PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Tiga Era Misi: Kehilangan dan Pemulihan Misi Kerajaan, 1800-2000

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Ralph D. Winter

Winter.jpg
Ralph D. Winter adalah Direktur Umum Frontier Mission Fellowship (FMF) di Pasadena, CA. Setelah melayani selama sepuluh tahun sebagai misionaris di antara orang Indian Mayan di dataran tinggi Guatemala, beliau dipanggil menjadi Profesor Misi di School of World Misson di Fuller Theological Seminary. Sepuluh tahun kemudian, beliau dan istri pertamanya, Roberta, mendirikan masyarakat misi yang disebut Frontier Mission Fellowship yang kemudian melahirkan U.S. Center for World Mission dan William Carey International University, di mana kedua institusi tersebut melayani orang-orang yang bekerja di garis depan misi

Adalah tugas intelektual yang luar biasa besar untuk memberikan ringkasan singkat tetapi adil mengenai dua abad terakhir. Di dalam periode ini semakin banyak orang yang hidup, melakukan lebih banyak hal dan melakukan hal-hal yang lebih signifikan bagi Kerajaan Allah ketimbang semua zaman sebelumnya dalam sejarah. Tahun-tahun ini menunjukkan dasar-dasar dari dunia masa kini lebih tunduk pada pengaruh Alkitab ketimbang zaman lain dalam kisah umat manusia. Apa yang sebenarnya terjadi?

Daftar isi

Pendahuluan

Kebanyakan pembahasan mengenai periode entah mengabaikan dinamika Kristen atau mengabaikan peristiwa-peristiwa sekuler. Meletakkan dua hal ini bersama-sama merupakan tujuan utama makalah ini.

Yesus berkata, “Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat. 16:18). Di sepanjang sejarah banyak tradisi besar seperti, Orthodoks, Katolik, Lutheran, Anglikan dan Presbiterian, dengan sebagian besar tindakan mereka (meskipun teologi mereka beragam), telah memahami ayat ini sebagai ayat panggilan untuk memperluas gereja sebagai sebuah institusi ketimbang perluasan Kerajaan Allah dan kehendak-Nya di bumi (lebih sedikit lagi yang memahami gagasan tentang Gereja yang mau berjuang sebagai alat Allah dalam perang). Ada perbedaan besar. Di satu sisi, walaupun gereja tidak boleh memasukkan orang tidak percaya (meski sering terjadi), Kerajaan Allah terkadang bisa melibatkan orang gereja yang sudah lahir baru bekerja bersama dengan orang di luar Gereja yang belum percaya, tetapi yang setuju bahwa kejahatan harus dilawan.

Kita kaum Injili cenderung mengabaikan frasa Injil Allah dalam Perjanjian Baru, yang lebih banyak muncul ketimbang Injil Kerajaan. Sebaliknya, kita tampaknya lebih tertarik dengan Injil Manusia untuk memperoleh lebih banyak anggota ke dalam gereja atau lebih banyak orang diselamatkan yang menjadi lebih penting daripada semua cara lain dalam memuliakan Allah. Pada masa kini kita memiliki berbagai kesempatan baru dan sumber baru yang dengannya Kerajaan Allah dapat diperluas dan nama-Nya dimuliakan. Berbagai kesempatan tersebut tidak menggantikan penginjilan namun membuatnya lebih bisa dipercaya.

Dalam 200 tahun terakhir kita tidak hanya melihat akselerasi besar dari populasi dunia, tetapi juga dampak yang besar dari penyataan Alkitab, perluasan Gereja dan perluasan pemerintahan Allah?Kerajaan-Nya. Mereka yang menyerah terhadap perluasan pemerintahan Allah sebagai anggota Gereja-Nya muncul dalam berbagai warna dan dimensi, dengan pengertian baru yang baik dan tidak terlalu baik, dan terkadang dengan sudut pandang yang bertentangan. Kita ingin melihat Kekristenan sebagaimana adanya. Jika tidak kita mungkin secara tak menyenangkan akan terkejut oleh masa depan.

Kita akan melihat bahwa berbagai gerakan baru ini mungkin bersifat parsial, tidak seimbang, mungkin bidat. Visi dan strategi misi juga telah berubah. Alkitab, meskipun ditafsirkan secara berbeda, tetap merupakan elemen yang stabil.

Mengantarkan kepada dua abad terakhir yang eksplosif ini, ada berbagai peristiwa bersejarah yang terus menjadi faktor utama dalam pemahaman kita mengenai misi pada hari ini.

Berbagai Peristiwa Penting Sebelumnya

Sebagai contoh, setelah tahun 1450, karena adanya percetakan, Alkitab dan literatur Kristen menjadi pengaruh yang besar, mendukung pendobrakan (disebut Reformasi) terhadap asumsi salah yang sudah berlangsung lama oleh orang-orang percaya yang berbahasa Latin Mediterania, bahwa penyebaran iman akan dan seharusnya terus berlanjut dalam budaya Mediterania. Hal ini tentu tidak terjadi. Meski selama berabad-abad bahasa Latin telah secara positif telah sangat membantu menyatukan para sarjana dalam wilayah yang sangat besar, apa yang telah lama dilihat sebagai “jubah Kristus tanpa jahitan” secara budaya telah menjadi pakaian motif kotak-kotak yang lebih kompleks. Pada saat yang sama, hal ini telah menjadi satu realitas yang pluralistik yang mampu menampung setiap tradisi budaya, suatu harta karun yang mampu dibawa di dalam bejana tanah “liat” dalam jumlah berapa pun.

Kedua, apa yang Andrew Walls sebut sebagai “Migrasi Besar Eropa” yang meluas ke seluruh dunia. Ini dimulai ketika Kolombus pada tahun 1492 “melayari samudra.”

Ketiga, fenomena yang lebih penting bagi pembahasan kita adalah fakta bahwa, bersamaan dengan ekspansi perdagangan, iman dalam cabang Latin ini (dengan kekuatan dan kelemahannya, yang sebelumnya baru saja dibangkitkan kembali, selama dan setelah Reformasi) juga diperluas secara signifikan antara tahun 1600 dan 1800, menggunakan jalur laut bersama pasukannya yang setia dan memiliki determinasi yang besar – ordo Fransiscan, Dominican, dan Jesuit.

Konsep Dasar

Muncul dalam 200 tahun terakhir adalah Tiga Era Misi Protestan, masing-masingnya memiliki strategi baru dalam ekspansi global Kerajaan Allah, atau setidaknya Gereja Allah. Untuk menggambarkan era-era ini, dan demi tujuan dari bab ini, saya menggunakan dua frasa: 1) Misi Gereja, yang saya definisikan sebagai memenangkan orang ke dalam Gereja di mana pun di seluruh dunia, dan karenanya memperluas keanggotaan Gereja, dan 2) Misi Kerajaan, yang kita definisikan sebagai pekerjaan gereja di luar dirinya, melampaui Misi Gereja untuk melihat agar kehendak-Nya dilaksanakan di bumi di luar Gereja. Inilah perluasan Kerajaan Allah. Misi Gereja memang mendasar dan penting tetapi tidak boleh menjadi suatu sasaran dalam dirinya sendiri. Misi tersebut juga harus dilihat sebagai sarana yang terus-menerus mengusahakan agar kehendak Allah dilaksanakan di bumi, dan menyatakan kemuliaan-Nya di antara segala kelompok suku bangsa.

Dari sudut pandang dua frasa ini, Misi Gereja dan Misi Kerajaan, Amanat Agung dengan jelas mencakup keduanya (bukan hanya “misi ke luar negeri,” atau hanya Misi Kerajaan) karena inilah tentunya yang dimaksud dengan “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:20). Karena kenyataan bahwa lebih umum untuk membedakan antara misi di tempat asal (“dalam negeri”) dan misi di tempat yang jauh (“luar negeri”), atau antara penginjilan dalam budaya yang sama dan prioritas tertinggi?merintis suatu penginjilan lintas budaya, atau misi. Di dalam bab ini, baik Misi Gereja dan Misi Kerajaan harus dilibatkan baik di tempat asal dan tempat yang jauh, baik di tempat di mana Gereja sudah ada atau belum.

Ketiga Era Secara Singkat

Era Pertama, 1800-1910, mengikuti pertobatan orang Protestan untuk bermisi setelah sekian lama tertunda. Di dalam pertobatan ini Protestantisme beranjak dari sekadar menjadi gerakan religius yang mendalam dan semi politik menuju kepada kesadaran tiba-tiba akan misi global, baik Misi Gereja dan Misi Kerajaan. Pada batas tertentu pertobatan ini terjadi setelah kira-kira 300 tahun, dari tahun 1500 hingga 1800. Namun, pada beberapa tahun sebelum tahun 1800 kesadaran misi orang Protestan meningkat sangat cepat dengan dorongan Kebangunan Injili.

Pemahaman yang meningkat cepat ini menghasilkan Era Pertama misi Protestan, yang dalam arti tertentu adalah Era William Carey. William Carey bagi orang Protestan, adalah orang yang membuka jalan keluar dari Eropa menuju ke wilayah pesisir di seluruh dunia, tetapi juga, pewaris sejati Kebangunan Injili, mempromosikan suatu pendekatan Kerajaan Allah yang luas. Banyak orang yang mengikuti teladannya mencerminkan kesamaan dengannya dalam spektrum perhatian yang sangat luas baik terhadap penginjilan maupun transformasi budaya, baik Misi Gereja dan Misi Kerajaan. (Lihat bab yang sangat menarik mengenai Carey yang ditulis oleh suami istri Mangalwadi). Banyak misionaris di akhir abad 19 mengikuti teladannya membangun universitas untuk mempromosikan pengetahuan dan kebenaran umum.

Era Kedua, 1865-1980, memperkenalkan apa yang menjadi polarisasi yang berbeda antara mereka yang memperhatikan pertobatan pribadi dan mereka yang ingin melihat “Kerajaan Allah datang di bumi.” Polarisasi ini sudah mulai terlihat nyata pada tahun 1900, tetapi sangat nyata dalam kontroversi Fundamentalis/Modernis tahun 1920-an. Di dalam misi dan gereja Amerika pada periode ini, kita sering melihat pilihan yang kurang baik antara 1) Misi Kerajaan, yang melibatkan Gereja sebagai garam dan terang dunia, memuliakan Allah di seluruh bumi, melakukan semua itu dengan (apa yang disebut pada masa itu) “memberadabkan” di samping itu juga melakukan Misi Gereja?menginjili dan memperluas gereja dan 2) Misi Gereja belaka, yang di dalamnya misi menjadi kegiatan dari badan-badan misi yang utamanya menarik para lulusan perguruan Alkitab dan orang-orang yang bukan dari latar belakang perguruan tinggi yang mewakili keluarga-keluarga yang kurang berpengaruh, terutama menekankan Injil yang berorientasi kepada sorga dan pemenuhan secara pribadi yang dimaksudkan untuk menarik orang menjadi anggota Gereja.

Pilihan yang diberlakukan atas polarisasi ini kemudian merupakan ketegangan artifisial antara menyelamatkan jiwa dan menyelamatkan jiwa plus menyelamatkan kelompok suku, masyarakat, dan alam. Percabangan ini meluas kepada, dan menjadi berbahaya di abad 20. Perhatikan, “memberadabkan” pada masa itu tidak berarti membentuk seseorang memiliki etiket tetapi menolong orang melek huruf dan memiliki penghidupan, plus mengakhiri kanibalisme, tradisi mengikat kaki, tradisi membakar janda, dan pembunuhan bayi.

Sebagai contoh, Hudson Taylor, yang mewakili kutub kontroversi yang hanya mementingkan penginjilan (Misi Gereja semata), memulai dengan berani dan tanpa lelah menerobos masuk ke wilayah pedalaman di Tiongkok, bukan hanya menciptakan apa yang akhirnya menjadi badan misi terbesar ke Tiongkok, China Inland Mission (sekarang Overseas Missionary Fellowship), tetapi juga mendorong empat belas badan misi lain yang berfokus pada wilayah pedalaman?meskipun mendapat pertentangan yang cukup hebat. Secara tidak sengaja, oposisi terhadap pergerakannya ke wilayah pedalaman mulai hilang tidak lama kemudian, lebih cepat ketimbang polarisasi antara “memberadabkan” dan penginjilan, antara Misi Kerajaan dan Misi Gereja semata. Para misionaris penting lain yang ke Tiongkok bekerja dalam cara yang berbeda, kita akan melihat hal ini selanjutnya.

Era Ketiga, 1935 sampai sekarang, ditunjukkan dalam dua cara, 1) penemuan Townsend dan McGavran, khususnya kebutuhan akan penerjemahan Alkitab dalam kelompok-kelompok suku, dan pentingnya menciptakan suatu “gerakan yang menuju kepada Kristus” di dalam suatu “ethne (etnis)” yang spesifik, terutama mereka yang telah diterobos oleh “sebuah Jembatan Allah” (satu atau lebih orang percaya di dalam sebuah kelompok suku yang belum ditembus). Perkembangan selanjutnya adalah perhatian tambahan bagi kelompok etnis yang lebih kecil dan terlewatkan di dunia?mereka yang belum ditembus, “Kelompok-kelompok suku yang belum terjangkau.” Perhatikan bahwa perhatian dari Era Ketiga ini bukan hanya memenangkan sejumlah orang, dan tidak hanya berpikir dalam istilah definisi geopolitis dari negara-negara, wilayah pesisir atau wilayah pedalaman. Era Ketiga juga mulai merefleksikan, 2) pemulihan dari sorga secara bertahap dan disambut dengan gembira melawan polarisasi bumi yang diwarisi dari beberapa tahun terakhir dari Era Kedua.

Kedua dimensi ini tetap dibukakan. Akan tetapi, Misi Kerajaan, dan kemudian gagasan akan sebuah Era Kerajaan, lebih dikedepankan, secara potensial menyatukan keduanya.

Sangat penting untuk menyadari bahwa apa yang sedang terjadi sama sekali tidak boleh diizinkan untuk mengaburkan prioritas bagi penginjilan terhadap kelompok-kelompok suku yang belum terjangkau. Memang, dimengerti dengan benar, penginjilan dalam perkataan, jika didukung “demonstrasi” oleh perbuatan, dapat memperkuat penginjilan. Tampaknya jelas bahwa prioritas tertinggi seharusnya pergi ke tempat di mana terdapat kegelapan yang paling dalam. Itu berarti pergi ke tempat-tempat di mana Yesus belum dikenal. Karena itu, berarti kita masih berbicara mengenai prioritas menjangkau ribuan “kelompok suku yang belum terjangkau.”


ERA PERTAMA: 1800-1910

Wilayah Pesisir, Misi Kerajaan

Misi Protestan dimulai kira-kira pada waktu orang Katolik menarik kembali misinya dengan berbagai alasan lain. Pada sekitar tahun 1800 Revolusi Prancis dan perang Napoleon sesudahnya membuat Eropa hancur, memutuskan perdagangan global Eropa dan perkembangan misi Katolik. Apa yang menyelamatkan Inggris dan Amerika dari nasib seperti Eropa adalah Kebangunan Injili yang besar lintas atlantik (di Amerika disebut, “Kebangunan Besar Koloni Tengah”). Pada akhir era ini, pada Konferensi Misionaris Sedunia di Edinburgh tahun 1910 tidak ada lagi keraguan tentang legitimasi misi Protestan.

Akan tetapi, Era Kedua, sudah dimulai pada beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 1865. Di dalam 45 tahun periode transisi (1865-1910) ketegangan signifikan muncul mengenai misiologi yang bercabang (pemahaman tentang misi) di ladang-ladang misi yang lama dan apa yang tepat bagi permulaan-permulaan yang baru di tempat di mana tidak ada gereja. Pada masa transisi ini muncul juga polarisasi antara Misi Gereja belaka dan Misi Gereja plus Misi Kerajaan. Kita akan melihat hal ini selanjutnya.

Kebangunan, Keragaman dan Permusuhan

Penting untuk mengenali bahwa perluasan religius, entah di dunia Barat atau non Barat, dapat secara tidak langsung membuahkan hasil yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, perhatikan Revolusi Prancis yang mengerikan yang sebagian besarnya dipicu oleh Revolusi Amerika. Kedua revolusi tersebut menumbangkan orang dari otoritas. Tetapi Revolusi Amerika berbeda. Revolusi ini secara luas dipicu dan dibakar oleh peristiwa Kebangunan Besar. Kebangunan di wilayah pesisir ini sangat memperluas jumlah orang Baptis dan Presbiterian, memperluas Presbiterian menjadi sebuah struktur demokratis tunggal yang menjangkau dari Boston ke Charleston. Pada tahun 1789 Konstitusi Amerika dan konstitusi Presbiterian yang diperbarui ditulis secara berdekatan, hanya berselang dua blok, sebagian besarnya oleh orang yang sama dengan pengalaman yang sebagian besar sama. Orang Amerika yang mengalami Kebangunan Besar ini hanya sedikit mengetahui bahwa mimpi indah mereka akan menjadi mimpi buruk bagi orang Prancis dalam beberapa tahun kemudian. Mengapa? Masyarakat Prancis tidak diresapi oleh jemaat-jemaat lokal yang demokratis seperti di Inggris dan Amerika. Aspek-aspek yang diinginkan dalam menerapkan pengalaman Amerika untuk alasan tersebut tidak dapat mengakar di Prancis. Bahkan Revolusi Amerika hampir diambil alih oleh sejumlah besar orang yang tidak beragama.

Sebagai contoh, pada tahun 1800, histeria Revolusi Prancis berpengaruh sangat kuat di Amerika. Tidak semua orang yang sudah terbebas dari otoritas Inggris rela berada di bawah otoritas Allah. Di Yale pada tahun 1800, sebagai sekolah pendidikan tinggi terbesar di Amerika, rektornya yang takut akan Tuhan, Timothy Dwight (cucu dari pendeta Injili yang berpengaruh, Jonathan Edwards) harus mengizinkan sejumlah kecil mahasiswa Kristen yang secara terbuka berdoa di dalam kantornya. Itu merupakan satu-satunya tempat yang aman dari mayoritas mahasiswa yang memusuhi dan anti agama. Sebagian dari mahasiswa itu menyebut diri mereka seperti pemimpin Revolusi Prancis?Danton, Robespierre, Marat, Hébert.

Pada tahun 1806 para mahasiswa yang terkenal dengan “Haystack” (peristiwa doa di tumpukan jerami) di Williams College menghadapi permusuhan yang sama, dipaksa berdoa di tempat terbuka karena di kampus mereka kalah jumlah dengan mahasiswa yang anti Kristen, yang sangat ingin revolusi. (Perhatikan: Karena tidak ingin kehujanan, mereka duduk di bawah tumpukan jerami yang seperti jamur raksasa setelah sapi-sapi memakan pinggirannya.)

Kita melihat permusuhan lebih jauh ketika “Citizen Genet,” seorang perwakilan dari revolusi Prancis, mendarat di Charleston pada tahun 1793, dan ribuan orang yang mendukung tipe revolusi kekerasan seperti Prancis, bahkan mendukung pembunuhan George Washington, berkumpul ketika Genet bergerak ke utara ke arah ibukota. Bahkan orang-orang dari garis terluar wilayah Barat membawa miniatur alat pemenggal kepala orang sebagai simbol dari apa yang mereka pikir harus terjadi pada George Washington. Tetapi itu tidak terjadi.

Sementara itu, di Inggris yang tidak terlalu terganggu dengan Perang Revolusi seperti koloni-koloni yang mengundurkan diri, Kebangunan Injili terus menjadi kekuatan utama. Penginjil Inggris bernama George Whitefield telah berkontribusi banyak bagi dampak ekstensif dari Kebangunan Besar di Amerika. Dia dan John Wesley bahkan lebih menonjol dalam Kebangunan Inggris. Wesley adalah seorang yang memiliki determinasi yang kuat meskipun tubuhnya kecil dan penginjil yang terus bergerak. Dia juga merupakan reformator sosial yang serius dan tabah, sangat jelas terlibat dalam Misi Kerajaan dan Misi Gereja.

Para petobatnya dilarang menyelundup, meskipun itu merupakan cara hidup banyak orang yang tinggal di semenanjung Cornwall (garis pantai panjang yang menarik kapal-kapal dari Prancis). Tetapi dia tetapi berusaha mengubah ketimbang melanggar hukum yang sudah ada. Reformasi yang dilakukannya mempengaruhi anak yatim piatu, institusi mental, penambangan, pengadilan, dan Parlemen. Di ranjang jelang kematiannya dia menulis kepada William Wilberforce dan mendesaknya untuk melawan perbudakan. Wesley, Wilberforce dan Carey semuanya telah dipengaruhi oleh Kebangunan Injili. Sebuah surat dari Carey, setelah dia berada di India, mendorong seorang anggota Parlemen untuk bergabung ke dalam Komite bagi Pemberantasan Perbudakan. Lebih lagi, teladan spesifik dari misi William Carey ke India, dan tulisannya yang diterbitkan, Enquiry, menjadi pendorong di belakang ratusan orang lain yang pergi ke ladang misi, termasuk lima mahasiswa “Haystack” pada tahun 1806. Sebelum mereka pergi ke ladang misi, mereka mendukung berdirinya badan misi ke luar negeri yang pertama di Amerika yaitu, American Board of Commissioners for Foreign Missions (ABCFM), pada tahun 1812.

Dampak Sekunder

Relevan terhadap fenomena dampak sekunder misi adalah juga fakta bahwa Kebangunan Injili mendorong Revolusi Industri. Setelah bertahun-tahun perjalanan Wesley yang tak kenal lelah, desa-desa di Inggris kini memiliki orang-orang yang secara moral telah diubahkan dan dapat dipercaya. Jadi? Jadi sekarang mungkin untuk produksi massal, misalnya, kepala kapak dikirim ke desa yang jauh tanpa takut tidak dibayar. Inggris telah menjadi sebuah pasar tunggal. Ini mengizinkan dan memupuk Revolusi Industri. Di Amerika, hal yang mirip terjadi sebagai hasil dari Kebangunan Kedua, yang menghasilkan sejumlah orang yang dapat dipercaya di sebelah barat sampai ke pegunungan Adirondack. Proyek itu akhirnya menjadi perusahaan penentuan kredit dan informasi yang dikenal sebagai Dun and Bradstreet.

