PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Allah yang Hidup adalah Allah yang Misioner

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


John R. W. Stott

Stott.jpg
John R. W. Stott adalah Rektor Emeritus dari All Souls Church di London. Beliau menjabat sebagai Presiden dari London Institute for Contemporary Christianity dan sebagai Pendeta Tentara Ekstra bagi Ratu Inggris. Beliau telah menulis banyak buku, antara lain, Basic Christianity, Christian Mission in the Modern World, dan The Church and the World. John Stott telah berbicara dalam 5 konvensi misi mahasiswa Urbana. Selama 25 tahun beliau telah memimpin perjalanan misi ke lima benua yang disponsori oleh universitas
Tulisan di bawah ini diadaptasi dari ceramah yang disampaikan beliau pada konvensi Urbana tahun 1976. Dari buku You Can Tell the World karya John Stott, 1979, InterVarsity Christian Fellowship of the USA. Tulisan ini digunakan dengan izin dari InterVarsity Press, PO Box 1400, Downers Grove, IL . ivpress.com.

Jutaan orang di dunia pada masa kini secara ekstrem memusuhi upaya misi kristen. Mereka menganggap hal itu mengganggu secara politis (karena kegiatan itu melonggarkan bahan perekat yang mengikat budaya nasional) dan picik secara religius (karena hal tersebut menuntut klaim eksklusif bagi Yesus), sedangkan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut dibayangkan menderita suatu imperialisme yang arogan. Usaha untuk mempertobatkan orang kepada Kristus ditolak dan dianggap sebagai gangguan yang tidak dapat dimaafkan dalam kehidupan pribadi mereka. “Agama saya adalah urusan saya,” kata mereka. ”Urus urusanmu sendiri, dan biarkan saya mengurus urusan saya sendiri.”

Karena itu, penting bagi orang Kristen untuk mengerti dasar-dasar di mana misi Kristen diletakkan. Hanya dengan begitu kita akan mampu bertekun dalam tugas misi, dengan keberanian dan kerendahan hati, meskipun dunia salah mengerti dan menentang. Lebih jelasnya, orang Kristen alkitabiah memerlukan dukungan Alkitab, karena kita percaya Alkitab merupakan wahyu tentang Allah dan kehendak-Nya. Jadi kita bertanya: Apakah Allah memang telah mewahyukan dalam Alkitab bahwa “misi” merupakan kehendak-Nya bagi umat-Nya? Hanya dengan demikian kita akan dipuaskan. Karena kemudian hal itu menjadi persoalan menaati Allah, apa pun yang orang lain pikirkan atau katakan. Saat ini kita akan berfokus pada Perjanjian Lama, meskipun seluruh Alkitab penuh dengan bukti bahwa misi merupakan tujuan misioner Allah.

Daftar isi

Panggilan Abraham

Kisah kita dimulai sekitar empat ribu tahun yang lalu dengan seorang yang bernama Abraham, atau lebih tepatnya, Abram, sebagaimana ia dipanggil pada waktu itu. Kisah ini merupakan kisah panggilan Allah kepada Abraham.

Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kej. 12:1-3).

Allah membuat suatu janji kepada Abraham (sebuah janji yang terdiri dari bagian yang berbeda, seperti yang akan kita lihat nanti). Pemahaman akan janji tersebut merupakan suatu keharusan untuk mengerti Alkitab dan misi Kristen. Ayat-ayat di atas mungkin merupakan ayat-ayat yang paling menyatukan dalam Alkitab; seluruh tujuan Allah diringkaskan di sini.

Melalui suatu pendahuluan kita perlu melihat latar dari janji Allah ini, konteks yang di dalamnya janji tersebut diberikan. Kemudian kita akan membagi seluruh pelajaran kita ke dalam dua bagian. Pertama, Janji (apa sebenarnya yang Allah katakan hendak Dia lakukan ) dan kedua – lebih panjang dari yang pertama – Penggenapan Janji (bagaimana Allah telah dan akan memegang janji-Nya). Kita akan memulai dari latar belakang terlebih dahulu.

Latar Belakang Janji Allah

Kejadian 12 dimulai dengan: “Berfirmanlah TUHAN kepada Abraham.” Kalimat tersebut terdengar mendadak sebagai pembuka sebuah pasal yang baru. Kita terdorong untuk bertanya: “Siapakah “TUHAN” yang berbicara kepada Abraham ini?” dan “Siapa Abraham ini yang kepadanya TUHAN berfirman?” Kalimat ini tidak diperkenalkan secara tiba-tiba ke dalam teks. Kalimat ini memiliki pengertian yang besar. Kalimat ini merupakan kunci yang membuka seluruh Kitab Suci. Sebelas pasal sebelumnya mengarah kepada kalimat ini; seluruh isi Alkitab sesudahnya mengikuti dan memenuhi kalimat ini.

Lantas, apa latar belakang bagi teks ini? Inilah latar belakangnya. “TUHAN” yang memilih dan memanggil Abraham adalah TUHAN yang sama yang pada mulanya menciptakan langit dan bumi dan pada puncak karya kreatif-Nya menciptakan pria dan wanita, makhluk yang unik yang segambar dengan-Nya. Dengan kata lain, kita tidak boleh lupa bahwa Alkitab dimulai dengan alam semesta, bukan dengan planet bumi; kemudian dengan bumi, bukan dengan Palestina; kemudian dengan Adam yang adalah bapa umat manusia, bukan dengan Abraham bapa umat pilihan. Oleh karena itu, Allah yang adalah Pencipta alam semesta, bumi dan seluruh umat manusia tidak pernah boleh kita turunkan ke status ilah suku atau allah kecil seperti Kamos ilah orang Moab, atau Milkom (atau Molokh) ilah orang Amon, atau Baal ilah para pria, atau Asytoret ilah para wanita bangsa Kanaan. Kita juga tidak boleh menganggap bahwa Allah memilih Abraham dan keturunannya karena Ia telah kehilangan minat terhadap bangsa-bangsa lain atau mengabaikan mereka. Pemilihan bukanlah sinonim bagi elitisme. Sebaliknya, yang akan segera kita lihat, Allah memilih satu orang dan keluarganya agar, melalui mereka, semua kaum di bumi diberkati.

Oleh karena itu, kita seharusnya tersinggung ketika Kekristenan diturunkan menjadi salah satu bab dalam sebuah buku mengenai agama-agama dunia seolah-olah agama Kristen hanya merupakan salah satu pilihan di antara banyak agama, atau ketika orang berkata tentang “Allah orang Kristen” seakan-akan ada Allah yang lain! Tidak, hanya ada satu Allah yang hidup dan benar yang telah menyatakan diri-Nya secara penuh dan tuntas dalam diri Anak-Nya yang tunggal Yesus Kristus. Monoteisme terletak pada basis dari misi. Seperti tulisan Paulus kepada Timotius, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Tim. 2:5).

Catatan kitab Kejadian berlanjut dari penciptaan segala sesuatu oleh Allah yang tunggal dan penciptaan manusia yang segambar dengan-Nya, kepada pemberontakan kita melawan Pencipta kita dan kepada penghakiman Allah atas makhluk ciptaan-Nya yang memberontak – suatu penghakiman yang kemudian dibebaskan oleh janji kabar baik-Nya yang pertama bahwa suatu hari keturunan wanita akan “meremukkan” kepala si ular (3:15).

Delapan pasal selanjutnya (Kej. 4-11) menggambarkan akibat-akibat Kejatuhan yang bersifat merusak tersebut dalam pengertian keterasingan umat manusia secara progresif dari Allah dan dari sesama kita manusia. Inilah latar belakang di mana panggilan dan janji Allah tiba kepada Abraham. Segala sesuatu di sekitar merupakan kemerosotan moral, kegelapan dan pembubaran. Masyarakat terus mengalami disintegrasi. Namun Allah Sang Pencipta tidak meninggalkan umat manusia yang telah diciptakan-Nya seturut dengan gambar-Nya (Kej. 9:6). Dari keadaan tidak mengenal Allah yang tersebar luas ini, Allah memanggil seorang manusia dan keluarganya dan berjanji untuk memberkati tidak hanya keluarganya, tetapi juga seluruh dunia, melalui keluarganya. Keterserakkan tidak akan terus berlanjut tanpa terkendalikan; sebuah proses besar untuk mengumpulkan kembali kini akan dimulai.

Janji yang Terdiri Dari Bagian-Bagian yang Berbeda

Lantas janji apa yang Allah berikan kepada Abraham? Itu adalah sebuah janji yang terdiri dari beberapa bagian. Masing-masing janji tersebut dijabarkan dalam bagian-bagian yang mengikuti panggilan terhadap Abraham.

Janji Mengenai Tanah

Panggilan Allah tampaknya telah tiba kepada Abraham dalam dua tahap: pertama di Ur Kasdim ketika ayahnya masih hidup (11:31; 15:7) dan ketika di Haran setelah ayahnya mati (11:32; 12:1). Abraham harus meninggalkan tanah kelahirannya, dan sebagai gantinya, Allah akan memberikan kepadanya tanah yang lain.

Setelah Abraham dengan murah hati mengizinkan keponakannya Lot untuk memilih tempat di mana ia ingin menetap (Lot memilih lembah Yordan yang subur), Allah berkata kepada Abraham: “Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan ke barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya” (13:14-15).

Janji Mengenai Keturunan

Abraham harus meninggalkan sanak saudaranya dan rumah ayahnya, dan sebagai ganti kehilangan keluarganya Allah akan membuat keturunannya “sebuah bangsa yang besar.” Untuk menunjukkan hal ini, Allah kemudian mengubah namanya dari Abram (“bapa yang ditinggikan”) menjadi Abraham (“bapa sejumlah besar bangsa”) karena Allah berkata kepadanya, “engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa” (Kej. 17:5).

Allah memberi penglihatan lain kepada Abraham, menyuruhnya melihat ke langit bukan ke darat. Pada suatu malam gelap yang cerah Allah membawa Abraham keluar dari tendanya dan berkata kepada Abraham, “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang.” Suatu perintah yang tidak masuk akal! Mungkin Abraham mulai menghitung, “1,2,3,5,10,20,30…,” tetapi dia pasti akan langsung menyerah. Itu merupakan tugas yang mustahil. Allah kemudian berkata kepadanya, “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” Kita kemudian membaca, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN.” Meskipun Abraham saat itu mungkin sudah berumur delapan puluh tahun dan meskipun dia dan Sara tetap belum memiliki anak, Abraham tetap percaya pada janji Tuhan dan “TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Maka, karena Abraham percaya kepada Allah, Allah melihat itu sebagai kebenaran (15:5-6).

Janji Mengenai Berkat

Kata memberkati dan berkat muncul lima kali dalam Kejadian 12:2-3. Berkat yang Allah janjikan kepada Abraham akan tercurah kepada seluruh umat manusia.

“Aku akan memberkati engkau.” Allah telah memperhitungkan iman Abraham sebagai kebenaran atau (meminjam ungkapan Perjanjian Baru) telah “membenarkannya melalui iman.” Tiada berkat yang lebih besar yang terkandung di situ. Itulah berkat dasar dari kovenan anugerah yang beberapa tahun kemudian Allah jabarkan kepada Abraham: “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu … menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu” (17:7-8). Allah kemudian memberi mereka sunat sebagai tanda lahiriah yang dapat dilihat mengenai kovenan anugerah-Nya atau sumpah untuk menjadi Allah mereka. Di sinilah pertama kali kita mendengar dalam Kitab Suci formula kovenan yang sering diulangi di kemudian hari: “Aku menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.”

Penggenapan yang Progresif

Sebuah tanah, sebuah keturunan, sebuah berkat – Tetapi apa hubungan semua itu dengan misi? Untuk itu, mari kita lanjutkan pembahasan kita dari janji kepada penggenapannya.

Seluruh pertanyaan mengenai penggenapan nubuat Perjanjian Lama merupakan pertanyaan yang sulit yang sering disalahmengerti dan memiliki banyak perbedaan pendapat. Hal yang khususnya penting adalah prinsip bahwa para penulis Perjanjian Baru sendiri memahami bahwa nubuat Perjanjian Lama tidak hanya memiliki satu melainkan biasanya tiga penggenapan – masa lalu, masa kini, dan masa depan. Penggenapan pada masa lalu merupakan penggenapan yang langsung atau historis dalam kehidupan bangsa Israel. Penggenapan pada masa kini merupakan penggenapan masa antara atau penggenapan Injil dalam Kristus dan Gereja-Nya. Masa depan akan merupakan penggenapan ultimat atau eskatologis di dalam langit yang baru dan bumi yang baru.

Penggenapan Historis yang Langsung

Janji Allah kepada Abraham menerima penggenapan historis yang langsung dalam keturunan fisiknya, yaitu bangsa Israel.

Keturunan

Janji Allah kepada Abraham mengenai suatu keturunan yang sangat besar bahkan tidak terhitung banyaknya dikonfirmasi kepada putranya, Ishak (Kej. 26:4, “seperti bintang di langit”), dan cucunya, Yakub (32:12, “seperti pasir di laut”). Secara bertahap janji tersebut mulai terwujud secara harfiah. Mungkin kita bisa mengambil beberapa tahapan dalam perkembangan janji ini.

Tahap pertama berkaitan dengan tahun-tahun perbudakan di Mesir, yang tentangnya tertulis, “Orang-orang Israel beranak cucu dan tak terbilang jumlahnya; mereka bertambah banyak dan dengan dahsyat berlipat ganda, sehingga negeri itu digenapi mereka” (Kel. 1:7; bdk. Kis. 7:17). Tahap berikutnya tiba beberapa ratus tahun kemudian ketika Raja Salomo menyebut Israel “suatu umat yang besar, yang tidak terhitung dan tidak terkira banyaknya” (1 Raj. 3:8). Tahap ketiga kira-kira tiga ratus lima puluh tahun setelah Salomo; Yeremia memperingatkan bangsa Israel akan penghakiman dan pengasingan yang segera terjadi dan kemudian menambahkan janji Allah tentang pemulihan: “Seperti tentara langit tidak terbilang dan seperti pasir laut tidak tertakar, demikianlah Aku akan membuat banyak keturunan hamba-Ku Daud” (Yer. 33:22).

Tanah Perjanjian

Demikian banyaknya bagi keturunan Abraham; bagaimana dengan tanah? Sekali lagi kita memperhatikan dengan puji sembah dan rasa syukur atas kesetiaan Allah terhadap janji-Nya. Karena ingat akan janji-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub maka Tuhan pertama-tama membebaskan umat-Nya dari perbudakan Mesir dan memberikan wilayah yang kemudian dalam kisah ini disebut “tanah perjanjian” (Kel. 2:24; 3:6; 32:13), dan kemudian memulihkan mereka ke tanah tersebut kira-kira tujuh ratus tahun kemudian setelah pembuangan mereka di Babilon. Meskipun demikian, baik Abraham maupun keturunannya tidak pernah sepenuhnya mewarisi tanah tersebut. Seperti tertulis dalam Kitab Ibrani 11 “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu.” Sebaliknya, “sebagai orang asing dan pendatang di bumi ini” mereka “merindukan sebuah kota yang telah dipersiapkan Allah bagi mereka” (Ibr. 11:8-16, 39, 40).

Berkat

Allah telah memegang janji-Nya mengenai keturunan dan tanah, setidaknya sebagian. Bagaimana dengan berkat? Di gunung Sinai Tuhan menegaskan dan memperjelas kovenan-Nya dengan Abraham dan bersumpah demi diri-Nya untuk menjadi Allah Israel (mis Kel. 19:3-6). Di seluruh sisa Perjanjian Lama, Allah terus memberkati mereka yang taat dan menghakimi mereka yang tidak taat.

Mungkin contoh yang paling dramatis muncul di awal nubuatan Hosea, di mana Hosea diperintahkan untuk memberi nama ketiga anaknya sesuai dengan gambaran penghakiman Allah yang besar dan progresif terhadap bangsa Israel. Anak pertamanya (laki-laki) diberi nama “Yizreel,” yang artinya “Allah akan menyerakkan.” Kemudian lahir anak perempuannya “Lo-Ruhama,” yang artinya “tidak disayangi,” karena Allah berkata Ia tidak akan lagi mengasihani atau mengampuni umat-Nya kaum Israel. Terakhir dia mendapat anak laki-laki “Lo-Ami,” yang berarti ”bukan umat-Ku” karena Allah berkata bahwa mereka bukanlah umat-Nya lagi. Betapa nama-nama yang mengerikan bagi umat pilihan Allah! Nama-nama tersebut terdengar seperti kontradiksi yang menghancurkan janji kekal Allah kepada Abraham.

Tetapi Allah tidak berhenti di situ. Karena melampaui penghakiman yang sedang datang akan ada suatu pemulihan, yang digambarkan dalam kalimat yang sekali lagi menggemakan janji kepada Abraham: “Tetapi kelak, jumlah orang Israel akan seperti pasir laut, yang tidak dapat ditakar dan tidak dapat dihitung” (Hos. 1:10). Dan kemudian penghakiman yang tersirat dalam nama-nama anak-anak dari Hosea akan dipulihkan. Akan ada pengumpulan sebagai ganti penyerakkan (“Yizreel” nama yang bisa bermakna ganda dan dapat berarti keduanya), “tidak disayangi” akan disayangi, dan “bukan umat-Ku” akan menjadi “anak-anak Allah yang hidup” (Hos. 1:10-2:1).

Hal yang luar biasa adalah Rasul Paulus dan Petrus mengutip kedua ayat ini dari Hosea. Mereka melihat penggenapan janji tersebut tidak hanya pada multiplikasi selanjutnya dari bangsa Israel tetapi juga dimasukkannya bangsa-bangsa lain ke dalam komunitas Yesus: “kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan” (1 Ptr. 2:9-10; bdk. Rom. 9:25-26).

Sudut pandang Perjanjian Baru ini sangat mendasar ketika kita membaca nubuat-nubuat Perjanjian Lama, karena apa yang luput dari pengertian kita dalam Perjanjian Lama adalah penjelasan yang jelas tentang bagaimana berkat yang dijanjikan Allah ini akan meluap dari Abraham dan keturunannya kepada “seluruh kaum di muka bumi.” Meskipun bangsa Israel digambarkan sebagai “terang untuk menerangi bangsa-bangsa” dan memiliki misi untuk “menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa” (Yes. 42:1-6; 49:6), kita tidak melihat hal ini terjadi. Hanya di dalam Tuhan Yesus sendiri nubuat-nubuat ini digenapi, karena hanya di masa Tuhan Yesus bangsa-bangsa sesungguhnya dimasukkan ke dalam komunitas orang tebusan. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.

Penggenapan Injil di Masa Antara

Janji Allah kepada Abraham menerima masa antara atau penggenapan Injil dalam Kristus dan Gereja-Nya..

Keturunan

Hampir seluruh kata pertama dari seluruh Perjanjian Baru adalah kata mengenai Abraham. Injil Matius dimulai dengan, “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham. Abraham memperanakkan Ishak…” Jadi, Matius melihat kembali kepada Abraham, bukan hanya berkenaan dengan silsilah tetapi juga berkenaan dengan Injil Yesus Kristus. Dia tahu bahwa apa yang dicatatnya adalah penggenapan janji Allah kepada Abraham di masa lampau sekitar dua ribu tahun yang lalu. (Lihat juga Lukas 1:45-55, 67-75.)

Namun sejak awal Matius mengenali bahwa bukan hanya keturunan lahiriah Abraham yang memenuhi syarat untuk mewarisi janji-janji tersebut, tetapi semacam keturunan rohani, yaitu pertobatan dan iman di dalam Mesias yang akan datang. Inilah perkataan Yohanes Pembaptis kepada kumpulan besar orang yang mendengarkan dia: “Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak Abraham dari batu-batu ini!” (Mat. 3:9; Luk. 3:8; bdk. Yoh. 8:33-40). Implikasi dari perkataan Yohanes ini pasti telah mengejutkan para pendengarnya karena “adalah kepercayaan waktu itu bahwa tidak ada keturunan Abraham yang dapat hilang.” 1

Dan Allah telah membangkitkan anak-anak bagi Abraham, jika bukan dari batu-batu, maka dari sumber yang sama-sama mustahilnya – yaitu bangsa-bangsa non-Yahudi! Jadi Matius, meskipun merupakan penulis Injil yang paling Yahudi di antara keempat penulis Injil yang lain menulis perkataan Yesus ini, “Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap” (Mat. 8:11-12; bdk. Luk. 13:28-29).

Sulit bagi kita untuk memahami betapa mengejutkan dan menggegerkan perkataan ini telah terdengar bagi para pendengar Yahudi pada masa Yohanes Pembaptis dan Yesus. Mereka adalah keturunan Abraham, jadi mereka berhak atas janji-janji yang Allah buat dengan Abraham. Siapa orang-orang luar yang harus berbagian dalam janji-janji ini, bahkan dengan jelas merampas mereka sedangkan mereka sendiri akan dibuang? Mereka sangat marah. Mereka agaknya telah melupakan bahwa bagian dari kovenan Allah dengan Abraham menjanjikan suatu curahan berkat kepada semua bangsa. Sekarang orang-orang Yahudi harus mengetahui bahwa dalam hubungan dengan Yesus Sang Mesias, yang adalah Keturunan Abraham sendiri, bahwa segala bangsa akan diberkati.

Rasul Petrus setidaknya sudah mulai mengerti hal ini dalam khotbah keduanya, tepat setelah Pentakosta. Di dalam khotbahnya dia mengatakan kepada sekumpulan besar orang Yahudi: “Kamulah yang mewarisi nubuat-nubuat itu … perjanjian yang telah diadakan Allah dengan nenek moyang kita, ketika Ia berfirman kepada Abraham: Oleh keturunanmu semua bangsa di muka bumi akan diberkati. Dan bagi kamulah pertama-tama Allah membangkitkan Hamba-Nya dan mengutus-Nya kepada kamu, supaya Ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala kejahatanmu” (Kis. 3:25-26). Perkataan tersebut adalah pernyataan yang sangat penting karena Petrus menafsirkan berkat tersebut dalam pengertian pertobatan moral dan kebenaran serta keadilan dan karena, jika Yesus diutus “pertama” ke orang-orang Yahudi, Yesus bisa dikatakan diutus juga kepada bangsa-bangsa lain, yaitu “segala kaum di muka bumi” yang “masih jauh” (bdk. Kis. 2:39), namun yang sekarang turut berbagian dalam berkat tersebut.

Namun, pada Rasul Pauluslah tema agung ini mengalami perkembangan yang penuh. Karena dia dipanggil dan diutus untuk menjadi rasul bagi bangsa-bangsa lain. Kepada dialah disingkapkan maksud rahasia Allah yang kekal untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi “ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus” (Ef. 3:6). Paulus menyatakan dengan amat berani, “Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham” (Rom. 9:6-7).

Lantas siapa saja yang merupakan keturunan sejati Abraham, ahli-ahli waris sejati dari janji Allah kepadanya? Paulus tidak meninggalkan kita dalam keraguan. Mereka adalah orang-orang percaya di dalam Kristus apa pun ras mereka. Di dalam Roma 4 Paulus menunjukkan bahwa Abraham tidak hanya menerima pembenaran melalui iman tapi juga menerima berkat ini sebelum Abraham disunat. Oleh sebab itu, Abraham adalah bapa semua orang yang, entah disunat atau tidak (yaitu, Yahudi atau bukan Yahudi), “mengikuti jejak iman Abraham” (Rom. 4:9-12). Jika kita “mengikuti iman Abraham,” maka “Abraham adalah bapa kita semua – seperti ada tertulis: “Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa” (ay. 16-17). Maka, bukan keturunan lahiriah dari Abraham maupun sunat lahiriah sebagai orang Yahudi yang menjadikan seseorang sungguh-sungguh anak Abraham yang sejati, melainkan iman. Keturunan Abraham yang sejati adalah orang-orang percaya di dalam Yesus Kristus, entah mereka orang Yahudi maupun bukan Yahudi.

Tanah Perjanjian

Lalu, apa “tanah perjanjian” yang diwarisi oleh keturunan Abraham? Surat kepada jemaat Ibrani merujuk kepada “tempat perhentian” yang dimasuki umat Allah dengan iman (Ibr. 4:3), dan dalam suatu pernyataan yang luar biasa Paulus merujuk kepada “janji kepada Abraham dan keturunannya, bahwa ia akan memiliki dunia” (Rom. 4:13). Kita hanya beranggapan Paulus memaksudkan hal yang sama ketika Ia menulis kepada jemaat Korintus bahwa di dalam Kristus “segala sesuatu adalah milikmu: baik Paulus, Apolos, maupun Kefas, baik dunia, hidup, maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Semuanya kamu punya” (1 Kor. 3:21-23). Orang-orang Kristen, melalui anugerah Allah yang ajaib, adalah pewaris segala sesuatu bersama dengan Kristus.

Pengajaran yang mirip diberikan Paulus mengenai natur dari berkat yang dijanjikan dan yang penerimanya dalam Galatia 3. Pertama Paulus mengulangi bagaimana Abraham dibenarkan melalui iman dan kemudian berkata: “Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham” dan mereka juga “diberkati bersama-sama dengan Abraham yang beriman itu” (ay. 6-9).

Berkat

Lantas apa berkat yang dengannya segala bangsa akan diberkati (ay. 8)? Singkatnya, itulah berkat keselamatan. Kita berada dalam kutuk Taurat, tetapi Kristus telah menebus kita darinya dengan menjadi kutuk menggantikan kita, supaya “di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu” (ay. 10-14). Kristus menanggung kutuk kita agar kita bisa mewarisi berkat Abraham, berkat pembenaran (ay. 8) dan berkat Roh Kudus yang berdiam di dalam kita (ay. 14). Paulus menyimpulkannya dalam ayat terakhir dari pasal ini (ay. 29): “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.”

Kita belum selesai. Ada tahap ketiga dari penggenapan yang masih akan datang.

Penggenapan Ultimat

Janji Allah kepada Abraham akan menerima penggenapan ultimat atau eskatologis dalam nasib akhir dari semua orang tebusan.

Keturunan, Tanah dan Berkat

Di dalam Kitab Wahyu ada satu lagi referensi mengenai janji Allah kepada Abraham (7:9 dst.). Yohanes melihatnya dalam sebuah penglihatan “sekumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya.” Itu merupakan sebuah kumpulan internasional, diperoleh “dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa.” Mereka “berdiri di hadapan takhta,” simbol pemerintahan Allah sebagai raja. Artinya, kerajaan-Nya akhirnya tiba, dan mereka semua menikmati semua berkat dari pemerintahan anugerah-Nya. Dia menaungi mereka dengan kehadiran-Nya. Hari-hari mereka di padang belantara dengan kelaparan, kehausan dan panas terik telah berakhir. Akhirnya mereka telah memasuki tanah perjanjian, yang sekarang digambarkan bukan sebagai “tanah yang berlimpah dengan susu dan madu,” tetapi sebagai tanah yang diairi dengan “mata air kehidupan” yang tidak pernah kering. Tetapi bagaimana mereka sampai bisa mewarisi berkat-berkat ini? Sebagian karena mereka telah “keluar dari kesusahan besar,” tetapi utamanya karena “mereka telah membasuh jubah mereka dan menjadikannya putih dalam darah Anak Domba”; artinya, mereka telah dibersihkan dari dosa dan dipakaikan kebenaran melalui jasa kematian Yesus Kristus semata. “Oleh karena itulah mereka berdiri di hadapan takhta Allah.”

Secara pribadi, saya sangat tersentuh melihat sejenak penggenapan final di dalam masa kekekalan yang akan datang dari janji Allah di masa yang lalu kepada Abraham. Semua elemen inti dari janji tersebut bisa ditemukan. Karena di sinilah keturunan rohani Abraham, suatu “kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya,” sama tak terhitung banyaknya seperti pasir di pantai dan seperti bintang di langit. Di sini juga “semua kaum di bumi” diberkati, karena kumpulan besar orang banyak yang tak terhitung itu terdiri dari berbagai suku bangsa. Di sinilah juga tanah yang dijanjikan yaitu berkat yang melimpah yang mengalir dari pemerintahan Allah yang rahmani. Dan yang terpenting adalah Yesus Kristus, Benih Abraham, yang telah mencurahkan darah-Nya bagi penebusan kita dan yang telah memberikan berkat-Nya kepada semua orang berseru kepada-Nya untuk diselamatkan.

Kesimpulan

Izinkan saya untuk mencoba menyimpulkan apa yang telah kita pelajari mengenai Allah dari janji-Nya kepada Abraham dan penggenapannya.

Pertama, Dia adalah Allah dari Sejarah

Sejarah bukanlah suatu aliran peristiwa yang terjadi secara acak, karena Allah sedang mengerjakan di dalam waktu sebuah rencana yang telah dipikirkan-Nya sejak kekekalan yang lampau dan akan digenapi di dalam kekekalan yang akan datang. Di dalam proses historis ini Yesus Kristus, sebagai Keturunan Abraham, adalah tokoh kunci. Marilah kita bersukacita, karena jika kita adalah murid Kristus, kita adalah keturunan Abraham. Kita berasal dari silsilah rohani Abraham. Jika kita telah menerima berkat pembenaran melalui iman, diterima oleh Allah dan Roh Kudus berdiam di dalam diri kita, maka kita adalah pewaris masa kini dari janji yang telah dibuat untuk Abraham empat ribu tahun yang lalu.

Kedua, Dia adalah Allah dari Kovenan

Allah cukup bermurah hati untuk membuat janji-janji, dan Dia selalu memegang janji yang dibuat-Nya. Dia adalah Allah yang penuh kasih dan setia. Ini tidak berarti bahwa Dia selalu memenuhi janji-Nya dengan segera. Abraham dan Sara “telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya” (Ibr. 11:13). Maksudnya, meskipun Ishak dilahirkan bagi mereka sebagai penggenapan janji, keturunan mereka belum banyak, demikian juga tanah belum diberikan kepada mereka, dan bangsa-bangsa juga belum diberkati. Semua janji Allah menjadi kenyataan, namun janji-janji itu diwariskan “melalui iman dan kesabaran” (Ibr. 6:12). Kita harus puas untuk menunggu waktu Tuhan.

Ketiga, Dia adalah Allah dari Berkat

“Aku akan memberkati engkau,” Allah berkata kepada Abraham (Kej. 12:2). “... pertama-tama Allah ... mengutus-Nya (Yesus) kepada kamu supaya Ia memberkati kamu,” Petrus mengulangi. Sikap Allah terhadap umat-Nya positif, membangun dan memperkaya. Penghakiman adalah “perbuatan ganjil” Allah (Yes. 28:21). Prinsip dan karakteristik karya-Nya adalah untuk memberkati umat-Nya dengan keselamatan.

Keempat, Dia adalah Allah dari Belas Kasih

Saya selalu mendapat penghiburan dari pernyataan dalam Wahyu 7:9, bahwa kumpulan orang tebusan di sorga akan “sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya.” Saya tidak mengetahui bagaimana ini bisa terjadi, karena orang Kristen kelihatannya selalu menjadi kelompok yang minoritas, namun Alkitab menyatakan hal itu sebagai penghiburan bagi kita. Meskipun tidak ada orang Kristen alkitabiah bisa menjadi seorang Universalis (percaya bahwa semua manusia akhirnya pasti akan diselamatkan), karena Alkitab mengajarkan realitas yang mengerikan dan neraka yang kekal, seorang Kristen alkitabiah bisa – bahkan harus – menegaskan bahwa orang yang telah ditebus akan menjadi sekumpulan besar orang dari semua suku bangsa yang begitu banyak sampai tidak terhitung jumlahnya. Karena janji Allah pasti akan digenapi, dan keturunan Abraham akan menjadi tidak terhitung seperti debu di bumi, bintang di langit dan pasir di pantai.

Kelima, Dia adalah Allah dari Misi

Bangsa-bangsa tidak dikumpulkan secara otomatis. Jika Allah pernah berjanji untuk memberkati “seluruh kaum di muka bumi,” Dia berjanji untuk melakukannya “melalui keturunan Abraham” (Kej. 12:3; 22:18). Kini kita adalah keturunan Abraham melalui iman, dan kaum di muka bumi akan diberkati hanya jika kita pergi memberitakan Injil kepada mereka. Inilah maksud Allah yang jelas.

Saya berdoa agar kalimat ini, “seluruh kaum di muka bumi,” boleh ditulis dalam hati kita. Ungkapan inilah lebih daripada ungkapan apa pun lainnya yang menyatakan bahwa Allah yang hidup dari Alkitab adalah Allah yang misioner. Ungkapan ini juga yang menyalahkan semua kesempitan pandangan kita dan nasionalisme yang picik, kesombongan rasial kita (entah kulit putih maupun kulit hitam), paternalisme kita yang bersikap meremehkan dan imperialisme yang arogan. Betapa berani kita mengadopsi suatu sikap yang bermusuhan, menghina bahkan acuh tak acuh kepada setiap orang dari warna kulit atau budaya yang berbeda jika Allah kita adalah Allah dari “seluruh kaum di muka bumi”? Kita perlu menjadi orang Kristen global dengan visi global, karena kita memiliki Allah global.

Jadi, kiranya Tuhan menolong kita untuk tidak pernah melupakan janji-Nya kepada Abraham empat ribu tahun yang lalu: “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”

Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas