PERSPEKTIF
.co
christian
online
Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Mengerti Budaya

Dari Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia

Langsung ke: navigasi, cari

Draf Buku Perspektif


Lloyd E. Kwast

Kwast.jpg
Lloyd E. Kwast mengajar selama delapan tahun di suatu perguruan tinggi dan perguruan teologi di Kamerun, Afrika Barat di bawah North America Baptist General Missionary Society. Beliau melayani sebagai Kepala Departemen Misi di Talbot Theological Seminary. Beliau adalah profesor di Biola University School of Intercultural Studies dan Direktur dari program doktoral dalam bidang Misiologi di sana.


Bagaimanapun, apakah budaya itu? Bagi mahasiswa yang baru memulai pelajaran antropologi, pertanyaan ini sering merupakan respons awal terhadap serangkaian deskripsi, definisi, perbandingan, model, dan paradigma yang membingungkan. Mungkin tidak ada kata yang lebih komprehensif dalam bahasa Inggris selain kata “culture,” atau tidak ada bidang studi yang lebih kompleks selain antropologi budaya. Akan tetapi, pengertian yang menyeluruh akan makna kebudayaan merupakan syarat mutlak untuk mengomunikasikan kabar baik Allah secara efektif kepada kelompok suku yang berbeda-beda.

Prosedur paling dasar dalam studi kebudayaan adalah menjadi ahli dalam kebudayaan kita sendiri. Setiap orang memiliki suatu budaya. Tidak seorang pun yang dapat memisahkan dirinya sendiri dari budayanya. Meski memang benar bahwa setiap orang dapat bertumbuh untuk menghargai beragam budaya, dan bahkan dapat berkomunikasi secara efektif dalam lebih dari satu budaya, seseorang tidak pernah dapat melebihi budayanya sendiri, atau berbagai budaya lain, untuk memperoleh suatu perspektif yang benar-benar melampaui budaya. Untuk alasan tersebut, bahkan mempelajari budaya sendiripun merupakan tugas yang sulit. Dan melihat secara objektif sesuatu yang merupakan bagian dari diri sendiri secara lengkap hampir tidak mungkin.

Salah satu metode yang membantu adalah melihat suatu budaya, memvisualisasikan beberapa “lapisan”-nya, atau beberapa tingkatan pengertiannya, seraya seseorang berusaha masuk ke dalam inti suatu budaya. Di dalam melakukan hal tersebut, teknik “manusia dari Mars” sangat bermanfaat. Di dalam latihan ini seseorang hanya perlu membayangkan seorang manusia dari Mars baru saja mendarat (dengan pesawat luar angkasa) dan melihat segala hal melalui mata seorang pengunjung asing dari luar angkasa.

Hal pertama yang akan diperhatikan pengunjung yang baru tiba ini adalah perilaku orang. Inilah lapisan terluar dan yang paling dangkal dari apa yang dapat diamati oleh seorang asing. Aktivitas apa yang akan dia amati? Apa yang sedang dilakukan? Ketika masuk ke dalam sebuah ruang kelas, pengunjung kita ini mungkin mengamati beberapa hal yang menarik. Orang-orang terlihat memasuki suatu tempat tertutup melalui satu atau lebih lubang. Mereka menyebarkan diri mereka sendiri di seluruh ruangan tampaknya secara acak. Seorang lainnya masuk berpakaian secara cukup berbeda dari yang lain, bergerak dengan cepat ke posisi yang jelasnya sudah diatur sebelumnya, menghadap ke orang-orang lain dan mulai berbicara. Seraya ini semua diamati, pertanyaan yang mungkin ditanyakan, “Mengapa mereka berada dalam suatu tempat yang dikelilingi tembok? Mengapa orang yang berbicara berpakaian berbeda? Mengapa banyak yang duduk sedangkan hanya satu yang berdiri?” Ini adalah pertanyaan-pertanyaan tentang makna. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dihasilkan melalui pengamatan akan perilaku. Mungkin menarik untuk bertanya kepada beberapa orang yang terlibat dalam situasi tersebut mengapa mereka melakukan hal-hal itu dengan suatu cara tertentu. Sebagian orang mungkin menawarkan sebuah penjelasan, sebagian lainnya mungkin menawarkan penjelasan yang lain. Tetapi ada beberapa orang yang mungkin hanya mengangkat bahu dan berkata, “Memang itu yang biasanya dilakukan di sini.” Respons terakhir ini menunjukkan sebuah fungsi penting dari budaya: menyediakan “cara yang berpola dalam melakukan segala hal,” seperti yang didefinisikan oleh sekelompok antropolog misionaris. Anda dapat menyebut budaya sebagai “lem super” yang mengikat orang bersama-sama dan memberi mereka perasaan identitas dan kontinuitas yang hampir tidak dapat ditembus. Identitas ini terlihat paling jelas dalam cara segala hal dilakukan?perilaku.

Di dalam mengamati para penghuni di sana, orang asing kita mulai menyadari bahwa banyak dari perilaku yang diamati nyatanya diperintah oleh pilihan-pilihan yang mirip yang dibuat orang dalam masyarakat itu. Pilihan-pilihan ini secara tak terhindarkan mencerminkan isu tentang nilai-nilai budaya, lapisan berikutnya dari pandangan kita tentang budaya. Isu-isu ini selalu memperhatikan berbagai pilihan tentang apa yang “baik,” apa yang “menguntungkan” atau apa yang “terbaik.”

Jika manusia dari Mars terus menginterogasi orang-orang dalam ruang tersebut, ia mungkin menemukan bahwa mereka memiliki banyak alternatif dalam menghabiskan waktu mereka di sana. Mereka mungkin bisa sedang bekerja atau bermain ketimbang belajar. Banyak dari mereka memilih untuk belajar karena mereka percaya belajar merupakan pilihan yang lebih baik ketimbang bermain atau bekerja. Dia menemukan sejumlah pilihan lain yang telah mereka buat. Sebagian besar orang dalam ruang itu memilih tiba di sana dengan kendaraan beroda empat karena mereka melihat kemampuan untuk bergerak cepat sebagai hal yang menguntungkan. Selain itu, sebagian lainnya terlihat terburu-buru masuk ke ruangan tersebut beberapa saat setelah semua telah masuk dan sekali lagi keluar dari ruangan segera setelah pertemuan selesai. Orang-orang ini berkata bahwa menggunakan waktu secara efisien sangat penting bagi mereka. Nilai-nilai adalah keputusan yang sudah diatur sebelumnya yang dibuat sebuah budaya di antara berbagai pilihan yang umumnya dihadapi. Hal itu membantu mereka yang hidup di dalam budaya tersebut untuk tahu apa yang “seharusnya” dilakukan agar “cocok dengan” atau menyesuaikan dengan pola kehidupan.

Melampaui pertanyaan tentang perilaku dan nilai-nilai, kita menghadapi pertanyaan yang lebih mendasar mengenai natur dari budaya. Ini membawa kita kepada tingkatan pemahaman yang lebih dalam, yaitu mengenai kepercayaan budaya. Kepercayaan ini bertanggung jawab atas budaya tersebut pertanyaan: “Apa yang benar?”

Nilai-nilai dalam budaya tidak dipilih secara acak, namun secara tetap mencerminkan suatu sistem kepercayaan yang mendasarinya. Sebagai contoh, di dalam situasi ruang kelas, seseorang mungkin menemukan setelah menyelidiki lebih lanjut bahwa “pendidikan” dalam ruang tertutup memiliki signifikansi tertentu karena persepsi mereka mengenai apa yang benar tentang manusia, kekuatan manusia untuk berpikir dan kemampuan manusia untuk memecahkan masalah. Dalam pengertian itu budaya telah didefinisikan sebagai “cara-cara memahami yang dipelajari dan dibagi,” atau “orientasi kognitif yang dibagi.”

Menariknya, orang asing kita yang bertanya ini mungkin menemukan bahwa orang yang berbeda dalam ruangan tersebut, meski menunjukkan tingkah laku dan nilai-nilai yang mirip, mungkin mengakui kepercayaan yang secara total berbeda mengenainya. Selanjutnya, ia mungkin menemukan bahwa nilai-nilai dan perilaku berlawanan dengan kepercayaan yang dianggap menghasilkan keduanya. Masalah muncul dari kebingungan dalam budaya antara kepercayaan yang dijalankan (kepercayaan yang mempengaruhi nilai-nilai dan perilaku) dan kepercayaan teoritis (kepercayaan yang dinyatakan yang hanya memiliki sedikit dampak atas nilai-nilai dan perilaku).

Pada jantung dari setiap budaya apa pun terdapat wawasan dunia, yang menjawab pertanyaan paling mendasar: “Apa yang nyata?” Wilayah budaya ini mengaitkan dirinya dengan pertanyaan tertinggi akan realitas, pertanyaan-pertanyaan yang jarang ditanyakan, namun yang untuknya budaya menyediakan jawaban terpenting. Sedikit dari orang yang ditanyai oleh manusia dari Mars ini yang pernah memikirkan secara serius tentang asumsi-asumsi terdalam mengenai kehidupan yang menyebabkan kehadiran mereka dalam ruang kelas tersebut. Siapa mereka? Dari mana mereka berasal? Adakah sesuatu atau seseorang lain yang menempati realitas yang perlu dipertimbangkan? Adakah apa yang mereka lihat benar-benar ada di sana, atau adakah sesuatu yang lain atau sesuatu yang lebih dari itu? Apakah sekarang merupakan satu-satunya waktu yang penting? Atau apakah berbagai peristiwa di masa lalu, dan masa depan, secara signifikan mempengaruhi pengalaman mereka saat ini? Setiap budaya memakai berbagai jawaban spesifik terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, dan jawaban-jawaban tersebut mengontrol dan mengintegrasikan setiap fungsi, aspek dan komponen dari budaya.

Pemahaman akan wawasan dunia sebagai inti dari setiap budaya menjelaskan kebingungan yang dialami banyak orang pada lapisan kepercayaan. Wawasan dunia seseorang menyediakan suatu sistem kepercayaan yang tercermin dalam nilai-nilai dan perilakunya yang nyata. Terkadang sistem kepercayaan yang baru atau saingan diperkenalkan, tetapi wawasan dunia tetap tidak tertantang dan tak berubah, maka nilai-nalai dan budaya mencerminkan sistem kepercayaan yang lama. Ada kalanya orang-orang yang membagikan Injil secara lintas budaya gagal mempertimbangkan faktor wawasan dunia dan karenanya dikecewakan oleh kurangnya perubahan yang sejati yang dihasilkan oleh upaya-upaya mereka.

Model budaya ini terlalu sederhana untuk menjelaskan begitu banyaknya komponen dan hubungan yang kompleks yang terdapat dalam setiap budaya. Akan tetapi, kesederhanaan dari model inilah yang merekomendasikannya sebagai sebuah sketsa dasar bagi setiap pembelajar budaya.


Draf Buku "Perspektif: Tentang Gerakan Orang Kristen Dunia -- Manual Pembaca" Edisi Keempat, Disunting oleh Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne. Hak Cipta terbitan dalam bahasa Indonesia ©2010 pada Perspectives Indonesia

... kembali ke atas