Tetapi ada kelemahannya. Mengirim kapak dalam jumlah besar ke desa-desa di Inggris?dan hal-hal lainnya?menjadikan pekerja-pekerja di desa tidak mendapat pekerjaan, semacam “globalisasi” di tingkat kota. Mereka yang menganggur kemudian tertarik ke London mencari pekerjaan (sama seperti yang terjadi di sebagian besar kota di dunia hari ini) dan membuat London sebagai sarang penderitaan dan penyakit. Pada tahun 1850, 20% pekerja laki-laki di Inggris menjadi terlalu kurang gizi untuk bisa pergi bekerja! Itu cukup untuk memicu tulisan akademis Friedrich Engel The Condition of the Working Class in England in 1844, yang menjadi cikal bakal meletusnya Komunisme. Dialah teman brilian dari Karl Marx. Para misionaris kita perlu dipersiapkan untuk berurusan dengan berbagai dampak sekunder.

Contoh lain tentang dampak sekunder yang tidak diharapkan ini adalah pekerjaan saya sendiri di Guatemala. Selama bertahun-tahun pekerjaan misi tersebut telah menjadi keberhasilan yang kuat sebagai sebuah misi rohani. Namun globalisasi telah menghancurkan cara hidup dan oleh karena keputusasaan belaka, kini setengah dari semua ayah adalah pendatang illegal dalam negara ini, merusak ratusan keluarga, meninggalkan anak-anak untuk bertumbuh menjadi penjual narkoba dan anggota geng. Tetapi perhatikan, para misionaris yang hanya memiliki Alkitab dan tangan kosong tidak tampaknya siap mengantisipasi, terlebih lagi mampu untuk berurusan dengan dampak-dampak sekunder semacam ini.

Supaya kita tidak berpikir bahwa Carey yang menciptakan misi Protestan, perlu diperhatikan percikan akan minat misi yang telah mendahului usahanya, seperti, orang-orang Quaker di tahun 1600-an dan kelompok Moravia di awal tahun 1700-an. Tetapi kombinasi dari meluapnya badan-badan misi yang baru, bersama dengan penolakan signifikan terhadap gagasan misi ke luar negeri, tidak muncul pada masa yang lebih awal di lingkungan Protestan. Dan perhatikan kebetulan yang menarik, bahwa Era Protestan yang dimulai oleh Carey muncul pada saat yang sama ketika akar budaya dan ekonomi dari misi Katolik sedang dihancurkan. Namun, pada tahun 1800 ordo-ordo Katolik telah menanam basis-basis iman di seluruh dunia dalam jumlah yang banyak sekali. Akankah orang Protestan pernah mengejar ini? Ya, jika Anda menunggu 200 tahun.

Pergumulan, Penolakan, Perubahan

Maka, Era Pertama mempromosikan kebangunan Protestan terhadap misi global. Perdebatan yang hebat tentang validitas misi memperlambat hal tersebut pada setiap langkah, tetapi setidaknya mengizinkan munculnya Era Pertama yang dimulai William Carey. Tidak ada yang spektakuler. Orang Metodis Inggris setelah tahun 1800 mengutus 35 misionaris ke Afrika Barat selama kurun waktu 35 tahun berikutnya. Penyakit tropis berarti tak seorang pun dapat hidup lebih dari 24 bulan setelah kedatangannya. Namun, tetap terus ada sukarelawan baru. Tidak heran mereka memutuskan untuk mengirimkan barang-barang mereka ke ladang misi dalam peti mati.

Kebingungan awal tentang struktur kepemimpinan misi?apakah harus dewan pengurus misi di tempat asal atau pengurus di lapangan?hampir membunuh pekerjaan Carey di India, dan selama lima tahun mengancam pekerjaan Hudson Taylor. Pada umumnya para misionaris di era ini pergi ke wilayah pesisir. Wilayah-wilayah pedalaman, biasanya lebih berbahaya, baru akan ditantang. Selama bertahun-tahun penentangan terhadap misi terus berlanjut, tidak hanya dari para teolog, pejabat gereja tetapi juga dari kekuatan sekuler, dari East India Company, yang dengan keras tidak mengizinkan misionaris ada di wilayahnya, hingga anggota Parlemen Inggris yang kepadanya dikatakan bahwa


Mengirim para misionaris ke wilayah koloni kita di Timur adalah proyek yang paling gila, paling berlebihan, paling mahal, paling bisa dipertahankan, yang pernah diusulkan oleh kaum fanatik yang bingung. Skema seperti ini sangat merusak, tidak bijaksana, tidak berguna, membahayakan, tidak menguntungkan, berlebihan. Ini melawan semua alasan dan kebijakan yang sehat. Ini membuat kedamaian dan keamanan wilayah kekuasaan kita berada dalam bahaya.


Namun, pada tahun 1813 kaum Injili di Parlemen mampu memaksa East India Company untuk mengizinkan setidaknya para misionaris Inggris ke India.

Segera setelah tahun 1800, dua peristiwa penting terjadi. Seperti yang dinantikan dan ditakutkan orang Amerika sejak akhir Perang Revolusi, Inggris muncul kembali dengan kekuatannya pada tahun 1812. Kedua, kebangunan-kebangunan yang baru dan mendalam mulai terjadi di seluruh wilayah republik baru yang terkait dengan Atlantik. Juga pada tahun 1812, seperti yang sebelumnya telah disinggung, American Board of Commissioner for Foreign Missions didirikan. Kemudian, Inggris, sebagian karena sibuk berperang dengan Napoleon di Waterloo, secara tiba-tiba menghentikan perang mereka pada tahun 1812 melawan republik Amerika yang baru berdiri, menandatangani Perjanjian Ghent di tahun 1815. Peristiwa yang tak disangka dan mengejutkan itu, ditambah dengan Pembelian Louisiana yang luar biasa, membuka daratan Amerika Utara bagi pekerjaan (mengabaikan hak penduduk pribumi Amerika) dan hasilnya, salah satu migrasi terbesar dalam sejarah meledak ketika orang Amerika bergerak ke arah barat daratan Amerika dalam jumlah ribuan dengan menggunakan kereta pengangkut yang ditarik kuda untuk memulai kehidupan yang baru. Perkembangan yang besar itu menyediakan kebangkitan sosial yang sering kali mendukung kebangunan rohani dan pemikiran misi.

Jadi, Kebangunan Besar Kedua berkembang menjadi kekuatan penuh pada periode antara akhir perang tahun 1812 (1815) dan awal Perang Saudara (1861). Di antara dua perang ini kebangunan-kebangunan rohani terjadi secara luas, dipasangkan dengan kebangkitan umum, menghasilkan transformasi positif yang paling luas yang bisa dialami negara mana pun dalam sejarah. Pada saat yang sama, perubahan ini menunjukkan kekuatan Kebangunan Injili yang terus berlanjut yang sudah menonjolkan penekanan kuat pada penginjilan dan reformasi sosial, Misi Kerajaan yang paling terbaik.

Transformasi yang dihasilkan negara yang masih muda ini begitu luas sehingga kita terkadang dapat mempelajari kembali etos dan pendiri bangsa Amerika yang lebih awal, karakter Kristen yang berani dan kreatif dari periode berikutnya yang lebih Kristen. Politikus, keluarga kaya, dan para pemimpin perdagangan menciptakan banyak masyarakat yang bereformasi. Sebagai contoh American Tract Society, American Seamen’s Friend Society dan masyarakat-masyarakat untuk penghapusan perbudakan. Alexis de Tocqueville di masa lalu dan para sejarawan sekuler pada masa kini, begitu terkesan dengan kekuatan sosial yang kreatif dalam periode ini sehingga banyak yang menyebut periode ini sebagai “Kerajaan Injili.” Charles Finney, seorang pengacara yang menjadi penginjil kebangunan, merupakan simbol paling menonjol dari hal ini. Tetapi ada ribuan orang lainnya, termasuk pastor Sylvester Graham yang berkhotbah melawan penggunaan tepung putih dan memilih menggunakan tepung gandum seperti yang Allah kehendaki yang menghasilkan tepung Graham dan biskuit Graham. “Johnny Appleseed” membungkus seluruh negara bagian dengan benihnya. Semua itu merupakan aspek yang mengesankan dan memuliakan Allah.

Kreativitas, Baik dan Tidak Begitu Baik

Kebangunan ini juga melibatkan kreativitas religius, baik positif dan negatif, sama seperti ladang misi pada masa kini. William Miller membawa puluhan ribu orang berdiri di atap rumah menantikan kedatangan Kristus yang sudah dekat. Joseph Smith membawa puluhan ribu orang untuk mempercayai bahwa Allah sedang memanggil “Latter-Day Saints” (Orang-orang Kudus Zaman Akhir). Mary Baker Patterson Glover Eddy menemukan Christian Science melalui bukunya Science and Health with Key to the Scriptures. Kaum Shaker membangun bangunan dengan sempurna dan melarang pernikahan. Dalam Oneida Community setiap orang dapat menikahi setiap orang. Dalam kategori berbeda, Mary Ellen White hampir sendirian menciptakan tradisi Adven Hari Ketujuh. Bahkan orang Presbiterian berdebat soal badan misi yang berbasis denominasi atau interdenominasi dan berbagai hal lainnya dan memecah denominasi mereka pada tahun 1837 ketika 1.210 pendeta mampu menarik 1.200 lainnya untuk keluar.

Ya, kita perlu dengan serius menantikan keberagaman di tempat-tempat lain seperti ini ketika kebangunan rohani terjadi di sana. Sebagai contoh, ribuan orang melalui beragam gerakan semi Kristen yang dipimpin oleh orang Afrika sudah muncul (mungkin 70 juta orang dalam 20.000 gerakan?). Di Tiongkok, dampak sekunder dihasilkan dari Hong Xiuquan yang diindoktrinasi oleh misionaris (yang akhirnya merasa bahwa dia adalah Anak Allah yang lain) termasuk gerakan Taiping (sering disebut pemberontakan). Hong menghasilkan “Pemuja Allah” dalam jumlah yang besar dan menjadi bagian dari masyarakat di negara itu, yang menentang legitimasi otoritas orang Manchu?seperti para pemberontak Amerika dalam Revolusi Amerika, atau “Para Pemberontak” dari Selatan dalam Perang Sipil. Meskipun gerakan Hong sangat rohani, menekankan Alkitab dan pembaharuan, gerakan tersebut tidak seimbang, dan akhirnya ditundukkan oleh orang Machu dengan bantuan militer yang berarti dari Inggris dan Prancis. Kira-kira 30 juta orang mati dalam proses ini! Inikah alasannya orang di Tiongkok tetap kuatir dengan kekuatan gerakan-gerakan Kristen?

Misi Kerajaan?

Seperti yang sudah bisa diketahui, periode ini secara umum menunjukkan Kekristenan baru yang berbeda yang menekankan pengampunan dosa dan ke sorga, tetapi pada saat yang sama juga mengusahakan mereka ke dalam kesehatan fisik dan reformasi sosial. Di dalam tradisi gereja aliran utama sebagian besar tekstur dari masa tersebut telah hilang. Berbagai tradisi yang memiliki akar dari Eropa terus membanjiri Amerika oleh karena imigran dari Eropa yang memiliki tradisi yang sama. Mereka dibingungkan dan bahkan ditolak oleh perspektif yang benar-benar baru ini yang disebabkan oleh Kebangunan Kedua yang luas itu. Sebagai contoh, alkohol pada tahun 1850 di Amerika terdapat di segala tempat dan dianggap sebagai kebiasaan buruk pribadi dan sosial. Sebaliknya, membuat wiski merupakan cara hidup orang Presbiterian di Skotlandia.

Namun, dua gerakan yang dicetak di Amerika dan tidak teraniaya oleh banyaknya imigran yang enggan berubah ini adalah kaum Mormon dan Adven Hari Ketujuh. Mereka sampai hari ini tetap menjaga banyak karakteristik baru dari gerakan Injili pada periode transformatif ini. Berbagai karakteristik itu termasuk perhatian yang kuat terhadap misi sedunia dan juga perhatian religius, teologis serta misiologis bagi diet dan kesehatan, hingga tidak meminum teh, kopi, anggur dan minuman keras?sikap yang sulit dipercaya, merupakan sikap umum kaum Injili pada masa itu di mana kedua gerakan dengan tradisi yang tidak berhubungan ini memisahkan diri dari masyarakat umum. Masa kini, di Utah yang sebagian besarnya orang Mormon, lebih banyak pil (untuk medis atau gizi) dihasilkan di St. George daripada di kota lain di Amerika. Satu perusahaan saja memproduksi 350 juta pil per bulan. Mirip dengan itu, jutaan orang pada hari ini makan sereal dingin Kellog dan vitamin bermutu, tanpa menyadari kedua produk itu dikembangkan oleh para pemikir Adven. Tidak ada yang melebihi kualitas dan jumlah rumah sakit kaum Adven di seluruh dunia.

Misi dan penaklukkan seperti pada awal ekspansi global orang Eropa, sangat terkait. Teringat akan Perang Salib, banyak orang Amerika mengerti Kerajaan Allah termasuk muatan spiritual dan militer untuk menguasai Texas dan California dari kekuasaan Meksiko, dan kemudian mengeluarkan Inggris dari wilayah barat laut dengan cara secara tiba-tiba memindahkan perbatasan Amerika?Kanada ke Pasifik. Tidak berhenti di sana, mereka menguasai kepulauan Sandwich (sekarang Hawai) yang sudah diubahkan melalui misi, Samoa Barat, Guam, Puerto Rico dan Filipina. Misi dan penaklukkan, sama seperti ekspansi global orang Eropa di masa lalu, sangat terkait. Dalam kasus Filipina menjadi milik Amerika (hanya setelah mandi darah yang luar biasa yang sebagian besar tidak ada pemberitaannya) karena Presiden McKinley telah berlutut dalam doa mencari kehendak Allah bagi orang “barbar” Filipina yang sedang berjuang keluar dari kekuasaan Meksiko. Sementara itu, California menetapkan undang-undang yang menjamin hadiah cukup besar bagi setiap orang yang dapat membawa telinga atau kulit kepala orang Indian. Hukum yang mengerikan ini berlaku selama 50 tahun, dari 1852 sampai 1902. (Bukankah ini terdengar seperti suku Hutu beragama Kristen di Afrika Timur pada tahun 1994 yang memenggal ratusan ribu orang dari suku Tutsi?). Bagaimanapun juga, ini sangat jauh berbeda dengan pekerjaan ordo Fransiscan di antara orang Indian di California yang sabar, jika mungkin dikatakan kurang efektif. “Perang Salib” Amerika ini, seperti Perang Salib sebelumnya, merupakan percampuran yang gelisah dari agama yang mulia, politik yang hina, dan kekerasan militer.

Optimisme agama yang besar dan visi untuk ekspansi pada periode 1815-1860 tidak sepenuhnya hilang dalam Perang Sipil, meskipun perang itu merupakan salah satu perang yang paling tragis dan destruktif dalam sejarah. (Pembantaian gerakan Taiping di Tiongkok memakan korban jiwa 40 kali lipat sama banyaknya pada waktu yang bersamaan dengan itu.) Seperti Perang Revolusi, Perang Sipil diciptakan dan didukung oleh orang-orang yang tulus yang disemangati oleh kebangunan yang terjadi di kedua belah pihak. Seandainya Jendral Lee tidak menyadari kemurahan hati yang besar dari Lincoln di balik tawaran Jendral Grant pada persetujuan gencatan senjata Appomattox, dia tidak akan meminta para jendral Selatan untuk menyerah, dan perang gerilya masih akan terus berlangsung selama bertahun-tahun. Anehnya, beberapa sarjana melihat pencapaian penting dari perang tersebut dalam fakta bahwa sebelum perang baik negara-negara bagian yang ada di Selatan maupun di Utara sama sekali tidak bersatu apalagi secara brilian menyadari menjadi bagian dari suatu bangsa. Tetapi, perang menyatukan negara-negara bagian di Utara dan secara terpisah menyatukan negara-negara bagian di Selatan seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan gencatan senjata di Appomattox kemudian “menciptakan” satu negara yang di dalam banyak hal tidak dimungkinkan sebelumnya.

Yang lebih menjadi perhatian kita di sini adalah perang tersebut telah membunuh begitu banyak laki-laki, dari remaja sampai dewasa, sehingga wanita pada kedua belah negara bagian diizinkan bahkan dipaksa untuk mengambil alih pekerjaan di peternakan, bank dan bisnis dan bahkan mendirikan perguruan tinggi untuk wanita. Banyak perguruan tinggi elit untuk wanita pada masa kini, Bryn Mawr, Wellesley, Vassar, Radcliffe, Smith, Mt. Holyoke, Barnard, bahkan Mills di California, didirikan atau diubah menjadi perguruan tinggi oleh wanita karena ketiadaan pria-pria setelah Perang Sipil, dan ada perguruan tinggi yang didirikan dengan tujuan khusus untuk pelatihan wanita sebagai misionaris di luar negeri. (Perhatikan bahwa pada masa itu sebelum misi “awam” Hudson Taylor, sering orang berasumsi Anda harus lulusan perguruan tinggi baru bisa menjadi misionaris?dan karenanya lebih menyukai keluarga-keluarga yang kaya.) Dewan misi pertama yang semuanya wanita, Women’s Union Missionary Society, dijalankan oleh wanita dan hanya mengutus wanita, didirikan sebelum Perang Sipil tetapi berkembang setelah perang. Pada 30 tahun berikutnya, para wanita mendirikan 40 dewan misi untuk mendukung secara finansial dan/atau bekerja sama dengan dewan-dewan denominasional pria dan wanita yang sudah ada. Pada tahun 1900 berbagai dewan tersebut telah membentuk 180.000 “Women’s Missionary Societies” yang berbasis jemaat dan secara tidak langsung telah menciptakan Young Peoples Society of Christian Endeavor (CE) yang sangat berjiwa misi yang sampai hari ini bukan hanya merupakan gerakan orang muda Kristen terbesar, namun juga yang tanpanya organisasi Student Volunteer Movement for Foreign Missions yang banyak disanjung tahun 1886 tidak akan pernah memperoleh keberhasilan. Sampai tahun 1906 CE memiliki 67.000 organisasi di seluruh dunia dan empat juta anggota. Perhatikan, gerakan-gerakan ini tetap bersifat holistik dan transformasional, melibatkan Misi Kerajaan yang jelas didukung oleh Misi Gereja.


ERA KEDUA: 1865-1980

Wilayah Pedalaman, Kehilangan Misi Kerajaan

Pada waktu kita mendekati akhir tahun 1800-an, beberapa hal menuntut perhatian kita.


Pengurangan Bertahap Misi Kerajaan

Apakah optimisme yang melambung tinggi pada periode kebangunan rohani yang lebih awal terus berlanjut meski kemunduran yang mengerikan dari Perang Sipil dan imigrasi besar-besaran yang membuat populasi Amerika meningkat tiga kali lipat antara tahun 1850-1900 (dan terbukti sulit untuk dicerna oleh gerakan kebangunan tersebut)? Ya, dalam bentuk yang moderat di kalangan orang kaya yang adalah lulusan perguruan tinggi dan kaum Injili yang kaya. Kelompok “Gay Nineties” (1890-1899) merupakan suatu pemborosan uang keluarga yang luar biasa, beberapa dari mereka kaum Injili, yang saling bersaing untuk mengadakan pesta besar yang mahal.

Mahasiswa pada akhir tahun 1900, hanya dua persen dari populasi. Tetapi, kekuatan perubahan sosial dari Evangelikalisme yang lebih awal masih tetap ada dan sebagai contohnya diekspresikan dalam himne tahun 1896, “America the Beautiful” yang melihat ke depan suatu dunia yang berubah di mana “kota-kota alabaster bersinar terang benderang oleh air mata manusia.” Lebih lanjut, Student Volunteer Movement (gerakan pada tingkatan perguruan tinggi yang umumnya dari kalangan keluarga kaya dan berpengaruh) mewakili suatu pembawaan dari optimisme sosial ini. Masa kini, sejumlah besar universitas-universitas besar bisa ditemukan di seluruh Asia, dan di setiap propinsi di Tiongkok, diciptakan oleh kekuatan zaman lalu yang masih terasa. Berbagai sekolah dan universitas, yang ditentang oleh para pendukung Carey (dan beberapa penafsir modernnya), merupakan kekuatan yang diperhitungkan dalam membuka pikiran sebagian besar dunia akan alam dan Allahnya alam. Kelas-kelas Alkitab dan ruang ibadah di 240 sekolah Kristen di India adalah salah satu penjelasan utama bagi keberadaan jutaan orang percaya yang secara budaya masih Hindu.

Apa yang terjadi pada Era Pertama yang “memberadabkan” ini? Bagaimana muncul lagu yang begitu berbeda seperti “Dunia ini bukan rumahku, Kuhanya sekadar berlalu”?

Munculnya Misi Gereja Saja

Semakin hari, dikarenakan pengaruh gelombang imigrasi yang sudah kita lihat di atas, gangguan dari pemikiran Darwin, dan “kritik tinggi” terhadap Alkitab yang merusak yang datang dari Jerman (yang menguasai universitas dan berbagai seminari aliran utama), para pemimpin Injili tidak lagi menguasai negara. Namun, ada Penyeimbang yang sangat besar dalam penginjilan di antara kelas pekerja melalui usaha D. L. Moody. Upaya itu kini menjadi kekuatan menentukan dari gerakan Kristen di Amerika, mencondongkan Injil demi keuntungan agama massa yang lebih sederhana dan kurang optimis. Berbagai peristiwa yang disarankan bagi banyak orang bahwa kepercayaan akan Kedatangan Kristus yang Kedua dengan segera membuat semua usaha untuk mengubah kembali dunia menjadi ketinggalan zaman.

Sementara itu, pada tahun 1865, J. Hudson Taylor, mendengar panggilan Allah untuk mendirikan sebuah misi untuk pergi ke pedalaman Tiongkok. Di dalam konteks struktur sosial Inggris, apa yang dilihat sebagai misi “kelas bawah” Taylor menerobos ke wilayah pedalaman, dan juga badan-badan misi lain yang mengikuti jalurnya, seperti Sudan Interior Mission, African Inland Mission, Heart of Africa Mission, dan Regions Beyond Missionary Union, dll. Selama bertahun-tahun semua badan misi ini menjadi salah satu kutub dari polarisasi yang ada dari Era Kedua.

Secara kebetulan, seluruh badan misi ini mengikuti “Prinsip Iman” Taylor di mana setiap keluarga misionaris menantikan Allah untuk menyediakan, bukan gaji dari dewan pengurus misi mereka. Badan-badan misi ini kemudian disebut “misi iman,” meskipun mereka lebih secara signifikan ditandai oleh usaha mereka untuk pergi ke garis depan wilayah pedalaman.

Tidak seperti Carey, penekanan Taylor bukan pada apakah pergi atau tidak, tetapi ke mana harus pergi. Lebih spesifiknya, tugas Taylor adalah tahapan Perintis dan Pengasuh dari pekerjaan misi awal atau baru, berbeda dengan tahapan Kemitraan dan Partisipasi dari sudut pandang misiologis dari mereka yang bekerja di ladang misi yang sudah maju. Perhatian Taylor, yang menjadi perbedaan lanjutan, adalah agar para misionaris yang ke Tiongkok harus hanya menginjili ketika mereka pergi dengan sengaja melampaui wilayah pantai. Kepulauan Sandwich (Hawai), sebagai contoh, tidak seperti wilayah pedalaman Tiongkok, merupakan ladang yang sudah maju, dan karena itu para misionaris setelah banyak dekade dalam pekerjaan yang sukses memutuskan sudah waktunya untuk pulang ke rumah?di saat yang sama misi Taylor sedang pergi keluar!

Sampai batas tertentu ini merupakan suatu polarisasi. Di satu sisi ada pemberadaban dan penginjilan yang merupakan perspektif dari para pemimpin di Era Pertama?William Carey dan banyak misionaris yang membaca dan menyerah kepada buku kecilnya yang sangat berpengaruh An Enquiry into the Obligation of Christians to Use Means for the Conversion of the Heathens. Sisi yang lain adalah orang-orang seperti Taylor yang merasa terpanggil untuk memulai dari awal melampaui wilayah pesisir?dengan para misionaris yang berlatar belakang kelas pekerja, menekankan hanya penginjilan. Menariknya, itu mungkin merupakan satu hasil dari iman Taylor yang dalam dan doa-doa yang bersemangat bahwa setelah 20 tahun Allah mengutus D. L. Moody yang sedikit terpelajar untuk memenangkan tujuh orang dari kelas sosial yang tinggi di Inggris. Sebagian besarnya dari antara mahasiswa Cambridge, khususnya para atlet yang dihormati termasuk C. T. Studd, bisa dibilang Michael Jordan-nya Inggris dalam cabang olahraga kriket, bergabung dengan Taylor dan akhirnya mengangkat pergumulan misi Taylor ke tingkatan kelas atas, sebuah pendekatan pernyataan yang lebih besar ketimbang murni, dan reputasi yang selayaknya.

Perhatikan bahwa yang biasa disebut “Spiritual Negro,” merupakan pekerjaan dari orang-orang yang tidak berkuasa, berbicara mengenai sorga daripada tindakan sosial. Hal yang sama juga benar bagi misi dari masyarakat kelas pekerja. Ingat, perguruan tinggi pada tahun 1900, adalah untuk orang kaya yang hanya 2 persen dari populasi. Ciri khas dari misi yang mewakili orang-orang non-perguruan tinggi adalah, hal ini bisa dimengerti, tidak adanya refleksi besar apa pun tentang pemeriksaan yang teliti untuk mengadakan perubahan terhadap masyarakat?seperti tema-tema yang ada dalam lagu-lagu “Spiritual Negro.” Taylor dikenal dengan idenya yang setidaknya logis bahwa jika seribu misionaris dapat menginjili 50 orang Tiongkok per hari selama seribu hari, seluruh Tiongkok dapat diinjili. [Ini didasarkan pada asumsi bahwa ada 50 juta orang di Tiongkok yang mungkin benar pada tahun 1500. Tetapi pada masa Taylor, bahkan setelah perang Taiping yang luar biasa membinasakan kehidupan, mungkin ada 400 juta orang di Tiongkok. Tetapi ide menyapu daratan Tiongkok dengan Injil jelas].

Maksudnya adalah para misionaris lain di Tiongkok, seperti lulusan perguruan tinggi teologi, Timothy Richard, seorang misionaris Baptis dari Inggris, sedang berusaha menghasilkan suatu sistem pendidikan yang baru pada tingkat nasional. Dan tentu saja misi Taylor sendiri tidak lama akan diambil alih oleh orang-orang lulusan perguruan tinggi yang memang memiliki visi yang lebih luas dan pengaruh sosial yang lebih besar. Namun, kedua misionaris ini memiliki dampak yang besar pada sejarah Tiongkok.

Ya, orang-orang Taylor yang pada periode awal disarankan agar tidak berlambat-lambat untuk menanam gereja, akhirnya menjalankannya dengan lebih perlahan untuk waktu yang cukup lama agar bisa menanam gereja. Tetapi mereka tetap tidak banyak memikirkan tentang mereformasi masyarakat. Pada saat Taylor sedang memperluas misinya yang luar biasa di Tiongkok di atas dasar penginjilan semata, para misionaris lain bekerja mendirikan universitas dan mempengaruhi sistem pendidikan. Pada akhirnya mereka berhasil melakukannya dengan keberhasilan yang bertahan lama. Polarisasi ini akan banyak menggambarkan banyak hal dari abad yang kemudian (abad 20).

Perbedaan Kelas Muncul

Sebuah pembawaan dari abad 19, strategi misi ”memberadabkan” yang adalah ciri khas perguruan tinggi terlihat dalam jumlah besar di dalam Student Volunteer Movement for Foreign Missions (SVM), yang diteruskan sampai awal abad 20. Kata mahasiswa (Student) dalam nama SVM berarti mahasiswa perguruan tinggi, bukan mahasiswa Institut Alkitab, meskipun 157 Institut Alkitab akan menghasilkan banyak misionaris nantinya dan menjadi perguruan tinggi pada akhir abad 20. Namun, pada akhir 1925, 75% misionaris Amerika diutus oleh gereja-gereja aliran utama, dan hampir semuanya mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi.

Pada saat yang sama, sesuatu seperti perbedaan kelas mulai muncul ketika sebagian besar kaum Injili membengkak membentuk jutaan massa yang tidak mengenyam perguruan tinggi dan dari kelas pekerja yang mendukung Moody lebih daripada Wilberforce atau bahkan Wesley. Berbagai aktivitas reformasi sosial di kemudian hari hanya sedikit diingat, jika ada yang diingat.

Di dalam polarisasi ini, kutub yang satu diwakili oleh Student Volunteer (Sukarelawan Mahasiswa) yang tingkatan perguruan tinggi, yang masih berpikir dalam kerangka mendirikan universitas di ladang misi dan memuliakan Allah dengan menghadapi masalah yang lebih luas dari Kerajaan Allah?Misi Kerajaan. Kutub yang lain berpikir dalam kerangka memuliakan Allah dengan mendirikan berbagai sekolah Alkitab dan menyebarkan keselamatan pribadi?Misi Gereja. Ini merupakan polarisasi dari Era Kedua. Penginjilan tetap ada di kedua kutub ini.

Kelompok yang satu akan mengorganisasi Ecumenical Missionary Conference pada tahun 1900 di Aula Carnegie New York, dan Presiden McKinley memberikan pidato pembukaan. Kelompok ini akan mendukung pertemuan besar pada tahun 1910 di Edinburgh, yang kemudian menjadi International Missionary Council dan pada akhirnya menjadi World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja Sedunia).

Hidup di dalam tumpang tindihnya Era Kedua dan Ketiga, dua orang bertipe perguruan tinggi dari Student Volunteer yaitu William Cameron Townsend, yang membuat tantangan menjangkau suku-suku terkenal dengan mendirikan Wycliffe Bible Translators, dan Donald Anderson McGavran, yang membuat semua orang sadar akan tantangan misi dalam kelompok (kasta) yang secara sosial berbeda melalui Fuller School of World Mission, yang didirikannya. Kedua orang ini, meskipun berpendidikan perguruan tinggi, berhasil menarik perhatian orang banyak yang umumnya dari kaum Injili yang tidak berpendidikan perguruan tinggi, tetapi terutama bagi orang-orang pada akhir abad 20 yang semakin banyak lulusan perguruan tinggi.

Kedua orang ini percaya dengan pasti akan Misi Kerajaan. Townsend, sebagai contoh, memenangkan Presiden Meksiko melalui membantu sebuah desa orang Indian untuk menanam sayuran. Kerelaannya untuk bekerja sama dengan orang Katolik membuat Wycliffe Bible Translators keluar dari Interdenominational Foreign Mission Association (Asosiasi Misi Luar Negeri Interdenominasional).

Kelompok Misi Gereja yang lebih “konservatif” memasukkan banyak minoritas dari kaum Injili dalam denominasi aliran utama, ditambah semakin bertambahnya jumlah denominasi Injili yang lebih kecil dan khas serta banyak jemaat-jemaat independen, dan juga pertumbuhan jumlah kelompok Pentakosta. Lingkungan ini mudah lupa, atau pastinya bertentangan, pada tingkatan perhatian sosial dari denominasi-denominasi yang lama. Sementara itu, pengaruh terbatas dari kaum Injili dalam dunia profesi, universitas dan pemerintahan sipil di Amerika cenderung menghalangi kaum Injili untuk memperluas gagasan ekspansif tentang mengubah dunia ini.

Sebagai alternatif, mereka mengembangkan konsep detail dari nubuatan alkitabiah, “akhir zaman,” kedatangan Kristus, dan Milenium, dan cenderung tidak menekankan, bahkan hampir sama sekali tidak mempedulikan reformasi sosial. Bagi mereka selama bertahun-tahun kata Kerajaan dicurigai sebagai bukti pemikiran “liberal”. Namun, mereka secara saksama aktif dalam hal-hal yang memang ada dalam kemampuan mereka untuk mereka lakukan: misi ke daerah kumuh, sebagai contohnya. Misionaris mereka di lapangan melakukan banyak hal apa yang mereka mampu, tanpa rencana perluasan, demi meringankan penderitaan dan kesakitan, tetapi prioritas tertinggi mereka adalah mendirikan institut Alkitab dan keselamatan secara pribadi, tidak banyak berkaitan dengan sosial.

Bahkan lingkungan “aliran utama” menjadi begitu terpengaruh oleh kaum Injili dalam keanggotaan mereka, terkait dengan pandangan sumbangan dari kaum Injili. Mereka dipaksa, seperti kandidat politik di masa kini, untuk berbicara bahasa Injili. Pada saat yang sama, alasan lain bagi pengaruh kaum Injili berlatar non-perguruan tinggi yang semakin berkembang adalah karena semakin banyaknya anak-anak dari kaum Injili ini pergi ke universitas dan 157 Institut Alkitab yang semua itu kemudian berkembang menjadi Perguruan Tinggi Alkitab, menjadi perguruan tinggi umum dan menjadi universitas.

Peristiwa Sekuler Menegaskan Pesimisme

Tetapi perhatikan, paruh pertama dari abad 20 memperhadapkan kedua kelompok tersebut kemunduran yang sangat besar. Berbagai peristiwa tragis cenderung membenarkan pandangan yang terkonsentrasi ke sorga, dan mendorong penggantian yang luas akan optimisme tentang dunia ini dengan pesimisme yang dalam dan pemikiran tentang pengangkatan orang-orang percaya (rapture).

Abad 20 dimulai dengan Boxer Rebellion yang mematikan pada tahun 1900, yang secara mengerikan membunuh banyak misionaris dan banyak orang asing lainnya. Ironisnya, Ecumenical Missionary Conference (Konferensi Misi Ekumenis) di New York yang sangat berhasil diadakan sebulan sebelumnya. Baik pertemuan besar tersebut ataupun Kebangunan Rohani di Wales tahun 1910, ataupun Edinburgh World Missionary Conference di tahun yang sama tidak ada yang dapat sepenuhnya mengimbangi berbagai implikasi kemunduran di Tiongkok.

Ada pula peristiwa tenggelamnya kapal Titanic pada tahun 1912, yang menjadi simbol karamnya keyakinan terhadap pencapaian manusia. Kemudian Perang Dunia Pertama terjadi dan pandemik flu global yang sering terlupakan yang membunuh lebih dari 50 juta orang (2.5 sampai 5 persen dari populasi dunia). Tahun 1920-an yang bergelora hancur dalam kepanikan tahun 1929, menuntun ke dalam tahun-tahun depresi keuangan global yang begitu dalam dan menyakitkan. Dari pergumulan ini seluruh dunia masuk ke dalam rahang Perang Dunia Kedua?yang menghasilkan satu hal baik, yaitu membawa lebih dari sepuluh juta prajurit Amerika kepada tur ke seluruh dunia dan menghasilkan 150 agen misi baru 5 tahun pertama setelah perang berakhir.

Pada masa ini teologi kedua kutub tersebut telah terpengaruhi. Seluruh tragedi ini kelihatannya menegaskan pesimisme dari orang-orang yang lulus dari Institut Alkitab tentang adanya semacam Kerajaan Allah di dalam dunia ini. Bahkan teolog-teolog aliran utama dalam tradisi Student Volunteer Movement mengembangkan berbagai teologi yang menjelaskan dan menantikan kegagalan dalam misi. Pernyataan terakhir John R. Mott di World Missionary Conference pada tahun 1910 adalah “sekarang dimulailah penaklukkan,” tetapi ini kemudian dianggap sebagai bentuk imperialistik yang memalukan dari “sifat mau mendominasi.” Sementara pada tahun 1925, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, para misionaris yang diutus oleh denominasi aliran utama masih membentuk 75% dari total populasi Amerika, pada tahun 1975 mereka berjumlah kurang dari 5% populasi Amerika. Konsep Misi Kerajaan telah mati atau sekarat.

Akan tetapi, harus dikatakan bahwa penurunan tajam pengutusan misi dalam denominasi aliran utama bukan semata-mata hasil dari pesimisme teologis atau liberalisme. Itu juga dihasilkan dari fakta bahwa sasaran misi bagi mereka telah berangsur-angsur menjadi diredefinisi sebagai semata-mata Misi Gereja, penanaman jemaat. Misionaris (terutama dari kaum Injili) di dalam denominasi yang telah lama berdiri pada masa ini telah mengembangkan gerakan-gerakan dengan keanggotaannya di lapangan menjadi ratusan ribu anggota. Di dalam keadaan ini, mengutus lebih banyak misionaris ke berbagai ladang misi sesungguhnya menyiratkan (dan akan terus menyiratkan) pengalimatan kembali Amanat Agung menjadi “Pergilah ke seluruh dunia dan terlibatlah dalam gereja-gereja nasional hasil pekerjaan misi.”


ERA KETIGA: 1935 SAMPAI SEKARANG

KELOMPOK SUKU YANG BELUM DIJANGKAU, PEMULIHAN MISI KERAJAAN

Sementara itu dua orang anggota Student Volunteer Movement dari tingkatan perguruan tinggi, Cameron Townsend dan Donald McGavran, mulai diperhatikan. Townsend begitu terburu-buru mau pergi ke ladang misi sampai dia tidak terganggu untuk menyelesaikan kuliahnya. Meskipun dia membantu memprakarsai Era Ketiga, dia pergi ke Guatemala sebagai misionaris Era Kedua, membangun di atas pekerjaan yang telah dilakukan di masa lalu. Di Guatemala, seperti di semua ladang misi lainnya, ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan para misionaris bersama dengan gereja-gereja nasional yang sudah berdiri.

Townsend

Tetapi Townsend cukup peka (dan ini ditunjukkan oleh para misionaris yang lebih berpengalaman dan sudah bekerja dalam bahasa-bahasa Indian) bahwa mayoritas populasi Guatemala tidak berbahasa Spanyol. Ketika dia bergerak dari desa ke desa, berusaha membagikan Alkitab dalam bahasa Spanyol, dia akhirnya menyerah kepada fakta bahwa penginjilan dalam bahasa Spanyol tidak akan pernah menjangkau kebanyakan penduduk pribumi yang dominan di Guatemala. Dia semakin yakin akan hal ini ketika, legenda mengatakan, seorang pemimpin Indian bertanya kepadanya, “Jika Allahmu begitu pandai, mengapa Dia tidak bisa berbicara dengan bahasa kami?” Dia berteman dengan sekelompok misionaris yang lebih tua yang sudah lebih dulu menyimpulkan bahwa populasi pribumi ini perlu dijangkau dalam bahasa asli mereka. Dia baru berusia 23 tahun ketika mulai bekerja atas dasar persepektif baru ini. Tidak seorang pun bisa memperkirakan hasilnya yang spektakuler.

Tentu Cameron Townsend bisa dibandingkan dengan William Carey dan Hudson Taylor. Seperti mereka, Townsend melihat bahwa masih ada garis depan yang belum terjangkau, dan selama hampir separuh abad dia memberi isyarat bagi kelompok-kelompok suku yang terabaikan di dunia. Dia memulai dengan berharap untuk mendorong dewan misi lama untuk menjangkau suku-suku ini. Seperti Carey dan Taylor, dia akhirnya (pada tahun 1934) memulai badan misinya sendiri, yang kemudian disebut Wycliffe Bible Translators, yang didedikasikan untuk mengajar lingusitik sebagai alat utama untuk menjangkau garis depan yang baru ini. Pada awalnya dia berpikir ada kira-kira 500 kelompok suku yang belum terjangkau di dunia. (Dia hanya memperkirakan kemungkinan sejumlah besar bahasa suku di Meksiko sendiri). Kemudian, dia merevisi angka ini menjadi 1.000, kemudian 2.000 dan sekarang lebih dari 5.000. Seraya pemahamannya akan besarnya tugas ini semakin meningkat, ukuran dari organisasinya juga meningkat, menjadi sekitar 6.000 pekerja dewasa pada tahun 2008.

McGavran

Ketika Townsend sedang merenung di Guatemala, Donald McGavran mulai melihat seriusnya, bukan halangan linguistik, tetapi halangan sosial dan budaya di India yang luar biasa. Townsend mengerti dan mempromosikan kenyataan adanya keragaman secara linguistik (dan yang terabaikan) dari suku-suku yang ada; McGavran menyorot dan mendukung keragaman sosial dan budaya dari kategori yang hampir universal yang disebutnya “unit-unit homogen” yang pada hari ini lebih sering disebut “kelompok suku.” Paul Hiebert, misionaris antropolog, menggunakan terminologi “segmentasi horizontal” untuk suku-suku, di mana masing-masing suku menempati wilayahnya, dan “segmentasi vertikal” untuk kelompok-kelompok suku yang tidak dibedakan oleh lokasi geografi tetapi oleh perbedaan sosial dan budaya yang kuat. Terminologi McGavran menggambarkan dua hal tersebut bahkan meski dia utamanya memikirkan tentang karakteristik segmentasi vertikal yang samar-samar di India.

Sekali kelompok sosial seperti itu dipenetrasi melalui secara tekun mengambil keuntungan dari sebuah terobosan misiologis sejalan dengan bentuk sosial, konsep strategis McGavran, yang sudah disebutkan tentang sebuah “Jembatan Allah” bagi kelompok suku tersebut mulai memperoleh gambarannya. Konsekuensi dari kebenaran ini adalah fakta bahwa, sampai terobosan seperti itu dibuat, penginjilan secara normal dan penanaman jemaat tidak dapat dimulai.

McGavran tidak mendirikan sebuah badan misi baru (Townsend melakukannya, hanya ketika badan misi yang ada tidak merespons dengan memadai tantangan pelayanan suku ini). Tetapi McGavran membangun sekolah misi terbesar di dunia dan usaha aktifnya serta berbagai tulisannya memperluas baik Gerakan Pertumbuhan Gereja maupun secara tidak langsung gerakan Misi Garis Depan (Frontier Mission). Gerakan yang pertama ditujukan untuk memperluas di dalam kelompok suku yang sudah diterobos. Gerakan yang terkemudian (yang tidak disetujuinya hingga beberapa tahun terakhir) ditujukan untuk secara sengaja mendekati seluruh kelompok suku yang belum dipenetrasi.

Edinburgh 1980, Titik Balik

Seperti Taylor sebelum mereka, selama dua puluh tahun Townsend dan McGavran hanya sedikit menarik perhatian. Tetapi pada tahun 1950-an keduanya mendapat perhatian luas. Pada tahun 1980, 46 tahun setelah gerakan organisasional Townsend, konferensi yang seperti tahun 1910 dilakukan, yang secara eksklusif diikuti oleh para pemimpin misi dan berfokus hanya pada dua jenis kelompok yang terlupakan yang ditekankan dua orang ini. World Consultation on Frontier Missions di Edinburgh pada tahun 1980 pada masa itu merupakan pertemuan misi terbesar dalam sejarah, jika diukur dari jumlah badan misi yang mengirim utusannya. Dan yang menakjubkan 57 badan misi dari Dunia Ketiga yang seluruhnya meliputi sepertiga dari total peserta, mengirim utusannya. (Tidak satu pun utusan dari Dunia Ketiga pada pertemuan tahun 1910). Pertemuan ini, meskipun tidak diketahui secara luas, sangat penting bagi Era Ketiga, menanamkan visi tentang kelompok-kelompok suku yang belum terjangkau di seluruh dunia. Pertemuan ini juga mencakup pertemuan orang muda yang bersamaan, International Student Consultation on Frontier Missions, memberi perhatian khusus bagi semua pertemuan misi di masa depan akan sebuah tujuan “antargenerasi”… ?memasukkan partisipasi orang muda yang signifikan. Kelompok mahasiswa memulai pada tahun 1983 International Journal of Frontier Missiology (ratusan artikel yang tajam dari jurnal ini seluruhnya tersedia di www.ijfm.org).

Seperti yang pernah terjadi di tahap awal dari dua era pertama, Era Ketiga telah memperluas sejumlah badan misi baru. Sebagian, seperti New Tribes Mission melalui namanya menunjukkan pada penekanan baru dari era ini. Nama-nama dari badan misi lainnya, seperti Gospel Recordings dan Mission Aviation Fellowship, merujuk pada berbagai teknologi baru yang diperlukan untuk menjangkau berbagai kelompok suku dan suku-suku yang terisolasi di dunia. Beberapa badan misi di Era Kedua, seperti SIM International, tidak pernah berhenti menekankan lingkup garis depan ini dan hanya menambah staf mereka agar mereka bisa menerobos lebih jauh?kepada kelompok-kelompok suku yang sebelumnya terabaikan.

Baru belakangan ini banyak badan misi yang mulai menyadari bahwa suku-suku terasing bukan satu-satunya suku-suku yang terlupakan. Banyak kelompok suku lain, beberapa bahkan ada di tengah-tengah sebagian wilayah yang sudah menjadi Kristen, namun sepenuhnya terabaikan. Suku-suku ini, termasuk suku-suku terasing yang diabaikan, disebut “Kelompok Suku yang Belum Terjangkau” dan didefinisikan oleh sifat etnis dan sosiologis. Mereka adalah orang-orang yang begitu berbeda dari tradisi budaya jemaat yang sudah ada sehingga berbagai strategi misi lintas budaya (bukan teknik penginjilan biasa) yang spesifik dibutuhkan untuk mencapai “terobosan misiologis” yang penting guna menanam dasar pijakan iman yang benar-benar mempribumi di dalam tradisi budaya mereka sendiri.

Pertumbuhan dan Penurunan Polarisasi

Tetapi ironinya adalah pada waktu misi dari berbagai denominasi yang lebih tua sedang menurun?sangat dipengaruhi oleh antipati yang telah lama berlangsung oleh sebagian besar kaum Injili terhadap aktivitas “non-penginjilan” dari misi gereja-gereja aliran utama?misi Injili “sejati” yang sedang menggantikan misi dari gereja-gereja aliran utama itu sendirinya sedang dihuni oleh orang-orang lulusan universitas yang memperoleh suatu peningkatan kesadaran akan dimensi Injil yang lebih besar?dan akan aktivitas “non-penginjilan” tersebut.

Pemulihan yang benar pada bagian misi Injili dari kepicikan sifat penginjilan mereka sebelumnya bahkan lebih baik lagi digambarkan, secara tak terduga, oleh pola dukungan dana dan ketertarikan dari orang muda. Di dalam periode lima tahun terakhir di abad ini, misi penanaman gereja dari Amerika Serikat bertumbuh 2.7% sementara berbagai badan Injili dalam pemulihan bantuan dan pengembangan masyarakat bertumbuh 74.8%. Namun, perbedaan antara dua kelompok ini harus dianggap sebagai kelanjutan yang tidak disambut dengan baik dari polarisasi Era Kedua.

Jadi Era Ketiga telah melihat adopsi dari definisi yang baru dan lebih tepat dari ethne, segala bangsa yang ada dalam Alkitab, dan secara efektif mendefinisikan kelompok-kelompok suku bangsa yang masih belum terjamah oleh penjangkauan misi, sebagai prioritas tertinggi. Era ini juga memperagakan suatu pemulihan yang mantap, meski bertahap, dari penekanan yang kaya namun sempit tentang sorga yang telah menggantikan penyatuan sorga dan bumi dalam tujuan misi di abad 19. Dalam kedua kasus ini?Kelompok-kelompok suku yang belum terjangkau atau Misi Kerajaan?Era Ketiga belum selesai. Berbagai perdebatan dan kebingungan tetap ada mengenai signifikansi dari sekelompok kecil suku bangsa yang tersisa dan juga arti sepenuhnya dari “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga.”

Kebingungan yang terjadi atas kata “kerajaan” ini lebih rumit ketimbang tantangan misi Kelompok-kelompok suku yang belum terjangkau. Ancaman terror dan ketakutan yang tetap ada di beberapa lingkaran di mana pembicaraan apa pun tentang memperluas Kerajaan Allah di dunia ini, bagian baiknya, adalah hasil dari berbagai kontroversi panjang dan pahit mengenai “Fundamentalis/Modernis” yang mendominasi sebagian besar paruh pertama dari abad 20. Akankah kita jatuh ke dalam hal seperti ini lagi?

Polarisasi seperti itu sama sekali tidak mati, jika hanya karena, secepat kaum Injili memperoleh pengaruh dalam masyarakat, meningkatkan pendidikan umum dan misiologi mereka, dan mulai mampu untuk menjalankan rencana yang lebih ekspansif untuk mendukung pertumbuhan Gereja dan Kerajaan Allah, ribuan orang lainnya baru saja mulai beriman dan mereka umumnya membutuhkan jawaban yang sederhana. Ini mengingatkan kita pada Jesus Movement di awal tahun 1970-an yang menyapu banyak orang ke dalam teologi yang dikejar dengan sungguh-sungguh tapi simplistik yang contohnya mengakui hanya satu terjemahan Alkitab tertentu (NASB) sebagai terjemahan yang dipercaya. Faktanya, akhir tahun 1973 sekitar seperduapuluh jemaat Presbiterian di bagian Selatan mengundurkan diri untuk membentuk sebuah denominasi baru. Ini merefleksikan polarisasi yang telah kita gambarkan dan juga tingkatan sosial dari gereja-gereja kecil di wilayah pinggiran, dan gereja-gereja di kota.

Apakah memang ada transisi besar yang menjelaskan polarisasi ini? George Marsden, sejawaran yang menonjol tentang Kekristenan Amerika, mungkin sedikit berlebihan ketika dia berkata,


Orang Kristen Amerika ini mengalami perubahan luar biasa dalam hubungan mereka dengan budaya. Merupakan “Kaum Injili” yang dihormati pada tahun 1870-an, tetapi tahun 1920-an mereka menjadi bahan tertawaan, orang-orang asing secara ideologis di negara mereka sendiri.


Sekarang 100 tahun kemudian, James Beverley, profesor di Tyndale University di Toronto, Canada menyatakan:


Apakah para pemimpin dalam dunia karismatik akan mengontrol obsesi akan malaikat, perjalanan ke sorga, debu emas bulu, sayap dari sorga, minyak sorga, pakaian sorga, dipenuhi emas dan perjalanan keluar tubuh? Lee Grady, editor Majalah Charisma, telah mengkritik Bentley mengenai masalah ini, terutama laporannya yang luar biasa mengenai malaikat dan cerita liarnya mengenai perjalanan teratur ke sorga. Sayangnya, Grady menerima banyak kutukan dari para pemimpin lain…


Anda bisa pastikan tidak banyak lulusan universitas yang kaya di antara para pendengar Bentley. Bagaimanapun juga, para misionaris perlu mengharapkan hal-hal seperti ini lebih sering di dunia non-Barat daripada yang terjadi disini.

Tetapi untuk mengerti daya tahan dari pecahan sosial yang mendasari polarisasi yang sedang digambarkan, kita perlu menyadari bahwa, selama beberapa dekade, di dalam pertemuan American Society of Missiology (ASM) dan Evangelical Missiological Society (EMS) tidak ada saling rujuk di antara kedua badan tersebut. Dr. George Peters dari Dallas Teological Seminary dan saya sendiri dari Fuller Teological Seminary memimpin pertemuan sampingan pada IFMA/EFMA (lihat di bawah) Konferensi besar “Greenlake 1971” mengenai Hubungan Gereja?Misi, dan merekrut 65 orang menjadi anggota pendiri dari American Society of Missiology pada tahun 1972.

Jadi, ASM dari awalnya sesungguhnya telah didominasi oleh “kaum Injili.” Namun, seperti yang diinginkan, orang lain merekruit anggota lain dari lingkungan “aliran utama” entah Katolik dan Protestan, sering dari seminari teologi. Inklusivitas ASM menyediakan alasan untuk masyarakat yang terpisah (EMS – Evangelical Missiology Society) yang utamanya terdiri dari para profesor dari Institut Perguruan Tinggi Alkitab atau sekolah-sekolah yang pernah masuk dalam kategori tersebut. Namun banyak profesor Injili menjadi anggota dari ASM dan EMS, sedangkan kedua masyarat misi ini terpisah secara abadi.

Pada awal tahun 1900-an kaum Injili mendirikan berbagai Institut Alkitab ketimbang perguruan tinggi dan seminari. Tetapi ada satu seminari yang signifikan didirikan, Dallas Teological Seminary. Namun, seminari ini menunggu 60 tahun sebelum bergabung dengan Association of Theological Schools.

Sama dengan itu, National Association of Evangelicals (NAE), didirikan tahun 1945, menjadi rekanan bagi National Council of Churches of Christ in the USA (NCCUSA), sedangkan Evangelical Foreign Missions Association (EFMA bersama dengan NAE, dan badan baru-baru ini berubah nama menjadi Mission Exchange) merupakan rekanan bagi Division of Overseas Ministries (DOM) dari NCCUSA. Badan-badan misi dari denominasi aliran utama dari DOM tidak bergabung dengan EFMA, sebagaimana badan-badan denominasi EFMA tidak bergabung dengan DOM. Namun sejumlah besar individu Injili ditemukan baik di dalam DOM dan EFMA. Sikap telah berubah lebih cepat daripada institusinya.

Tetapi Apa itu Injil Kerajaan?

Menariknya (dan pasti sangat sedikit orang berpikir seperti ini pada hari ini) kedua kutub ini?baik Student Volunteer yang berpengaruh maupun orang-orang dari Institut Alkitab yang berfokus pada sorga dan keselamatan pribadi?tidak memiliki konsep yang didefinisikan dengan sangat baik mengenai Injil Kerajaan yang melihat 40 jam kerja seminggu dari orang awam (melebihi penginjilan di tempat kerja) sebagai panggilan yang sakral. Tidak dapatkah orang awam dengan sengaja memilih karir yang berbeda yang tidak didasarkan pada tingkat gajinya tetapi pada kontribusi strategisnya terhadap kehendak Allah di bumi? Banyak masalah urgen dan berbagai kejahatan yang masih menjerit meminta solusi, tetapi sering kali sepenuhnya berada di luar kotak teologis dari mereka yang puas dengan Misi Gereja belaka. Sedihnya, sasaran penanaman Gereja di setiap kelompok suku atau sekadar memperluas Kekristenan, entah di Amerika atau di seluruh dunia, merupakan pengertian yang paling umum tentang memperluas tujuan Allah di dunia kita. Hanya ada sedikit ruang untuk konsep, terlepas dari pelayanan profesional yang berhubungan dengan gereja, dan seorang “Kristen penuh waktu.”

Tetapi ketika setiap orang percaya diharapkan bisa secara sadar dan sengaja terlibat “dalam misi,” apakah itu kemudian berarti tidak ada apa pun yang merupakan misi? Tidak, itu hanya berarti bahwa ada berbagai tipe misi yang berbeda. Akan selalu ada misi perintisan lintas budaya yang secara menakutkan sulit. Tetapi mereka dari antara kita yang telah sedang memperjuangkan hal tersebut sebagai prioritas tertinggi, tidak memiliki kekuatan untuk menyisihkan kata misi bagi tipe misi yang urgen seperti itu.

Kini kita memiliki pengertian yang lebih baik tentang polarisasi antara Misi Gereja dan Misi Kerajaan yang lebih awal, agaknya dangkal dan merusak. Kita tidak perlu selamanya dikalahkan oleh ayunan pendulum antara dua kutub ini. Masa kini sebagian besar anak-anak dari orang-orang yang bertobat akibat pelayanan Moody sekarang telah menjadi orang-orang kelas menengah yang berpengaruh, sehingga orang-orang berkualifikasi perguruan tinggi kini bukan lagi suatu kelas atas yang minoritas. Pada masa kini, mereka yang dicobai untuk merasa puas dalam suatu pendekatan sederhana yang dangkal terhadap Alkitab dan misi sebagian besarnya adalah sisa-sisa kaum fundamentalis atau sekelompok baru kaum pada pinggiran hiper-karismatik.

Sebuah studi kasus yang optimis dalam Era Ketiga ini adalah memperhatikan kemajuan istimewa yang dibuat oleh para pemikir dan badan misi pada masa kini mengenai apa yang disebut “Pendekatan Orang Dalam” (Insider Approach) terhadap orang M, Hindu, dan Buddha, yang hanya membuat sedikit kemajuan di masa lampau. Baru-baru ini disadari bahwa contoh Paulus (mengizinkan orang Yunani tetap sebagai orang Yunani seraya mereka mengikut Kristus) sejajar dengan mengizinkan orang M, Hindu dan Buddha untuk mempertahankan banyak dari bahasa dan budaya mereka sebagai pengikut Kristus. Fenomena signifikan ini dibahas di tempat lain dalam kursus ini.


Kesimpulan: Seberapa Jauh Kita Telah Sampai?

Kita perlu mengenali tenaga pendorong menuju kepada pemulihan Misi Kerajaan yang penuh dalam tulisan-tulisan tiga orang. Sebagian orang mendesak bahwa mereka adalah nabi-nabi awal di Era Keempat. Profesor Carl F. H. Henry pada tahun 1947 mengeluarkan buku bersejarahnya The Uneasy Conscience of Modern Fundamentalism. Pada tahun 1957 Profesor Timothy Smith menghasilkan buku yang sangat penting Revivalism and Social Reform, menggali dampak pada masyarakat dari Kebangunan Kedua di paruh pertama abad 19. Terakhir, Profesor David O. Moberg pada tahun 1967 memberi kita bukunya yang berjudul The Great Reversal (kemudian hari diterbitkan dengan versi yang beragam), yang menjelaskan secara detail kemerosotan dari apa yang kita sebut Misi Kerajaan (melampaui transformasi pribadi) kepada suatu fokus terhadap pribadi dalam apa yang disebutkan di sini sebagai Misi Gereja.

Bagi rata-rata orang awam, Misi Gereja, misi yang mempromosikan dan memperluas Gereja sebagai sebuah institusi, digambarkan sebagai Kekristenan jenis “berdoa dan memberi” yang dilakukan “setelah jam kerja.” Misi Gereja bersama dengan Misi Kerajaan seharusnya menjadi tipe Kekristenan 24/7 yaitu “Kristen penuh waktu.” Apa artinya orang “Kristen penuh waktu”? Artinya misi untuk memperkenalkan Kerajaan atau Misi Kerajaan, melibatkan atau seharusnya melibatkan setiap tindakan orang awam dalam 40 jam kerjanya seminggu di samping apa yang dia bisa lakukan bagi gereja “setelah jam kerja” dalam Misi Gereja. Contoh-contohnya mungkin mengajar anak SD kelas satu sebagai sebuah panggilan kudus, bekerja pada bidang apa pun yang sah sebagai sebuah panggilan kudus tetapi peka terhadap kesempatan untuk mengejar karir dalam pengentasan perbudakan manusia secara global, atau pengentasan kemiskinan ekstrem, dll. Itulah apa yang dikatakan “Kristen penuh waktu.” Tentu saja itu juga mencakup apa yang kita sebut pelayanan Kristiani penuh waktu jika itu merupakan pilihan paling strategis yang tersedia.

Banyak pendeta memanggil orang tidak hanya untuk percaya, tetapi untuk rela “melayani Yesus Kristus.” Bagaimanapun, pelayanan itu bisa berarti mengajar Sekolah Minggu, membantu di dalam hal perawatan, menjadi penyambut tamu dalam kebaktian, atau mendukung para misionaris. Banyak pendeta mungkin bahkan mendorong jemaatnya untuk pergi ke luar dan melakukan pekerjaan baik, sebagai individu, tetapi mereka mungkin tidak memikirkan tentang kebutuhan bagi orang-orang gereja untuk mendukung dan/atau membentuk berbagai organisasi pelayanan yang besar dan serius yang memecahkan persoalan kejahatan besar, kejahatan percabulan, dan berbagai tragedi di dunia ini. Bagi mereka, mempromosikan entah Kerajaan Allah ataupun Gereja adalah hal yang sama. Doa Bapa Kami terlalu sering menjadi “datanglah kerajaan Kami” ketika gereja hanya mempedulikan pemenuhan pribadi dan kerohanian dari jemaatnya, rencana pembangunan fisik gereja, dll., bukan pada solusi terhadap masalah-masalah yang melampaui batas tembok gerejanya.

Seberapa Jauh Kita Harus Pergi?

Salah satu hal yang paling sulit untuk dimengerti oleh beberapa orang adalah mengapa mustahil, bukan hanya tidak bijak, untuk memikirkan perkataan dan perbuatan sebagai dapat dipisahkan. Alkitab sebagai Firman Allah akan menjadi tidak lebih dari filsafat yang mengawang-awang jika tidak terus-menerus merujuk pada perbuatan Allah, perbuatan para pengikut-Nya, dan perbuatan Anak-Nya. Sama dengan itu, penjangkauan misi kita harus dipenuhi dengan perbuatan-perbuatan yang bermakna jika tidak perkataan kita akan kosong dan kita tidak menyatakan sifat Allah. World Evangelical Alliance berbicara secara bijaksana mengenai:


Misi Integral atau transformasi yang holistik [sebagai] proklamasi dan demonstrasi dari Injil. Itu bukan hanya bahwa penginjilan dan aksi sosial harus dilakukan secara bersamaan.


Keduanya bukan dua hal berbeda. Perhatikan kata “holistik” di sini tidak hanya berarti seluruh pribadi seseorang tetapi seluruh masyarakat, seluruh dunia ini.

Lebih jauh lagi, kaum Injili pada masa kini, yang sekarang memiliki kekayaan dan pengaruh yang jauh lebih besar, perlu menyadari bahwa hak istimewa yang semakin besar menuntut perluasan dan tanggung jawab yang diperluas dan yang lebih rumit. Jumlah uang yang dikeluarkan Bill dan Melinda Gates untuk penanggulangan malaria tidak berarti jika dibandingkan dengan dana yang diboroskan Kaum Injili setiap tahun untuk hal-hal yang tidak penting. Namun tidak ada upaya terorganisasi yang terhormat dari kaum Injili yang sekarang ada untuk menambah sokongan demi memberantas bakteri penyakit yang menimpa jutaan orang, termasuk jutaan orang Kristen. Apakah pesan konvensional gereja-gereja pada masa kini menantang para pengikut Kristus untuk dengan sengaja memilih bidang mikrobiologi seperti halnya “pelayanan Kristen”? (Perhatikan bahwa Misi Kerajaan lebih dari sekadar “aksi sosial” jika itu adalah untuk memberantas bakteri penyakit. Alkitab berbicara mengenai pemulihan bukan sekadar aksi sosial.) Ayolah! Tidak dapatkah kita memahami fakta bahwa jutaan keluarga Kristen di seluruh dunia, sekarang ini, begitu miskin dan sakit sehingga mereka tidak dapat memberi makan anak-anak mereka dan harus menjual anak-anak mereka untuk kerja paksa agar bisa makan? Di Pakistan ratusan ribu anak masuk dalam kategori ini. Setengah dari anak-anak itu mati di usia 12 tahun.

Melakukan banyak pekerjaan baik, atau seperti dikatakan seseorang “sibuk bagi Yesus” secara individu bisa dikatakan “baik tapi tidak cukup baik.” Perspektif Injili kita telah begitu terindividualisasi sehingga kita hanya berpikir mengenai pekerjaan baik secara individu. Melakukan sedikit hal yang baik asalkan menyenangkan mungkin hanya menjadi suatu cara untuk membenarkan dan meyakinkan diri kita akan keselamatan pribadi kita. Memulai dengan talenta dan hal yang menjadi minat kita adalah hal yang umum tetapi itu merupakan cara dunia?itu memperoleh sesuatu secara terbalik. Jangan terbalik?ini menuju ke hulu?tetapi bagaimana minat pribadi yang subjektif bisa secara akurat memprediksikan prioritas Allah?

Kita harus mulai dengan apa yang menjadi perhatian Allah, apa pun talenta, keinginan, dan kemampuan kita. Bagaimana jurusan universitas yang kita pilih selama 4 tahun tanpa merefleksikan prioritas Allah dapat diasumsikan menentukan arah 50 tahun ke depan? Kita harus “memberi yang terbaik bagi kemuliaan-Nya.” Ketaatan kita pasti memiliki cacat jika hanya terfokus pada apa yang dunia setujui. Kewajiban kita adalah berusaha menyebarkan pengetahuan akan kemuliaan Allah dan kerajaan-Nya, dan ini pasti mengharuskan setiap kita untuk sepenuh harap dalam doa berusaha mencari Allah untuk melakukan hal tersulit yang bisa kita lakukan dalam tugas terpenting yang bisa kita temukan. Surat 1 Yohanes 3:8 berkata, “Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.” Mengikuti Yesus sama dengan pergi berperang. Pada sisi milenium ini, itulah kehidupan Kristen sesungguhnya. Di dalam perang apa yang perlu dilakukan menjadi hal terutama. Dan kesadaran sejati akan pencapaian bukanlah bahwa Anda melakukan apa yang ingin Anda lakukan, atau apa yang Anda pikir sebagai hal terbaik yang Anda bisa, tetapi apa yang Anda merasa diyakinkan merupakan hal yang paling menentukan dan paling penting. Melakukan pekerjaan baik merupakan cara alkitabiah untuk menggambarkan karakter dan kemuliaan Allah jika kita rela bertindak tanpa menyisipkan persyaratan pribadi.

Maka, kita melihat Era Misi Ketiga, sejauh era ini mengenali baik kelompok suku yang belum terjangkau dan memulihkan Misi Kerajaan, menyingkapkan tuntutan yang penting, inspirasi yang tak habis-habisnya, dan janji yang luar biasa.


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas