PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Apa Sebenarnya Kemiskinan Itu?

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Bryant L. Myers

Myers.jpg
Bryant L. Myers adalah Profesor bidang Pembangunan Internasional di Departemen Kajian Antarbudaya di Fuller Theological Seminary. Myers datang di Fuller setelah 30 tahun berkarir di World Vision International. Beliau adalah penulis buku Walking With the Poor. Tulisan ini diambil dari MARC Newsletter, Maret 1997. Digunakan dengan izin.


Saya sering kali mengungkapkan keprihatinan tentang apakah kita sebagai orang Kristen menggunakan pandangan yang lebih modern ketimbang pandangan yang lebih alkitabiah dan Kristen. Baru-baru ini, saya bertanya-tanya tentang bagaimana kita menggunakan kata kemiskinan. Sebagian besar dari kita percaya kita telah memahami arti dari kata tersebut. Dan arti yang kita berikan kepada kata benda abstrak seperti kemiskinan mencerminkan cara kita melihat, berpikir dan memahami dunia kita.

Darimana Kita Harus Memulai? Definisi umum dari kemiskinan adalah bahwa kemiskinan merupakan kondisi berbagai kelompok orang yang secara abstrak kita gambarkan sebagai “orang miskin.” Tetapi orang miskin bukan sesuatu yang abstrak. Mereka adalah manusia yang memiliki nama, diciptakan dalam gambar Allah, yang untuk mereka juga Yesus mati. Orang yang hidup dalam kemiskinan berharga di mata Allah―sama penting dan sama dikasihi oleh Dia seperti halnya mereka yang tidak hidup dalam kemiskinan. Mengapa pengingat ini penting? Dunia cenderung melihat orang miskin sebagai sebuah kelompok tanpa harapan. Orang miskin menjadi tidak bernama, dan ini membuat kita memperlakukan mereka sebagai objek dari belas kasihan kita; orang-orang yang kepada siapa kita berhak bertindak seperti apa yang kita anggap terbaik. Untuk pengertian yang Kristiani mengenai kemiskinan, kita harus ingat bahwa orang miskin memiliki nama, orang-orang yang Allah telah berikan karunia dan orang-orang di mana Allah berkarya di antara mereka―bahkan sebelum kita tahu mereka ada.

Kemiskinan sebagai Kekurangan Kemiskinan adalah hasil dari kekurangan sesuatu. Jelas bahwa orang miskin tidak memiliki cukup makanan, tempat untuk tidur atau air bersih. Tanah mereka miskin, tidak ada air untuk irigasi, jalanan jelek dan tidak ada sekolah bagi anak-anak mereka. Dan kemudian kita berencana untuk menyediakan hal-hal yang kurang tersebut: bantuan makanan, perumahan berbiaya murah dan sumur-sumur. Kita juga mengenali bahwa beberapa orang miskin kekurangan pengetahuan dan ketrampilan. Orang miskin mungkin tidak mengerti nutrisi, pentingnya air dimasak, pentingnya tempat untuk anak atau bagaimana membaca petunjuk di kemasan pembungkus benih. Mereka tidak tahu mengenai pertanian yang berkelanjutan, menjalankan usaha kecil dan pentingnya menabung uang. Jadi, kita menyediakan program-program yang menampilkan pendidikan, formal dan non-formal. Kita beranggapan bahwa ketika orang miskin menerima pengetahuan yang mereka kurang, mereka tidak akan menjadi miskin lagi. Orang Kristen cenderung menambahkan dimensi lain terhadap kemiskinan sebagai defisit: orang non-Kristen yang miskin kurang pengetahuan akan Allah dan kabar baik tentang Yesus Kristus. Untuk mengerti kemiskinan secara holistik, orang Kristen menambahkan Injil ke daftar hal-hal yang tidak dimiliki orang miskin. Pandangan-pandangan di atas tentang kemiskinan memang benar, dan, sejauh batasan tertentu, semuanya sangat membantu. Orang memang membutuhkan banyak hal: ketrampilan, pengetahuan dan kesempatan untuk mendengar Injil. Namun, membatasi pengertian kita tentang kemiskinan pada kerangka ini menciptakan beberapa masalah yang serius. Ketika kita membatasi pengertian kita akan kemiskinan dalam cara ini, kita melihat diri kita sebagai penyedia. Orang miskin sebagai penerima yang pasif, manusia yang tidak utuh yang kita buat menjadi utuh. Sikap yang tidak benar ini memiliki dua konsekuensi negatif. Pertama, sikap ini merendahkan dan mengurangi martabat orang miskin. Pandangan kita terhadap mereka, yang dengan cepat menjadi pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri, adalah bahwa mereka itu cacat dan tidak mampu. Kedua, sikap kita mengenai diri kita sendiri dapat menjadi seperti seorang mesias. Kita tergoda untuk percaya bahwa kitalah penyelamat orang miskin dan kitalah yang membuat hidup mereka lengkap. Jadi, jika pandangan yang defisit terhadap kemiskinan masih membantu, namun tidak cukup, apa yang bisa kita tambahkan kepada pandangan kita tentang kemiskinan?

Kemiskinan sebagai Hubungan yang Rusak Penelitian yang saksama terhadap Alkitab menunjukkan bahwa memahami Injil dalam istilah hubungan sungguh membantu. Terlalu sering, kita kaum Injili membatasi pembacaan kita kepada suatu kerangka kerja hukum atau bersifat transaksi yang berpusat pada dosa kita, murka Allah, anugerah Allah dalam Kristus dan pengampunan kita. Meskipun kerangka kerja transaksional ini alkitabiah dan penting, itu bukan satu-satunya kerangka kerja yang bisa kita gunakan. Alkitab berisi banyak penekanan relasional. Akibat dari dosa pertama seluruhnya bersifat relasional―Adam menyalahkan Hawa, Kain membunuh Habel, mereka meninggalkan Taman Eden dan terpisah dari hubungan yang intim dengan Allah. Sepuluh Perintah menunjukkan suatu hubungan sosial. Di dalam kitab-kitab Injil, kedua pernyataan yang Yesus sebut sebagai perintah bersifat relasional―mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri sendiri. Memandang dunia dalam istilah hubungan memberi kita pemahaman baru tentang kemiskinan. Sudut pandang ini mengizinkan pengertian kita untuk melacak siapa melakukan apa kepada siapa. Kemiskinan melibatkan dikecualikan. Kita membuat orang lain miskin ketika kita member label kepada mereka sebagai orang lain, orang luar, orang terbuang. Kita memulai proses pengecualian ketika kita mengatakan kepada orang lain mereka malas, kotor, tidak berpendidikan, gila atau tidak aman untuk berada bersama mereka. Ketika kita menarik diri karena seseorang yang menderita kusta atau AIDS, homoseksual, warna kulit berbeda, atau berasal dari budaya yang berbeda, kita membuat mereka dan kita sendiri menjadi miskin. Labelisasi dan stereotip merendahkan gambar Allah dalam manusia. Kemiskinan seperti ini sangat kuat dan bersifat melemahkan, baik kepada mereka yang melakukannya dan mereka yang menjadi korban. Seorang wanita dari suku Han pernah berkata kepada saya, “Saya dapat percaya bahwa Allah mungkin mengizinkan Anak-Nya mati bagi orang kulit putih. Mungkin Dia melakukannya juga bagi orang kulit hitam. Tetapi Allah tidak akan pernah mengizinkan Anak-Nya untuk mati bagi orang yang bermukim di padang gurun tandus.” Wanita ini tidak bisa percaya bahwa dia diciptakan dalam gambar Allah. Dia telah menginternalisasi sejarah eksploitasi yang kejam dan pembantaian etnis.

Kemiskinan sebagai Penyalahgunaan Kekuasaan Ketika orang-orang yang memiliki kekuasaan atas orang lain menggunakannya untuk keuntungan diri sendiri, kemiskinan muncul. Kemiskinan tercipta ketika:

• orang dari kasta Brahman menjalankan suatu sistem sosial yang mengeksploitasi harijan (orang dari kasta najis).

• seorang pria menggunakan budaya machismo untuk membenarkan mabuk-mabukan, main perempuan dan memukuli istrinya.

• sebuah korporasi menggunakan koneksi politknya untuk mendapat sebuah tempat di kota yang ditentang oleh warga agar sebuah stadium olahraga dapat dibangun.

Orang dalam posisi istimewa secara sosial sering kali tergoda untuk menggunakan kekuasaan mereka demi keuntungan pribadi, mengabaikan akibat dari keputusan mereka terhadap mereka yang kurang berkuasa. Para manajer dapat menyalahgunakan kekuasaan mereka atas bawahan mereka. Para pendeta dapat menyalahgunakan kekuasaan mereka terhadap jemaat. Bahkan jika kita ingin adil dan benar, kita terus-menerus menghadapi pencobaan untuk percaya bahwa kita memiliki hak istimewa karena kedudukan yang kita pegang. Pandangan ini membuat banyak dari kita tidak nyaman. Ini juga berarti kita juga menjadi bagian dari penyebab kemiskinan. Bekerja melawan kemiskinan dalam kerangka kerja hubungan adalah berbahaya karena kerangka kerja ini menuntut Injil skandal kontrabudaya yang Paulus bicarakan. Ini akan membuat otoritas marah―otoritas religius, politik, ekonomi bahkan mereka yang ada dalam gereja Anda. Ini akan menantang dan menuntut perubahan dalam budaya―baik budaya lokal maupun budaya Anda sendiri. Dunia tidak dapat dan tidak akan mengubah kekuasaan politik, ekonomi dan sosial menjadi kekuasaan yang memihak kehidupan, memihak orang miskin dan memihak kerajaan Allah. Perubahan yang berkelanjutan tidak akan datang melalui mengorganisasi komunitas, proses politik atau lebih banyak pendidikan. Menantang natur kekuasaan yang menciptakan kemiskinan menuntut kuasa transformasional dari Injil. Ini mengenai dosa pribadi dan dosa sosial. Hanya kabar baik―seluruhnya―berisi harapan bahwa orang miskin pada suatu hari kelak akan mampu membangun tempat tinggal dan hidup di dalamnya.

Kemiskinan sebagai Ketakutan Satu cara terakhir melihat tentang kemiskinan: Anda miskin ketika Anda takut. Ini terlihat terutama ketika Anda takut kepada mereka yang memiliki pengaruh atas masa depan dan kesejahteraan Anda. Sebagian orang takut terhadap dunia roh, dunia yang tidak terlihat yang berisi setan, roh-roh dan nenek moyang. Sebagian lagi takut terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan atas mereka: orang-orang dari kasta Brahman, pendeta, perusahaan atau profesor. Ketakutan seperti ini, apa pun sumbernya, sangat melumpuhkan. Injil Markus mengajarkan bahwa ketakutan adalah lawan dari iman. Maka, ketakutan adalah masalah rohani. Ketakutan dapat disingkirkan hanya melalui iman kepada Anak Allah, yang lebih berkuasa dari setiap sumber ketakutan.

Rangkuman Ketika kita bergerak melampaui memahami kemiskinan sebagai ketidakhadiran benda-benda dan pengetahuan, kita melihat bahwa, pada intinya kemiskinan adalah masalah rohani. Hubungan yang tidak berjalan, kekuasaan yang disalahgunakan dan ketakutan yang melumpuhkan semua ini tidak bisa dikesampingkan. Gereja-gereja, badan misi dan badan-badan Kristen untuk pemulihan dan pengembangan masyarakat harus membawa Injil kepada orang miskin, bukan karena kegiatan ini merupakan kegiatan tambahan yang orang Kristen lakukan, tetapi karena pemberitaan Injil adalah satu-satunya sumber kebenaran dan kuasa yang dapat menyelesaikan pengertian yang serius tentang kemiskinan.



Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas