PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Dasar Alkitabiah untuk Mandat Misi Menjangkau Dunia

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Johannes Verkuyl

Johannes Verkuyl tadinya adalah Profesor dan Kepala Departemen Misiologi dan Penginjilan di Free University of Amsterdam. Pada tahun 1940, beliau pergi ke Indonesia dan melayani sebagai seorang misionaris selama beberapa tahun. Ketika Jepang menjajah Indonesia selama Perang Dunia II, beliau tidak mau pergi dan tinggal selama tiga tahun di kamp konsentrasi Jepang. Beliau telah menulis lebih dari 250 buku dan artikel.

Allah memilih Israel dengan maksud supaya Israel bersaksi kepada bangsa-bangsa lain.

Abad 20 telah menghasilkan cabang kepustakaan yang kokoh yang menganggap Perjanjian Lama sebagai dasar yang sangat diperlukan dan tidak tergantikan bagi tugas misioner Gereja di antara bangsa dan kaum di dunia ini. Sebagai seorang yang telah sering menggunakan kepustakaan, saya ingin melihat empat alasan dalam Perjanjian Lama yang membentuk dasar yang sangat diperlukan untuk panggilan Perjanjian Baru bagi Gereja untuk terjun dalam misi menjangkau dunia: alasan universal, alasan penyelamatan dan pembebasan, alasan misionaris dan alasan antagonistik.

Daftar isi

Alasan Universal

Allah yang di dalam Perjanjian Lama menyatakan diri-Nya sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub, dan yang menyingkapkan kepada Musa nama pribadi-Nya, Yahweh, adalah Allah atas seluruh dunia. Pengalaman dari beberapa bapa-bapa leluhur dan kemudian satu bangsa, Israel, dengan Allah ini akhirnya berkembang mencakup seluruh dunia. Kita hanya akan mengutip sedikit bagian dari Perjanjian Lama untuk menggambarkan alasan universal ini.

Daftar Bangsa-Bangsa di Kejadian 10

Kejadian 10, dengan teks yang memberikan rincian daftar bangsa-bangsa di dalamnya, adalah sebuah hal yang penting untuk memahami alasan universal dari Perjanjian Lama. Gerhard von Rad mendeskripsikannya sebagai kesimpulan dari sejarah Penciptaan. Kemunculan semua bangsa berasal dari tangan Allah yang kreatif dan berada di bawah pengawasan mata-Nya yang penuh kesabaran dan pertimbangan. Bangsa-bangsa bukanlah sekedar hiasan yang tidak memiliki arti dalam drama antara Allah dan manusia; melainkan, bangsa-bangsa – yaitu umat manusia secara keseluruhan – merupakan bagian dari drama itu sendiri. Karya dan aktivitas Allah diarahkan kepada seluruh umat manusia.

Inilah salah satu kebenaran mendasar dari Kejadian 1-11, catatan permulaan sejarah; kebenaran ini juga ditemukan di dalam catatan menjelang akhir sejarah, yaitu kitab Wahyu yang ditulis oleh Yohanes. Allah yang sama yang menyatakan diri-Nya kepada Israel dan berdiam di tengah-tengah kita di dalam Yesus Kristus memperkenalkan diri-Nya sebagai Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Dia tidak selesai bekerja sampai “semua lidah dan bangsa” dan “sekumpulan besar orang banyak” telah dikumpulkan di sekeliling tahta-Nya (Why. 5:9-10; 7:9-17). Allah sedang memotong jalan setapak tepat menembus kegiatan manusia yang melelahkan dan berat di dalam sejarah untuk mencapai tujuan-Nya di antara bangsa-bangsa.

Pilihan Allah Atas Israel dengan Pandangan-Nya Kepada Bangsa-Bangsa

Setelah Alkitab menyelesaikan catatannya tentang penghakiman Allah atas bangsa-bangsa, yang digambarkan dengan begitu jelas seperti keadaan yang sebenarnya di dalam bagian kitab Kejadian tentang Menara Babel, kini beralih ke pasal 12 tentang panggilan Allah kepada Abraham untuk meninggalkan daerah Ur di Kaldea.

“Allah seluruh bumi” pada pandangan pertama tampaknya membatasi ketertarikan-Nya kepada sejarah atas satu keluarga dan suku saja, namun sebenarnya, tidak ada yang terlalu jauh dari kebenaran. Dalam kata-kata de Groot, “Israel merupakan awal dalam pernyataan keselamatan Allah, bukan akhir/Amin,” 1

Untuk sesaat, Israel, “keturunan Abraham,” dipisahkan dari bangsa-bangsa lain (Kel. 19:3 dst; Im. 7:14 dst), namun hanya dengan demikian melalui Israel Allah dapat meratakan jalan menuju tercapainya tujuan-Nya untuk menjangkau dunia. Dengan memilih Israel sebagai suatu bagian dari semua umat manusia, Allah tidak pernah melepaskan mata-Nya dari bangsa-bangsa lain; Israel adalah golongan minoritas yang dipanggil untuk melayani golongan mayoritas.2

Pilihan Allah atas Abraham dan Israel penting bagi seluruh dunia. Dia sungguh-sungguh berjanji kepada Israel justru karena Dia sedang memelihara pernyataan pribadi-Nya atas seluruh dunia. Untuk berbicara kepada dunia ini dalam keseluruhan waktu, Dia membutuhkan sebuah bangsa. Studi akhir-akhir ini yang tidak terhitung banyaknya menekankan hal ini: Allah memilih Israel dalam persiapan untuk menyelesaikan maksud universal-Nya yang terbuka dan tersingkap.

Allah memilih Israel dengan maksud bahwa Israel akan bersaksi kepada bangsa-bangsa lain. Kapan pun di saat Israel melupakan ini dan menolak bangsa-bangsa dalam kesombongan berpusat pada diri sendiri, nabi-nabi seperti Amos, Yeremia, dan Yesaya menyerang keinginan etnosentris bangsa dan menuduh mereka menumbangkan maksud Allah yang sebenarnya (lih. khususnya Am. 9:9-10).

Terobosan Alasan Universal di dalam Pembuangan

Pengalaman Israel selama abad 7 dan 6 SM membuka mata Israel terhadap maksud universal Allah. Pada waktu Israel mengalami pengalaman bencana yang besar dengan dikalahkan oleh Babel dan diangkut keluar ke dalam pembuangan, nabi-nabi muncul untuk melihat betapa dekatnya karir Israel terikat dalam sejarah bangsa-bangsa. Di luar penghukuman yang dirasakan oleh Israel, berkembanglah harapan akan sebuah perjanjian yang baru, perjalanan pembebasan yang baru, Anak Daud yang lain. Baik Yeremia, Yehezkiel, dan Yesaya; mereka melihat sudut pandang ini berkembang dan menyaksikan bahwa semua bangsa sekarang berada di dalam sorotan janji Allah. Penglihatan apokaliptis Daniel meramalkan kedatangan Anak Manusia yang kerajaan-Nya akan mengakhiri kerajaan-kerajaan di dunia dan yang kekuasaan-Nya meliputi seluruh bangsa (Dan. 7:1-28).

Alasan Penyelamatan dan Pembebasan

Yahweh, Penebus Israel

Tema soteriologika (berkaitan dengan keselamatan) dari Alkitab, yaitu, karya Allah menyelamatkan dan membebaskan baik Israel maupun bangsa-bangsa lain, terikat erat dengan tema universalisme. Yahweh, Allah seluruh bumi, menunjukkan kasih-Nya dan memegang janji-Nya kepada Israel dengan membebaskannya dari ikatan perbudakan dengan tangan-Nya yang kuat dan terbentang (lih. Im. 9:26; 13:5; 15:15; 24:18). Ini adalah bagian dasar dari kepercayaan Isreal dan sangat penting untuk memahami perintah yang utama. Allah ini – yang menyelamatkan dan membebaskan – adalah satu-satunya Allah. “Jangan ada Allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20). Kepercayaan ini mengubah Israel dari hanya sekadar menjadi satu bangsa di antara bangsa-bangsa lain ke dalam komunitas yang terpilih yang memiliki satu-satunya keberadaan bagi tindakan pembebasan Allah dan kembalinya pujian bagi Dia dalam mazmur dan doa syukur.

Yahweh, Penebus Bangsa-Bangsa

Nabi-nabi Israel semakin menyadari bahwa bukan hanya Israel yang akan ikut ambil bagian dalam karya penebusan Allah. Allah akan menerobos masuk untuk mengembalikan Ketuhanan-Nya yang memerdekakan atas seluruh dunia bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa lain berziarah kembali ke Sion, gunung Tuhan. Para nabi menggambarkan orang-orang dari bangsa-bangsa lain ketika kembali ke Yerusalem, dimana Allah Israel akan muncul sebagai Allah atas semua orang (lih. Yes. 2:1-4; Mi. 4:1-4; Yer. 3:17; Yes. 25:6-9; Yes. 60; Za. 8:20 dst).

Beberapa mazmur menyanyikan tema ini juga. Mazmur 87 menyatakan Yerusalem sebagai kota yang berhubungan dengan seluruh gereja yang penduduknya suatu hari kelak mencakup penduduk dari berbagai bangsa, bahkan dari bangsa-bangsa yang pernah menentang Allah Israel mati-matian. Mereka akan bergabung dalam perayaan persekutuan Allah yang dipulihkan dengan umat-Nya.

Cara Allah untuk Mencapai Pembebasan

Alkitab juga menggambarkan alat-alat yang dipakai Allah untuk mendatangkan keselamatan kepada Israel dan bangsa-bangsa. Tidak ada bagian dari Perjanjian Lama yang menggali dengan lebih dalam ke hal ini daripada yang disebut nyanyian “Hamba” di Yesaya 40-55. Nyanyian-nyanyian Hamba ini tidak diragukan lagi menunjuk kepada penyebaran keselamatan ke seluruh dunia. Hamba itu akan membawanya ke ujung bumi (Yes. 49:6), dan Dia tidak akan berhenti sampai kebenaran menang mengatasi bumi. Segala pulau menantikan petunjuk-Nya (Yes. 42:4).

Nyanyian Hamba yang keempat di pasal 53 menyibakkan rahasia bagaimana Hamba Tuhan akan menunaikan misi-Nya. Bagian yang sangat memilukan ini melukiskan Hamba yang menjadi korban dari pembunuhan kejam manusia yang paling biadab. Segala jenis penganiayaan yang dapat direncanakan oleh pikiran manusia akan terjadi atas diri-Nya. Namun, Hamba pada saat itu juga bertindak sebagai pengganti yang mengadakan penghukuman Allah yang seharusnya ditujukan bukan hanya kepada Israel tetapi kepada semua kaum dan bangsa. Terlebih lagi, bagian ini menggambarkan bangsa-bangsa sebagai pemberian Yahweh kepada Hamba sebagai ganti kerelaannya untuk taat mengalami kematian. Dia memperoleh hak untuk mendatangkan keselamatan dan pemulihan untuk semua orang.

Alasan Misioner

Berkaitan dengan alasan-alasan Perjanjian Lama lain yang disebutkan sebelumnya adalah alasan misionaer. Nabi-nabi tidak pernah lelah mengingatkan Israel bahwa pilihannya bukanlah sebuah hak istimewa yang bisa dia simpan untuk dirinya sendiri; pilihan itu adalah panggilan untuk melayani. Itu melibatkan sebuah tugas untuk bersaksi di antara bangsa-bangsa. Israel haruslah menjadi sebuah tanda bagi bangsa-bangsa lain bahwa Yahweh adalah Pencipta sekaligus Pembebas. Salah satu nyanyian Hamba (Yes. 49:6) mengacu kepada mandat Israel untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa.

Sebenarnya semua penulis yang berusaha untuk menjelaskan panggilan Israel ini menemukan konsep tentang kehadiran. Dipilih oleh Allah untuk menjadi penerima khusus atas belas kasihan dan keadilan-Nya, Israel sekarang memiliki tugas yang sama untuk hidup sebagai umat Allah di antara bangsa-bangsa lain untuk menunjukkan kepada mereka anugerah-Nya, belas kasihan-Nya, keadilan-Nya, dan kuasa-Nya untuk memerdekakan. Berulang kali para nabi mencatat kekecewaan mereka yang mendalam atas sabotase Israel yang berulang kali atas panggilan ilahinya. Tetapi bagaimana membaranya kemarahan mereka yang pada tempatnya terhadap ketidaktaatan Israel, nabi-nabi terus mengingatkan Israel akan mandat utamanya untuk hadir di antara bangsa-bangsa lain sebagai umat yang dikhususkan dan keimaman yang rajawi.

Perlu diperhatikan bahwa sejak Perang Dunia II, sejumlah ahli misi telah mendesak kehadiran orang Kristen sebagai salah satu metode yang utama untuk menyatukan pekerjaan misi zaman ini. Untuk berbagai alasan dan bermacam cara, mereka menyatakan bahwa bentuk kesaksian yang paling sesuai terletak pada hanya dengan menjadi kaum yang khusus dan tinggal di antara kaum lainnya. Ini bukanlah tempat untuk mengembangkan gagasan ini lebih lanjut, namun hanya untuk menunjukkan bahwa gagasan tentang kehadiran adalah saksi yang memiliki akar yang dalam diPerjanjian Lama. Para nabi terus menyatakan kepada Israel bahwa dengan tindakan menyaksikan perjanjian ilahi untuk melayani itu juga, Israel menjadi tanda dan jembatan bagi bangsa-bangsa lain.

Namun, saya tidak percaya bahwa melihat alasan misioner hanya di dalam pemahaman konsep tentang kehadiran adalah sebagai hal yang benar. Saya benar-benar tidak mengerti mengapa beberapa penulis yang berbeda menyatakan satu hal yang mengakui bahwa Perjanjian Lama sama sekali tidak menyebutkan mandat misionaris. Lalu di sana ada jelas-jelas sejumlah orang yang meninggalkan hidup lama penyembahan berhala mereka dan oleh kesaksian melalui perkataan dan perbuatan, mereka dimenangkan untuk percaya dan melayani Allah yang hidup, yang telah menunjukkan belas kasihan kepada mereka. Kisah Melkisedek, Rut, Ayub, orang-orang Niniwe yang dijelaskan di kitab Yunus, dan banyak lainnya di Perjanjian Lama merupakan jendela yang melaluinya kita bisa melihat akan penyebaran yang pesat dari orang-orang di luar bangsa Israel dan mendengar sayup-sayup panggilan misi kepada semua orang diserukan.

Kesusateraan yang berisi hikmat di Perjanjian Lama mirip dengan budaya Yunani maupun Mesir baik dalam bentuk maupun isinya. Tidak diragukan, kesusateraannya sendiri menjadikan Israel sebagai alat untuk mengomunikasikan kepercayaannya kepada bangsa-bangsa lain.

Lagipula, tidak ada cara untuk menjelaskan hebatnya pengaruh misionaris Yudaisme selama Diaspora3 daripada untuk menegaskan bahwa terseraknya orang-orang Yahudi dari masa awal mereka telah mendengar dan mengerti panggilan mereka untuk bersaksi secara langsung sekaligus melalui kehadiran mereka.

Alasan Antagonisme

Daftar alasan-alasan misioner Perjanjian Lama di atas tidaklah lengkap. Secara rumit terhubung dengan masing-masing hal yang disebutkan di atas adalah alasan antagonistik, yaitu, pergulatan hebat Yahweh melawan kuasa-kuasa dan kekuatan-kekuatan yang melawan otoritas-Nya yang memerdekakan dan penuh anugerah.

Keseluruhan Perjanjian Lama (dan juga Perjanjian Baru) dipenuhi dengan penggambaran tentang bagaimana Yahweh-Adonai, perjanjian Allah Israel, menyulut perang melawan kekuatan-kekuatan yang berusaha untuk menghalangi dan menumbangkan rencana-Nya untuk ciptaan-Nya itu. Dia berperang melawan allah-allah palsu yang telah dibuat oleh manusia dari dunia yang diciptakan-Nya, mereka memberhalakannya, dan memakainya untuk kepentingan mereka sendiri.

Pikirkanlah, misalnya, mengenai Baal dan Asytarot, yang para penyembahnya meninggikan alam, suku, negara dan bangsa mereka ke dalam status ilahi. Allah melawan sihir dan ilmu perbintangan yang, menurut Kitab Ulangan, membengkokkan batas antara Allah dan ciptaan-Nya. Dia menentang semua bentuk ketidakadilan sosial dan menyingkapkan semua selubung yang hendak dipakai untuk menyembunyikan ketidakadilan itu (lih. Amos dan Yeremia, misalnya).

Keseluruhan Perjanjian Lama membara dengan keinginan yang tergesa-gesa untuk mengalahkan kuasa yang menentang ini. Ada penglihatan-penglihatan yang luar biasa tentang kerajaan yang akan datang dimana semua hubungan dipulihkan dengan benar dan ketika seluruh ciptaan, yaitu manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan semua makhluk lainnya, akan berada dalam keselarasan yang sempurna dengan maksud Allah (lih. Yesaya 2, Mikha 2, dan Yesaya 65). Perjanjian Lama mendambakan munculnya kerajaan ini dan dengan pasti menyatakan janjinya bahwa Yahweh benar-benar akan menang. Hal ini juga merupakan tema yang signifikan bagi keikutsertaan misionaris. Untuk bergabung dalam misi adalah cukup mustahil, kecuali dia juga menyulut peperangan melawan semua bentuk oposisi terhadap maksud Allah dimanapun itu ditemukan, entah di dalam gereja-gereja, dunia bangsa-bangsa, atau di dalam hidup seseorang.

Perjanjian Lama mengikat erat alasan antagonistik dengan tema kidung pujian: kemuliaan Yahweh-Adonai akan dinyatakan di tengah-tengah semua kaum. Lalu manusia akan datang untuk mengenal Dia sebagaimana Dia sesungguhnya, “Allah yang pengasih dan penyayang, lambat untuk marah, penuh dengan kebaikan, dan selalu menyesali bencana yang didatangkan-Nya” (Yun. 4:1-2)

Kitab Yunus

Kitab Yunus begitu signifikan untuk memahami dasar alkitabiah tentang misi karena kitab ini membicarakan tentang mandat Allah kepada umat-Nya berkenaan dengan bangsa-bangsa bukan Yahudi dan karenanya merupakan langkah persiapan bagi mandat misionaris Perjanjian Baru. Namun kitab ini juga penting untuk menangkap sekilas penolakan yang sangat akan mandat ini yang dihadapi oleh hamba Yahweh yang telah dipilih-Nya sendiri untuk melaksanakan karya-Nya menjangkau dunia. Hari ini banyak pembicaraan dan tulisan-tulisan tentang “mendidik jemaat” dan “mendidik personil” bagi pelayanan misi. Yunus adalah sebuah pelajaran dalam mendidik seseorang untuk menjadi seorang misionaris: kitab ini menyingkapkan kebutuhan akan pertobatan yang radikal dari kecenderungan alamiah seseorang dan pembentukan yang menyeluruh terhadap hidupnya untuk dapat menjadikannya berguna bagi pelayanan misi.

Latar Belakang Kitab

Judul kitab ini adalah nama pribadi dari seorang nabi yang tidak bersedia, Yunus, dan membawa kita pada masa Raja Yerobeam II (787-746 SM), dimana seorang nabi bernama Yunus bin Amitai hidup. Penulis menggunakan nama pribadi untuk melukiskan kepada para pembacanya mengenai seorang misionaris yang tidak punya hati untuk orang-orang bukan Yahudi dan yang, seperti orang-orang Farisi kemudian, tidak bisa bertoleransi kepada Allah yang menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang itu. Di dalam kata-kata seorang penulis Belanda, Miskotte, “penulis bermaksud untuk menggambarkan seseorang yang benar-benar merupakan kebalikan dari seorang rasul.” Penulis kitab Yunus memperingatkan pembacanya akan sikap yang tidak toleran ini dan menyiapkan pertanyaan kepada setiap mereka apakah mereka bersedia untuk diubahkan menjadi hamba yang bekerja untuk memenuhi mandat Allah. Sebagaimana penulis lihat, Israel telah begitu dikuasai oleh dirinya sendiri, sehingga dia tidak lagi mengarahkan pandangannya kepada dunia bangsa-bangsa. Israel, penerima semua wahyu Allah, menolak untuk menjejakkan kakinya di wilayah asing untuk menyampaikan pesan Allah tentang penghukuman dan pembebasan. Namun pesan dari kitab ini juga ditujukan kepada jemaat Perjanjian Baru yang mengupayakan berbagai cara untuk mengelak dari perintah Tuhan untuk menyampaikan pesan-Nya kepada dunia.

Usaha-usaha menghindar Yunus yang lihai menggambarkan Gereja yang malas dan tidak setia yang tidak mengindahkan perintah Tuhan. Allah harus bergulat melawan sempitnya etnosentrisme Israel yang berusaha untuk membatasi kegiatannya pada kalangan Israel sendiri dan menentang tugas gerejawi serta menolak untuk keluar ke dunia untuk menyampaikan pesan Allah dan melakukan karya-Nya. Penulis kitab ini berusaha meyakinkan para pembacanya bahwa radius kegiatan pembebasan dari Allah cukup luas bagi Israel maupun bangsa-bangsa bukan Yahudi.

Adalah mukjizat bahwa Yunus, dengan peringatan keras menentang etnosentrisme, dapat menjadi bagian dari kanon Kitab Suci. Dengan tepat menata usaha manusia yang terus menyabot rencana Allah menjangkau dunia sehingga para pembacanya, yaitu Israel, Gereja Perjanjian Baru, dan kita, dapat mendengar apa yang Roh Kudus sedang katakan kepada mereka melalui media kitab yang pendek ini.

Sebuah Tinjuan Singkat Delapan Adegan dari Kitab Yunus

Adegan pertama dibuka dengan Yunus menerima perintah untuk pergi ke Niniwe. Biasanya Perjanjian Lama berseru kepada bangsa-bangsa lain untuk datang ke Sion, gunung Tuhan, tetapi di sini Yunus, seperti murid-murid Perjanjian baru (Mat. 28:18-20), disuruh pergi! Terjemahan Septuaginta (versi awal Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) dari kitab Yunus memakai kata poreuomai (istilah bahasa Yunani untuk “pergi”) di 1:2-3 dan lagi di 3:2-3, kata kerja yang persis sama digunakan oleh Yesus di dalam Amanat Agung-Nya yang tertulis di Matius 28.

Kemana Yunus harus pergi? Dari semua tempat di dunia ini, Tuhan menyuruhnya pergi ke Niniwe. Niniwe, adalah pusat dari totalitarianisme, brutalisme, dan tidak ada kedamaian di sana. Yunus diutus ke Niniwe yang terkenal karena kekejamannya, kedurhakaannya, penyiksaanya yang keji, dan kekejaman para imperialis yang disediakan bagi mereka yang memilih untuk menentang kebijakan-kebijakannya. Allah menghendaki hamba-Nya untuk memperingatkan Niniwe tentang penghukuman yang akan datang dan menyuruh mereka untuk bertobat. Dia ingin menyelamatkan Niniwe! Namun Yunus menolak. Dia bersiap-siap tetapi untuk lari dari hadapan Allah yang adalah Tuhan atas segalanya.

Pada adegan kedua, Allah menanggapi perlawanan Yunus dengan mendatangkan badai yang hebat (1:4-16). Angin mematuhi perintah Yahweh, namun Yunus yang tidak taat tidur di bagian bawah kapal itu, melupakan fakta bahwa badai itu ditujukan kepadanya. Kadangkala Gereja juga demikian, tidur tepat di saat badai penghakiman Allah yang diizinkan-Nya terjadi di dunia ini, meyakinkan dirinya sendiri bahwa badai di luar itu tidak ada hubungannya dengan dirinya. Sementara awak kapal mencari-cari penyebab terjadinya badai, Yunus mengakui bahwa dia menyembah dan takut kepada Allah yang menciptakan lautan maupun daratan, satu-satunya Allah atas segala bangsa. Allah ini, seperti yang dinyatakannya kepada awak kapal itu, sedang mendakwa dirinya, dan satu-satunya cara untuk menenangkan lautan adalah dengan melemparkan dirinya ke dalam laut. Pada adegan ini awak kapal melambangkan bangsa-bangsa bukan Yahudi, orang-orang yang sama sekali tidak dipedulikan oleh Yunus namun yang sebaliknya berniat menyelamatkan nyawanya. Setelah perintah kedua dari Yunus, mereka melemparkan dia ke luar dan badai pun reda. Dengan ketakutan dan sambil tidak memercayai mata mereka sendiri, para pelaut itu langsung memuji-muji Allah Yunus. Ketaatan mereka melebihi ketaatan Yunus si penyabot: mereka lebih terbuka kepada Allah daripada sang nabi itu sendiri.

Adegan ketiga (1:17) menggambarkan seekor ikan yang amat besar yang, dengan perintah Yahweh, membuka mulutnya untuk menelan Yunus dan memuntahkan dia ke tepi pantai pada waktu yang tepat. Yunus sama sekali tidak bisa lolos dari mandat misioner Allah. Allah yang mendatangkan angin badai dan mengarahkan para pelaut untuk mencapai tujuan-Nya, sekarang menuntun seekor ikan sebagai bagian dari rencana-Nya untuk menyelamatkan Niniwe. Yahweh melanjutkan karya-Nya memperbaharui dan menyiapkan misionaris-Nya untuk menjadi alat yang tepat dalam rencana-rencana-Nya.

Pada adegan keempat (2:1-10), Yunus memohon dengan sangat kepada Allah untuk membebaskan dirinya dari perut ikan. Dia yang tidak punya belas kasihan atas bangsa-bangsa bukan Yahudi dan menolak untuk mengakui bahwa janji Allah diperluas bagi mereka, sekarang berseru untuk belas kasihan Ilahi, dan dengan mengutip ayat dari beberapa mazmur, berharap-harap pada janji-janji yang dinyatakan kepada para penyembah di bait Allah.

Yahweh memberi tanggapan. Dia berfirman kepada binatang raksasa itu dan Yunus pun mendarat di tepi pantai dengan selamat. Setelah lolos, Yunus tanpa disadari menjadi seorang saksi bagi belas kasihan Allah yang menyelamatkan. Meskipun tertutup dengan rumput laut, tak diragukan lagi Yunus adalah sebuah kesaksian bahwa Allah tidak bersukacita terhadap kematian para pendosa dan orang-orang yang menyabot rencana-Nya, melainkan bersukacita atas dalam pertobatan mereka.

Pada adegan kelima (3:1-4), Allah mengulangi perintah-Nya kepada pria yang hidupnya meneguhkan kebenaran dari apa yang diakuinya di dalam perut ikan: “Keselamatan datang dari Yahweh.”

Septuaginta menggunakan istilah kerygma di 3:1-2 dst. Kata tunggal itu merangkum misi Yunus: dia harus menyatakan kepada Niniwe, betapa pun kafirnya kota itu, masih menjadi kepedulian Allah, dan kecuali kota itu bertobat, kota itu akan dibinasakan. Pesan-Nya pastilah merupakan sebuah ancaman sekaligus janji, penghakiman sekaligus kabar baik.

Pada adegan keenam (3:5-10), Niniwe menanggapi seruan Yunus untuk bertobat. Raja lalim dan sombong itu turun dari takhtanya yang agung, mengganti jubahnya dengan debu dan abu, dan memerintahkan semua orang dan binatang supaya mengikuti perbuatannya. Apa yang terus ditolak oleh Israel, dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir: Raja Niniwe yang kejam melambangkan kebalikan dari raja Yehuda yang tidak taat.

Segenap rakyat mengikuti raja dalam pertobatannya. Mereka menghentikan semua pekerjaan mereka yang keji, dan mesin ketidakadilan politik yang mengerikan dan memaksa itu pun dihentikan. Dalam penyesalan, mereka menjauhi berhala-berhala dan beribadah kepada Allah yang adalah Tuhan segala bangsa dan semua ciptaan. Semua ini menjadi mungkin karena Yahweh adalah Allah. Dunia para penyembah berhala adalah ladang misi yang sangat potensial bukan karena alasan yang lain kecuali ini: Dia sendiri adalah Allah.

Layar ditutup pada adegan ini dengan kata-kata luar biasa ini: “Allah melihat apa yang mereka lakukan, dan bagaimana mereka meninggalkan jalan mereka yang jahat, dan Dia menyesal serta tidak menjatuhkan bencana atas mereka seperti yang telah Dia rencanakan.” Yahweh setia akan janji-janji-Nya. Hari ini pun kehendak-Nya untuk Moscow, Peking, London dan Amsterdam tidak kurang “murah hati dan penuh belas kasihan” daripada untuk Niniwe. Meminjam dari Luther, yang suka berkhotbah dari kitab Yunus, tangan kiri murka Allah digantikan dengan tangan kanan yang membawa berkat dan pembebasan.

Adegan ketujuh (4:1-4) menceritakan fakta bahwa rintangan terbesar untuk mengatasi pelaksanaan mandat misi bukanlah para pelaut, bukan ikan, bukan raja Niniwe dan penduduknya, namun Yunus sendiri, yaitu Gereja yang melawan dan berpikiran sempit. Pasal 4 menggambarkan Yunus, yang telah lama sejak meninggalkan kota, menemukan tempat peristirahatan di sebelah timut perbatasan.

Empat puluh hari pertobatan telah usai, namun karena Allah sudah mengubah pikiran-Nya untuk tidak membinasakan Niniwe, kota itu terus dipelihara dalam anugerah dan belas kasihan Yahweh. Yunus sangat marah karena Allah memperluas belas kasihan-Nya melampaui batasan Israel kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Dia menginginkan Allah yang sesuai dengan keinginannya: Allah yang dingin, keras, kejam dengan kehendak yang tidak dapat berubah terhadap para penyembah berhala. Dia tidak tahan memikirkan bahwa bangsa-bangsa bukan Yahudi adalah bagian dari sejarah keselamatan.

Inilah dosa Yunus, yaitu dosa seorang misionaris yang hatinya tidak pada tempatnya. Dia yang pernah memohon kepada Allah untuk belas kasihan dari perut ikan yang tersembunyi, sekarang marah bahwa Allah ini menunjukkan belas kasihan kepada bangsa-bangsa. Dia melepaskan kemarahannya dalam doa yang ditemukan di 4:2, teks kunci dari seluruh kitab: “Dan dia berdoa kepada Tuhan, ‘Inilah, Oh Tuhan, yang aku takutkan ketika aku berada di negeriku sendiri, dan mengatakan sebelumnya aku berusaha untuk melarikan diri ke Tarsis: aku tahu bahwa Engkau adalah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan penuh belas kasihan, dan selalu menyesali bencana.’” Sebagian dari teks berasal dari sebuah liturgi kuno Israel yang semua orang Israel hafal di dalam hati dan bisa menyebutkannya di dalam ibadah di bait atau tempat ibadah sementara setengah tertidur (bdk. Kel. 34:6; Mzm. 86:15; 103:8; 145:8; Neh. 9:17). Namun Yunus tidak dapat tahan berpikiran bahwa liturgi ini bukan hanya untuk Yerusalem, lokasi bait Allah, tetapi juga di tempat-tempat lain, yaitu Niniwe, Sao Paulo, Nairobi, New York dan Paris.

Mengapa Yunus begitu marah? Tidak ada alasan lain kecuali bahwa Allah memperlakukan mereka yang di luar perjanjian sama seperti Dia memperlakukan mereka yang di dalam perjanjian. Namun kemarahan Yunus berakibat membuat dirinya sendiri berada di luar perjanjian, karena dia keras kepala menolak untuk mengetahui tujuan perjanjian, yaitu untuk mendatangkan keselamatan kepada para penyembah berhala. Dia belum tahu bahwa Israel tidak bisa menyalahgunakan kesenangan khusus dari Allah. Baik Israel maupun bangsa-bangsa bukan Yahudi sama-sama hidup oleh anugerah yang diberikan oleh Pencipta kepada semua ciptaan-Nya. Jadi Allah mendatangi nabi-Nya, namun tidak lagi sebagai rekan perjanjian; Dia datang sebagai Pencipta dan bertanya kepada ciptaan-Nya; “Apakah kamu punya hak untuk menjadi begitu marah?”

Pada adegan kedelapan dan terakhir (4:5-11), seseorang dapat melihat Allah masih tersedia untuk mengajar misionaris-Nya yang keras kepala. Dia tidak mengerti maksud badai, para pelaut, ikan, dan pertobatan Niniwe karena dia tidak menginginkannya. Sekarang Yahweh mencoba satu pendekatan lagi, yaitu pohon ajaib. Sebuah pohon jarak bertumbuh cepat, memberikan perlindungan bagi Yunus dari terik sinar matahari, tetapi secepat itu pula pohon itu mati diserang ulat. Yunus kesal.

Pada bagian itu Allah sekali lagi datang kepada murid-misionaris-Nya, menggunakan pohon sebagai objek pelajaran. Allah yang sama yang mengarahkan seluruh jalannya sejarah, memerintah angin dan ombak dan menjadikan penduduk Niniwe bertobat sekarang bertanya dengan lembut: “Apakah kamu marah karena pohon jarak itu? Kamu sedih karena pohon jarak itu, meskipun kamu tidak berbuat apa pun untuk menumbuhkannya, tanaman yang bertumbuh semalam dan layu dalam semalam. Dan bukankah seharusnya Aku bersedih karena kota besar Niniwe, dengan 120.000 penduduk yang tidak bisa membedakan tangan kanan dengan kiri, dengan ternaknya yang sangat banyak?”

Allah menghindarkan dan menyelamatkan. Allah Yerusalem adalah Allah Niniwe juga. Tidak seperti Yunus, Dia tidak memiliki “Yahudi kompleks.” Dan Dia yang tidak pernah memaksa seorang pun dari kita, Dia dengan lembut meminta kita untuk menyerahkan segenap hati dan jiwa kita ke dalam pekerjaan misi. Allah masih mau mengubah Yunus yang bandel, lekas marah, muram, dan keras kepala menjadi pembawa berita Kabar Baik yang mendatangkan kebebasan.

Kitab ini berakhir dengan pertanyaan mengusik yang tidak pernah terjawab: “Allah mencapai tujuan-Nya atas Niniwe, namun bagaimana dengan Yunus?” Tidak seorang pun yang tahu. Pertanyaan tentang Israel dan Gereja dan ketaatan mereka masih merupakan pertanyaan yang terbuka.

Pertanyaannya merupakan pertanyaan yang setiap generasi orang Kristen harus jawab sendiri. Jacques Ellul mengakhiri buku beliau, The Judgment of Jonah, dengan kata-kata demikian: “Kitab Yunus tidak memiliki kesimpulan, dan pertanyaan terakhir dari kitab itu tidak ada jawabannya, kecuali dari seseorang yang menyadari kepenuhan belas kasihan Allah dan yang secara nyata, bukan hanya cerita mengerjakan keselamatan dunia.” 4

Gereja Perjanjian Baru harus benar-benar memperhatikan pesan dari Kitab Yunus. Yesus Kristus adalah “Orang yang lebih besar daripada Yunus” (Mat. 12:39-41; Luk. 11:29-32). Kematian-Nya di kayu salib dengan seruan yang mengerikan akan keterpisahan dengan Allah dan kebangkitan-Nya dengan sorak kemenangan yang penuh kegirangan adalah tanda-tanda Yunus bagi kita, menunjuk kepada arti yang mendalam akan seluruh hidupnya dan dengan jelas membuktikan bahwa Allah sangat mengasihi seluruh dunia. Jika seseorang menggambarkan sumber hidupnya dari Seseorang yang lebih besar daripada Yunus namun tidak mau menyebarkan Kabar Baik kepada orang-orang lain, sebenarnya, dia sedang menyabot tujuan Allah.

Yunus adalah bapa bagi semua orang Kristen yang menginginkan keuntungan dan berkat-berkat dari pemilihan tetapi menolak tanggung jawabnya. Puisi Thomas Carlisle, “You Jonah,” ditutup dengan kata-kata ini:

Dan Yunus berjalan ke tempat duduknya yang teduh dan menantikan Allah untuk singgah ke cara berpikirnya. Dan Allah masih menunggu-nunggu sekumpulan Yunus di rumah mereka yang nyaman untuk singgah ke jalan kasih-Nya.

Catatan Kaki

  1. A. de Groot, De Bijbel over het Heil der Volken (Roermond: Romens, 1964).
  2. Lihat J. verkuyl, Break Down the Walls, trans. and ed. Lewis B. Smedes (Grand Rapids: Eerdmans, 1973), hlm. 40.
  3. Catatan editor: Istilah “Diaspora” mengacu kepada sebuah periode yang ditandai dengan keterserakan atau penyebaran secara sukarela maupun terpaksa dari bangsa Yahudi masuk ke bangsa-bangsa lain di antara kehancuran bait pertama di tahun 581 SM dan kehancuran bait yang kedua di tahun 70. Rumah ibadah Diaspora ingin sekali menarik para petobat memeluk Yudaisme. Banyak ahli penulis Yahudi dibiayai untuk pergi dan mendata serta mengajar petobat baru berlatar belakang Yahudi seperti digambarkan oleh Yesus dalam Mat 23:15.
  4. Jacques Ellul, The Judgment of Jonah (Grand Rapids: Eerdmans, 1971), hlm. 103.


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas