PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Mengapa Mengomunikasikan Injil Melalui Cerita?

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Tom A. Steffen

Tom A. Steffen adalah Profesor Studi Antarbudaya dan Direktur program Doktor Misiologi di School of Intercultural Studies, Biola University, La Mirada, California. Beliau melayani selama 20 tahun bersama New Tribes Mission, 15 di antaranya di Filipina.

Dari Reconnecting God’s Story to Ministry: Crosscultural Storytelling at Home and Abroad, 2005. Digunakan dengan ijin dari William Carey Library, Pasadena, CA.

Saya kira saya telah cukup belajar bahasa dan budaya Ifugao (Filipina) yang memungkinkan saya untuk melakukan penginjilan publik. Saya mengembangkan beberapa pelajaran Alkitab yang mengikuti outline berdasarkan topik yang kami terima di pelatihan sebelum terjun ke lapangan: Alkitab, Allah, Setan, manusia, dosa, penghakiman dan Yesus Kristus. Saya mulai dengan memperkenalkan kepada para pendengar Ifugo saya tentang dasar-otoritas (Alkitab). Lalu dengan cepat saya melanjutkan ke bagian kedua dari outline (Allah), dan seterusnya, memuncak pada Yesus Kristus. Saya menyajikan pelajaran-pelajaran itu dalam sebuah format berdasarkan topik dengan sistematis. Sasaran saya bukan hanya untuk mengomunikasikan Injil, tetapi juga mengomunikasikannya sedemikian rupa sehingga orang Ifugao dapat menjelaskannya kepada orang lain dengan efektif. Namun ketika saya mengajar, saya segera menyadari bahwa orang Ifugao kesulitan untuk mengikuti presentasi berdasarkan topik dan bahkan lebih sulit untuk menjelaskan isinya kepada orang lain. Saya bingung. Sesuatu harus diubah, maka saya menambahkan sejumlah cerita dari Perjanjian Lama untuk menggambarkan konsep abstrak (teoritis) dalam pelajaran melalui tokoh-tokoh dan benda-benda bergambar (konkrit). Saya menceritakan kisah tentang penciptaan, Kejatuhan, Kain dan Habel, Air bah, pelarian dari Mesir, pemberian Sepuluh Perintah Allah, Kemah Suci, Elia dan Dewa Baal, semua yang bisa memberikan fondasi untuk kisah Yesus. Respon mereka adalah fenomenal. Bukan hanya sesi penginjilan itu menjadi hidup, para penerima menjadi penginjil instan, menceritakan kisah-kisah itu kepada teman-teman dengan antusias dan efektif. Sejak itu saya mengintegrasikan cerita-cerita dalam semua usaha penginjilan saya.

Daftar isi

Kembali kepada Keampuhan dari Cerita

Setelah orang Ifugao memperkenalkan kembali kepada saya akan keampuhan dari cerita, saya mulai meneliti topiknya.1 Saya segera menemukan bahwa banyak disiplin ilmu, termasuk manajemen, kesehatan mental dan fisik, apologetika, teologi dan antropologi sangat bergantung pada bercerita. Namun, sayangnya, bercerita telah menjadi seni yang hilang bagi banyak pekerja Kristen dalam kaitannya dengan penginjilan. Sedikit yang menyajikan Injil dengan menggunakan kisah-kisah Perjanjian Lama untuk meletakkan dasar yang kuat untuk memahami kehidupan Kristus, atau menghubungkan kisah-kisah tentang pengharapan sebagai target kisah keputusasaan dari audiens. Sebaliknya, banyak yang memilih untuk menguraikan empat atau lima hukum rohani dan membuktikan keabsahannya masing-masing dengan argumen yang tajam.

Sejumlah mitos berongga membuat berat sebelah pilihan terhadap bercerita dalam penginjilan: (1) cerita adalah untuk anak-anak; (2) cerita adalah untuk hiburan; (3) orang dewasa lebih suka pemikiran yang rumit, objektif, dan proporsional; (4) tokoh berasal dari dogma, kredo, dan teologi; (5) bercerita adalah buang-buang waktu dalam hal gagal untuk sampai ke masalah yang lebih inti. Sebagai akibat dari hal-hal ini dan mitos lain yang berkaitan, banyak pekerja Kristen telah mengesampingkan bercerita. Untuk membantu menghubungkan kembali kisah Allah dengan pemuridan-penginjilan, saya akan menyoroti tujuh alasan mengapa bercerita harus menjadi sebuah ketrampilan yang dipraktekkan oleh semua orang yang mengomunikasikan Injil.

1.Bercerita adalah Bentuk Komunikasi Universal

Tidak peduli kemana Anda bepergian di dunia ini, Anda akan menemukan bahwa orang senang bercerita dan mendengarkan cerita. Anak-anak, remaja dan orang yang lebih tua semuanya suka untuk memasuki pengalaman hidup orang lain melalui cerita. Apa pun topik yang dibahas, cerita menjadi bagian integral dalam dialog. Cerita dapat digunakan untuk memperdebatkan satu maksud, menyelipkan humor, menggambarkan wawasan penting, menghibur teman yang sedih, menantang kejuaraan atau sekadar menghabiskan waktu. Apapun penggunaannya, sebuah cerita memiliki cara yang unik dalam menemukan jalan menuju sebuah percakapan.Cerita diperdengarkan di mana saja. Pas untuk diperdengarkan di gereja dan penjara, di rumah dan di sekeliling api unggun. Tidak hanya bercerita, orang-orang memiliki kebutuhan untuk melakukannya. Hal ini membawa kita ke alasan kedua untuk bercerita.

2. Lebih Dari Setengah Penduduk Dunia Memilih Mode Pembelajaran yang Konkrit

Orang yang buta huruf dan semi-terpelajar di dunia mungkin melebihi jumlah orang yang dapat membaca.2 Orang-orang dengan latar belakang tersebut cenderung mengekspresikan diri lebih melalui bentuk-bentuk yang konkrit (cerita dan lambang) daripada konsep-konsep yang abstrak (pemikiran tentang dalil dan filsafat). Jumlah orang Amerika yang lebih memilih mode komunikasi yang konkrit bertambah. Hal ini disebabkan, setidaknya sebagian, karena sebuah perubahan besar dalam pilihan komunikasi. Salah satu alasan di balik perubahan ini (dan tingkat melek huruf yang menurun) adalah televisi. Dengan rara-rata suara TV sekarang sekitar 13 detik, dan rata-rata panjang gambar kurang dari tiga detik (seringkali tanpa logika linier), maka tidak mengherankan jika mereka yang di bawah pengaruh televisi memiliki sedikit waktu atau keinginan untuk membaca. Akibatnya, bisnis koran terus berkurang sementara perusahaan produksi video berkembang biak. Jika pekerja Kristen terlalu banyak mengandalkan fondasi penginjilan dan pengajaran yang harfiah dan abstrak, dua per tiga dunia mungkin mengalihkan perhatiannya ke tempat yang lain. 3

3. Cerita Menghubungkan Imajinasi dan Emosi Kita

Komunikasi yang efektif tidak hanya menyentuh pikiran kita, tetapi juga menjangkau pusat emosi, yaitu hati. Tidak seperti prinsip, aturan, dan dalil, cerita membawa kita dalam sebuah perjalanan yang terbuka-di akhir yang menyentuh keseluruhan pribadi. Cerita memberikan tanggal, waktu, tempat, nama, dan kronologi, hal-hal itu secara bersamaan membangkitkan air mata, keceriaan, rasa takut, kemarahan, percaya diri, keyakinan, sarkasme, keputusasaan dan harapan. Cerita membawa para pendengarnya ke dalam kehidupan para tokohnya. Para pendengar (peserta) tidak hanya mendengar apa yang terjadi pada tokoh-tokoh tersebut; melalui imajinasi mereka seolah mengalami sendiri masuk ke dalam pengalaman itu. Herbert Schneidau dengan cepat menangkap maksud ini ketika dia menyatakan: “Cerita memiliki cara untuk membuka perasaan-perasaan yang bisanya kita lumpuhkan itu.” 4 Orang-orang menghargai cerita karena mencerminkan kehidupan mereka sendiri, menenun bersama-sama kenyataan dan perasaan. Cerita melepaskan imajinasi, membuat pembelajaran menjadi sebuah pengalaman yang menarik dan yang mengubah hidup.

Gaya Mayoritas Sastra Alkitab

Pemikiran yang terorganisir 10%

Narasi (Cerita) 75%

Puisi 15%

4. Sekitar 75% dari Alkitab adalah Cerita

Tiga gaya dasar sastra mendominasi penulisan Alkitab, yaitu format cerita, puisi, dan pemikiran yang terorganisir, namun cerita adalah yang dominan (lihat gambar di atas). Selama berabad-abad, para penulis Alkitab mendokumentasikan banyak macam tokoh: dari raja sampai budak, dari orang yang mengikuti Allah sampai mereka yang hidup bagi keuntungan pribadi. Kisah-kisah seperti itu menjadi cermin yang merefleksikan perspektif kita sendiri tentang kehidupan, dan yang lebih penting, perspektif Allah. Charles Koller dengan cerdik menunjukkan: Alkitab tidak diberikan untuk mengungkapkan kehidupan Abraham, Ishak, dan Yakub, namun untuk menyingkapkan tangan Allah dalam kehidupan Abraham, Ishak, dan Yakub; bukan sebagai penyataan tentang Maria, Martha, dan Lazarus, namun sebagai pernyataan tentang Juruselamat Maria, Martha, dan Lazarus.5 Puisi mencakup sekitar 15% dari Alkitab. Nyanyian, ratapan, dan amsal memberi kepada para pembaca dan pendengar berbagai jalan untuk mengekspresikan dan mengalami emosi-emosi yang dalam. Bagian-bagian Alkitab ini menunjukkan sisi perasaan orang-orang, dan menerangi perasaan-perasaan Allah juga. Yang 10% sisanya terdiri dalam format pemikiran terorganisir. Tulisan-tulisan Rasul Paulus yang dipengaruhi Yunani termasuk dalam kategori ini, dimana pemikiran logis dan linier mendominasi. Banyak orang Barat dididik dalam tradisi Yunani, termasuk saya, lebih memilih untuk menghabiskan sebagian besar waktu dalam gaya sastra Kitab Suci yang paling sedikit ini. Namun, jika Allah mengomunikasikan sebagian besar berita-Nya kepada dunia melalui cerita, apa yang disarankan kepada para pekerja Kristen?

5. Semua Agama Mayoritas Menggunakan Cerita untuk Mensosialisasikannya kepada Para Petobat yang Muda dan Potensial untuk menjadi Pengikut dan untuk Mengindoktinasi Para Anggota.

Budha, M, Hindu, Yudaisme, Kristen – semua memakai cerita untuk menambah (dan membatasi) keanggotaan dan memastikan kesetiaan generasi yang sekarang ini. Mereka menggunakan cerita untuk membedakan anggota yang sejati dari yang palsu, membedakan perilaku yang bisa diterima dari perilaku yang tidak bisa diterima. Cerita menciptakan komunitas yang berkomitmen. Entah Paulus sedang menginjili orang Yahudi maupun non-yahudi, audiens mendengar cerita yang relevan. Orang-orang Yahudi yang tidak percaya mendengar tentang para pahlawan budaya, seperti Abraham, Musa, dan Daud (Kis 13:13-43). Orang-orang non-Yahudi mendengar tentang Allah yang berkuasa di balik kisah penciptaan (Kis 14:8-18; 17:16-34). Orang-orang percaya yang sudah dewasa iman mendengar cerita yang sama dengan penekanan yang berbeda. Bisakah salah satu alasan untuk hal ini adalah bahwa cerita memberikan cara yang tidak mengganggu dan tidak mengancam dalam menantang dasar keyakinan dan perilaku seseorang?

6. Cerita Menciptakan Para Penginjil Instan

Orang-orang merasa mudah untuk mengulangi cerita yang bagus. Entah inti cerita itu tentang gosip hangat atau Injil Yesus Kristus, sesuatu yang di dalamnya setiap kita mau mendengar dan menceritakan kisah-kisah tersebut. Menahan cerita yang bagus adalah seperti menolak setoples biskuit kesukaan Anda. Cepat atau lambat, desakannya terlalu kuat dan biskuit-biskuit pun dimakan, kisahnya akan diceritakan. Kisah-kisah akan diceritakan lagi. Karena teman Ifugao saya bisa mengaitkan pengalaman kehidupan tokoh-tokoh Alkitab dengan baik, mereka tidak hanya mengaplikasikan cerita-cerita itu pada kehidupan mereka, mereka dengan segera menceritakan lagi kepada keluarga dan teman-teman, bahkan sebelum mereka berpindah kepercayaan kepada Yesus Kristus. Cerita menciptakan tukang cerita.

7. Yesus Mengajar Teologi Melalui Cerita

Yesus tidak pernah menulis buku tentang teologi sistematik, namun Dia mengajarkan teologi kemanapun Dia pergi. Sebagai seorang pemikir yang holistik, Yesus sering menggunakan kisah parabolik untuk mengusik audiens ke dalam refleksi tentang cara-cara pemikiran yang baru tentang kehidupan. Ketika para pendengar Yesus bergumul dengan konsep baru yang diperkenalkan melalui perumpamaan, mereka ditantang untuk meneliti tradisi, bentuk baru gambar Allah, dan mengubah tingkah laku mereka. Cerita mendorong orang untuk berjumpa dengan Allah dan berubah. Tidaklah nyaman untuk diperhadapkan dengan tantangan dari cerita-cerita Yesus: untuk melangkah keluar dari perahu, berbalik dari anggota keluarga, menambah belas kasihan kepada orang lain, mencari hal yang tersembunyi dan memberikan benda dan kekayaan kepada orang miskin – tidak satupun yang menarik. Namun cerita-cerita itu telah membuka kemungkinan-kemungkinan yang menjadikannya sulit untuk tetap puas dengan kehidupan seperti sebelumnya. Kemanapun arah yang diambil oleh pendengar, mereka tidak menemukan jalan tengah. Mereka telah bertemu Allah. Cerita Yesus, dikemas dengan teologi, dilandasi akal, imajinasi dan emosi untuk berbenturan, menuntut adanya sebuah perubahan ketaatan.

Kesimpulan

Alkitab mulai dengan kisah penciptaan dan berakhir dengan penglihatan penciptaan kembali oleh Allah. Di antara alfa dan omega dihujani begitu banyak dengan bermacam kisah lainnya. Cerita mendominasi Kitab Suci, namun cerita jarang menjadi strategi pekerja Kristen. Leland Ryken dengan meyakinkan bertanya:

Mengapa Alkitab berisi begitu banyak cerita? Mungkinkah kisah-kisah itu mengungkapkan beberapa kebenaran dan pengalaman yang tidak ada dalam bentuk karya sastra lain – dan jika demikian, apakah itu? Apa perbedaaan dalam gambaran kita tentang Allah ketika kita membaca kisah dimana Allah bertindak, dibandingkan dengan pernyataan-pernyataan teologis tentang sifat Allah? Apa yang dikomunikasikan Alkitab melalui imajinasi kita yang tidak dikomunikasikan melalui akal kita? Jika Alkitab menggunakan imajinasi sebagai salah satu cara mengomunikasikan kebenaran, bukankah seharusnya kita juga menunjukkan keyakinan yang sama dalam kekuatan imajinasi untuk menyampaikan kebenaran religius? Jika ya, apakah akan menjadi awal yang baik untuk menghormati kualitas cerita di Alkitab dalam eksposisi kita tentangnya? 6 Bukankah ini adalah waktunya bagi para pekerja Kristen untuk merevitalisasi satu hal yang paling tua, yang paling universal, dan bentuk seni yang paling ampuh di dunia, yaitu bercerita? Saya yakin akan hal ini. Saya juga percaya bahwa pekerja Kristen, dengan latihan dan praktek, dapat dengan efektif mengomunikasikan kisah sempurna Yesus Kristus, dan menghubungkannya dengan cerita belum selesai dari audiens yang disasar. Menyajikan sebuah gambaran luas kisah-kisah Perjanjian lama dan Baru yang memperkenalkan sejarah penebusan akan menyoroti Cerita Utama (Yesus Kristus) dari Buku Cerita Suci (Alkitab) bagi para pendengarnya. Jika ini terjadi, Injil akan jauh lebih mudah untuk dimengerti, dan lebih sering dikomunikasikan kepada keluarga dan teman-teman.


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas