sudah tua dari Lake Colta. “Carlos, wanita itu tahu kalau saya seorang meester. Menurutmu bagaimana dia bisa tahu?” Teman saya duduk meringkuk di sudut ruangan dengan kaki dan tangan dilipat di bawah dua mantelnya. “Saya tidak tahu, patroncito.” Melihat dengan cepat ke arah Carlos saya berkata, “Carlos, selama tiga hari saya memintamu untuk tidak memanggil saya patroncito. Jika kamu memanggil saya dengan sebutan itu orang akan tahu kalau saya bukan seorang cholo.” Carlos menjentikkan jarinya keluar dari bawah mantel wolnya dan menyentuh pinggir topinya dengan hormat menjawab, “Saya terus lupa, meestercito.” Mual dan kulit yang gatal akibat terguyur hujan, saya merasa seperti orang bodoh yang harus menunjukkan diri. Saya duduk diam memperhatikan kelipan lilin ketika Carlos mengantuk untuk tidur di sudut ruangan. Saya terus mengingat wajah-wajah dari orang-orang di sepanjang tiga hari perjalanan kami. Kemudian saya teringat wajah wanita ini di Banos yang telah merampas saya dari apa yang tampaknya penyamaran sempurna. Saya bertanya-tanya jika mungkin saya tidak dianggap sebagai orang Eropa sebelumnya. Saya terluka, kecewa, dikecewakan dan lebih buruk lagi, saya sangat lapar. Merogoh ke dalam kantong bawaan kami, saya menarik keluar sebungkus tepung machica yang sudah disiapkan istri saya untuk kami, saya menuangkan sedikit air dan mengaduk gula merah dan campuran gandum dengan tangan saya serta menelannya dengan tergesa-gesa. Hujan mulai reda sekarang dan dari lobang di sudut atas ruangan saya dapat melihat awan melintas di bawah terang bulan. Sebuah gitar dimainkan dengan lembut di jalan dan di kedai di samping kami enam orang Indian baru kembali dari kandang itu dan sedang membahas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan mereka hari itu. Setelah mematikan lilin, saya bersandar menghadap dinding papan kasar dan mendengarkan percakapan mereka, kemudian akhirnya saya tertidur. Beberapa jam kemudian saya terbangun karena suara keriut pintu kami dibuka. Saya langsung berdiri dan melompat ke belakang pintu yang terbuka, menanti apa yang akan terjadi. Pintu itu perlahan tertutup dan saya mendengar Carlos tua menguap dan berjalan kembali ke tilamnya untuk tidur. Carlos baru kembali dari luar untuk melegakan dirinya. Teman perjalanan saya ini telah memperingatkan saya selama beberapa hari bahwa orang Indian sering saling merampok dan saya tidak boleh tertidur pulas. Sekarang sudah sepi, tidak sunyi sama sekali. Saya tidak tahu jam berapa sekarang, karena jam tangan tidak cocok dengan pakaian cholo saya. Saya berbaring di lantai berpikir tentang arti dari identifikasi. Saya terus bertanya kepada diri sendiri apa artinya mengidentifikasi diri dengan orang Indian Quechua tua ini yang jauh terpisah dari dunia nyata yang saya hidupi. Saya melakukan perjalanan ke pasa-pasarr Indian di pegunungan Andes Ekuador untuk mengetahui apa yang sebenarnya tersembunyi di hati dari orang Indian Quechua dan para cholo yang berbahasa Spanyol ini. Apa yang menjadi kerinduan nyata di hati mereka yang dapat disentuh? Saya ingin tahu mengapa kemabukan tampaknya bisa memuaskan mereka. Apakah seorang Indian Quechua memiliki kepribadian murung dan menarik diri seperti yang terlihat ketika ia berhadapan dengan patron-nya? Apakah dia begitu mampu menyesuaikan diri kepada kehidupan sehingga sikapnya bisa menggabungkan konflik apa pun tanpa secara serius mengganggunya? Apakah dia benar-benar seorang Katolik yang baik, orang kafir, atau kombinasi macam apa? Mengapa di dalamnya dia begitu menentang perubahan di luar? Apa yang dibicarakannya dan menjadi kekuatirannya ketika dia istirahat pada malam hari dalam keamanan dari kelompok kecilnya? Saya berusaha mengetahui akar yang berada di belakang simbol-simbol yang tampak di luar yang dapat merespons tuntutan Kristus. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membentuk dasar bagi sebuah teologi misi, suatu komunikasi yang relevan bagi kehidupan orang-orang ini. Saya melihat tidak ada gunanya menyodorkan proposisi Kristen di hadapan seseorang kecuali jika pernyataan tersebut dibuat dengan cara yang memaksanya untuk bergumul dengan pernyataan itu sampai ia menyerah kepada tuntutan tertinggi dan paling mendasar yang bisa ditempatkan kepadanya. Untuk mengetahui apa yang harus disampaikan kepada kedalaman keberadaan dirinya saya harus menerobos ke dalam apa yang saya yakini hanyalah tampilan luar dari kebutuhan yang lebih dalam di hatinya. Satu aspek utama dari tugas misi adalah mencari apa yang dalam bahasa Jerman disebut sebagai der Anknupfungspunkt, suatu koneksi atau titik temu. Proklamasi Injil tanpa titik temu merupakan proklamasi yang hanya menyentuh pinggiran tanggung jawab misi. Ini hanya proses di mana seseorang yang memberitakan kabar baik harus berusaha berhubungan dengan pendengarnya. Hati manusia bukan sebuah batu tulis yang bersih di mana Injil datang dan menulis di atasnya untuk pertama kali. Hati merupakan batu tulis yang kompleks yang sudah dicorat-coret dan telah dipahat secara mendalam sejak lahir sampai mati. Penciptaan orang percaya selalu dimulai dari orang yang belum percaya. Jelas ini adalah tugas Roh Kudus. Namun, ini tidak menggeser seseorang dari posisi tanggung jawabnya. Manusialah yang dalam pendengaran dan pengertian rasionalnya dibangunkan untuk menjadi percaya. Ini merupakan penaklukkan dari tipuan dasar manusia yang mengizinkan Roh Kudus untuk menuntut hak atas dirinya dan menjadikannya ciptaan baru. Seorang manusia harus sadar bahwa dia dalam posisi melawan panggilan Allah sebelum bisa dibuat mengerti oleh kasih Allah. Sebelum seorang musuh dapat ditawan, dia harus berdiri dalam posisi sebagai seorang musuh dulu.

Bentuk-bentuk Identifikasi
Identifikasi misionaris dapat mengambil banyak bentuk yang berbeda. Bisa bersifat romantis atau bisa menjemukan. Bisa meyakinkan atau bisa tampak sebagai suatu kepura-puraan. Pokok utamanya adalah bahwa identifikasi bukanlah sasaran pada dirinya sendiri. Itu adalah jalan menuju kepada proklamasi Injil. Demikian juga inti dari masalah kontroversial tentang identifikasi misionaris ini bukanlah seberapa jauh kita dapat melakukannya tetapi apa yang kita lakukan dengan buah-buah dari identifikasi ini. Menjadi seperti penduduk asli bukan kebajikan khusus. Banyak misionaris dalam kebosanan akan rutinitas harian mereka di sekolah atau rumah sakit bisa menyadarkan hati manusia kepada tuntutan Injil. Sebagian dari apa yang disebut identifikasi telah salah arah dan cenderung menciptakan kesan bahwa hidup dalam desa sesuai dengan kehidupan lokal atau belajar bahasa lokal secara otomatis dapat membuka hati penduduk lokal. Bukan hanya kuantitas identifikasi yang penting, sebaliknya kualitas yang bertujuan yang memahami manusia sebagai keberadaan yang bertanggung jawab yang sedang berusaha berhubungan dengan realitasnya. Keterbatasan dalam mengetahui realitas yang dihubungi ini sangatlah besar. Halangan praktis bagi identifikasi misionaris sangat banyak. Dalam halaman berikut kita akan berusaha membahas sebagian dari hal tersebut sebagaimana kita telah hidup dengan mereka dan menilai dampak dari kurangnya identifikasi dan partisipasi misionaris.

Kekuatan dari Kebiasaan yang Tidak Sadar
Tidak dapat disangkal bahwa natur dari halangan untuk identifikasi adalah fakta bahwa seseorang begitu terbiasa dengan cara hidupnya sehingga ia melakukannya tanpa refleksi yang sadar. Dalam kasus yang telah dijelaskan di atas, Carlos Bawa, seorang Indian Quechua, keledai dan saya telah berkelana di sepanjang dataran tinggi Andes menghabiskan berhari-hari di pasar dan bermalam-malam terkurung di ruang kecil yang tersedia bagi orang Indian yang dalam perjalanan keliling dan para cholo dengan harga kira-kira 10 sen uang Amerika. Kami telah melewati Riobamba sampai ke Banos, tiga hari berjalan kaki melintasi jalanan, dan tidak seorang pun yang kecuali seekor anjing yang melihat bahwa semua ini bukan hal yang normal. Barulah pada saat saya melangkahkan kaki masuk ke penginapan yang diterangi lilin di Banos saya dilihat sebagai orang asing (setidaknya demikian). Saya curiga hal tersebut sangat mengganggu saya karena saya telah menciptakan ilusi selama beberapa hari kalau saya pada akhirnya telah berada dalam dunia para Indian cholo, melihat sekeliling dan bukanlah yang paling menonjol tentang hal tersebut. Ketika penjaga penginapan menyebut saya sebagai meester, saya terkejut karena tiba-tiba saya merasa dibuang keluar dari dunia kecil di mana saya mengira saya akhirnya sudah mendapat jalan masuk yang kokoh. Pagi berikutnya saya pergi ke wanita penjaga penginapan dan duduk di bar. Saya berkata, “Tolong katakan kepada saya senora, bagaimana Anda tahu saya seorang mister dan bukan seorang senor atau cholo setempat dari Riobamba?” Wanita kecil yang gemuk itu matanya berkilauan seraya tertawa terkikik-kikik malu. “Saya tidak tahu pastinya,” jawabnya. Saya mendesaknya untuk mencoba menjawab, karena saya sangat bingung dengan semua ini. Saya melanjutkan. “Bayangkan Anda seorang detektif, senora, dan Anda disuruh untuk menangkap seorang pria Eropa yang berpakaian lusuh seperti seorang pedagang cholo. Bagaimana Anda dapat megnenali pria itu jika dia datang ke penginapan Anda?” Wanita itu menggaruk kepalanya dan mencondongkan badannya ke arah meja penerima tamu. “Pergi keluar dan kembali masuk seperti Anda masuk pertama kali tadi malam.” Saya mengambil topi tua saya, menekannya dalam sampai menutupi kepala saya, dan berjalan ke pintu. Sebelum saya mencapai jalanan wanita itu berseru, “Sebentar senor, saya tahu alasannya.” Saya berhenti dan berbalik. “Itu karena cara Anda berjalan.” Wanita itu tertawa lepas pada saat itu dan berkata, “Saya belum pernah melihat orang di sekitar ini yang berjalan seperti itu. Kalian orang Eropa mengayunkan lengan kalian seperti tidak pernah membawa beban di punggung kalian.” Saya berterima kasih kepada wanita baik itu atas pelajaran tentang sikap tubuh dan keluar ke jalanan untuk mempelajari bagaimana orang lokal di sana berjalan. Memang terlihat, langkah-langkah mereka pendek dan berubah-ubah dengan cepat, badannya sedikit condong ke depan dari pinggul dan lengan mereka hampir tidak bergerak di dalam mantel besar mereka.

Batasan dalam Identifikasi
Mungkin contoh yang paling istimewa yang saya ingat tentang batasan dari identifikasi terjadi sementara saya tinggal di pondok berlumpur dan beratap ilalang kering di dekat Tabacundo, Ekuador. Kami telah bergerak masuk ke sebuah pemukiman pertanian kecil yang tersebar dekat Sungai Pisque sekitar satu kilometer dari United Andean Mission yang untuk mereka kami sedang melakukan penelitian. Istri saya dan saya setuju jika kami harus menyelesaikan apa pun di U.A.M. kami akan harus menetap di antara orang lokal di sana dan berusaha membuat mereka menerima atau menolak kami. Pada akhirnya kami memang diterima tetapi selalu dengan keengganan untuk menyatakan sesuatu yang ada dalam pikiran mereka. Kami selalu mengenakan pakaian Indian dan selalu makan makanan Indian. Kami tidak memiliki perabot kecuali sebuah tempat tidur yang terbuat dari batang pohon yang sudah sangat tua yang ditutupi dengan tikar yang dianyam sama seperti semua rumah orang Indian. Faktanya, karena kami tidak memiliki peralatan bertani, alat menganyam, atau tempat penyimpanan benih, rumah satu kamar kami adalah rumah yang paling kosong di sekitar situ. Terlepas dari pengurangan materi sampai tidak ada sama sekali, para pria di sana memanggil saya sebagai patroncito. Ketika saya menolak bahwa saya bukan seorang patron karena saya tidak memiliki tanah mereka mengingatkan saya bahwa saya memakai sepatu kulit. Saya langsung mengubahnya dengan sepasang alpargatas buatan lokal yang solnya dari serat tali rami dan bagian atasnya dari anyaman katun. Setelah beberapa waktu lewat, saya memperhatikan bahwa mengubah alas kaki saya sama sekali tidak menghilangkan sebutan patroncito. Ketika saya kembali bertanya, para pria di sana menjawab bahwa saya bergaul dengan orang-orang Spanyol di kota yang berasal dari Tabacundo. Dengan begitu, saya jelas mengidentifikasi diri saya dengan kelas patron. Untuk suatu periode waktu, saya berusaha menghindar dari orang kota tersebut tetapi istilah patroncito kelihatannya sudah tetap secara permanen bagi saya sama seperti pada hari kami masuk ke dalam komunitas ini. Para pria diharuskan oleh komisioner lokal untuk memperbaiki jalan yang tidak dapat dilalui yang menghubungkan komunitas ini dengan Tabacundo. Saya bergabung dalam pekerjaan ini bersama dengan orang Indian sampai akhirnya pekerjaan itu selesai dua bulan kemudian. Tangan saya sudah menjadi kasar dan mengeras. Suatu hari saya dengan bangga menunjukkan tangan saya kepada sekelompok pria ketika mereka sedang menghabiskan satu kendi minuman chica fermentasi. “Kalian tidak bisa mengatakan kalau saya tidak bekerja bersama kalian. Mengapa kalian masih memanggil saya patroncito?” Kali ini kebenaran semakin jelas tampak, dipaksakan oleh jawaban tidak terhalang oleh pengaruh alkohol. Vicente Cuzco, pemimpin kelompok itu, berdiri dan meletakan tangannya di sekitar pundak saya dan membisikkan di telinga saya. “Kami memanggil Anda patroncito karena Anda tidak dilahirkan dari seorang ibu Indian.” Saya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Kepemilikan Senapan
Hidup di sebuah desa Afrika menyebabkan kami menyadari akan dampak sikap yang membentuk kami dari latar belakang kami. Salah satunya secara khusus adalah ide tentang kepemilikan pribadi. Ketika kami tinggal di desa Aloum di Kamerun selatan di antara suku Bulu untuk belajar bahasa lokal, kami diterima dengan keramahan yang sangat pada hari pertama. Kami diberikan nama keluarga dari suku Bulu, desa itu menari selama beberapa malam dan kami dipenuhi dengan hadiah berupa seekor kambing dan berbagai macam makanan tropis. Kami diundang untuk tinggal di Aloum dan kami tidak sepenuhnya siap secara psikologis untuk memahami bagaimana adopsi semacam itu terkandung di dalam pemikiran suku Bulu. Perlahan kami mulai belajar bahwa kepemilikan kami tidak lagi menjadi milik pribadi tetapi harus tersedia untuk digunakan secara kolektif oleh sub-marga di tempat di mana kami diadopsi. Kami mampu menyesuaikan diri dalam praktik ini karena kami memiliki kira-kira status material yang sama seperti orang lainnya dalam desa ini. Tuntutan mereka atas barang kami tidak sebesar keramah-tamahan yang murah hati yang dengannya mereka menyediakan hampir semua makanan bagi kami. Kemudian suatu malam saya menangkap pandangan baru tentang implikasi dari hubungan kami dengan suku di Aloum. Seorang asing muncul di desa dan kami kemudian tahu bahwa suku Aloum adalah kampung halaman dari saudara laki-laki ibunya. Ini merupakan kasus keponakan laki-laki di kota dari paman dari pihak ibunya, suatu hubungan sosial yang sangat menarik dalam masyarakat patrilineal di Afrika. Pada malam hari ketika para pria yang menjadi pemimpin desa ini berkumpul di ruang pertemuan pria, saya pergi ke sana dan duduk di antara mereka mendengarkan percakapan mereka. Api di lantai memperlihatkan bayangan yang tampak berdansa pada dinding lumpur di situ. Akhirnya keheningan menutupi percakapan mereka dan pemimpin desa itu bangkit dan mulai berbicara dalam nada yang sangat tenang. Beberapa orang muda bangkit dari posisi mereka di dekat api dan pergi keluar untuk mengambil posisi berjaga demi memastikan orang yang tidak diundang akan mendengar tanpa sengaja perkembangan berbagai peristiwa penting ini. Pemimpin desa berbicara tentang penyambutan keponakannya ke dalam desanya dan memastikan kunjungan singkat yang aman sementara dia di sana. Setelah berbagai formalitas pendahuluan ini selesai, pemimpin ini mulai memuji keponakannya sebagai seorang pemburu gajah yang hebat. Saya masih tidak mengerti bagaimana semua ini berdampak kepada saya. Saya mendengarkan saat dia menyanjung kebajikan keponakannya sebagai pemburu yang trampil. Setelah pemimpin itu selesai, seorang tetua lain berdiri dan melanjutkan mengutip beberapa peristiwa dalam hidup keponakan itu yang menunjukkan keberanian yang luar biasa menghadapi bahaya di hutan belantara. Satu demi satu mengulangi kisah-kisah ini sampai pemimpin itu kembali berdiri. Saya dapat melihat daerah putih di matanya terarah kepada saya. Api membuat bayangan kecil menari pada wajah dan tubuhnya yang hitam. “Obam Nna,” dia berkata kepada saya. Senyum lebar memperlihatkan sederetan gigi yang mengkilat. “Kami akan menghadiahkan senapan kami kepada keponakan saya sekarang ini. Pergi ambillah itu.” Saya pada saat itu sedikit ragu tetapi kemudian berdiri dan menyeberangi halaman yang disinari bulan menuju ke pondok kami yang beratapkan ilalang kering di mana Marie dan beberapa wanita di desa itu sedang duduk bercakap-cakap. Terus terngiang dalam pikiran saya: “Kami akan menghadiahkan senapan kami … senapan kami … “ Seperti sebuah rekaman rusak yang mandeg pada beberapa kata ganti kepemilikan jamak. Kalimat it terus berulang di telinga saya, “… ngale jangan … ngale jangan …” Sebelum saya mencapai pondok itu saya sudah memikirkan beberapa alasan mengapa saya harus mengatakan tidak. Namun saya mengambil senapan itu dan beberapa selongsong peluru dan kembali ke ruang pertemuan. Ketika saya memasuki ruangan itu kembali, saya menangkap kembali pengertian tentang dunia Obam Nna. Jika saya mau menjadi Obam Nna, saya harus berhenti menjadi William Reyburn. Untuk menjadi Obam Nna saya harus menyalibkan William Reyburn hampir setiap hari. Di dunia Obam Nna saya tidak lagi memiliki senjata itu seperti di dalam dunia William Reyburn. Saya menyerahkan senjata itu kepada pemimpin suku dan, meskipun dia tidak mengetahuinya, bersama dengan penyerahan pandangan yang kikir tentang kepemilikan pribadi.

Nilai Simbolis dari Makanan
Masalah lain dalam partisipasi desa adalah urusan makanan dan air. Saya pernah pergi ke desa Lolo untuk menjalankan beberapa penelitian yang terkait dengan penerjemahan kitab Kisah Para Rasul dan sama sekali tidak membawa makanan Eropa, bertekad menemukan dampak dari makanan suku Kaka. Saya menemukan bahwa campuran sederhana dari tepung singkong dan air panas untuk membentuk sebuah bubur yang adalah makanan istimewa yang bisa bertahan. Pada satu kesempatan ini selama enam minggu mengonsumsi makanan ini, saya tidak kehilangan berat badan, tidak diare dan tidak menderita dampak negatif lainnya. Semua makanan ini disiapkan oleh para wanita di desa dan saya biasanya makan di tanah dengan para pria di mana pun saya berada ketika seorang wanita menghidangkan makanan. Pada beberapa kejadian ketika saya tidak berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat itu berarti pergi tidur dengan perut kosong. Saya dengan cermat menghindar dari meminta wanita mana pun untuk menyiapkan makanan, terutama makanan bagi saya, karena ini memiliki konotasi seksual yang tidak ingin saya langgar. Satu kali saya sedang berbicara sepanjang siang dengan sekelompok pria dari suku Kaka dan para pemuda di sana mengenai makanan yang dimakan orang-orang di seluruh dunia. Salah satu pemuda di situ mengambil Alkitab bahasa Bulunya dan membaca Kisah Para Rasul pasal 10 tentang penglihatan Petrus yang diperintahkan untuk membunuh dan memakan “berbagai jenis binatang berkaki empat, binatang menjalar dan burung.” Pemuda suku Kaka yang pernah belajar sebentar di sekolah misi ini berkata, “Orang Hausa tidak percaya ini karena mereka tidak makan babi. Kami pikir para misionaris juga tidak percaya ini karena mereka tidak mau makan beberapa makanan kami.” Saya dengan cukup yakin memastikan kepada pemuda itu bahwa misionaris pasti mau makan makanan yang dia makan. Malam itu saya dipanggil ke rumah ayah pemuda itu, di mana seorang tua duduk di tanah yang kotor. Di hadapannya ada dua loyang putih mengkilap yang ditutupi oleh penutup loyang. Dia melihat saya dan menyuruh saya duduk. Istrinya membawa mangkuk dari buah labu kering berisi air yang dituangkan ke tangan kami untuk mencuci tangan. Kemudian sambil menjentikkan jemarinya yang basah ke udara untuk sedikit mengeringkannya, orang tua itu mengangkat penutup dari salah satu loyang. Uap keluar dari bubur tepung singkong yang penuh tersebar rapi di dalamnya. Kemudian dia mengangkat tutup lainnya. Saya sekilas melihat isinya. Kemudian mata saya membelalak dan bertemu dengan tatapan tanpa senyum dari pemuda yang telah membaca tentang penglihatan Petrus siang hari tadi. Loyang itu dipenuhi dengan ulat sutera hangus. Saya menelan air liur saya dengan berat, berpikir, saya harus menelan ulat-ulat ini atau menelan perkataan saya dan dengan itu sekali lagi membuktikan bahwa orang Eropa hanya sekadar menyesuaikan Kekristenan dengan cara hidup mereka yang egois. Saya menunggu ketika tuan rumah saya memasukkan tangannya seperti sekop ke dalam ke loyang bubur tepung singkong, kemudian mengambil segumpal bubur itu dan membenamkannya ke dalam loyang yang berisi ulat sutera hangus. Seraya dia mengangkat tangannya ke dalam mulutnya yang terbuka saya melihat makhluk-makhluk yang terbakar dan samar-samar di dalamnya, sebagian terbenam ke dalam bubur dan sebagian lainnya berayun-ayun memasuki giginya. Tuan rumah saya sudah membuktikan bahwa makanannya aman dengan mengambil bagiannya terlebih dahulu. Ini adalah jaminan bahwa dia tidak sedang memberikan racun kepada saya. Saya mencelupkan jari-jari saya ke bubur itu tetapi mata saya terpaku pada ulat-ulat. Saya bertanya-tanya seperti apa sensasinya nanti di dalam mulut saya. Saya dengan cepat menyendok beberapa makhluk yang merayap itu dan menceburkannya ke dalam mulut saya. Ketika saya menggigitnya, benda lembut itu mengeluarkan cairan dan saya terkejut karena rasanya seperti daging asin yang tampaknya memberi cita rasa yang hilang kepada bubur tepung singkong yang hambar itu. Kami duduk dengan tenang makan. Tidak ada waktu untuk percakapan di “meja makan” suku Kaka karena ketika tuan rumah pertama kali menyendok makanannya tangan-tangan lainnya muncul dari berbagai arah dan isinya langsung habis. Ketika kami duduk makan dengan cepat tiga istri dari orang tua itu dengan anak-anak perempuan mereka datang dan berdiri menyaksikan kami dari pintu dapur mereka. Mereka mengangkat tangan mereka dan sibuk berbisik-bisik, “Orang kulit putih Kaka ini makan ulat-ulat. Dia benar-benar memiliki hati orang kulit hitam.” Loyang itu sudah kosong. Masing-masing meminum air penuh di mulutnya, berkumur-kumur dan meludahkannya ke sampingnya, dan bersendawa dengan keras serta berkata “Terima kasih Ndjambie” (Allah), berdiri dan menyimpang ke tempat yang sedikit dilatari tenggelamnya matahari. Catatan saya pada malam itu berisi sebaris kalimat ini: “Loyang ulat sutera yang kosong tadinya lebih meyakinkan ketimbang semua metafora kosong tentang kasih yang cenderung dikeluarkan oleh para misionaris terhadap orang kafir.”


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas